Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PIDANA

SUMBER HUKUM PIDANA INDONESIA

Dosen Pembimbing : Nani Widya Sari,S.H.,M.H.

Disusun oleh:

Singgih Bayu Rijki

211010250200

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

Jl. Puspitek, Buaran, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten

15310
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang diberikan-Nya, sehingga
penulis dapat menyusun makalah yang merupakan penugasan untuk mata kuliah HUKUM
PIDANA. Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat berguna dan dapat menambah
pengetahuan tentang wawasan sumber hukum pidana di Indonesia. Saya mengucapkan
terimakasih kepada ibu Nani Widya Sari,S.H.,M.H. Selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Dalam penyusunan makalah ini penulis mengumpulkan dari berbagai sumber terutama dari
internet yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini masih ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran untuk perbaikan tulisan atau makalah ke depannya. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Tangerang, September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Sumber Hukum Pidana di Indonesia............................................................................2


B. KUHP...........................................................................................................................4
C. Kedudukan Hukum Adat di Hadapan Hukum Pidana..................................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................................10

A. KESIMPULAN............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana juga memiliki sumber hukumnya tersendiri. Sumber hukum yang
kemudian dengannya ditetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan eksistensi
hukum pidana itu sendiri. Sumber hukum pidana ada dua, yaitu ada yang tertulis dan ada
yang tidak tertulis (adat). Kedudukan sumber hukum sangatlah penting bagi hukum
pidana. Karena jika hukum pidana tidak mempunyai sumber hukum yang disepakati
maka tidak akan tercipta peraturan-peraturan yang berkeuatan hukum yang kemudian
akan negara jalankan.
Dengan adanya sumber hukum pidana maka akan tercipta peraturan-peraturan
yang dapat mengatur segala kegiatan manusia yang memang kembali kepada hakikat
adanya hukum yaitu salah satunya terpenuhinya rasa keadilan. Para polisi mempunyai
landasan yang jelas untuk kemudian melakukan penangkapan atas pidana yang dilakukan
seseorang. Keudian jaksa mempunyai landasan yang jelas pula untuk kemudian menuntut
pelaku pidana da kemudian hakimpun akan jelas dalam memberikan hasil keputusan
hukuman apa yang harus didapatkan oleh si pelaku tindak pidana. Dalam makalah kami
ini, kami akan mencoba membahas mengenai apa saja sumber dari hukum pidana dan
kemudian sejarah dan kemudian bagaimana korelasinya dengan hukum adat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimana asal mula penerapan KUHP di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan hukum adat di hadapan hukum pidana?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa saja sumber-sumber hukum pidana di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana asal mula penerapan KUHP di Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana kedudukan hukum adat di hadapan hukum pidana.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Pidana di Indonesia


Sumber hukum adalah keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan
keputusan tersebut Artinya, keputusan itu haruslah dari penguasa yang berwenang untuk
itu. Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya hukum, membawa kepada suatu
penyelidikan tentang wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan berasal dari
penguasa yang berwenang atau tidak. Keputusan penguasa yang berwenang dapat berupa
peraturan dapat pula berupa ketetapan. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai
tempat dikemukakannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan terhadap
kepentingan umum, dan diancam hukuman berupa penderitaan atau siksaan. Hukum
pidana tersebut mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Atau segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakbatkan sanksi yang tegas dan nyata. Atau
sumber hukum ialah asal atau tempat mencari hukum. Sumber hukum pidana dibedakan
menjadi dua, yaitu sumber hukum pidana yang tertulis dan tidak tertulis.
1. Sumber Hukum Tertulis
Sumber hukum tertulis terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi, misalnya KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) yang terdiri atas 569 pasal.
Secara sistematik, KUHP terbagi dalam
1) Buku I : Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene
Leerstrukken) pasal 1-103.
2) Buku II : Mengatur tentang tindak pidana kejahatan (Misdrijven)
pasal 104-488.
3) Buku III : Mengatur tentang tindak pidana pelanggaran (Overst
dingen) pasal 489-569.

2
b. Sumber hukum tertulis tapi tidak terkodifikasi (tersebar dalam peraturan
perundang-undangan lain), misalnya: UU No. 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Korupsi, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasna
Tindak Pidana Terorisme.
2. Sumber hukum tidak tertulis dan tidak terkodifikasi. Yang dimaksud dengan sumber
hukum tidak tertulis dan tidak terkodifikasi yaitu hukum adat.

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-
Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun
2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya. Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem
yang terkodifikasi dan sistem di luar kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa
yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan yang
digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar
KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga
dapat dihukum dengan sanksi pidana.

Tujuan dari hukum pidana ialah Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau
perseorangan (hak asasi manusia) untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan
negara dengan suatu perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan
di satu pihak dari tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan dilain
pihak. Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak
baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut. Untuk mendidik seseorang
yang melakukan perbuatan yang melanggar agar tidak melakukan lagi, dan agar diterima
kembali dilingkungan masyarakat. Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang
tidak sehat atau yang melakukan perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang
yang sudah terlanjur berbuat tidak baik.

Sedangkan fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama
saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup
dalam kemasyarakatan atau menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat dan fungsi
hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum terhadap

3
perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa
pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya
lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-aturan untuk
melindungi yang pihak yang telah dirugikan. Adapun asas-asas hukum pidana yaitu :

 Asas Legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan bisa dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Bila sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka
yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1
Ayat (2) KUHP)
 Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Yaitu untuk menjatuhkan pidana kepada
orang yang sudah melakukan tindak pidana, harus dilakukan jika ada unsur
kesalahan pada diri orang tersebut.
 Asas teritorial, artinya yaitu ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas
semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial
Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia,
pesawat terbang Indonesia, & gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara
asing (pasal 2 KUHP).
 Asas nasionalitas aktif, yang artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5
KUHP).
 Asas nasionalitas pasif, yang artinya yaitu ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4
KUHP)

B. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)


1. Pengertian dan Ruang Lingkup KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
KUHP adalah peraturan undang-undang yang menjadi dasar hukum pidana di
Indonesia. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ialah sebuah kitab hukum
yang didalamnya berisi tentang kumpulan Undang-undang hukum Pidana. Yang

4
dimaksud dengan Undang-undang Hukum Pidana ialah peraturan hidup (norma) yang
ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya. Norma yang diikuti
dengan sanksi atau hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya.
Jika Undang-undang Hukum Pidana diartikan secara sempit, maka yang berhak
membuatnya ialah badan Legislatif tertinggi (DPR) bersama Pemerintah. Namun, jika
Undang-undang Hukum Pidana diartikan secara luas, maka yang berhak membuatnya
adalah semua badan Legislatif dan semua orang yan mempunyai kekuasaan
Ekseskutif.
Suatu Undang-undang dinyatakan berlaku sejak tanggal yang ditetapkan dalam
Undang-undang itu sendiri. Sedangkan mengenai kapan berakhirnya suatu Undang-
undang terdapat beberapa alasan yang dapat mendasarinya. Diantaranya yaitu, bila
telah ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang lama.
Sedangkan ruang lingkup dari Undang-ndang hukum pidana itu terbagi menjadi
dua, yaitu secara negatif dan secara positif. Yang dimaksud dengan secara negatif
yaitu mengenai berlakunya Undang-undang Hukum Pidana berdasarkan waktu.
Kemudian yang dimaksud dengan secara positif yaitu berdasarkan dengan tempat.
2. Sejarah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) di Indonesia
Orang-orang Belanda dengan melewati lautan dan samudra luas menuju dan
menetap di tanah-tanah jajhannya, membawa hukumnya sendiri yang berlaku
baginya. Maka pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, sejak semula ada
dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri
untuk orang-orang Belanda dan lain-lainuntuk orang-orang Eropa merupakan jiplakan
dari hukum yang berlaku di negeri Belanda, dan ada peraturan-peraturan hukum
tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.
Untuk orang-orang Eropa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
termuat dalam firman Raja belanda taggal 10 february 1866 No. 4 yang mulai berlaku
1 January 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan Timur Asing, berlaku
suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang termuat dalam ordonantic tanggal 6
Mei 1872 yang mulai belaku tanggal 1 Januari 1873. Pada saat itu, kedua Kitab
Undang-undang Hukum Pidanaadalah jiplakan dari code Penal Negara Perancis oleh

5
Napoleon Bonaparte yang dinyatakan berlaku di Belanda saat itu karena Belanda
ditaklukkan oleh Napoleon.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia baru dibentuk sesuai Firman
Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, yang diberlakukan mulai 1 Januari 1918,
yang menggantikan kedua hukum pidana bagi golongan Eropa dan golongan
Indonesia serta golongan Timur Asing, yang berlaku secara nasional bagi semua
penduduk Indonesia dengan Firman Raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatsblad
1917 nomor 497) yang mengatur tentang peralihan dari hukum pidana lama menjadi
hukum pidana baru. Perkembanga selanjutnya ketika pada zaman penjajahan Jepang
di Indonesia dan ketikapermulaan kemerdekaan Indonesia, melalui peraturan
peralihan UUD Republik Indonesia 1945 pasal 2 aturan peralihan yang menyatakan:
“Bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Filosofi yang terkandung dalam
pasal 2 aturan peralihan ini karena badan-badan Negara di Indonesia belum terbentuk.
Sehingga untuk menghindari kevakuman perundang-undangan hukum pidana
diberlakukan hukum pidana yang telah ada bagi penduduk Indonesia secara nasional
sambil menunggu terbentuknya hukum pidana yang baru.”
Dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, yang termuat
dalam lembaran berita Republik Indonesia II No. 9 ditegaskan bahwa, hukum pidana
yang berlaku di Indonesia dengan tidak menyimpang seperlunya dari aturan presiden
Republik Indonesia tanggal 10 Oktober 1945 No. 2 yang isinya sebagai berikut:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada, sampai
berdirnya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
selama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku asal saja
tidak bertentangan dengan UUD.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya UU No. 1 tahun 1946 dilakukan perubahan yang mendasar terhadap
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, ditentukan bahwa hukum pidana
yang berlaku sekarang adalah pada tanggal 8 mret 1942, ketika pemerintah Hindia
Belanda menyerah pada tentara Jepang yang berkuasa di Indonesia sampai dengan
tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai perubahan-perubahan atau penambahan

6
disesuaikan dengan keadaan negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van
Strafrecht, yang dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentunya harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Strafrecht atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sampai kini punmasih di dalam bahasa
Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 yang
teksnya sudah dalam Bahasa Indonesia, termasuk yang dipegang dalam pelaksana
hukum (hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara) terjemahan di dalam bahasa Indonesia,
corak dan ragamnya tergantung selera penerjemah termasuk yang dipakai oleh Dosen
maupun Mahasiswa..
Dengan berlakunya UU No. 73 tahun 1958 pada tanggal 2 September 1958
tentang, “Menyatakan berlakunya UU No.1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang
peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Sehingga dengan demikian jelas berlaku satu
hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dengan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) yang kita kenal dan berlaku hingga saat ini. Nama
KUHP yang resmi disebut dalam pasal VI Undang-undang No. 1 tahun 1946, yaitu
berbunyi “Ayat 1 nama Undang-undang Hukum Pidana Wetboekk van Strafrecht.
Ayat 2 Udang-undang tersebut dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
C. kedudukan hukum adat di hadapan hukum pidana
Bila ditelusuri tata hukum Indonesia, kita dapat menemukan adanya beberapa
peraturan perundang-undangan yang esensinya mengandung makna sebagai aturan yang
memberi tempat bagi pemberlakuan hukum pidana adat dalam praktik peradilan pidana.
Peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya adalah:
1. UU Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil;
2. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pembentuk undang-undang telah membangun jembatan yuridis untuk


mengaktualisasi hukum pidana adat dalam praktik peradilan pidana melalui ketentuan
Pasal 5 (3) sub b Nomor 1 Drt Tahun 1951. Di dalam ketentuan tersebut dirumuskan

7
aturan yang dapat dipahami, bahwa bagi mereka yang dinyatakan bersalah menurut
hukum adat, namun tidak menjalani hukumannya, maka perbuatannya tetap dianggap
sebagai perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 bulan penjara
berdasarkan KUHP. Artinya, perbuatan yang di dalam masyarakat diakui sebagai
perbuatan yang melanggar hukum pidana adat tetap dianggap sebagai perbuatan pidana
yang diancam dengan hukuman menurut ketentuan KUHP.

Di samping itu, berbagai ketentuan yang terkandung di dalam UU Kekuasaan


Kehakiman, sejak dari UU Nomor 14 Tahun 1970, sampai pada UU Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat pula diposisikan sebagai aturan yang
memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tersebut meliputi:

1. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan, bahwa “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Kata “menurut hukum” dapat diartikan secara luas mencakup legalisasi formil dan
materiil. Pasal ini merupakan petunjuk bagi hakim untuk senantiasa memperhatikan
peraturan tertulis dan hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, apabila
hendak menegakkan keadilan;
2. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan, bahwa “hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”;
3. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa “pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”. Jika kata “hukum” yang dimaksud dalam
rumusan ini adalah yang tertulis, maka hakim wajib memeriksa dan mengadili
perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukum tertulis itu tidak secara nyata
mengaturnya. Dengan demikian hakim harus menggali hukum yang tidak tertulis
(hukum yang hidup).
4. Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menentukan, bahwa “putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal

8
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Meskipun pembentuk undang-undang telah membuat pengaturan bagi pemberlakuan


hukum pidana adat (sekalipun tidak eksplisit), namun sayangnya, berdasarkan
pengamatan selama ini, terungkap bahwa rumusan normatif itu cenderung kurang
mendapatkan perhatian untuk diterapkan penegak hukum. Oleh karena itu, hukum pidana
yang akan datang (“ius constituendum”) mempertegas pengakuan terhadap keberadaan
hukum pidana adat. Pembuat Konsep RUU KUHP dalam beberapa rumusan
menempatkan hukum pidana adat pada posisi yang cukup strategis seperti terlihat dalam
rumusan pasal-pasal berikuit

1. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan”.
2. Pasal 51 ayat (1) huruf c menentukan, “pemidanaan bertujuan”: “menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”;
3. Pasal 64 ayat (1) yang menentukan sanksi pidana tambahan, di antaranya adalah
“pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup”.

Sekalipun pembuat konsep masih tetap menempatkan asas legalitas sebagai asas yang
fundamental, namun pemberlakuannya tidak mengurangi berlakunya hukum pidana adat.
Itu berarti pembuat konsep tidak lagi secara kaku merumuskan asas legalitas seperti yang
dikenal dalam hukum pidana selama ini. Pembuat konsep telah mengakomodasi kerangka
berpikir hukum bangsanya sendiri di tengah pergaulan antar bangsa yang memang tidak
bisa kita abaikan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang
diatur dalam Bab XXII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
merupakan masalah yang tak ada habis-habisnya. Unsur-unsur Tindak pidana pencurian
dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam pasal 362 KUHP itu terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif. Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian itu
ada berupa pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, dan pencurian ringan Faktor
pemicu tindak pidana pencurian itu ada faktor internal dan faktor eksternal, faktor
internal itu seperti niat pelaku dalam melakukan pencurian itu

10
DAFTAR PUSTAKA

Gunadi, Ismu. dkk. 2014, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.

Kansil, C.S.T. dkk. 2010, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Syarifin, Pipin. 2008. Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai