Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM ACARA PIDANA

Dosen Pengampu: Dr. Siska Elvandari, S.H, M.H.

Disusun Oleh :

1. Yodipka Ahzan (1910111054)


2. Nelti Rosa (1910111079)
3. Septiana Dwi Marisha (1910113002)
4. Benny Gunawan (1910112181)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.yang telah memberikan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. makalah ini disusun untuk
melengkapi nilai dan dapat juga sebagai pedoman bagi mahasiswa yang ingin mempelajari mata
kuliah Hukum Acara Pidana, namun apabila makalah ini nanti terdapat kesalahan kami sebagai
penyusun mohon maaf.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk
menyempurnakan makalah ini.

Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen Hukum
Acara Pidana Ibu Dr. Siska Elvandari , S.H, M.H. yang telah membibimbing dan memberikan
ilmu pengetahuan kepada kami, serta kepada rekan-rekan kelompok yang telah berusaha
membuat makalah ini sebaik mungkin agar dapat bermanfaat oleh mahasiswa lainnya.

Terlepas dari kekurangan – kekurangan makalah ini kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan amal soleh bagi kami, Amin.

Juni 2020
Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................................................. 1

B. Tujuan Pembahasan ...................................................................................................................... 1

C. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Tujuan dari Hukum Acara Pidana .......................................................... 3

2. Asas-Asas Penting Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Pidana ................................... 4

3. Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana .............................................................................. 10

4. Sumber-Sumber Hukum Acara Pidana............................................................................. 11

BAB III : PENUTUP

1. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 13

2. Saran ............................................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini khusunya di era modern ini Hukum yang menjadi batasan- batasan dan/atau
rambu-rambu bagi masyarakat berkembang sesauai dengan keadaan maupum kondisi. Dapat
di;ihat adanya peraturan perundang-undangan yang mana lahir karena adanya kondisi yang
mengharuskan seperti Undang-Undang ITE yang mana berkembang karena adanya teknologi
komunikasi antar warga Negara, dimana fungsi dari peraturan perundang-undangan tersebut
yaitu memberi batasan bagi warga Negara untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan
seperti mencuri data privasi seseorang, menyebarkan hoax ,maupun tindak criminal ITE lainnya.
Berbicara tentang tindakan criminal tersebut erat kaitannya dengan hukum pidana dimana
hukum pidana menurut Prof Simons ialah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang
diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu pidana atau nestapa barang siapa yang
tidak mentaatinya.1
Sebagaimana kita tahu bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum materiil,
yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan. Akan tetapi bagaimana cara menjalankan
atau mempertahankan hukum pidana ?tentunya, kita kenal hukum acara pidana sebagai hukum
formiil dari hukum pidana.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwaan melakukan suatu
pelanggaran hukum. 2
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu agar para pembaca khususnya mahasiswa
dapat memahami pengertian & peristilahan dari Hukum Acara Pidana, tujuan dari Hukum Acara
Pidana, Asas-Asas, dan Sumber-sumber formal Hukum Acara Pidana.

1
Neng Sarmida ,dkk.Diktat Hukum Pidana.2002.Fakultas Hukum Universitas Andalas. hlm. 1
2
Moch. Faisal Salam.Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.2001.Bandung : Penerbit Mandar
Maju.hlm.1

1
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan Tujuan dari penyusunan makalah ini maka lahirlah rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apa Pengertian dan Tujuan dari Hukum Acara Pidana ?
2. Apa saja Asas-asas penting Hukum Acara Pidana ?
3. Apa Saja ilmu pembantu Hukum Acara Pidana ?
4. Apa saja Sumber-sumber Hukum acara pidana di Indonesia?

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Tujuan dari Hukum Acara Pidana
Di bagian terakhir Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita, yaitu Pasal 285, terdapat
nama resmi yang berbunyi: "Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana". Terdapat sedikit kecanggungan di situ karena undang-undang dinamai "kitab". Mestinya
kodifikasinya yang diberi nama kitab. Jadi, mestinya: "Kodifikasi ini dinamai Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana."Bukan undang-undang yang dinamai "kitab" tetapi
kodifikasinya.Benarkah KUHAP itu menupakan kodifikasi hukum acara pidana di Indonesia?
Kalau memang demikian, maka seharusnya tidak ada acara pidana lain dan tidak berlaku hukum
adat sebagai acara pidana. Memang masih ada kemungkinan perundang-undangan di luar KUHP
mencantumkan penyimpangan-penyimpangan dari legi generali atau KUHAP itu.Tetapi.jika
perundang-undangan di luar KUHP itu tidak menyimpang, maka itu berarti bahwa ketentuan
umum (KUHAP) berlaku untuk seluruh proses pidana.
Ketentuan ini juga berkaitan dengan asas legalitas.yaitunullum crimen sine lege stricta
dalam hukum pidana materiil.
Polisi, jaksa, dan hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana.tetapi harus
berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP
yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang.
Menyangkut dengan kaitan antara KUHAP sebagai legi generali dan acara pidana
dalam perundang-undangan di luar KUHP itu sebagai lex specialis, maka KUHAP juga kurang
khususnya pada pasal buntutnya. Di situ mesti ada ketentuan yang berbunyi: "KUHAP berlaku
juga sebagai hukum acara bagi perundang-undangan pidana di luar KUHP kecuali undang-
undang yang bersangkutan menyimpang."
Istilah "hukum acara pidana" sudah tepat dibanding dengan istilah "hukum proses
pidana" atau "hukum tuntutan pidana". Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau
diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya
acara pidana.Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan
undang-undang dibicarakan di Parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana.Oleh
karena itu, menurut pendapat penulis, istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat

3
daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap
dipakai.Orang Prancis menamainya Code d' Instruction Criminelle.Sedangkan istilah yang sering
dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Dipakai istilah rules karena di
Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber formal hukum acara pidana,
tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan.
Ada lagi istilah yang mulai populer pula di Indonesia, yaitu crimi- nal justice system
yang diindonesiakan menjadi sistem peradilan pidana. Di Indonesia mulai ramai dipakai istilah
"sistem peradilan pidana terpadu" sebagai salinan istilah intergrated criminal justice system.3

2. Asas-Asas Penting Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Pidana

a) Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan


Pencantuman peradilan cepat (contante justitie : speedy trial) di dalam KUHAP
cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan, cepat,
sederhana dan biaya ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan
penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada
keputusan hakim) merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia.Begitu pula peradilan
bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undnag tersebut.

Penjelasan umum yang dijabarkan dalam pasal dalam KUHAP, antara lain :
1. Pasal-pasal 24 ayat(4), 25 ayat(4), 26 ayat(4), 27 ayat(4), dan 28 ayat(4).
Umumnya dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti
tercantum dalam ayat seblumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim
harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk
mempercepat penyelesaian perkara tersebut.
2. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan hak terdakwa untuk segera
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan, ayat(1), segera

3
Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia,2006. Jakarta, Sinar Grafika,hlm.2-3

4
perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2) segera diadili
oleh pengadilan, ayat (3).
3. Pasal 102 ayat(1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristia yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
4. Pasal 106 mengatakan hal yang sama tersebut diatas bagi penyidik.
5. Pasal 107 ayat(3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat(1) huruf b, segera menyerahkan hasil
penyedikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf a.
6. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang
semuanya disertai dengan kata segera. Begitu pula Pasal 138.
7. Pasal 140 ayat (1) dikatakan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari
hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan.

b) Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)


Asas ini disebut dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim dan juga dalam penjelasan umum butir 3c
KUHAP yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilanm wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Dalam perundang-undangan pidana khusus terutama Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 17 dan 18 ada ketentuan yang agaknya
mendesak asas tersebut. Pada pasal 17 terutama ayat (1) dan (4).Sedangkan pasal 18 ayat
(1) dan (2).

c) Asas Oportunitas
Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang
untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum.Di

5
Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (pasal 1 butir a dan b serta pasal 137 dan
sterusnya KUHAP).
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada
badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis ditanagn penuntut umum
atau jaksa.Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat
meminta supaya delik diajukan kepadanya.Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan
dari penuntut umum.
A.Z Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut.
“Asas hukum yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau
tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.”
Pasal 32C undang-undang nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas
menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia.Pasal itu berbunyi sebagai berikut.
“Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepntingan umum.”

d) Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum


Terdapat dalam pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara menegnai kesusilaan atay terdakwanya anak-
anak” ayat(3). “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum” ayat (4).
sebagai berikut.
“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) diatas diperkuat berlakunya.Terbukti dengan
timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut tidak dipenuhi”.
Yang menjadi maslaah ialah karena sebenarnya masih ada kekecualian yang lain selain
dari yang tersebut diatas, yaitu delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang
menyangkut ketertuban umum (openbare orde)
Pasal 104 UUDS 1950 ayat (2) dan (3) menunjuk kekecualian seperti diatas.Ayat (2) dan
(3) mengatakan sebagai berikut.
“Lain daripada pengecualian-pengecualian yang ditetapkan oleh undang-undang, sidang
pengadilan terbuka utuk umum.”

6
“Untuk ketertiban dan kesusilaan umum hakim boleh menyimpang dari peraturan ini.”
“Keputusan senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.”

e) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim


Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas
tercantum pula dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kahakiman pasal 5 ayat (1) dan
KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut berbunyi:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
“Untuk ini sering dipakai bahasa Sanskerta “tan hana dharma manrua” yang dijadikan
moto Persaja (Persatuan Jaksa).

f) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap


Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh
hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang
tetap oleh kepala negara.Ini disebut dalam undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
pasal 31.
Dalam sistem lain yaitu sistem juri, yang menemukan salah tidaknya terdakwa
ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya
mereka adalah awam tentang ilmu hukum.
Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang
dahulu menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan.Sebaliknya Prancis
sejak revolusi meniru sistem itu di Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan
sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.”

g) Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum


Hal ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan
beradab. Dalam The International Covenant on Civil and Political Rights article 14 sub
3d kepada tersangka/terdakwa dieberikan jaminan berikut.
“Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara priadi atau dengan
bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini
jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika

7
untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar
penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran.”
Dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum
tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas.
Kebebasan-kebebasan itu diantara lain sebagai berikut :
1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3) Penasihat hukum dpaat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat
pemeriksaan pada setiap waktu.
4) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh pihak
penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut kamanan
negara.
5) Turunan berita acara diberkan kepada tersangka atau penasihat hukum guna
kepentingan pembelaan.
6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.

Pembatan-pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalhgunakan hak-


haknya tersebut.Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi
yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis.Segi-segi yang disebut
terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata.

h) Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)


Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa
dengan KUHAP telat dianut asas akusator itu.Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada aasnya telah dihilangkan.
Sebagai telah diketahui, asas inkisitor itu berarti tersangka dipandang sebagai objek
pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan.Sama halnya
dengan Ned.Sv.yang lama yaitu tahun 1838 yang direvisi tahun 1885.
Sejak tahun 1926 yaitu berlakunaya Ned.Sv.yang baru di negari Belanda telah diantut
asas gematigd accusatoir yang berarti asas bahwa tersangka dipandang sebagai pihak

8
pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-
perkara politik, berlaku asas inkisitor.
Dengan demikian, kita ketinggalan 55 tahun.Asas inkisitor ini sesuai dengan
pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting.Dalam
pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka.Kadang-
kadang untyk mencapai maksud tersebut pemeiksa melakukan tindakan kekerasan atau
penganiayaan.
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal,
maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradb. Selaras dengan itu,
berubah pula sistem pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan
“keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.
Untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian ini, maka para
penegak hukum makin dituntut agar menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu
pembantu untuk acara pidana seperti kriminalistik, kriminologi, kedoteran forensik,
antropologi, psikologi dan lain-lain.

i) Pemeriksaan Hakim yang langsung dan Lisan


Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya
langsung kepada para terdakwa dan para saksi.Ini berbeda dengan acar perdata dimana
tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan,
atrinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
Ketentuan mengenai hal tersebut diatas diatur dalam pasal-pasal 154, 155 KUHAP, dan
seterusnya.
Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan
tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.Tetapi, ini hanya
merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas
jalan (pasal 213 KUHAP).
KUHAP berbunyi: “Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang.”
Begitu pula ketentuan yang terdapat dalam pas al 214 yang mengatur acara pemeriksaan
verstek itu.

9
Dalam hukum acara pidana khusus, seperti undang-undang nomor 7(Darurat) tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, dan dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenal pemeriksaan pengadilan secara in
absentia atau tanpa hadirnya terdakwa.
3. Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana

Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana tidak mudah dilakukan tanpa ada
ilmu yang membantu dalam menemukan kebenaran. Ilmmu-ilmu ini akan sangat berguna
bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, Pengacara, Hakim, maupun petugas lembaga
pemasyarakatan), oleh karena itu bagi aparat penegak hukum wajib membekali diri
dengan pengetahuan dari berbagai ilmu bantu.

Ilmu-ilmubantu yang dimaksud adalah:

1. Logika

Ilmu bantu logika sangat dibutuhkan dalam proses penyidikan dan proses pembuktian
disidang pengadilan. Kedua proses ini memerlukan cara-cara berpikir yang logis dalam
menghubungkan keterangan satu dengan lainnya sehingga kesimpulan yang dihasilkanpun
dapat dikatakan logis dan rasional.

2. Psikologi

Sesuai dengan materi pokok ilmu ini, maka ilmu ini dapat berguna dalam menyentuh
persoalan-persoalan kejiwaan tersangka. Hal ini sangat membantu penyidik dalam proses
interogasi. Dan hakim dapat memilih bagaimana dia harus mengajukan pertaanyaan sesuai
dengan kondisi kejiwaan terdakwa.

3. Kriminalistik

Peranan ilmu bantu kriminalistik ini sangat berguna bagi proses pembuktian terutama
dalam melakukan penilaian fakta-fakta yang terungkap di dalam sidang, dan dengan ilmu ini
maka dapat dikontruksikan dengann sistematika yang baik sehingga proses pembuktian akan
lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu ini yang banyak dipakai adalah ilmu tentang sidik
jari, jejak kaki, toxikologi (ilmu racun) dan sebagainya.

Ilmu ini juga berguna dalam menilai fakta. Fakta-fakta yang ditemukan oleh hakim itu harus
dapat dikonstruksikan sebelum ia menjatuhkan putusannya.
10
4. Kedoteran Kehakiman dan Psikiatri

Kedokteran Kehaman dan Psikiatri sangat membantu penyidik JPU dan hakim di dalam
menangani kejahatan yang berkaitan dengan nyawa atau badan seseorang atau keselamatan
jiwa orang. Dalam hal ini Hakim memerlukan keterangan dari kedokteran dan Psikiatri, dan
ketika ada yang menjelaskan tentang istilah-istilah medis, Hakim, Jaksa, dan Pengacara tidak
terlalu buta. Kedokteran kehakiman dan psikiatri juga dapat dipakai dalam hal yang tidak
normal, yaitu Psikiatri untuk peradilan atau forensic

5. Kriminologi

Ilmu ini mempaelajari seluk beluk tentang kejahatan baik sebab-sebab dan latar belakang
kejahatan maupun mengenai bentuk-bentuk kejahatan. Ilmu ini akan membantu terutama
pada hakim dalam menjatuhkan putusan tidak membabi buta, harus melihat latar belakang
dan sebab-sebab yang menjadikan pelaku melakukan tindak pidana.

Ilmu ini juga diperlukan dalam rangka mengetahui sebab-sebab atau latar belakang terjadi
kejahatan serta akibat terhadap masyarakat.

6. Penologi

Ilmu ini sangat membantu hakim dalam menentukan alternatif penjatuhan hukuman termasuk
juga bagi petugas pemasyarakatan.jenis pembinaan apa yang tepat bagi Nara Pidana.

4. Sumber-Sumber Hukum Acara Pidana

Sumber-sumber Formal Hukum Acara Pidana Indonesia

Sumber-sumber formal hukum acara pidana Indonesia, adalah sebagai berikut:

A. UUD 1945
Yang sangat penting dari ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai hukum acara
pidana adalah sebagai berikut:
1. Pasal 24 dan 25

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang".(Pasal 24 Ayat (1)).

"Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-


undang".(Pasal 24 ayat (2)).

11
"Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang". (Pasal 25)

2. Penjelasan Pasal 24 dan 25

"Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dai pengaruh
kekuasaan pemerintah.Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-
undang kedudukannya para hakim".

3. Pasal II Aturan peralihan UUD 1945

"Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini".

B. Undang-Undang
1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76)
2) UU No 7 Tahun 1992. LN 1992 No. 31 tentang Pokok Perbankan, khususnya pasal 37 jo.
UU No 10 tahun 1998.
3) UU No 16 Tahun 2004, LN 2004 No 67 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
4) UU No 2 tahun 1986, LN 1986 No 20 tentang Peradilan Umum jo. UU No 8 tahun 2004
tentang perubahan UU No. 2 tahun 1986
5) UU No 41 tahun 1985, LN 1985 No 73 tentang Mahkamah Agung jo. UU No 5 tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No 14 tahun 1985
6) UU No 31 tahun 1999, LN 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam pasal 284 KUHAP.
7) UU No 13 tahun 1970, LN 1970 No 150 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
anggota MPR dan DPR Gotong Royong.
8) UU No 4 tahun 2004, LN 2004 No 8 tentang Kekuasaan Kehakiman
9) UU No 28 tahun 1997, LN 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian
Republik Indonesia
10) UU No 5 (PNPS) tahun 1959, LN 1950 No 80 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
11) UU No 7 (drt) tahun 1995, LN 1995 No 27 tentang Pengusunan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ek

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Acara Pidana merupakan suatu bagaimana proses peradilan pidana yang
dimulai dari kepolisian, kejaksaan, hakim dalam proses persidangan, sampai kepada lembaga
kemasyarakatan dan juga dalam berproses harus mempertimbangkan hak terdakwa atau
tersangka, kepolisian, dan kejaksaan serta kewajiban masing-masing dalam melaksanakan proses
penegakan hukum pidana.
Di dalam proses beracara pada Hukum Acara Pidana dikenal beberapa asas-asas
salah satnya asas Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) dimana terdakwa atau
tersangka belum dkatakan bersalah sampai ada hukum tetap atau putusan hakim.
Selain itu, dikenal juga ilmu pembantu untuk menunjang Hukum Acara Pidana
yaitu; Logika, Kriminalistik, Kriminologi, Psikologi, kedokteran kehakiman & Psikiatri, dan
penologi.

B. Saran
Dalam Penyusunan Makalah ini tentunya memilki kekurangan untuk itu para penulis
mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk menompang mempelajari Hukum Acara
Pidana. Dan diharapkan untuk penulis selanjutnya bisa menyempurnakan makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Andi Hamzah.2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.

Neng Sarmida ,dkk.Diktat Hukum Pidana.2002.Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Moch. Faisal Salam.Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.2001.Bandung : Penerbit
Mandar Maju.

iv

Anda mungkin juga menyukai