Anda di halaman 1dari 71

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INDONESIA

Karangan : Roni Wiyanto, S.H., M.H.

BOOK REPORT

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Pidama

Dosen Pengampu:
Dr. Dadang Sundawa, M.Pd
Dr. Susan Fitriasari, M.Pd
Dwi Iman Muthaqin, S.H, M.H
Kanigara Hawari, S.H, M.H

Oleh:

Triyani

1901135

PKN 2019 B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2020
IDENTITAS BUKU

Judul : Asas -Asas Hukum Pidana Indonesia

Karang : Roni Wiyanto, S.H., M.H

Penerbit : CV. Mandar Maju

Tahun Terbit : 2012

Cetakan : Kesatu

Tebal Buku : 388 halaman

ISBN : 978-979-9462-86-2

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT., berkat rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan buku ini. Buku yang dikupas ini
berjudul “ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INDONESIA”. yang ditulis oleh Roni
Wiyanyo S.H., M.H. Laporan Buku ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Nilai dan Moral.

Meskipun masih banyak kekurangan-kekurangan dari cara pengupasan


materi-materinya. Mudah-mudahan sedikit banyaknya dapat menambah wawasan
mengenai hukum internasional, khususnya bagi penulis. Tidak lupa, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan laporan buku ini.

Terima kasih.

                                                       Subang, Januari 2020


                                                                        Penulis,

Triyani

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Hukum Pidana dan Masyarakat
Ungkapan klasik "ubi societas ibi lus" hingga sekarang masih relevan untuk
menggambarkan keberadaan hukum yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Bahwa
manusia hidup bermasyarakat membutuhkan peraturan-peraturan yang disebut
hukum, yaitu suatu norma yang mengatur perilaku hidup manusia, Hukum diperlukan
untuk melindungi berbagai kepentingan manusia yang jumlah dan sifatnya tak
terhingga banyaknya, yang dimungkinkan akan saling bertemu dalam suatu hubungan
hubungan tertentu, dimana pertentangan yang sangat tajam seringkali menimbulkan
suatu akibat negatif yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa
keadilan.
Hukum sebagai suatu norma berfungsi mengatur perilaku atau perbuatan-
perbuatan manusia yang boleh dilakukan atau dilarang sekaligus dipedomani bagi
manusia untuk berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta suatu
ketertiban atau keteraturan hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan ketertiban
hidup dalam masyarakat, maka sifat memaksa daripada norma hukum dirasakan
belum cukup puas menjamin agar norma hukum itu dihormati dan ditaati, melainkan
norma hukum masih harus dilengkapi dengan sarana lain berupa sanksi atau
hukuman. Inilah yang menjadi tugas hukum pidana yang berfungsi untuk
menegakkan dan mempertahankan norma-norma dengan sanksi atau hukuman.
Dengan perkataan lain, hukum pidana hakikatnya adalah norma dan sanksi atau
hukum tentang sanksi.
B. Pengertian Hukum Pidana
1. Simons
Menurut Simons digolongkan menjadi dua bagian, sebagai berikut : Hukum pidana
dalam arti objektif (strafrecht in objectieve zih) adalah keseluruhan dari larangan-
larangan dan keharusan keharusan yang asas pelanggarannya oleh negara atau oleh
suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan

1
yang bersifat khusus berupa hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di
mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu diatur serta keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari
hukumannya itu sendiri, Sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif (straffrecht in
subjectieve zin) dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu :
1) Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yakni hak
yang telah mereka peroleh dari peraturan peraturan yang telah ditentukan oleh
hukum pidana dalam arti objektif. Pengertian hukum pidana dalam arti yang
demikian merupakan peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi
kekuasaan dari negara untuk menghukum.
2) Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturannya
dengan hukuman. Pengertian hukum pidana poniendi. dalam arti subjektif
yang demikian juga disebut sebagai ius puniendi.
2. Jan Remmelink
Jan Remmelink di dalam merumuskan apa yang dimaksud hukum pidana dengan
membedakan menjadi dua golongan, sebagai berikut :
a. Hukum pidana dalam arti objektif adalah keseluruhan ketentuan yang
menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara tersebut
berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai mengenai pidana, serta
aturan-aturan yang merumuskan pidana macam apa saja yang diperkenankan.
Dalam arti objektif ini hukum pidana mencakup tiga hal, sebagai berikut :
1) Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ
yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan pidana, yakni
norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun;
2) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi pelanggaran norma-norma itu, yakni hukum
penitensier atau hukum tentang sanksi;
3) Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu
menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma.

2
b. Hukum pidana dalam arti subjektif adalah hak dari negara dan organ-
organnya untuk mengkaitkan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu.
Tujuan hukum pidana dalam arti ini untuk menciptakan hukum pidana ius
poenale Jadi, hukum pidana ius puniendi merupakan ketentuan-ketentuan
yang mengatur hak-haknegara dengan organ-organnya untuk menjatuhkan
pidana kepada seseorang atas pelanggaran terhadap hukum pidana ius
poenale, dimana hak-hak tersebut mencakup dalam hal penuntutan,
penjatuhan pidana dan eksekusi pidananya.
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum pidana bertujuan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa atau siapa
sajakah yang dapat dipidana serta sanksi-sanksi apa sajakah yang tersedia. Sudikno
Mertokusumo merumuskan hukum pidana dengan membedakan menjadi dua jenis,
sebagai berikut :
a. Hukum pidana materiil; dan
b. Hukum pidana formil.
4. Satochid Kartanegara
Satochid Kartanegara dalam merumuskan hukum pidana dengan membedakan
hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu :
Hukum pidana dalam arti objektif adalah sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan tentang di mana terdapat
pelanggarannya diancam dengan hukuman (pidana),
Hukum pidana dalam arti objektif masih dibedakan lagi menjadi dua golongan, yaitu :
1) Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang berisikan peraturan-
peraturan tentang:
a) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman (strafbaregeiten);
b) Siapa-siapa yang dapat dihukum atau mengenai pertanggungjawaban
terhadap hukum pidana;
c) Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.

3
2) Hukum pidana formil adalah sejumlah peraturan-peraturan yang
mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan
hukuman.
Hukum pidana secara subjektif adalah sejumlah peraturan yang perbuatan yang
dilarang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan tindak
pidana.
Hak negara untuk menghukum tersebut mencakup tiga hal, yaitu :
1) Hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan tertentu dengan pidana;
2) Hak menjatuhkan pidana melalui alat-alat perlengkapan negara (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan); dan
3) Hak melaksanakan pidana melalui alat-alat perlengkapan negara.
5. Moeljatno
Moeljatno merumuskan hukum pidana sebagai bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan,
untuk menentukan:
1. Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
2. Kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
3. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Definisi hukum pidana yang dirumuskan Moeljatno tersebut di atas pada butir 1
untuk menunjukkan perbuatan pidana yang dirumuskan dalam hukum pidana, dan
butir 2 untuk menunjukkan pertanggungjawaban hukum pidana atau sanksi
pidananya. Rumusan hukum pidana pada butir 1 dan 2 tersebut merupakan apa yang
disebut hukum pidana material. Sedang rumusan pada butir 3 untuk menunjukkan
hukum pidana formil (hukum acara pidana), yaitu peraturan-peraturan mengenai

4
bagaimana cara atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan bagi orang-
orang yang disangka melakukan perbuatan pidana.
6. Suroso
Menurut Suroso, hukum pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur/menerangkan perbuatan mana yang merupakan kejahatan atau pelanggaran,
serta hukuman mana yang dapat dijatuhkan oleh karena kejahatan atau pelanggaran
tersebut, di mana hukum pidana tersebut digolong-golongkan, sebagai berikut :
a. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif.
b. Hukum pidana sipil adalah hukum pidana yang hanya berlaku terhadap orang sipil
atau umum saja
c. Hukum pidana militer adalah hukum pidana yang hanya berlaku kepada anggota
militer atau yang dipersamakan.
d. Hukum pidana fiskal adalah hukum pidana yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan pajak negara.
7. Soedarto
Menurut Soedarto bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif,
yaitu hukum pidana itu akan diterapkan apabila sarana lain sudah tidak memadai
sehingga ia berfungsi sebagai subsider.
C. Hukum Pidana sebagai Hukum Publik
Hukum pidana dapat dikatakan sebagai hukum publik apabila memenuhi ciri-ciri,
sebagai berikut :
1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang
perorangan.
2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi daripada orang disubordinasikan
kepada penguasa,
perorangan, atau dengan perkataan lain bahwa orang perorangan
3. Penuntutan seseorang tidak tergantung kepada perorangan, melainkan pada
umumnya negara atau penguasa wajib menuntut seseorang tersebut.
4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum objektif atau
hukum pidana positif.

5
D. Subjek Hukum Pidana
Pada awalnya yang menjadi subjek hukum pidana adalah manusia (natuurlijke
persoon), akan tetapi dalam perkembangannya ada subjek hukum pidana yang bukan
manusia yaitu apa yang disebut korporasi (recht persoon).
1. Manusia
Apabila diperhatikan pengertian tindak pidana, maka salah satu syarat harus ada
perbuatan manusia artinya hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana. Jadi,
pada dasarnya manusia adalah subjek hukum pidana. Manusia sebagai subjek hukum
pidana sebenamya dengan mudah segera dapat diketahui dengan memperhatikan
rumusan tindak pidana dalam KUHP maupun lain-lain peraturan perundang-
undangan di luar KUHP. Pernyataan yang menyebutkan manusia sebagai subjek
hukum pidana biasanya diawali kata-kata : barangsiapa atau setiap orang atau
menyebut kualitas tertentu yang melekat pada diri pelakunya.
2. Korporasi
Korporasi adalah subjek hukum sebagaimana manusia, yaitu korporasi juga
menyandang sebagai penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. artinya
kedua subjek hukum itu sama-sama dapat melakukan kewenangan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban. sehingga kedua subjek hukum itu dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum apabila melakukan tindakan yang melanggar
dari aturan hukum atau merugikan subjek hukum lainnya.
E. Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Kriminologi
1. Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana
Ilmu pengetahuan hukum pidana merupakan suatu metode penyelidikan terhadap
objek hukum pidana yang berlaku terutama berkenaan dengan asas-asas dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku atau hubungan antara asas dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku dan hukum pidana yang bersangkutan. Selain itu, ilmu
pengetahuan hukum pidana juga merupakan suatu metode guna menemukan asas-asas
hukum pidana yang sesuai dengan pembentukan peraturan- peraturan pidana. Jadi,
ilmu pengetahuan hukum pidana bertujuan untuk mengetahui dan mendiskripsikan
suatu pengertian, maksud dan tujuan hukum pidana secara objektif.

6
2. Kriminologi
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan bertujuan untuk mempelajari sebab-sebab
timbulnya kejahatan atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi seseorang atau
kelompok masyarakat untuk melakukan kejahatan, serta mempelajari cara
penanggulangan dan pemberantasan kejahatan.
Kriminologi sebagai gejala masyarakat, maka ruang lingkup penyelidikan
kriminologi mencakup beberapa hal, sebagai berikut :
1. Sebab musabab yang mendorong timbulnya kejahatan
2. Hubungan hubungan perilaku jahat dan reaksi-reaksi masyarakat terhadap perilaku
jahat tersebut
3. Tindakan-tindakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan
4. Proses perumusan undang-undang hukum pidana
5. Reaksi-reaksi masyarakat terhadap undang-undang hukum pidana positif.
Dalam literatur literatur pada umumnya pengetahuan kriminologi dibedakan
menjadi dua teori, yaitu : criminile aetiologie (etiologi kriminil) dan criminile politiek
(politik kriminil).
a. Criminlle Aetiologie
Istilah detologle berasal dari kata "setas yang berarti "sebab-sebab", Jadi criminile
aetiologie adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab terjadinya
kejahatan. Etiologi kriminil ini masih dibedakan menjadi tiga teori, yaitu :criminile
antropologie, criminile sociologie dan criminile convergerite (gabungan). Tujuan
ketiga teori ini bertitik pangkal penyelidikan yang sama, yaitu mempelajari dan
menemukan faktor-faktor penyebab manusia melakukan kejahatan.
b. Criminile Politiek
adalah teori kriminologi yang bertujuan untuk menyelidiki dan menemukan
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan pemberantasan
kejahatan. Tindakan atau gara-gara pemberantasan baru dapat dilakukan setelah
diketahui sebab-sebab timbulnya kejahatan. Menurut bentuknya tindakan politik
kriminil dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : perseorangan atau individu dan
kemasyarakatan.

7
BAB II

HUKUM PIDANA YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. KUHP yang Berlaku Sekarang


KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang adalah KUHP Warisan Pemerintah
Kolonial Belanda yang disebut Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie
(W.v.S.NI). W.v.s.NI ini diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan asas
concordantie (asas penyesuaian). Setelah masa kemerdekaan sejak proklamasi 17
Agustus 1945 W.v.S.NI masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, yang berbunyi:
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Pemberlakuan peraturan-peraturan hukum warisan Pemerintah Kolonial Belanda
dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum). Hal ini disebabkan
untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia adalah sangat dibutuhkan pembicaraan yang tidak mudah dan

8
waktu yang sangat panjang. Hemat penulis, adalah tepat para pendiri Negara
merumuskan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang memberlakukan
segala badan negara dan peraturan yang ada untuk mengisi rechts vacuum sambil
mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap sistem hukum yang telah ada dan masih
berlaku. Artinya, ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan funding
fathers yang memberikan amanat kepada generasi penerus bangsa untuk mewujudkan
cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu membentuk sistem hukum nasional yang
sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Perubahan pertama terhadap KUHP Indonesia baru dimulai sejak ditetapkan UU
No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana pada tanggal 26 Februari 1946. Undang-
undang ini pada dasarnya masih memberlakukan hukum pidana yang berlaku sejak
tanggal 8 Maret 1942. Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1946,
yang berbunyi:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia
tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan
hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum
pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.
Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1946, maka semua peraturar hukum pidana
yang dikeluarkan oleh Panglima Bala tentara Hindia Belanda dinyatakan sudah tidak
berlaku lagi, sebagaimana ketentuan yang dijabarkan Pasal 2 yang berbunyi :
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara
Hindia Belanda dulu (Verordeningen van he Millais Gezo) dicabut.
B. Sistematika KUHP Indonesia
Sebagaimana telah diketahui sumber hukum pidana materiil (substantive
criminal-law) yang berlaku di Indonesia sampai sekarang Ini adalah KUHP atau
W.v.S (Wetboek van Strafrecht) beserta perubahan-perubahannya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. KUHP yang terdiri atas 569 pasal ini berlaku
bagi setiap warga negara Indonesia kecuali anggota militer (ABRI : Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia) atau yang dipersamakan dengan mereka.

9
Ditinjau dari sistematikanya, ketentuan KUHP dikelompokkan menjadi tiga buku,
yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum (AlgemeneLeerstrukken), Buku II tentang
Kejahatan (Misdrijven), dan Buku III tentang Pelanggaran (Overstrdingen).
Ketentuan yang tersebut dalam Buku II dan Buku III pada umumnya disebut
ketentuan khusus.
1. Ketentuan Umum (Algemene Leerstrukken)
Ketentuan dalam Buku I KUHP terdiri atas 9 Bab dan 103 Pasal, mulai Pasal 1
sampai Pasal 103, sebagai berikut :
Bab I : batas-batas berlakunya aturan pidana dalam Perundang-undangan
(Pasal 1 - 9);
Bab II : pidana (Pasal 10-43);
Bab III : hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau Memberatkan pidana
(Pasal 44 - 52);
Bab IV : percobaan (Pasal 53 - 54);
Bab V : penyertaan dalam tindak pidana (Pasal 55 - 62);
Bab V : perbarengan tindak pidana (Pasal 63-71);
Bab VII: mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-
kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan (Pasal 72 - 75);
Bab VIII : hapusnya kewenangan menuntut pidana dan men- jalankan pidana
(Pasal 76 - 85);
Bab IX : arti beberapa istilah yang dipakai dalam Kitab Undang-undang
(Pasal 86-103).
Dikatakan sebagai ketentuan umum, karena ketentuan-ketentuan hukum picana
yang terdapat dalam Buku I KUHP berlaku untuk semua lapangan hukum pidana,
yaitu selain diberlakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHP
maupun lain-lain peraturan perundang-undangan di luar KUHP kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang bersangkutan. Ketentuan
yang bersifat umum ini sebagaimana dijabarkan Pasal 103 KUHP sebagai aturan
penutup, yang berbunyi :

10
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku ini juga bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain.
2. Ketentuan Khusus
Ketentuan-ketentuan khusus di dalam KUHP yang meliputi Buku II dan Buku III.
Buku II memuat ketentuan-ketentuan mengenai perbuatan-perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan, sedang Buku III memuat ketentuan-ketentuan
mengenai perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Akan
tetapi, pembentuk undang-undang sendiri telah tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kejahatan atau pelanggaran, tetapi hanya mengkualifikasikan perbuatan-
perbuatan yang disebut sebagai kejahatan adalah yang termuat dalam Buku II dan
perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai pelanggaran termuat dalam Buku III.
C. Beberapa Undang-undang Mengenai Perubahan KUHP
Selain UU No.1 Tahun 1946, UU No.73 Tahun 1958 dan Dekrit presiden 5 Juli
1959 sebagai dasar hukum masih berlakunya sumber hukum materiil KUHP, masih
terdapat beberapa undang-undang yang bertujuan mengadakan perbaikan-perbaikan
terhadap ketentuan pasal-pasal dalam KUHP, baik mengubah, menambah, dan
mengurangi. Beberapa undang-undang yang dimaksud, sebagai berikut :
1. UU No. 20 Tahun 1946
Ancaman pidana pokok yang dirumuskan dalam Pasal 10 huruf a KUHP
sebelum berlakunya UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan hanya terdiri
atas empat jenis, yaitu : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana
denda. UU No. 20 Tahun 1946 tersebut ditetapkan pada tanggal 31 Oktober 1946,
tetapi mulai berlaku sejak diumumkan pada tanggal 1 November 1946. Setelah
berlakunya undang-undang tersebut, maka jenis pidana pokok yang diatur dalam
Pasal 10 huruf a KUHP ditambah hukuman (pidana) tutupan, sehingga jenis pidana
pokok yang diatur di dalam Pasal 10 huruf a KUHP terdiri dari lima jenis, yaitu :
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.

11
Mengenai jenis-jenis pidana pokok termasuk jenis pidana tambahan dan tindakan
secara lebih mendalam akan dibicarakan dalam Bab III tentang Pidana, Pemidanaan
dan Tindakan. Selanjutnya hukuman tutupan dalam UU No. 20 Tahun 1946 ini juga
menambahkan jenis pidana pokok yang dirumuskan Pasal 6 huruf a KUHPT (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Tentara). Dasar hukum dikeluarkan UU No. 20
Tahun 1946 ini Pasal 20 ayat (1) berhubung dengan Pasal IV Aturan Peralihan UUD
1945 dan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945.
2. UU No.1 Tahun 1960
UU No. 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP diundangkan dan mulai berlaku
pada tanggal 5 Januari 1960. Undang-undang ini bertujuan mengubah ancaman
pidana terhadap Pasal 359 KUHP (menyebabkan orang mati karena kesalahan), Pasal
360 KUHP (menyebabkan orang luka berat karena kesalahan) dan Pasal 188 KUHP
(menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau banjir) dengan
menambah kuantitas ancaman pidana, karena terhadap ketiga jenis tindak pidana atau
delik tersebut dipandang terlalu ringan istimewa untuk keadaan lalu-lintas dan
keadaan perumahan dan padatnya penduduk, di kota-kota pada waktu sekarang,
sehingga perlu diperberat.
Latar belakang dan tujuan diadakan UU No. 1 Tahun 1960 karena sudah lama
dirasakan perlu adanya tindakan tegas terhadap keteledoran orang yang menyebabkan
orang mati atau luka berat, teristimewa terhadap pengemudi-pengemudi kendaraan
bermotor, yang karena kelalaian atau sifatnya kurang mengindahkan nilai jiwa
sesama manusia; menyebabkan terjadi kecelakaan kecelakaan lalu-lintas berupa
tubrukan-tubrukan, terjerumusnya kendaraan dalam jurang atau kali atau
bergulingnya kendaraan karena terlampau banyaknya muatan berupa barang atau
orang atau karena putus asa atau kebakaran karena kurang perawatan atau penelitian
sebelum mengemudi kendaraan itu, yang semuanya itu meminta korban manusia.
3. UU No.7 Tahun 1974
No. 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian diundangkan dan mula berlaku
pada tanggal 6 November 1974. Pasal 1 dalam undang-undang ini menyatakan bahwa
semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Oleh karena itu, ketentuan-

12
ketentuan mengenai perjudian yang dinyatakan dalam beberapa pasal KUHP perlu
diadakan perubahan.
Berikut ini beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang dan tujuan
munculnya UU No. 7 Tahun 1974, sebagaimana bunyi konsideran sebagai berikut :
a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama Kesusilaan
dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, Bangsa dan Negara;
b. bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan
perjudian, membatasinya sampai kepada lingkungan sekecil-kecilnya, untuk
akhirnya menuju ke penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah
Indonesia;
c. bahwa ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 7 Maret 1912
(Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah
dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935
(Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526) telah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan
d. bahwa ancaman hukuman didalam pasal-pasal Kitab undang-undang
Hukum Pidana mengenai perjudian dianggap tidak sesuai lagi sehingga perlu
diadakan perubahan dengan memberatkannya
e. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas perlu disusun
Undang-undang tentang Penerbitan Perjudian.
4. UU No. 4 Tahun 1976
UU ini berisi tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP.
Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan
Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Undang-
Undang ini diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 27 April 1976 (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080).
5. UU No. 27 Tahun 1999
UU No. 27 Tahun 1999 adalah undang-undang tentang perubahan KUHP
berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Undang-undang ini disahkan

13
dan diundangkan pada tanggal 19 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3850).

14
BAB III

LINGKUNGAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A. Persyaratan Mengikat Berlakunya Hukum Pidana

Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi alasan bagi hukum pidana
memuat perbuatan-perbuatan seseorang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang
memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana, sebagai berikut :

1. Hukum pidana yang dicita-citakan (ius constituendum) adalah melukiskan


proses pembentukan hukum pidana atau hal-hal yang mempengaruhi dibalik
pembentukan hukum pidana;

2. Hukum pidana yang berlaku sekarang (ius constitutum atau ius


operandum), adalah hukum pidana yang harus diterapkan oleh pengadilan,
baik yang diatur dalam KUHP maupun peraturan-peraturan diluar KUHP; dan

3. Hukum pidana yang benar-benar diterapkan untuk suatu perbuatan konkret


(ius operatum), adalah melukiskan penerapan hukum pidana yang dilakukan
oleh pengadilan dalam memberikan keputusan terhadap perkara-perkara
pidana yang ditanganinya.

B. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Ketentuan yang menjadi dasar pertama bagi berlakunya hukum pidana di


Indonesia adalah asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang
berbunyi :

(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan


ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

15
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.

Rumusan Pasal 1 KUHP di atas, secara sepintas memberikan pengertian


mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, tetapi maksud yang sebenarnya
adalah orangnya yang melakukan suatu delik yang diancam dengan pidana. Perbuatan
yang dapat dipidana tidak hanya dilakukan karena kesengajaan (dolus), melainkan
dapat berupa suatu kelalaian (culpa) yang tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu
yang diharuskan oleh hukum pidana. Hal ini sebagaimana ketentuan yang diatur
dalam hukum pidana adalah memuat dan mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang atau diharuskan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.

1. Ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan asas legalitas (principale of


legality) yang menyatakan bahwa dapat dipidananya seseorang atas suatu delik yang
dilakukan apabila delik itu telah dinyatakan secara tertulis dalam undang-undang
pidana. Asas legalitas ini adalah dasar utama dan mempunya arti penting dalam
menentukan pertanggungjawaban dari seseorang yang melakukan suatu delik, karena
suatu perbuatan yang dilakukan seseorang sebelum dinyatakan secara tertulis sebagai
suatu delik dalam undang-undang pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dituntut dan
tidak dapat dipidananya seseorang. Jadi, suatu undang-undang pidana hanya
mempunyai kekuatan berlakunya untuk masa depan sejak tanggal diundangkan dan
tidak diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan sebelum undang-undang pidana itu
diadakan atau diundangkan.

2. Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) KUHP

Berlakunya asas legalitas yang ditentukan Pasal 1 ayat (1) KUHP ternyata tidak
diterapkan secara murni dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Asas
legalitas menjadi tidak berlaku apabila undang-undang pidana yang diadakan
menentukan lain. Ketentuan undang-undang pidana dapat berlaku surut atau bersifat

16
retroaktif sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai pengecualian
asas legalitas, yaitu apabila terdapat perubahan undang-undang pidana setelah tindak
pidana itu dilakukan, maka ketentuan pidana yang didakwakan kepada terdakwa
dipilihkan ketentuan pidana yang paling menguntungkan atau yang teringan. Asas
legalitas pada dasarnya dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu asas legalitas dalam arti
formil dan asas legalitas dalam arti materiil, sebagai berikut :

1. Asas Legalitas Formil

Asas legalitas dalam arti formil adalah suatu perbuatan yang dilarang atau
diharuskan dan diancam dengan pidana harus dinyatakan secarategas dalam peraturan
perundang-undangan. Artinya, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana dan diancam dengan pidana harus dicantumkan dalam undang-undang.
Pengertian asas legalitas secara formil ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan
seseorang tetapi tidak tercantum dalam undang-undang pidana bukan sebagai tindak
pidana dan tidak dapat dipidananya pelaku yang bersangkutan.

2. Asas Legalitas Materiil

Konsekuensi asas legalitas secara formil akan menutup kemungkinan


diberlakukannya ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku berdasarkan kesadaran
hukum masyarakat atau hukum kebiasaan dalam sistem penegakan hukum pidana di
Indonesia. Hal ini akan menimbulkan persoalan dari penegakan hukum pidana yang
bertujuan melindungi kepentingan hukum untuk menciptakan ketertiban hukum
masyarakat Karena, apabila asas legalitas dalam arti formil diberlakukan secara murni
kemungkinan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang yang dianggap tercela dan
merugikan kepentingan masyarakat akan dianggap bukan sebagai tindak pidana atau
perbuatan jahat menurut undang-undang pidana, misalnya KUHP, karena perbuatan
itu belum dinyatakan secara tertulis dalam undang-undang.

Persoalan di atas, maka penegakan hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan
hanya didasarkan asas legalitas secara formil sebagaimana jenis-jenis tindak pidana
yang dirumuskan (tertulis) dalam. KUHP maupun peraturan perundang-undangan di

17
luar KUHP. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan yang dijabarkan Pasal 27 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yang berbunyi :

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

C. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat dan Orang

Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP mengatur kekuatan berlakunya diterapkan bagi
setiap. orang yang melakukan sesuatu tindak hukum pidana Indonesia menurut
waktu, yaitu kapan tindak pidana dilakukannya atau disebut asas legalitas.
Selanjutnya akan dibicarakan kekuatan berlakunya hukum pidana dari dimensi
tempat, yaitu di mana tempat terjadinya tindak pidana sekaligus kepada siapa hukum
pidana akan diberlakukan. Kekuatan berlakunya hukum pidana menurut tempat dan
orang ini diatur dalam Pasal 2 sampai dengan 9 KUHP yang akan mencakup empat
asas, yaitu asas teritorial, asas personal, asas perlindungan dan asas universal.

1. Asas Teritorial atau Asas Wilayah

Asas teritorial atau disebut asas wilayah adalah asas berlakunya hukum pidana
pada suatu wilayah negara yang bersangkutan. Asas ini berlaku karena dilandaskan
pada kedaulatan negara dan merupakan asas pokok berlakunya hukum pidana. Bagi
Indonesia, asas teritorial bagi berlakunya hukum pidana diatur dalam Pasal 2 dan 3
KUHP. Pasal 2 KUHP berbunyi:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dengan Indonesia bagi setiap


orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.

Asas teritorial sebagaimana ditentukan Pasal 2 KUHP di atas, yang menjadi dasar
kekuatan berlakunya hukum pidana adalah wilayah dari negara itu sendiri. Asas ini
tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah negara itu.
Siapapun, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing apabila
melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia, maka ketentuan hukum pidana

18
berlaku bagi mereka. Yang dimaksud dengan batas wilayah negara adalah garis batas
yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum
internasional.

Berlakunya asas teritorial tersebut bertolak dari satu pemikiran, bahwa setiap
negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di dalam wilayah negaranya
masing-masing. Dengan demikian, berlakunya asas ini didasarkan pada asas
kedaulatan negara suatu bangsa, yang meliputi seluruh wilayah negara yang
bersangkutan, sehingga setiap orang yang secara tetap maupun yang untuk sementara
berada dalam wilayah negara tersebut, harus mentaati dan menundukkan diri pada
segala perundang-undangan yang berlaku di negara itu.

Wilayah negara Indonesia sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 UU No. 43 Tahun


2008 yang berbunyi:

Wilayah negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan
tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung di dalamnya.

2. Asas Personalitas atau Nasional Aktif

Asas personalitas adalah asas kekuatan berlakunya hukum dengan menitikberatkan


kepada status kewarganegaraan si pelaku tindak pidana, Artinya, kekuatan berlakunya
hukum pidana suatu negara akan selalu mengikuti kemanapun warga negaranya
berada, sehingga asas ini disebut asas nasional aktif. Dengan perkataan lain, hukum
pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga negara Indonesia di mana ia berada.

Ketentuan mengenai asas personalitas berlakunya hukum pidana ini dijabarkan di


dalam Pasal 5, yang berbunyi :

(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga


negara yang di luar Indonesia melakukan :

1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-
pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.

19
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan
pidana.

(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga
jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

3. Asas Perlindungan atau Nasional Pasif

Asas perlindungan atau nasional pasif, yaitu asas berlakunya hukum pidana suatu
negara berlaku bagi semua tindak pidana yang dilakukan di luar negeri yang dianggap
membahayakan atau melanggar kepentingan hukum negara yang bersangkutan. Asas
perlindungan ini juga dianut oleh hukum pidana yang berlaku di Indonesia, artinya
apabila warga Negara Indonesia maupun warga negara asing melakukan tindak
pidana di luar wilayah Indonesia, tetapi perbuatan itu bersifat menyerang kepentingan
hukum negara Indonesia, maka si pelaku tidak bebas dari pertanggungjawaban
pidana. Ketentuan berlakunya hukum pidana berdasarkan asas perlindungan ini
dijabarkan di dalam Pasal 4 KUHP, yang berbunyi :

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap


orang yang melakukan di luar Indonesia :

1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108, dan 131.

2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek
yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.

3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia,


atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda

20
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-
surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak
dipalsu;

4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf ; tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n,
dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

4. Asas Universal

Asas universal adalah kekuatan berlakunya hukum pidana yang ditujukan untuk
menjaga kepentingan internasional. Asas ini diberlakukan karena kemungkinan
penerapan asas hukum pidana berdasarkan Pasal 2. 3. 4. 5, dan 7 KUHP akan
bertentangan dengan hukum pidana antar negara. Dalam hal ini, dapat diketahui
bahwa tindak pidana terhadap pasal-pasal tersebut ada sangkut pautnya dengan
negara-negara asing.

Hukum antar negara adalah kumpulan asas-asas hukum yang mengatur saling
berhubungan antara berbagai negara sedunia. Hubungan ini biasanya diselenggarakan
dan dijamin dengan saling menempatkan perwakilannya di masing-masing di dalam
negara itu berupa kedutaan atau konsul. Oleh karena itu, asas universal dimaksudkan
untuk mengakui pengecualian-pengecualian yang diakui oleh dunia internasional,
sehingga asas ini dimaksudkan juga untuk menghindari pertentangan hukum antar
negara.

Berlakunya hukum pidana menurut asas universal dijabarkan di dalam Pasal 9


KUHP, yang berbunyi:

Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-


pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.

21
BAB IV

AJARAN TENTANG KAUSALITAS

A. Tujuan Ajaran Kausalitas

Timbulnya sesuatu akibat karena ada penyebabnya, dan penyebab itu dapat
berupa sesuatu perbuatan tertentu atau bukan sesuatu perbuatan. Dalam hukum
pidana sesuatu perbuatan dapat menimbulkan akibat baik bersifat langsung maupun
tidak langsung. Karena itulah ajaran kausalitas mempunyai peranan sangat penting di
lapangan ilmu hukum pidana yang dikaitkan dengan subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak pidana.

Istilah "kausalitas" berasal dari kata dasar "kausa" yang berarti "sebab", dimana
hukum pidana memandang ajaran kausalitas dari segi partikularistik, yaitu melihat
sesuatu akibat tertentu yang ditimbulkan karena ada penyebabnya, dan penyebab itu
adalah sesuatu perbuatan atau bukan merupakan sesuatu perbuatan tetapi
menimbulkan sesuatu akibat tertentu. Setiap perbuatan akan menimbulkan sesuatu
akibat tertentu, akan tetapi tidak setiap perbuatan menimbulkan akibat hukum, karena
akibat hukum itu bisa disebabkan oleh satu atau serangkaian dari terjadinya suatu
akibat. Jadi, ajaran kausalitas merupakan ajaran sebab beberapa perbuatan yang
saling berhubungan dan mendukung untuk akibat atau hubungan analogis antara
sebab dan akibat.

B. Macam-macam Ajaran Kausalitas

1. Conditio Sine Qua Non

Ajaran kausalitas "conditio sine qua non" ini diajarkan oleh Von Buri seorang
pemikir hukum dari Jerman pada tahun 1873. Menurut Von Buri setiap perbuatan
merupakan sebab dari suatu akibat, dan setiap sebab adalah syarat mutlak yang
mempunyai nilai sama, dimana apabila tidak ada satu sebab atau syarat maka
mempunyai akibat yang berbeda. Jadi, yang menjadi syarat suatu akibat adalah sebab

22
dari akibat itu, akan tetapi dengan mengemukakan perumusan itu belum dapat
diketahui, apa yang menjadi syarat daripada akibat.“ Artinya, apabila salah satu
syarat dihilangkan, maka akibatnya juga akan berubah dari akibat yang timbul apabila
tidak ada syarat yang dihilangkan."

Ciri-ciri ajaran conditio sine qua non menurut Von Buri adalah tiap faktor
penyebab timbulnya akibat adalah syarat, yaitu faktor-faktor yang mendukung
timbulnya suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian
faktor-faktor yang bersangkutan dan harus dianggap sebagai "causa" atau "sebab".
Tiap-tiap faktor atau syarat mempunyai nilai sama, artinya tiap-tiap faktor tidak dapat
dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab suatu akibat. Apabila salah satu
faktor atau syarat dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan
akan menimbulkan suatu akibat yang berbeda pula dari suatu akibat apabila tidak ada
syarat yang dihilangkan.

2. Ajaran Individualisasi (Causa Proxima)

Ajaran individualisasi atau causa proxima bertujuan memperbaiki dan


menyempurnakan ajaran conditio sine qua non. Menurut ajaran ini harus diadakan
perbedaan antara syarat dan sebab, dimana tiap-tiap perbuatan yang terjadi dianggap
sebagai syarat yang tidak dapat dihilangkan dan hanya ada satu syarat yang dipilih
sebagai sebab timbulnya suatu akibat. Penyebab yang terpilih adalah sebab yang
berdasarkan pengalaman dianggap paling dominan atau kuat menimbulkan suatu
akibat dari sekian banyak syarat yang terjadi. Atau dengan perkataan lain, ajaran
individualisasi berupaya untuk mencari satu sebab yang paling dominan
menimbulkan suatu akibat atau suatu peristiwa tertentu hanya disebabkan oleh satu
sebab.

Akan tetapi ajaran individualisasi masih terdapat persoalan, yaitu bagaimana cara
untuk memilih satu sebab dari sekian banyak syarat sebagai pegangan yang benar-
benar dianggap paling dominan menimbulkan suatu akibat. Caranya adalah tiap-tiap
perbuatan yang terjadi dipandang sebagai syarat, dan dari sekian banyak syarat dipilih

23
satu syarat yang konkrit dan benar-benar paling mempengaruhitimbulnya suatu
akibat. Karenanya, ajaran ini mengadakan pembatasan antara syarat dan sebab secara
khusus atau individualisasi dengan memilih suatu peristiwa yang konkrit (in
concreto) setelah timbulnya suatu akibat (past faktum).

3. Ajaran yang Menggeneralisir

Sebagaimana ajaran individualisasi, ajaran yang menggeneralisir masih


mempertahankan ajaran Von Buri Teori dengan mengadakan perbedaan antara syarat
dan sebab. Menurut ajaran generalisasi ini dalam pertanggungjawaban dalam ajaran
Von Buri dianggap terlalu luas, karena tidak membedakan antara syarat dan sebab.
Karenanya, ajaran menggeneralisir berupaya mencari salah satu faktor yang dianggap
sebagai sebab menurut pengalaman manusia pada umumnya.

Dalam ajaran yang individualisasi suatu syarat yang dipilih yang paling dominan
sebagai sebab timbulnya suatu akibat. Sedangkan ajaran yang menggeneralisir
mengadakan pembatasan secara umum yang bersifat abstrak, sehingga pencarian
sebab dilakukan pada saat sebelum timbulnya suatu akibat (ante faktum).

24
BAB V

PEMIDANAAN, PIDANA DAN TINDAKAN

A. Tujuan Pemidanaan

Karakteristik hukum pidana adalah salah satunya adanya ancamanpidana yang


ditujukan kepada pelaku tindak pidana. Dalam bahasa sehari-hari istilah pemberian
atau penjatuhan pidana disebut pemidanaan, yaitu pemberian sanksi yang berupa
suatu penderitaan yang istimewa kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan
suatu perbuatan yang secara tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-
undang. Oleh karena itu, membicarakan hukum pidana sama saja membicarakan
tentang sanksi, yaitu jenis pidana apa yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana.

Pemidanaan atau penerapan sanksi pidana (straf) sering dipandang sebagai


ultimum remedium atau senjata terakhir di dalam menanggulangi kejahatan.
Pancangan yang demikian tidak selalu benar untuk menciptakan ketertiban hidup
dalam masyarakat atau sebagai senjata ampuh untuk mencegah dan menanggulangi
kejahatan. Selain itu, pemidanaan tidak hanya ditujukan menciptakan efek jera bagi
pelaku tindak pidana, melainkan masih terdapat persoalan-persoalan lain baik ditinjau
dar aspek pidana maupun tujuan pemidanaan.

Sanksi pidana merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
diadakan hukum pidana. Pemberian pidana sebenarnya telah menjadi persoalan dan
pemikiran di kalangan para ahli di dalam mencari alasan-alasan dan syarat-syarat
seseorang dapat dijatuhi pidana.

Dalam hal ini dikenal tiga teori mengenai alasan pembenar dan syarat pemidanaan,
yaitu : teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.

1. Teori Absolut (Vergeldingstheorieen)

Teori absolut (vergeldingstheorieen) mulai berkembang pada akhir abad ke-18.


Menurut teori ini penjatuhan pidana harus ditemukan pada kejahatan itu sendiri.

25
Artinya, hanyalah orang-orang yangmelakukan kejahatan yang mutlak dipidana,
karena di dalam kejahatan terdapat kesalahan yang dibalas atau ditebus dengan
pidana.

Dalam teori ini, menghendaki penghukuman yang setimpal dengan perbuatan


jahat yang dilakukan oleh si pembuat. Kejahatan dipandang sebagai penyebab
timbulnya penderitaan orang lain, sehingga si pembuat juga pantas mengalami
penderitaan sesuai perbuatannya yang membuat penderitaan orang lain. Dengan
perkataan lain, penderitaan harus dibalas dengan penderitaan (leed met leed
vergelding worden). Jadi, teori absolut memandang pemidanaan sebagai pembalasan
kepada seseorang yang menyebabkan orang lain menderita, sebagaimana pepatah
kuno: hutang nyawa dibalas dengan nyawa.

2. Teori Relatif (Doeltheorieen)

Pemidanaan menurut teori relatif atau doeltheorieen adalah bukan ditujukan


sebagai pembalasan, melainkan untuk mencapai suatu tujuan atau maksud dari
pemidanaan itu, sehingga teori ini dikenal sebagai teori tujuan. Jadi, tujuan
pemidanaan adalah kemanfaatan, yaitu: selain mencegah timbulnya kejahatan dan
memperbaiki ketidak puasan masyarakat, juga ditujukan untuk memperbaiki pribadi
si penjahat. Jadi, teori ini menitikberatkan nilai kemanfaatan daripada pemidanaan
(mut van destraf).

3. Teori Gabungan (Vereenigings Theorie)

Teori gabungan ini merupakan penyatuan dari teori pembalasan dan teori tujuan.
Jadi, dasar pemidanaan menurut teori gabungan mengakui bahwa tujuan penjatuhan
pidana sebagai pembalasan yang didasarkan pada kejahatannya. Selain itu, diakui
pula penjatuhan pidana mempunyai tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Salah satu
penganut teori ini adalah Binding.

Menurut teori gabungan mengajarkan bahwa penjatuhan pidana ditujukan untuk


menjamin ketertiban masyarakat dan memperbaiki penjahatnya. Sehingga penjatuhan
pidana berdasarkan teori pembalasan atau teori tujuan dipandang berat sebelah,

26
sempit dan sepihak. Karenanya, timbul keberatan-keberatan terhadap kedua teori
tersebut.

B. Jenis-jenis Pidana

Pidana atau hukuman pada dasarnya merupakan suatu penderitaan yang sengaja
diberikan oleh hakim kepada seseorang yang melakukan kesalahan karena melanggar
kepentingan umum yang telah diatur dalam undang-undang pidana. Termasuk ke
dalam kepentingan umum, yang pertama adalah kepentingan badan dan peraturan
perundangan negara, seperti: negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara,
pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintahan, dan sebagainya. Kedua
adalah kepentingan tiap orang, seperti: jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan
hak milik atau harta benda.

Sanksi pidana itu bermacam-macam jenisnya. Buku I Bab II Pasal 10 KUHP


membedakan sanksi-sanksi pidana menjadi dua klasifikasi, yaitu: pidana pokok dan
pidana tambahan. Kedua klasifikasi sanksi pidana tersebut menjadi pedoman bagi
hakim untuk menjatuhkan jenis pidana kepada terdakwa yang terbukti bersalah
melanggar delik. Adapun jenis sanksi pidana menurut Pasal 10 KUHP yang
dimaksud, sebagai berikut :

1. Pidana Pokok, meliputi :

a. Pidana mati;

b. Pidana penjara;

c. Pidana kurungan;

d. Denda;

e. Pidana tutupan (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun


1946).

2. Pidana Tambahan, meliputi:

a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu;

27
b. Perampasan beberapa barang yang tertentu;

c. Pengumuman putusan hakim.

Pidana Pokok :

1. Pidana Mati (Dead Penalty)

Pidana mati merupakan jenis pidana terberat dan ditempatkan pada urutan
pertama dari jenis pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 11
KUHP bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Akan tetapi, pelaksanaan pidana mati
dilakukan dengan cara ditembak sampai mati sebagaimana ketentuan Undang-
Undang Nomor 2/PnPs/Tahun 1964.

Karena pidana mati merupakan jenis pidana yang dianggap paling berat, maka
pelaksanaan atau eksekusinya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Di Indonesia,
pidana mati bagi terpidana baru dilaksanakan setelah Presiden menolak pemberian
grasi walaupun terpidana sendiri tidak mengajukan permohonan grasi. Akan tetapi,
eksekusi pidana mati dapat ditunda apabila terpidana dalam keadaan hamil atau sakit
jiwa.

2. Pidana Penjara (Imprisonment)

Pidana penjara adalah jenis pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan atau
disebut bentuk pidana badan. Jenis pidana ini lebih berat dari pidana kurungan, yaitu
seseorang yang terpidana pidana penjara harus menjalani pidananya dengan jangka
waktu minimal satu hari atau maksimal seumur hidup di dalam rumah tahanan negara
(disebut sel atau bangsal). Pidana penjara hanya dapat dijatuhkan terhadap jenis
detik-detik kejahatan baik diatur dalam KUHP maupun perundang-undangan diluar
KUHP.

3. Pidana Bersyarat (Voorwaardelijke veroordeling)

28
Pidana bersyarat pada awalnya muncul di Negara Inggris pada abad XIX, dan
perkembangannya diikuti oleh negara-negara di belahan dunia ini di antaranya,
seperti : Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia yang mewarisi KUHP Belanda.
Tujuan pidana bersyarat pada umumnya untuk memperbaiki kelakuan si terpidana
tetapi tidak di dalam rumah penjara milik negara. Dalam hal ini si terpidana baru
menjalani pidananya apabila selama dalam masa percobaan tidak memperbaiki
kelakuannya.

Dikatakan pidana bersyarat, karena pelaksanaan pidana tersebut ditentukan


syarat-syarat yang harus dipenuhi berdasarkan undang-undang. Dalam pidana
bersyarat, dikenal dua syarat, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum
adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si terpidana untuk tidak melakukan
tindak pidana apapun selama masa yang telah ditentukan, sedangkan syarat khusus
adalah syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan putusan hakim.

4. Pelepasan Bersyarat (Vervroegde Inverijdstelling)

Tujuan pelepasan bersyarat adalah sama dengan pidana bersyarat, yaitu


memperbaiki kelakuan si terpidana dengan mengembalikan ke dalam masyarakat.
Perbedaannya, pada pidana bersyarat si terpidana tidak menjalani pidananya,
sedangkan pelepasan bersyarat si terpidana harus menjalani pidananya paling sedikit
2/3 dari lamanya pidana penjara yang seharusnya dijalani atau sekurang-kurangnya
telah menjalani sembilan bulan. Seperti halnya, pidana bersyarat, maka pelepasan
bersyarat juga ditentukan syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus.

Ketentuan umum bilamana si terpidana akan dijatuhi pelepasan bersyarat


sebagaimana diatur Pasal 15 KUHP, sebagai berikut :

1. Terpidana telah menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya atau sekurang-kurangnya harus 9 bulan;

2. Dalam memberikan pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan, yaitu,


lamanya waktu dari sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah 1
(satu) tahun;

29
3. Terpidana yang dijatuhi pelepasan bersyarat harus memenuhi syarat-syarat
selama masa percobaan.

5. Pidana Kurungan (Hechtenis)

Pidana kurungan adalah jenis pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan atau
disebut bentuk pidana badan kedua. Pidana ini juga harus dijalari di rumah tahanan
negara, tetapi umumnya dipisahkan dari orang yang terpidana karena suatu kejahatan.
Jenis pidana ini lebih ringan ketimbang pidana penjara dan lebih berat ketimbang
pidana denda.

Lamanya pidana kurungan minimal satu hari dan maksimal satu tahun atau
maksimal satu tahun empat bulan. Ketentuan yang demikian dijabarkan dalam Pasal
18 KUHP, yang berbunyi:

a. Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.

b. Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau
karena ketentuan pasal 52, pidara kurungan dapat ditambah menjadi satu
tahun empat bulan.

c. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.

6. Denda (Geldboete)

Pidana denda merupakan jenis pidana yang paling tua, lebih tua daripada pidana
penjara, mungkin setua pidana mati. Pidana denda adalah jenis pidana yang
mewajibkan terpidana untuk membayar sejumlah uang berdasarkan putusan hakim
pengadilan kepada negara. Walaupun hanya membayar sejumlah uang bukan berarti
jenis pidana denda ini tidak berarti, hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila pidana
denda tidak dapat dipenuhi oleh terpidana, maka ia diwajibkan menjalani pidana
lainnya sebagai alternatif pengganti, yakni: pidana penjara atau pidana kurungan.

Ketentuan mengenai pidana denda dijabarkan dalam Pasal 30 KUHP, yang


berbunyi:

30
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.

(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.

(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling
lama enam bulan.

(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan


demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau
kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-
tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian
pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.

(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan
pengganti paling lama delapan bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan
bulan.

7. Pidana Tutupan

Pidana tutupan yang tercantum dalam Pasal 10 huruf a KUHP merupakan jenis
pidana pokok baru dan diletakkan pada urutan kelima. Pencantuman pidana tutupan
ini didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Pidana
Tutupan yang ditetapkan pada tanggal 31 Oktober 1946 dan mulai berlaku sejak
diumumkan pada 1 November 1946. Pidana tutupan ini kedudukannya sebagai
pengganti pidana penjara yang umumnya ditujukan kepada para politisi yang
melakukan delik karena idiologinya.

Lebih jelasnya mengenai pidana tutupan, bahwa jenis pidana ini dijatuhkan
kepada seseorang yang dipidana penjara, karena sifat yang patut dihormati hakim
dapat memutuskan untuk menjalani pidana tutupan, kecuali hakim berpendapat lain.
Permasalahan tersebut dijabarkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1946, yang berbunyi :

31
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong olehmaksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.

(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan
atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian
sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.

8. Pencabutan Beberapa Hak yang tertentu

Pencabutan beberapa hak yang tertentu merupakan bentuk pidana tambahan yang
pertama yang ditentukan dalam Pasal 10 huruf b KUHP. Yang dimaksud dengan hak
yang tertentu adalah bukan semua hak-hak yang dimiliki terpidana dicabut, dan
apabila semua hak dicabut maka tidak mungkin si terpidana dapat hidup. Sedangkan
hak-hak tertentu yang dapat dicabut menurut ketentuan hukum pidana adalah hak-hak
selain hak-hak kehidupan, hak-hak sipil maupun hak-hak ketatanegaraan.

Hakim hanya dapat mencabut hak-hak yang tertentu terhadap hal-hal yang telah
ditentukan dalam undang-undang atau aturan umum lainnya, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 KUHP, yang berbunyi :

(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan


aturan-aturan umum;

4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas

penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau


pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

32
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;

6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu.

(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

9. Perampasan Beberapa Barang yang Tertentu

Pidana tambahan berupa perampasan beberapa barang yang tertentu dijabarkan


dalam Pasal 39 KURP, yang berbunyi :

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang
sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja
atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-
hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

10. Pengumuman Putusan Hakim

Jenis pidana tambahan yang ketiga atau terakhir sebagaimana ditentukan Pasal 10
huruf b KUHP adalah pengumuman putusan hakim. Sebenarnya semua putusan
hakim telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, tetapi hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim melalui penyiaran
secara istimewa atau khusus agar kejadiannya diketahui banyak orang. Pengumuman
putusan hakim tersebut dapat dilakukan melalui media massa, media elektronik
maupun diumumkan pada tempat-tempat khusus yang telah ditentukan hakim dengan
beban biaya ditanggung oleh terpidana.

Ketentuan yang mendasari hakim menjatuhkan pidana tambahan tersebut


dijabarkan dalam Pasal 43 KUHP, yang berbunyi :

33
Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab
undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus
menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya
terpidana.

C. Tindakan

Selain pidana pokok dan pidana tambahan, dalam hukum pidana juga dikenal
dengan apa yang dimaksud dengan tindakan (maatregel). Pidana dan tindakan adalah
dua hal yang berbeda, tetapi perbedaan antara keduanya agak samar, karena keduanya
mempunyai sifat sama-sama merampas kemerdekaan seseorang yang melakukan
tindak pidana. Persamaan antara pidana dengan tindakan adalah sama-sama
merupakan bentuk sanksi yang harus dibebankan kepada seseorang yang telah nyata
terbukti melakukan tindak pidana.

Tindakan sering dikatakan berbeda dengan pidana, karena tindakan bertujuan


melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi
kepada pelaku suatu perbuatan. Akan tetapi, membedakan dengan cara tersebut agak
sulit, karena pidana pun sering disebut bertujuan mengamankan masyarakat dan
memperbaiki terpidana.

D. Pemidanaan dan Pidana Bagi Anak

Pidana dan pemidanaan dalam perkara pidana yang dilakukan anak tidak
diberlakukan sama dengan perkara pidana yang dilakukan orang dewasa, melainkan
ditentukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Pembedaan tersebut menyangkut jenis pidana dan tindakan yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana arak atau menyangkut penanganan dan penyelesaian
perkara pidana anak dilakukan secara khusus, baik mengenai kelembagaan maupun
perangkat hukumnya. Latar belakang yang menjadi pertimbangannya bahwa anak
adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan

34
perlindungandalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan mental, dan
sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Yang dimaksud dengan anak dijabarkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 1997, yang berbunyi:

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.

Jenis pidana di antaranya pidana mati dan pidana seumur hidup yang tercantum
dalam Pasal 10 KUHP tidak diberlakukan bagi anak nakal, akan tetapi jenis pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana ditentukan Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997, sebagai berikut :

1. Pidana pokok, yang berupa :

a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan;

c. Pidana denda; atau

d. Pidana pengawasan.

2. Pidana tambahan, yang berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu; dan/atau

b. Pembayaran ganti rugi.

35
BAB VI

TINDAK PIDANA (STRAFBAAR FEIT)

A. Pengertian Strafbaar Feit

Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan berbagai arti di antaranya, yaitu: tindak pidana, delik,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana. Dalam
praktek, para ahli di dalammemberikan definisi strafbaar feit atau tindak pidana
berbeda-beda, sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.

Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut Simons didefinisikan sebagai
suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan tindak pidana yang
diberikan oleh Simons tersebut dipandang oleh Jonkers dan Utrecht sebagai rumusan
yang lengkap, karena akan meliputi :

36
1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan dengan hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld);

4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

B. Unsur-unsur Tindak Pidana

Adanya suatu tindak pidana juga merupakan alasan bagi negara di dalam
menggunakan haknya untuk memberlakukan hukum pidana melalui alat-alat
perlengkapannya, seperti: kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Hak-hak negara
tersebut meliputi hak untuk melakukan penuntutan, mengadili maupun menjatuhkan
pidana terhadap seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, baik suatu
perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu) maupun perbuatan yang bersifat
pasif (mengabaikan atau tidak melakukan sesuatu). Dengan perkataan lain, bahwa
syarat utama dapat dipidananya seseorang apabila perbuatan itu telah memenuhi
semua unsur tindak pidana, tetapi apabila salah satu unsur tidak terpenuhi bukanlah
suatu tindak pidana karena arti dan maksudnya akan berbeda.

Bilamana suatu perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, maka
perbuatan tersebut harus memenuhi 5 (lima) unsur, sebagai berikut :

1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wetterlijke


omschrijving):

3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum);

4. Kelakuan itu dapat diberatkan (diperianggungjawabkan) kepada pelaku;

5. Kelakuan itu diancam dengan pidana.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai kelima unsur tersebut di atas, sehingga


suatu kelakuan atau perbuatan seseorang itu dapat disebut sebagai tindak pidana,

37
berikut ini dikutipkan rumusan tindak pidana yang dijabarkan Pasal 362 KUHP, yang
berbunyi :

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian


kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan di dalam Pasal 362 KUHP, sebagai
berikut :

1. Barangsiapa;

2. Mengambil;

3. Sesuatu barang;

4. Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain;

5. Dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum.

C. Pembagian Unsur Tindak Pidana

Ditinjau dari sifat unsurnya (bestandelan) pada umumnya unsur-unsur tindak


pidana dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: unsur subjektif dan unsur
objektif, sebagai berikut:

1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader)
tindak pidana. Unsur-unsur subjektif ini pada dasarnya.merupakan hal-hal atau
keadaan-keadaan yang dapat ditemukan di dalam diri si pelaku termasuk ke dalam
kategori ini adalah keadaan jiwa atau batin si pelaku. Dalam praktek, tidak ada
kesamaan pendapat dari beberapa ahli di dalam menjabarkan unsur-unsur tindak
pidana yang terdapat di luar diri si pelaku.

38
Satochid Kartanegara menjabarkan unsur subjektif dengan membedakan menjadi
dua macam, sebagai berikut:

a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab);

b. Schuld (kesalahan).

2. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri si pelaku. Lamintang
memerinci tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana, sebagai berikut :

a. Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid);

b. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP, ataubkeadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu perseorang terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan


sesuatu kenyataan sebagai akibat.

D. Jenis-jenis Tindak Pidana

Delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang seharusnya


dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur
dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik
hukum, artinya perbuatan itu sudah dianggap sebagai kejahatan meksipun belum
dirumuskan dalam undang-undang karena merupakan perbuatan tercela dan
merugikan masyarakat atau bertentangan dengan keadilan.

Delik pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik


setelah dirumuskan dalam undang-undang. Delik pelanggaran ini sering disebut
sebagai mala quia prohibia atau delik undang-undang, artinya perbuatan itu baru
dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang.

2. Delik Formil (Formeel Delict) dan Delik Materiil (Materieel Delict)

39
Delik formil (formeel delict) adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai
dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumus dalam pasal undang-undang yang
bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau
diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan perkataan lain
yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya. Delik materiil (materieel delict)
adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan
perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Yang dilarang adalah timbulnya akibat
yang berarti akibat yang ditimbulkan itu merupakan unsur delik. Atau dengan
perkataan lain yang dilarang dalam delik materiil adalah akibatnya.

3. Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (Culpa)

Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan. Dolus culpa
adalah suatu delik yang dilakukan karena kelalaian atau kealpaan.

4. Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)

Delik aduan (klacht delicten) adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan
membutuhkan atau disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya
apabila tidak ada pengaduan maka delik itu tidak dapat dituntut. Delik umum
(gewone delicten) adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa membutuhkan adanya
pengaduan

5. Delik Umum (Delicta Communia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)

Delik umum (delicta communia) adalah suatu detik yang dilakukan oleh setiap
orang, Delik umum ini sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Delik
khusus (delicta propria) adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, pegawai negeri atau anggota
militer

6. Delik Commisionis, Ommisionis dan Commisionis Per Ommisionem Commissa

Delik Commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.


Apabila perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti

40
melakukan delik commisionis. Delik Ommisionis adalah suatu perbuatan yang
diharuskan oleh undang-undang. Apabila perbuatan yang diharuskan atau
diperintahkan itu dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan delik ommisionis.
Delik commisionis per ommisionem Commissa adalah delik yang dapat diwujudkan
baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.

7. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja,
artinya perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah
selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Delik berlanjut adalah
delik yang meliputi beberapa perbuatan di mana perbuatan satu dengan lainya saling
berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

8. Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran

Delik politik murni adalah delik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Delik
Campuran adalah delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum.

9. Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi

Delik biasa adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa
dengan pemberatan ancaman pidana. Delik berkualifikasi adalah delik berbentuk
khusus karena adanya keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi
ancaman pidananya.

BAB VII

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Pengertian Kesalahan

1. Simons

41
Unsur kesalahan di dalam hukum pidana menurut Simons dikaitkan dengan
toerekeningsvatbaarheid. Unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan Simons,

sebagai berikut :

a. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (perbuatan manusia);

b. Perbuatan itu karena dikehendaki (gewild) atau tanpa keinsyafan (bewust);

c. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum (wederrechtlijk);

d. Seseorang yang melakukan perbuatan itu harus toerekeningsvatbaarheid.

B. Kemampuan Bertanggung Jawab

Asas "tiada pidana tanpa kesalahan" sering disebut sebagai jantungnya hukum
pidana, karena persoalan pertanggungjawaban pidana berpegang kepada suatu
prinsip, yaitu disyaratkan adanya unsur kesalahan di dalam diri seseorang. Walaupun,
KUHP maupun peraturan-peraturan lain di luar KUHP tidak secara tegas memberikan
penjelasan apa yang dimaksud dengan kesalahan, prinsip kesalahan ini telah diakui
dan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim bilamana akar menjatuhkan pidana
kepada pelaku tindak pidana. Artinya, apabila seseorang itu tidak dapat disalahkan
atas tindak pidana yang dilakukan, konsekuensinya adalah ia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana berarti pelaku yang dimintai pertanggungjawaban


pidana disyaratkan toerekeningsvatbaarheid (kemampuan bertanggung jawab). Oleh
karena itu, kemampuan bertanggung jawab tersebut harus diketahui hubungan antara
keadaan jiwa seseorang dan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Keadaan jiwa
seseorang itu harus sedemikian rupa, sehingga keadaan jiwa itu sebagai dasar
penilaian bahwa ia mempunyai kemampuan bertanggungjawab.

Kemampuan bertanggung jawab itulah yang akan dijadikan alasan pembenar


bilamana seseorang yang melakukan tindak pidana untuk dimintai
pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, apabila seseorang itu berdasarkan syarat-

42
syarat tertentu yang menjadi alasan ketidakmampuan untuk bertanggung jawab, maka
ketidakmampuan bertanggung jawab menjadi alasan pembenar dirinya tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi pertanggung jawaban pidana berpegang
suatu asas tiada pidana tanpa kesalahan.

C. Kesengajaan (Dolus atau Opzet)

Sengaja atau kesengajaan adalah unsur kedua yang bersifat subjektif menentukan
dapat atau tidaknya seseorang dibebani tanggungjawaban atas tindak pidana yang
dilakukan. Istilah lain dari sengajaan adalah opzet atau dolus (keduanya bahasa
Belanda) dan intention (bahasa inggris). Ditinjau dari sifatnya, di dalam hukum
pidana pada umumnya dikenal tiga jenis kesengajaan, sebagai berikut:

a. Kesengejaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk);. Kesengajaan (Dolus
atau Opzet)

b. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian (opzet met bewusthed of


noodzakelijkheid); dan

c. Kesengajaan dengan keadaan akan kemungkinan (opzet


metwaarschijnlijkheidsbewustzijn).

D. Culpa (Kealpaan dan Kelalaian)

Kealpaan pada dasarnya untuk menunjukkan hubungan antara sikap batin


seseorang yang tidak atau kurang mengindahkan larangan, sehingga perbuatan yang
dilakukan itu sedemikian rupa dan menimbulkan celaan atau secara objektif
menimbulkan keadaan yang dilarang undang-undang. Oleh karena itu, kealpaan
merupakan bentuk kesalahan daripada sikap batin seseorang dan sikap batin yang
demikian adalah berwarna, artinya selalu dihubungkan dengan sikap batin terhadap
perbuatan yang dipandang dari sudut hukum adalah keliru

43
BAB VIII

DADERSCHAP DAN DEELNEMING

A. Pengertian Deelneming

Salah satu subjek hukum pidana adalah manusia dengan kualifikasi tertentu, yaitu
ia mempunyai kewajiban atau tanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang
telah dilakukan. Dalam hal ini, suatu tindak pidana seringkali dilakukan secara
bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang dimintai pertanggungjawaban secara
pidana atau disebut deelneming atau keikutsertaan. Akan tetapi, apabila seorang saja
yang melakukan suatu tindak pidana disebut alleen dader.

Deelneming merupakan persoalan penting dalam hukum pidana terutama


berkaitan dengan berat ringannya tanggung jawab pidana dari masing-masing orang
terhadap tindak pidana. Kedudukan masing-masing orang yang terlibat dalam suatu
tindak pidana tidak selalu sama, sehingga berat ringannya tanggung jawab pidananya
juga tidak sama. Dalam perkara deelneming mungkin hanya satu orang atau lebih
yang wajib dibebani bertanggung jawab pidana secara penuh, sedangkan lain orang
hanya dibebani sebagian tanggung jawab pidananya. Menurut sifatnya deelneming,
ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin membedakan deelneming dibedakan
menjadi dua golongan, sebagai berikut :

1 Deelneming yang berdiri sendiri, yaitu pertanggungjawaban daripada masing-


masing peserta dihargai sendiri-sendiri;

2 Deelneming yang tidak berdiri sendiri (acceeoire deelneming) yaitu


pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta
yang lain. Artinya, apabila oleh peserta yang lain dilakukan sesuatu perbuatan yang
dapat dihukum, maka peserta yang satu juga dapat dihukum.“

B. Dader (Pelaku)

Penanggung jawab tindak pidana yang disebut dader adalah seseorang yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang. Yang

44
dimaksud dengan tindak pidana adalah tindak pidana dalam kejahatan maupun tindak
pidana dalam arti pelanggaran. Seseorang yang memenuhi unsur tindak pidana di
dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah doer, akan tetapi Hazewinkel Suringa
menyebutnya dengan istilah pleger, yaitu setiap orang yang dengan seorang diri telah
memenuhi unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang
bersangkutan. Jadi, yang disebut dengan dader adalah manusia atau seseorang yang
melakukan sendiri sesuatu yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
yang dirumuskan di dalam undang-undang.

Satochid Kartanegara memberikan batasan yang disebut dader adalah


barangsiapa yang memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam perumusan-
perumusan delik (tindak pidana). Sehingga pencantuman dader dalam rumusan Pasal
55 KUHP menurut beliau dianggap berkelebihan, karena andaikata perumusan itu
tidak dicantumkan dalam pasal tersebut, sebenarnya akan dapat diketahui siapa
pelakunya, dalam :

1. Tindak pidana yang perumusan formil, yang menjadi pelakunya adalah


barangsiapa yang memenuhi perumusan tindak pidana;

2. Tindak pidana yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas (hoedaningheid en


qualiteit) pelakunya adalah mereka yang memiliki unsur, kedudukan atau kualitas
sebagai yang ditentukan itu, yaitu misalnya kejahatan di dalam jabatan, yang dapat
melakukan adalah hanya pejabat negeri.

C. Doenplegen

Doenplegen merupakan bentuk deelneming yang pertama menurut Pasal 55


KUHP, yaitu seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana.
Dalam perkara ini disyaratkan minimal dua orang, yaitu orang ang menyuruh (manus
domina) dan orang lain yang disuruh (manus ministra). Jadi, doenpleger merupakan
penanggung jawab secara pidana atas suatu tindak pidana, tetapi ia tidak melakukan
tindak pidana sendiri melainkan menggunakan perasaan orang lain.

45
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, persoalan doenpleger disebut ajaran
middelijke daderschap, yaitu tindak pidana yang menggunakan perantaraan atau
tindak pidana secara tidak langsung. Dalam hal ini pleger atau dader yang
mempunyai kehendak merupakan pelaku utama, karena ia sendiri tidak melakukan
tindak pidana tetapi menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana. Walaupun
demikian, doenpleger adalah penanggung jawab secara pidana, artinya kedudukan
doenpleger bukan pelaku utama tetapi ia disamakan sebagai pelaku, oleh karena ia
dapat dijatuhi pidana.

Akan tetapi, untuk menentukan seseorang itu doenpleger harus memenuhi syarat-
syarat sehingga ia dapat dijatuhi pidana, yaitu orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu harus orang yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
oleh karenanya sekedar dijatuhi pidena. Apabila orang yang disuruh itu adalah orang
yang telah mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab, maka seseorang itu
bukan bersifat doenpleger tetapi bersifat uitlokker atau seseorang yang membujuk
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.

D. Medeplegen

Medeplegen merupakan bentuk deelneming, dimana terdapat seseorang atau lebih


yang turut serta melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya.
Apabila seseorang menghendaki suatu tindak pidana dan untuk mewujudkan
kehendaknya itu ia menyuruh orang lain untuk melakukannya, maka orang yang
menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana disebut doenpleger.
Sedangkan suatu tindak pidana dalam keadaan medeplegen, tiap-tiap orang terlibat
secara langsung sebagai peserta pelaku tindak pidana, sehingga tiap-tiap orang
dipandang sebagai mededader dari peserta lain atau orang yang turut serta melakukan
suatu tindak pidana.

Bentuk medeplegen ini untuk menunjukkan tiap-tiap peserta mempunyai


kedudukan sama atau derajatnya sama. Menurut van Hattum memandang perbuatan
di dalam Pasal 55 KUHP harus diartikan sebagai suatu cozettelijk medeplegen atau

46
suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan orang
lain. Artinya, bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu
dapat dihukum, dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan untuk turut melakukan suatu
cultpoos delict tidak dapat dihukum.

E. Uitlokking

Bilamana suatu deelneming disebut uitlokking apabila suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya yang sengaja digerakkan atau dibujuk oleh orang lain.
Orang yang sengaja menggerakkan orang lain di dalam perkara deelneming disebut
uitlokker, dan pelakunya disyaratkan seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Seseorang uitlokker di dalam perkara deelneming termasuk orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana atas bujukannya atau telah menggerakan orang
lain untuk melakukan suatu tindak pidana.

Keterlibatan orang lain sebagai pelakunya dalam perkara uitlokking mempunyai


kesamaan dengan keterlibatan orang lain di calam perkara doenplegen (menyuruh
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana). Jadi, antara uitlokking dengan
doenplegen sama-sama melibatkan orang lain sebagai pelakunya atau berfungsi
sebagai perantaraan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, sedangkan si uitlokker
dan si doenpleger tidak melakukan sendiri terhadap suatu tindak pidana yang
dikehendaki. Kesamaan yang lain, baik si uitlokier maupun si doenpleger sama-sama
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh si pelakunya.

Perbedaannya, orang lain yang dibujuk untuk melakukan suatu tindak pidana di
dalam uitlokking haruslah orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya (toerekenbaar). Sedangkan orang lain yang melakukan suatu tindak
pidana di dalam perkata doenplegen haruslah orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (niettoerekenbaar). Selain itu, cara-cara
yang digunakan antara uitlokking dengan doenplegen juga berbeda, yaitu cara-cara
yang digunakan di dalam perkara uitlokking telah ditentukan secara limitatif dalam

47
undang-undang, sedangkan di dalam perkara doenplegen tidak ditentukan oleh
undang-undang.

F. Medeplichtigheid

Bentuk deelneming yang terakhir sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam


Pasal 56 KUHP adalah medeplichtigheid atau membantu melakukan suatu tindak
pidana. Deelneming bentuk ini juga sering diartikan sebagai medeschuldig atau turut
bersalah. Sedangkan orang yang membantu atau yang berkedudukan sebagai
pembantu suatu tindak pidana disebut medeplichters. Untuk mengetahui pengertian
medeplichtigheid perlu diperhatikan pendapat Simons, sebagai berikut :

Medeplichtigheid adalah suatu onzelfstandige deelneming (suatu keturutsertaan) yang


tidak berdiri sendiri, artinya dapat tidaknya medeplictig dijatuhi pidana tergantung
pada kenyataan apakah dader itu telah melakukan tindak pidana atau tidak.

Pengertian medeplichtigheid yang diberikan Simons tersebut, maka di dalam


medeplichtigheid seseorang dapat disalahkan dan dijatuhi pidana yang tidak berdiri
sendiri melainkan tergantung pada kenyataan pada suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya. Dengan demikian, seseorang dapat disalahkan dan dijatuhi
pidana atau tidak tergantung pada suatu kenyataan apakah pelaku utamanya
melakukan suatu tindakan pidana atau tidak. Pada dasarnya, peranan medeplichters
dalam medeplichtigheid ini bertujuan untuk mempermudah terwujudnya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku baik sebelum atau pada saat tindak pidana itu
dilakukan.

F. Medeplichtigheid

Bentuk deelneming yang terakhir sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam


Pasal 56 KUHP adalah medeplichtigheid atau membantu melakukan suatu tindak
pidana. Deelneming bentuk ini juga sering diartikan sebagai medeschuldig atau turut
bersalah. Sedangkan orang yang membantu atau yang berkedudukan sebagai
pembantu suatu tindak pidana disebut medeplichters. Pengertian medeplichtigheid
perlu diperhatikan pendapat Simons, sebagai berikut :

48
Medeplichtigheid adalah suatu onzelfstandige deelneming (suatu keturutsertaan)
yang tidak berdiri sendiri, artinya dapat tidaknya medeplictig dijatuhi pidana
tergantung pada kenyataan apakah dader itu telah melakukan tindak pidana atau
tidak.

Pengertian medeplichtigheid yang diberikan Simons tersebut, maka di dalam


medeplichtigheid seseorang dapat disalahkan dan dijatuhi pidana yang tidak berdiri
sendiri melainkan tergantung pada kenyataan pada suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya. Dengan demikian, seseorang dapat disalahkan dan dijatuhi
pidana atau tidak tergantung pada suatu kenyataan apakah pelaku utamanya
melakukan suatu tindakan pidana atau tidak. Pada dasarnya, peranan medeplichters
dalam medeplichtigheid ini bertujuan untuk mempermudah terwujudnya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku baik sebelum atau pada saat tindak pidana itu
dilakukan.

G. Hubungan Deelmening dengan Pasal 58 KUHP

Beberapa orang atau lebih yang terlibat di dalam perkara deelmening tidak
semuanya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yang disebabkan oleh
keadaan-keadaan pribadi (persoonlijk omstamdigheden), baik keadaan pribadi
seorang pelaku di dalam diri seorang medeplichters maupun keadaan pribadi seorang
pelakunya (dader). Keadaan-keadaan pribadi yang dimaksudkan adalah keadaan-
keadaan yang terdapat di dalam diri seorang medeplichters maupun seorang dader
sebagai alasan yang dapat menghapus, mengurangi, atau memberatkan ancaman
pidananya. Persoalan mengenai keadaan-keadaan pribadi yang dapat menghapus,
mergurangi, atau memberatkan ancaman pidana sebagaimana dijabarkan di dalam
Pasal 58 KUHP, yang berbunyi:

Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang,


yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya
diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.

49
Berdasarkan ketentuan yang dijabarkan di dalam Pasal 58 KUHP tersebut di atas,
maka di dalam deelneming dikenal tiga jenis keadaan pribadi, yaitu keadaan pribadi
yang menghapus pidana, keadaan pribadi yang mengurangi pidana, da keadaan
pribadi yang memberatkan pidana.

H. Keturutsertaan Alat Percetakan dalam Perkara Deelneming


Barang-barang cetakan seperti : surat kabar, majalah, buku, tabloid atau yang
sejenisnya sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber informasi dan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, seringkali orang di dalam melakukan suatu tindak pidana
tertentu menggunakan alat percetakan sebagai sarana nya. Mengenai persoalan ini,
KUHP telah mengaturnya ke dalam bentuk deelneming dan di dalam Pasal 61 dan 62
KUHP. , sebagaimana yang dapat dilihat rumusan Pasal 61 dan 62 KUHP, sebagai
berikut :
1. Pasal 61 KUHP yang berbunyi :
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penerbitan selaku
demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat
tinggalnya, sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada
waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
(2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakan terbit, tidak dapat
dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.

50
BAB IX

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP)

A. Pengertian Penggabungan Tindak Pidana

Samenloop dapat diartikan sebagai sesuatu perbuatan yang melanggar lebih dari
satu aturan pidana yang secara serempak diajukan kepada hakim untuk diadili,
kemudian hakim menentukan dan memutuskan salah satu di antara aturan-aturan
pidana itu, atau apabila aturan-aturan pidana itu berbeda-beda dipilih yang ancaman
pidana pokok paling berat, atau apabila suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah
yang diterapkan. Bangunan samenloop ini tidak hanya menyangkut mengenai tindak
pidana kejahatan, melainkan juga tindak pidana pelanggaran. Hal ini sebagaimana
pendapat Satochid Kartanegara sebagai berikut : Samenloop adalah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa tindak pidana, baik yang
bersifat kejahatan maupun pelanggaran, dan tindak pidana-tindak pidana mana diadili
sekaligus oleh hakim.

51
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana gabungan tindak pidana (samenloop
atau concursus) dibedakan menjadi tiga jenis, sebagai berikut :

1. Gabungan satu perbuatan (concursus idealis);

2. Perbuatan yang diteruskan (voortgezette handeling);

3. Gabungan beberapa perbuatan (concursus realis).

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa samenloop di dalam ilmu pengetahuan


hukum pidana merupakan permasalahan yang rumit dan sering menimbulkan
perdebatan di antara para ahli termasuk penerapan di dalam praktek. Oleh karena itu,
dalam suatu samenloop, si bersalah harus dapat dibuktikan dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan, apakahyang bersalah telah melakukan satu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang atau lebih dari satu perbuatan yang terlarang.
Sehubungan dengan permasalahan samenloop, maka pembicaraan juga akan
menentukan pengaturan sistem pemidanaan yang harus dibebankan kepada yang
bersalah karena telah melanggar beberapa ketentuan pidana dan secara serentak telah
diajukan kepada hakim untuk diadili.

B. Concursus Idealis

Istilah concursus idealis atau gabungan satu perbuatan juga disebut enedaase
samenloop atau samenloop van strafbepalingen, yaitu satu perbuatan yang
menimbulkan lebih dari satu aturan pidana. Dengan perkataan lain, concursus idealis
adalah sesuatu perbuatan yang melanggar lebih dari satu ketentuan aturan pidana. Di
dalam KUHP jenis gabungan tindak pidana ini sebagaimana yang dijabarkan di dalam
Pasal 63 ayat (1), yang berbunyi :

Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

C. Voortgezette Handeling

52
Voortgezette handeling atau perbuatan yang diteruskan atau disebut voortgezette
handeling sebagaimana dijabarkan di dalam Pasal 64 KUHP yang berbunyi :

(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan


atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika
berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.

(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan
bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang
yang dipalsu atau yang dirusak itu.

(3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-
pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian
yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia
dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.

D. Concursus Realis

Mengenai gabungan dari beberapa perbuatan atau concursus realis atau


meerdaadsche samenloop dijabarkan di dalam Pasal 65 dan 66 KUHP, sebagai
berikut :

1. Pasal 65 KUHP yang berbunyi :

(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.

(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam
terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga.

2. Pasal 66 KUHP yang berbunyi:

53
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-
tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga.

(2) Pidana denda adalah hal itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana
kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.

Ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana disebut sebagai concursus realis atau gabungan tindak
pidana, atau oleh van Hamel disebut sebagai samenloop van delicten. Perbuatan-
perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP tersebut oleh para ahli
atau di dalam praktek harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan
dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana yang dirumuskan di
dalam undang-undang. Jadi, concursus realis adalah perbarengan (gabungan)
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan
masing-masing perbuatan itu telah memenuhi rumusan tindak pidana yang diatur di
dalam undang-undang pidana.

Di dalam concursus realis dimana setiap perbuatan harus dipandang berdiri


sendiri sebagai bentuk perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-
undang pidana. Seseorang di dalam jangka waktu tertentu telah melakukan beberapa
perbuatan sekaligus dan masing-masing perbuatan tersebut terlarang dan diancam
pidana oleh undang-undang, maka ia dapat dikatakan telah melakukan sesuatu
perbuatan yang bersifat concursus realis. Dalam hal pertanggungjawaban pidananya,
perbuatan-perbuatan itu diajukan secara serempak kepada hakim untuk diadili.

E. Ajaran Sistem Pemidanaan dalam Concursus

Simons memperkenalkan sistem pemidanaan bagi pelaku suatu meerdaadige


samenloop, sebagai berikut :

54
1. Eenvoudige commulatie stelsel atau sistem penumpukan pidana yang bersifat
sederhana. Menurut ajaran sistem penjatuhan pidana ini, bagi tiap-tiap tindak pidana
yang telah terjadi, hakim dapat menjatuhkan pidana seperti yang telah diancamkan di
dalam undang-undang.

2. Absorptie-stelsel atau sistem penyerapan dari lain-lain pidana. Menurut ajaran ini
yang dapat dijatuhkan hanyalah pidana yang telah diancamkan terhadap kejahatan
yang terberat. Pidana tersebut haruslah dipandang sebagai telah menyerap semua
pidana-pidana yang telah diancamkan oleh undang-undang terhadap kejahatan-
kejahatan yang lain.

3. Beperkte cummulatie-stelsel atau reductie-stelsel atau sistem penumpukan pidana-


pidana yang bersifat terbatas. Menurut ajaran ini hakim dapat menjatuhkan satu
pidana bagi tiap-tiap tindak pidana yang telah terjadi, akan tetapi beratnya pidana itu
harus dibatasi.

4. Vercherpings-stelsel atau exasperatie-stelsel atau sistem pemberatan pidana yang


terberat. Menurut ajaran ini, bagi semua tindak pidana yang telah terjadi hakim hanya
dapat menjatuhkan satu pidana, yaitu pidana yang terberat ditambah dengan
pemberatan.

BAB X

PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)

A. Pengertian

Pengulangan tindak pidana atau recidive terjadi apabila seseorang yang telah
dijatuni pidana berdasarkan putusan hakim yang mempunyai hukum tetap (in kracht
van gewijsde), kemudian melakukan lagi suatu tindak pidana. Dalam hal ini si pelaku
melakukan beberapa kali atau lebih suatu tindak pidana, dimana tindak pidana
terdahulu telah mendapatkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

55
Dengan perkataan lain, recidive adalah satu orang yang melakukan beberapa atau
lebih suatu tindak pidana. Istilah "recidive" tersebut mengandung dua pengertian,
sebagai berikut :

1. Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana lebih dari satu kali;

2. Tindak pidana yang terdahulu telah mendapat putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Pengertian recidive tersebut di atas, mempunyai perbedaan dengan pengertian


concursus (penggabungan tindak pidana), sebagai berikut :

1. Recidive adalah satu orang melakukan suatu tindak pidana lagi, dimana
sebelumnya ia telah dijatuhi pidana karena melakukan suatu tindak pidana. Secara
sederhana dapat digambarkan: tindak pidana - putusan hakim (vonis) - tindak pidana -
vonis dan seterusnya.

2. Concursus adalah satu orang melakukan beberapa tindak pidana tetapi belum
satupun perbuatannya itu dijatuhi pidana. Secara sederhana dapat digambarkan :
tindak pidana - tindak pidana - vonis - dan seterusnya.

B. Recidive Kejahatan

Pengulangan tindak pidana secara khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu
di dalam KUHP dapat dikualifiasikan menjadi dua kelompok besar yaitu recidive
kelompok kejahatan sejenis dan recidive kelompok golongan kejahatan.

C. Recidive Pelanggaran

Dalam KUHP hanya mengenal sistem pemidaan recidive khusus, sehingga


ketentuan mengenai recidive tidak diatur pada bagian ketentuan umum Buku I
KUHP, melainkan tersebar secara implisit di dalam jenis-jenis tindak pidana
kejahatan (Buku II KUHP) dan tindak pidana pelanggaran (Buku III KUHP). Dengan
perkataan lain, baik recidive kejahatan maupun pelanggaran di dalam KUHP
menganut sistem recidive khusus. Artinya, tidak semua rumusan tindak pidana

56
dijadikan sebagai recidive kejahatan maupun recidive pelanggaran.Di dalam buku III
KUHP paling tidak terdapat 14 jenis tindak pidana pelanggaran yang jika dilakukan
dapat dipidana sebagai recidive.

D. Recidive dalam Undang-undang di Luar KUHP

Pengaturan recidive, selain tersebar secara khusus di dalam pasal-pasal KUHP,


baik recidive yang terdapat di dalam Buku II KUHP maupun recidive di dalam Buku
III KUHP, recidive juga diatur di dalamperaturan perundang-undangan di luar
KUHP, diantaranya sebagai berikut :

1. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Recidive mengenai tindak pidana psikotropika dijabarkan di dalam Pasal 72 UU No.


5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang berbunyi:

Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang


belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang
dibawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua
tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiganya pidana yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut.

2. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

Recidive mengenai tindak pidana narkotika dijabarkan di dalam Pasal 96 UU No. 22


Tahun 1997 tentang Narkotika, yang berbunyi:

Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan


tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84,
85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambahdengan sepertiga dari pidana
pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun.

57
BAB XI

DASAR-DASAR PENIADAAN PIDANA

(STRAFUITSLUITINGSGRONDEN)

A. Pengertian

58
Pembicaraan mengenai tidak dapat diberlakukannya ketentuan hukum pidana
kepada pelaku tindak pidana berkaitan erat dengan dua hal, sebagai berikut:

1. Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan (vervolgingsuitslultingsgronden), adalah


hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yangnmenjadi alasan-alasan bagi penuntut
umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang yang didakwa
melakukan tindak pidana.

2. Dasar-dasar yang meniadakan pidana atau hukuman (strafuitsluitingsgronden),


adalah hal-hal tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi hakim tidak dapat
menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana,
atau di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut fait d'exuses (hal-hal yang
memaafkan kepada pelaku tindak pidana dihingga dirinya tidak dipidana).

B. Ruang Lingkup Strafuitsluitingsgronden

Strafuitsludingsgronden atau alasan yang meniadakan pidana, yaitu sesuatu hal


yang menyebabkan ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana tidak dapat
diberlakukan terhadap seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran tindak pidana.
Orang-orang yang diliputi strafutslungsgronden adalah mereka yang memenuhi
syarat-syarat tertentu sehingga ketentuan hukum pidana tidak dapat diberlakukan
kepada dirinya, apabila dirinya melakukan tindak pidana. Itu sebabnya dalam doktrin
dikenal istilah alasan pembenar, alasan periaaf, dan alasan penghapus kesalahan.
Alasan pembenar, alasan pemaal, dan alasan penghapus kesalahan menurut Moetjatno
merupakan alasan-alasan yang menghapuskan pidana, sebagai berikut :
1. Alasan pembenar, salah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum
perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi suatu perbuatan yang
patut dan benar;
2. Alasan pemaaf, kalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa tetapi
perbuatan itu tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak dipidana karena tidak ada
kesalahan:

59
3. Alasan penghapus kesalahan karena terdapat alasan pembenar maupun pemaaf,
artinya tidak ada pikiran tentang sifatnya perbuatan maupun orangnya yang
melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa berdasarkan
kemanfaatan (utilitas) kepada masyarakat, sehingga diambil kebijakan untuk tidak
diadakan penuntutan.
Strafuitsluitingsgronden di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan
menjadi dua bagian, sebagai berikut :
1. Strafuitsluitingsgronden yang terdapat di dalam undang-undang;
2. Strafuitsluitingsgronden yang terdapat di luar undang-undang
(yurisprudensi).

Strafuitsluitingsgronden yang terdapat di dalam undang-undang adalah ketentuan-


ketentuan mengenal sesuatu hal yang mengakibatkan ketentuan hukum pidana tidak
dapat diberlakukan terhadap seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran tindak
pidana. Strafuitsluitingsgronden ini masih dibedakan lagi menjadi
strafuitsluitingsgronden yang bersifat umum dan strafuitsluitingsgronden yang
bersifat khusus. Kedua sifat strafultsluitingsgronden tersebut dapat dijumpai dalam
ketentuan-ketentuan yang datur dalam KUHP, baik ketentuan yang dirumuskan
dalam pasal-pasal Buku Pertama maupun Buku Kedua. Strafultsluitingsgronden yang
bersifat umum adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Bab III Buku Pertama
KUHP dan berlaku untuk semua tindak pidana, baik tindak pidana-tindak pidana
yang diatur dalam KUHP maupun peraturan perundangan diluar KUHP. Ketentuan-
ketentuan yang termasuk kelompok ini yang terdapat dalam KUHP tersebut adalah :
Pasal 44 (gangguan psikis), Pasal 48 (daya paksa atauovermacht atau force majeure),
Pasal 49 (pembelaan terpaksa atau noodweer), Pasal 50 (perintah undang-undang)
dan Pasal 51 (perintah jabatan atau ambteleijk beve). Strafuitsluitingsgronden yang
bersifat khusus adalah ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam tindak pidana-tindak
pidana tertentu dan berlaku terhadap tindak pidana-tindak pidana yang bersangkutan
saja.

60
Ketentuan-ketentuan yang termasuk kelompok ini, di antaranya adalah: Pasal 163
ayat (2), Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 221, Pasal 284 ayat (2), Pasal 303
ayat (3), atau Pasal 310 ayat (1) Buku Kedua KUHP.
Sedangkan strafuitsluitingsgronden yang terdapat di luar undang- undang
(sesuatu hal yang meniadakan pidana yang tidak tertulis atau yurisprudensi) juga
dibedakan menjadi yang umum dan khusus.
Strafuitsluitingsgronden di luar undang-undang yang bersifat umum adalah
sebagaimana apa yang dimaksud dengan asas "tiada pidana tanpa kesalahan".
Sedangkan stratuitsluitingsgronden yang bersifat khusus adalah apa yang dimaksud
dengan asas "tidak bersifat melawan hukum secara materiil".
Selain pembagian ruang lingkup sebagaimana tersebut di atas, dalam doktrin
strafuitsluitingsgronden yang terdapat di luar undang-undang juga dibedakan atas :
1. Strafuitsluitingsgronden yang merupakan alasan pembenar atau apa yang
disebut rechtvaardigingsgronden, yaitu alasan tidak dapat dipidananya
seseorang karena tidak ada sifat melawan hukumnya perbuatan.
2. Strafuitsluitingsgronden yang merupakan alasan pemaaf atau apa yang
disebut schulduitsluitingsgronden, yaitu alasan tidak dapat dipidananya
seseorang yang melakukan tindak pidana karena keadaan diri seseorang itu
tidak dapat disalahkan.
C. Gangguan Psikis
Apabila dicermati rumusan tindak pidana sebagaimana yang terdapat di dalam
KUHP, bahwa KUHP mengarggap setiap orang dapat dipertanggungjawabkan
(toerekiningsvatbaarheid) atau setiap orang dianggap mempunyai keadaan jiwa yang
sehat. Akan tetapi, pembentuk undang-undang di dalam merumuskan tindak pidana
telah tidak menjelaskan syarat-syarat bilamana seseorang itu dianggap mempunyai
keadaan jiwa yang sehat. Sedangkan jiwa yang sehat itu sendiri mempunyai arti yang
sangat luas.
Untuk memahami bilamana seseorang itu dianggap toerekiningsvatbaarheid
atau keadaan jiwa yang sehat, maka harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :

61
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti akan
perbuatannya, mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga juga
dapat mengerti akan perbuatannya,
2. Keadaan jiwa orang itu harus sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan itu;
3. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah
perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum,
masyarakat maupun dari sudut tata susila.
Toerekiningsvatbaarheid di dalam KUHP dirumuskan dinyatakan secara negatif,
sebagaimana dijabarkan di dalam Pasal 44 KUHP, yang berbunyi:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit,
maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah
sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Ketentuan di dalam Pasal 44 KUHP tersebut di atas merupakan salah satu alasan
peniadaan pidana terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan tindak pidana,
tetapi ia mengalami gangguan psikis atau kejiwaan. Di dalam pasal tersebut
memberikan alasan peniadaan pidana dengan pertimbangan bahwa si pelaku dalam
keadaan terganggu jiwanya, sehingga ia dipandang tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang telah dilakukan.
Guna menentukan, bilamana seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya dapat ditempuh dengan cara meninjau keadaan jiwa seseorang dan
meninjau antara perbuatan dengan jiwa di pelaku. Cara yang demikian merupakan
cara yang ditempuh Pasal 44 KUHP untuk menentukan bilamana seseorang tidak

62
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya. Hal ini dikarenakan dalam
Pasal 44 KUHP ditentukan dua syarat, sebagai berikut :
1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan; atau
2. Terganggu karena penyakit atau penyakit ingatan.
Dalam praktek hukum, masalah keadaan jiwa di luar yang diatur dalam KUHP
yang berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, tetapi keadaan jiwa tersebut
secara analogi dapat dimasukkan ke dalam pengertian Pasal 44 KUHP, antara lain :
1. Kleptomania, yaitu penyakit jiwa yang mendorong seseorang.suka mencuri
sesuatu barang tertentu milik orang lain, perbuatan mana sebenarnya tidak
menginsyafi atau berada di luar kehendak si pelaku. Misalnya seseorang
ketika melihat korek api di manapun tanpa disadari langsung diambilnya,
sedangkan barang-barang lain diabaikan. Jadi, keadaan jiwa ini setiap orang
itu melihat korek api, tanpa disadari atau di luar kehendaknya langsung
diambil dan pergi.
2. Piromania, yaitu keadaan jiwa dimana seseorang menyukai melakukan
pembakaran tanpa ada alasan sama sekali dan di luar kehendaknya, sedangkan
untuk perbuatan lainnya ia lakukan dengan keadaan normal dan sehat.
3. Nimfomania, yaitu keadaan jiwa seorang laki-laki yang selalu terdorong
atau suka untuk berbuat tidak senonoh apabila berjumpa dengan seorang
wanita, sedangkan dalam hal lain dirinya dalam keadaan normal. Misalnya,
suka membuka celana dan
memperlihatkan kemaluannya kepada setiap wanita yang dijumpai, sedangkan
apabila melihat seorang laki-laki ia dalam keadaan normal.
Bahwa seseorang yang dihinggapi psikhopaten pada dasarnya tidak dapat
ditentukan bahwa orang itu mengalami jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dengan
demikian, orang itu apabila melanggar tindak pidana, dirinya dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atau dipidana.
D. Daya Paksa (Overmacht)

63
Suatu perbuatan yang dianggap bersifat melawan (wederrechtelijk) yang
dilakukan karena terdorong oleh keadaan memaksa (overmache) dikecualikan dari
ketentuan hukum pidana. Overmacht ini merupakan salah satu faktor yang bersifat
eksternal yang mengakibatkan tidak dipidananya seseorang atas perbuatan yang
melawan hukum dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Persoalan
overmacht ini sebenarnya telah berabad-abad lamanya menjadi pusat perhatian dari
para juris maupun filsuf, tetapi hingga sekarang belum terdapat kesatuan pendapat.
Dalam KUHP ketentuan mengenai overmacht dijabarkan dalam Pasal 48, yang
berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana.
E. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Pembelaan terpaksa atau di dalam doktrin disebut noodweer. Menurut Marteen
Luther, bahwa noodweer ini merupakan fenomena yang dianggap sama usianya
dengan usia dunia (night unrecht nochube's leyden wollen, das gibs die natur). Di
dalam KUHP tidak menyatakan secara tegas apa yang dimaksud dengan noodweer,
tetapi hanya memberikan syarat-syarat bilamana seseorang itu tidak dapat dijatuhi
pidana atas perbuatannya yang bersifat melawan hukum.
Oleh karena itu, noodweer masih tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai salah
satu alasan peniadaan pidana, sebagaimana dijabarkan di dalam Pasal 49 ayat (1)
KUHP, yang berbunyt:
Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau
harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
F. Menjalankan Undang-undang
Tidak dapat dipidananya seseorang yang menjalankan undang-undang (wetterlijke
voorschrift) diatur di dalam Pasal 50 KUHP, yang berbunyi:
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang, tidak dipidana.

64
Ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 50 KUHP terlihat sangat sederhana,
sehingga persoalannya menjadi sederhana, tetapi ketentuan tersebut harus mendapat
perhatian secara seksama. Karena tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana dengan alasan menjalankan undang-undang, kemudian orang itu
ditiadakan dari pemidanaan. Paling tidak terdapat dua persoalan yang harus mendapat
perhatian secara seksama, sehingga pelaksanaan selaras dengan maksud dirumuskan
ketentuan pasal tersebut, yaitu pengertian undang-undang dan pelaksanaan undang-
undang.
1. Pengertian Undang-undang
Pengertian undang-undang dalam arti formil maupun materiil menurut Pompe
akan meliputi peraturan (verodening) yang dikeluarkan oleh penguasa yang
berwenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi ketentuan yang berasal
langsung dari pembuat undang-undang, dari penguasa yang lebih rendah yang
mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan yang berdasar
undang-undang. Yang melakukan perbuatan itu merupakan kewajibannya, oleh
karena itu undang-undang itu menyatakan: "dalam melaksanakan suatu... ketentuan".
2. Pelaksanaan Undang-undang
Pelaksanaan undang-undang berarti melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh
undang-undang, artinya undang-undang memerintahkan kepada seseorang untuk
melaksanakan perintahnya atau orang itu mempunyai wewenang untuk melakukan
sesuatu perbuatan tertentu yang telah ditentukan di dalam undang-undang. Undang-
undang itu memberikan suatu hak kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan berdasarkan ketentuan yang telah diaturnya. Dengan perkataan lain,
bilamana seseorang dapat dikatakan melaksanakan undang-undang apabila ia
melakukan sesuatu perbuatan tertentu untuk memberlakukan peraturan.
Jadi, bila mana seseorang dapat dikatakan melakukan sesuatu perbuatan tertentu
untuk melaksanakan undang-undang, apabila ia berbuat sesuai apa yang
diperintahkan oleh undang-undang. Dengan perkataan lain, bahwa sesuatu perbuatan
yang tertentu itu merupakan kewajiban (verplichting) undang-undang. Artinya,
bahwa dalam pengertian menjalankan undang-undang ini tidak hanya terbatas pada

65
perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi meliputi pula perbuatan-
perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.
G. Menjalankan Perintah Jabatan
Apa yang dimaksud dengan menjalankan perintah Jabatan (ambtelijkbevel)
diijabarkan di dalam Pasal S1 KUHP, yang berbunyi:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkungan pekerjaannya.
Ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 51 KUHP tersebut di atas,
merupakan salah satu alasan tidak dipidananya seseorang yang melakukan
sesuatu perbuatan karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang. Akan tetapi, persoalannya tidak sesederhana
sebagaimana rumusan pada pasal tersebut, karena tidak semua terhadap
perbuatan dengan alasan menjalankan perintah jabatan tidak dapat dijatuhi
pidana. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 51 KUHP perlu mendapatkan
perhatian secara seksama, bilamana seseorang yang melakukan sesuatu
perbuatan tertentu dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana ditiadakan dari
pidana.

66
BAB XII

HAPUSNYA NAK MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA

A. Hapusnya Hak Penuntut

Hak penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap setiapmana yang


dituduh melakukan suatu tindak pidana dijabarkan Pasal 137 KUHAP (UU NO 8
Tahun 1981), yang berbunyi:

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang


didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

Pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum ke pengadilan yang berwenang


mengadili harus lengkap dan memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke
pengadilan. Penuntutan perkara tindak pidana merupakan tahapan yang saling
berhubungan dengan tahapan-tahapan yang lain di dalam proses hukum acara pidana.
Tahapan penuntutan (Vervolging) pada amanya merupakan tahapan kedua setelah
tahapan penyidikan (opsporing) dari penyidik kepolisian.

Akan tetapi, tidak terhadap semua perkara tindak pidana dapat dilakukan
penuntutan oleh penuntut umum. Di dalam hukum pidana terdapat alasan alasan yang
menyebabkan suatu perkara tindak pidana hapus karena keadaan keadaan tertentu
yang disyaratkan oleh undang-undang pidana di antaranya, yaitu : adanya putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap, kematian si pelaku tindak pidana daluwarsa,
penyelesaian perkara di luar proses pengadilan, amnesti dan abolisi.

67
B. Hapusnya Menjalankan Pidana

Hak-hak Jaksa untuk melakukan eksekusi setelah putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum di dalam hukum acara pidana diatur di dalam Bab XIX tentang
"Pelaksanaan Putusan Pengadilan" mulai Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Akan
tetapi, seringkali eksekusi terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat dilaksanakan,
karena adanya kematian si terpidana, daluwarsa hak eksekusi dan grasi.

DAFTAR PUSTAKA

Wiyanto, R. (2012). Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung : CV. Mandar


Maju.

68

Anda mungkin juga menyukai