Anda di halaman 1dari 80

Indah Dwiprigitaningtias, S.H.,M.H.

HUKUM PIDANA DAN


PERKEMBANGANNYA

Prodi Hukum fakultas ilmu sosial dan politik

Universitas jenderal achmad yani

2016
DAFTAR ISI

Pengantar

BAB 1 Hukum Pidana dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana

BAB 2 Asas-asas berlakunya UU Pidana

BAB 3 Tindak Pidana

BAB 4 Ajaran tentang terjadinya tindak pidana

BAB 5 Ajaran Kausalitas

BAB 6 Sifat Melawan Hukum

BAB 7 Kesalahan

BAB 8 Interpretasi UU Pidana

BAB 9 Delik

BAB 10 Penyertaan

BAB 11 Hukum Penintensier


PENGANTAR

Seperti yang telah diketahui bersama, salah satu tujuan hukum yang paling
utama, disamping menjamin tercapainya rasa keadilan, juga menciptakan
ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sosial. Salah satu alasan yang
mendasari perlu diciptakannya ketertiban dan keamanan adalah adanya
persoalan-persoalan yang seringkali terjadi dalam ruang lingkup hubungan antar
manusia, yang merupakan bagian dari dinamika kehidupan bermasyarakat.
Berbagai persoalan tersebut mencakup seluruh segi kehidupan sosial, termasuk
di bidang hukum

Salah satu aturan hukum yang dibuat untuk menjaga ketentraman


masyarakat dari pelanggaran kaidah hukum adalah hukum pidana. Hukum
pidana dapat menjaga ketentraman masyarakat, karena Hukum pidana adalah
bagian dari pada keseluruhan aturan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menemukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,


yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
2. Menemukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dan dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut
BAB 1

HUKUM PIDANA DAN ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA

a. Arti Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah Hukum sanksi istimewa, sebagian besar ahli


hokum mengatakan bahwa Hukum Pidana bersifat Hukum Publik,
pendapat ini didukung oleh Van Apeldorn, Van Hamel dan Von Kich
(Utrecht 1963 : 59).

Menurut Sudarsono, Pengertian Hukum Pidana adalah hukum


yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan
umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan
suatu penderitaan.

Menurut WPJ. Pompe, Pengertian Hukum Pidana ialah


keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyaknya bersifat
umum yang abstrak dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.

Wirjino Prodjodikor mengatakan bahwa Pengertian Hukum


Pidanamerupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana”
diartikan sebagai “dipidanakan” dimana oleh instansi tertentu yang
berkuasa dilimpahkan kepada seseorang oknum sebagai hal yang tidak
enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

Pengertian Hukum Pidana Menurut Moeljatno yaitu bagian


daripada keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara, dimana
dasar-dasar dan aturan-aturannya untuk :

a. Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh


dilakukan (dilarang) dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang
melanggarnya.
b. Hukum pidana menentukan kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana
c. Hukum pidana Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.
Dari pengertian hukum pidana diatas dapat disimpuLkan bahwa,
Pengertian Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman
apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Hukum pidana bukanlah yang mengadakan norma hukum itu
sendiri, tetapi sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan
untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut. Norma lain itu
misalnya norma kesusilaan dan agama, contohnya menentukan : jangan
mengambil barang milik orang lain, jangan membunuh, jangan menghina
orang lain dan sebagainya.

b. Arti Pengetahuan Hukum Pidana

Obyek ilmu pengetahuan hukum pidana, terutama adalah mempelajari


asas -asas dan peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku,
menghubungkan asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan yang
lainnya, mengatur penempatan asas-asas/peraturan-peraturan tersebut dalam
suatu sistematika, agar dengan demikian dapat dipahami pengertian yang
obyektif dari peraturan-peraturan yang berlaku (hukum pidana positif) yang
merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan hukum pidana.
Tugas utama dari ilmu pengetahuan hukum pidana adalah untuk
mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum (tindak) pidana yang
berlaku pada suatu waktu dan negara (tempat) tertentu. Ia mempelajari
norma-norma dalam hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi), dan
kemudian menerapkan hukum pidana yang berlaku secara teratur dan
berurutan (sistimatika). Dengan perkataan lain, ia mengolah suatu tindak
pidana yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan hukum
pidana yang berlaku. Selanjutnya dalam perkembangannya ia tidak terbatas
hanya mempelajari kenyataan-kenyataan tersebut, tetapi juga hal-hal yang
bersangkut paut dengan hukum pidana yang bersifat filosofis, dogmatis, dan
historis.
Selain dari ilmu pengetahuan hukum pidana berfungsi mempelajari dan
menjelaskan hukum pidana yang berlaku, mengkonstruksikan dan
mensistematisirnya, juga harus digunakan untuk mempelajari sebab – sebab
dari suatu tindak pidana dan cara memberantasnya. Dengan demikian
timbullah suatu ilmu pengetahuan yang baru, yang semula hanya merupakan
ilmu pengetahuan tambahan bagi hukum pidana, yaitu ilmu pengetahuan
tentang kejahatan (kriminologi).

c. Persamaan dan perbedaan pengetahuan hukum pidana dengan


kriminologi
1. Persamaan : baik kriminologi maupun pengetahuan hukum pidana
mengandung unsur-unsur persamaan yaitu objek kejahatan dan adanya
upaya-upaya pencegahan kejahatan.
2. Perbedaan:
a). Kriminologi; ingin mengetahui apa latar belakang seseorang
melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr.x
melakukan kejahatan.
Hukum pidana : ingin mengetahui apakah Mr.x telah melkukan
kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah apakah Mr. x telah
melakukan kejahatan.
b). Hukum pidana terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru
langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu
melakukan kejahatan.
c). Kriminologi memberi bahan dalam perumusan perundang-
undangan pidana.
Hukum pidana pengertian kejahatan telah dirumuskan
(dikodifikasikan) dalam
KUHP pidana dalam KUHAP.

d. Fungsi Hukum Pidana

1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama
saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk
mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau menyelenggarakan suatu tata
dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu
kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana yang telah
ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih
tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-
aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan
Jika ditinjau secara umum, memang fungsi hukum pidana adalah
menjaga ketertiban umum. Artinya dengan adanya hukum pidana,
diharapkan suasana tertib dalam masyarakat senantiasa terwujud.
Sedangkan secara khusus, hukum pidana melindungi kepentingan individu
yang meliputi perlindungan terhadap nyawa, perlindungan terhadap harta
benda, dan perlindungan terhadap kehormatan, juga melindungi setiap
kepentingan masyarakat yang ingin dicapai serta kepentingan negara.
Sementara mengenai memberikan keabsahan kepada negara dalam
rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum, dalam buku
karangan Eddy O.S. Hiariej yang berjudul Prinsip- Prinsip Hukum Pidana,
dijelaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum
negara, masyarakat dan/ atau individu, maka dalam batas- batas yang
ditentukan oleh undang- undang, negara dapat menjalankan alat- alat
kekuasaannya untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum
yang dilanggar.

e. Sumber Hukum Pidana

Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi


dan sistem di luar kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa yang
termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan
yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum.
Namun di luar KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang
perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana.
Dalam hal ini, Loebby Loqman membedakan sumber-sumber hukum
pidana tertulis di Indonesia adalah :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;
3. Undang-undang Hukum Pidana Khusus;
4. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.
Di negara-negara Anglo Saxon tidak dikenal satu kodifikasi atas
kaidah-kaidah hukum pidana. Masing-masing tindak pidana diatur dalam
satu Undang-undang saja. Hukum pidana Inggris misalnya, walupun
bersumber dari Common Law dan Statute Law (undang-undang), hukum
pidana Inggris terutama bersumber pada Common Law, yaitu bagian dari
hukum inggris yang bersumberdari kebiasaan atau adat istiadat
masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi
bersumber dari hukum tidak tertulis dan dalam memecahkan masalah atau
kasus-kasus tertentu dikembangkan dan diunifikasikan dalam keputusan-
keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena
itu, Common law ini sering juga disebut case law atau juga disebut hukum
presedent.

Lain halnya dalam negara dengan sistem hukum Eropa


Kontinental. Hukum pidana dikodifikasikan dalam suatu kitab Undang-
undang. Berbagai tindak pidana diatur dalam satu kitab Undang-undang.
Tetapi ternyata sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak
pidana di luar KUHP. Inilah yang disebut sebagai tindak pidana khusus
dalam arti sebenarnya. Contoh undang-undang ini adalah Undang-undang
Anti Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, UU Traficking dan lain
sebagainya (Erdianto Effendi, 2011. HUKUM PIDANA INDONESIA Suatu
Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung)
Sumber Hukum Materiil dan Formil.

Secara umum terlihat ada 2 sumber hukum, yaitu sumber hukum


dalam arti materiil dan formil sebagai berikut :

1. Sumber hukum materiil.


Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah
hukum yang mengikat setiap orang.Sumber hukum materiil berasal dari
perasaan hukum masyarakat, pendapat umum, kondisi sosial-ekonomi,
sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi, agama, moral,
perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain. Dalam
kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang
mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU,
pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).
Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi
materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum
itu diambil untuk membantu pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah
faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
Ø Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan
yang harus ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk
hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Ø Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup
dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai
petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur
ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain. Faktor-faktor
kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
a. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara
lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-
perkembangan perusahaan dan pembagian kerja.
b. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah
berkembang dan
pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
c. Hukum yang berlaku.
d. Tata hukum negara-negara lain.
e. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
f. Kesadaran hukum.
2. Sumber hukum dalam arti formil.
Sumber hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu
yang merupakan d asar berlakunya hukum secara formil. Jadi sumber
hukum formil merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan
agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum. Sumber hukum
yang bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara
pembentukannya, terdiri dari:
Apa beda antara undang-undang dengan peraturan perundang-
undangan ? Undang-undang dibuat oleh DPR persetujuan presiden,
sedangkan peraturan perundang-undangan dibuat berdasarkan wewenang
masing-masing pembuatnya, seperti PP, dan lain-lain atau Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum
(Pasal 1 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004).
Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas :
1. Undang-undang (Statue).
2. Kebiasaan (custom).
3. Traktat (Perjanjian Internasional).
4. Putusan Hakim (yurisprudensi).
5. Doktrin.

f. Bidang Umum dan Bidang Khusus Hukum Pidana


Hukum pidana di Indonesia terbagi dua yaitu hukum pidana umum
dan pidana khusus. Secara definitif, hukum pidana umum dapat diartikan
sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum yang tercantum
dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) serta perundang-undangan
yang mengubah dan menambah KUHP. Contohnya dengan keluarnya
undang-undang nomor 7 tahun 1974 tentang penerbitan perjudian
diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 6 November 1974, yang
mana dalam pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa semua
tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.
Oleh karena itu ketentuan-ketentuan mengenai perjudian yang
dinyatakan dalam beberapa pasal KUHP perlu diadakan perubahan
adapun perubahan dimaksud menyangkut ancaman hukuman bagi
pelanggarnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus bisa
dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki
sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan
khusus di luar KUHP.
Andiamzah dalam tulisan Aziz Syamsuddin yang dimaksud hukum
pidana khusus adalah peraturan hukum pidana yang tercantum di luar
KUHP dapat disebut undang-undang pidana tersendiri atau disebut juga
hukum pidana di luar kodifikasi atau non kodifikasi.
Menurut Adami Kasami (2005: 11), yang dimaksud hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua
warga Negara (sebagai subyek hukum) dan tidak membeda-bedakan
kualitas pribadi subyek hukum tertentu dan setiap warga negara harus
tunduk dan patuh terhadap ketentuan tersebut
. Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum
tertentu saja. Misalnya kejahatan jabatan bagi orang-orang warga negara
yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau hukum pidana yang termuat
dalam kitab undang-undang hukum pidana tentara (KUHPT) yang hanya
berlaku bagi subyek hukum anggota TNI saja.
BAB 2

ASAS ASAS BERLAKUNYA UU PIDANA

a. Asas Legalitas

Menurut sejarahnya, asas legalitas pertama kali dicetuskan oleh Paul


Johan Anselm von Feurbach. Setidaknya asas legalitas terkunci dalam
postulat “nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenali”—-tidak ada
perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa Undang-Undang pidana
sebelumnya (Prasetyo, Teguh. 2011.Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrapindo
Persada).
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali
atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang
telah ada terlebih dahulu.
Jika principat dalam hukum pidana ini diturunkan lebih lanjut.maka akan
menjadi tiga frasa, meliputi:
1. Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
Undang-Undang);
2. Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana);
3. Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut Undang-Undang)
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal
dengan adagium(pepatah) legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut
dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman
tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von
Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tidak ada
hukuman, kalau tak ada Undang-undang, 2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada
kejahatan 3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan
Undang-undang.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas
legalitas yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-
undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

b. Asas Nullum Delictum

Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ini berasal darivon
Feuerbach, sarjana hukum pidana dari Jerman, yang merumuskannya dalam
bukunya yang berjudul "Lehrbuch des peinlichen Recht" (1801). Perumusan
asas legalitas dari von Feuerbach tersebut dikemukakan berhubung dengan
teorinya yang dikenal dengan nama teori "vom psychologischen zwang", yaitu
yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang
harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan. Dengan cara demikian, maka oleh orang yang akan melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut, terlebih dahulu telah diketahui pidana apa
yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Pendirian
von Feuerbach mengenai pidana adalah pendirian yang tergolong absolut atau
mutlak, sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).

c. Asas Teritorial

Asas Teritorial adalah asas yang berdasarkan pada kekuasaan negara


atas daerahnya. Menurut asas ini bahwa bahwa negara hukum bagi semua
barang yang ada diwilayahnya. Jadi terhadap semua barang atau orang yang
berada di luar wilayah tersebut berlaku hukum asing Internasional sepenuhnya.
Prinsip Teritorial yang dimilikinya seperti: Prinsip ini lahir dari pendapat bahwa
sebuah negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda, dan
terhadap kejadian – kejadian di dalam wilayah sehingga dapat menjalankan
yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali
dalam hal adanya kekebalan yurisdiksinya seperti yang berlaku pada diplomat
asing).
Dalam masalah yang diterapkan oleh Asas Teritorial ini mendapatkan
penerapan yang akan menemui kesulitan dalam hal Tindakan Kriminal yang
melibatkan antara 2 negara atu lebih di suatu negara tersebut.
Contoh Asas Teritorial yaitu Seseorang Pria menembakkan senjatanya di
dalam wilayah negara Ruritania dan melewati batas negara tersebut sehingga
mengenai pria lain dan terbunuh di negara Bloggovia. Dalam peristiwa ini adanya
penembakkan yang terkena oleh seseorang, maka penyelesaia yang tepat yaitu
Asas Teritorial yang mengenal 2 metode pelaksanaan yaitu secara Subyektif dan
secara Obyektif.
Perluasan dari Asas Teritorial diatur dalam pasal 3 KUHP yang
menyatakan : Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

d. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)

Undang-undang Indonesia juga berkuasa melakukan penuntutan terhadap


siapapun juga di luar negara Indonesia juga terhadap orang asing di luar
Indonesia. Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap
negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau
kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang
tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat,
ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan
nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional
tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan
negara serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang,
angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala
negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan
RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;
6. Asas Universalitas
Undang-undang pidana dapat juga diperlakukan terhadap kejahatan-
kejahatan yang bersifat merugikan kesalamatan internasional yang terjadi di
dalam daerah yang tak bertuan (daerah kutub, lautan terbuka). Dalam hukum
internasional diakui kesamaan hak dari setiap negara yang berdaulat dan
seakan-akan adanya “satu negara dunia”. Selanjutnya dalam hukum
internasional diakui pula suatu asas bahwa terhadap mereka yang melakukan
tugas perwakilan kenegaraan diluar negrinya, kebal terhadap hukum dimana ia
bertugas

e. Asas Personal (Nasionaliteit aktif)

Yakni apabila warganegara Indonesia melakukan ke-jahatan meskipun


terjadi di luar Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia,
apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia.
Sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di negara
asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat
dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP.

f.Asas Universal

Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang


melakukan perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana
Indonesia di luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh
dunia. Asa ini melihat hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang
wilayah dan orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis
kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak
hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara
universal kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.
BAB 3

TINDAK PIDANA

a. Pengertian

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang
hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-
undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum,
sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu
pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang
abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana,
sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. (Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum
Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hal 62 )

Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana,


maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa
dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan
bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan
pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum
jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar
mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan,
selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang
menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi
masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. (Diktat Kuliah Asas-asas
Hukum Pidana )

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar
pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi
sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai
perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality)
asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,
biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.
(Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar
Baru, 1990).

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang
dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk
adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan
bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk
kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut
telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga
atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala
bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana
telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana
sesuai dengan pasal yang mengaturnya. (Nawawi Arief, Barda. 1996.Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung Citra Aditya Bakti)

b. Penggolongan

Secara umum tindak pidana dapat dibedakan kedalam beberapa pembagian.


- Tindak pidana dimaksud dapat dibedakan secara Kualitatif atas Kejahatan dan
Pelanggaran :

1.KEJAHATAN:
Secara doktrin Ketajahatan adalah Rechtdelicht, yaitu perbuatan perbuatan yang
ebrtentangan dengan kedailan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak. sekalipun tidak dirumuskan sebagai
delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak
pidana ini jugasering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dukualisifikasikan sebagai Rechtdelicht dapat disebut anatara lain pembunuhan,
pencurian dan sebagainya.

2.PELANGGARAN:
Jenis tindak pidana ini disebut Wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai
tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya
dengan sanksi pidana. tindaka pidana ini disebut juga mala qui prohibita.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualisifikasikan sebagai sebagai wetsdelicht
dapat disebut misalnya memarkir mobil disebelah kanan jalan, berjalan dijalan
raya disebelah kanan dan sebagainya Dalam perkembangannya pembagian
tindak pidana secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut
diatas tidak diterima. Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara
kualitatif tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru
disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam
undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua Kejahatan merupakan
perbuatan yang benar-benar telah dirasakan mnasyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga pelanggaran yang memang
benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan kedailan, sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan
sebagai tindak pidana dalam Undang-undang.

- Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Formil dan tindak pidana
Materiil :

1. Tindak pidana Formil :

Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Perbuatan yang
dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Formil adalah
tindak pidana yang telah dianggap terjadi/selesai dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibat.
Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana Formil dapat disebut
misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP, penghasutan
sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHP dan sebagainya.

2. Tindak pidana Materiil :

Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Akibat yang
dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Materiil adalah
tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi , atau dianggap telah selesai
apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Jadi jenis pidana ini
mempersyaratkan terjadionya akibat untuk selesainya. Apabila belum terjadi
akibat yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak pidana ini, yang
terjadi baru percobaan . Sebagai contoh misalnya tindak pidana pembunuhan
pasal 338 KUHP dan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP dan sebagainya.:

c. Subjek

Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban


pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia
harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan
dasar penghapus pidana. (Adami Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana
Bagian II ( Fenafsiran Hukum Pidana,Dasar Peniaadaan,pemberat dan
peringan,kejahatan aduan,perbarengan dan ajaran kausalitas). Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, hlm. 16.)

Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan


(deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil
bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan,
siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum
pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.

Dalam KUHP terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.(R.


Soesilo, 1991. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea., hlm. 73-
75).

a Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak
pidana.
b Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan,
penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana,
melainkan (menyuruh) orang lain.

c Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai


niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai
kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.

d Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking


unsur perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara
memberikan/menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan
menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta pemberian
kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.

e Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan


membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.
BAB 4

AJARAN TENTANG TERJADINYA TINDAK PIDANA

a. Tentang tempat terjadinya (LOCUS DELICLTI)

Locus Delicti, Locus (inggris) yang berarti lokasi atau tempat, secara istilah
yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan
pidana. Locus delicti perlu diketahui untuk: (https://www.linkedin.com/pulse/sifat-
melawan-hukum-dalam-pidana-togi-sirait?forceNoSplash=true)
1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan
pidana tersebut atau tidak.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus
perkaranya (kompetisi relative).
3. Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.

Teori Tempus Delicti dibagi menjadi 4 yaitu;

1. Teori Perbuatan Fisik (de leer van de lichamelijke daad)


2. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan
3. Teori Akibat

Teori Tempat Yang Jamak:

1. Teori perbuatan materiil (de leer van de lichamelijke daad)

Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak
pidana (Locus Delicti) didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah
sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat
terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempatdimana perbuatan tersebut
dilakukan.
contoh kasus

anda seorang mahasiswa Universitas Muhammadia Malang, suatu hari anda


sedang mengerjakan tugas anda diluar. setelah anda membaca artikel saya ini,
kemudian Anda berniat kembali ke kost Anda. Diperjalanan menuju kost datang
seseorang yang memusuhi anda, lalu tiba-tiba Ia menikam Anda. Kondisi Anda
sekarat tapi belum mati, dan dilarikan kerumah sakit Surabaya. 3 hari kemudian
anda tewas.

pertanyaannya adalah, dimana locus delictinya? jika merujuk pada teori diatas
maka locus delikctinya di Malang kerena pada waktu kejadian penikaman anda
di Malang. samapai disini apakah anda sudah mengerti? jika tidak silahkan baca
ulang.

2. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan (de leer van het instrument)
teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau Teori
Instrumental. menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus
delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak
pidana. akbiat apa? bisa kematian, penderitaan, kerugian dan akibat-akibat lain.
namun dalam kasus anda tadi akibat yang timbul adalah anda mati karena anda
ditikam. hehe kejam banget ya..

contoh

Suatu hari hari Anda mengirip paketan buku kepada musuh anda yang berda
diluar kabupaten Malang, anggap saja musuh anda di Surabaya. Ketika musuh
Anda membuka paketan tersebut DOORRRR ternyata isinya adalah BOM.
musuh anda terluka atau mati. Dimana locus delictinya? berdasarkan ajaran
instrumen maka locus deliktinya di Surabaya. Karena instrumen yang digunakan
dalam tindak pidana tersebut menyebabkan akibat di Surabaya.

Teori Akibat

ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini
bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah tempat
dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.
Menurut Van Hamel , bahwa yang harus diterima sebagai locus delicti, ialah :
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang
dilarang (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud.
4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.

b. Tentang Waktu terjadinya (Tempus delicti)

Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan diketahuinya
tempus delicti adalah sbb :

1. untuk keperluan kadaluarsa dan hak penuntutan


2. untuk mengetahui apakah pada saat itu sudah berlaku hukum pidana atau
belum
3. apakah si pelaku sudah mampu bertanggung jawab atau belum
Dalam hubungannya dengan pelbagai ketentuan umum dalam KUHP,
mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal sebagai berikut: (Chamzawi,
Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).

a. Tindak pidana penting mengenai hubungannya dengan ketentuan


Pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-
undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan apakah
tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan
perundang-undangan. Bila dilakukan sebelum perubahan, maka apakah
akan memperlakukan perundangan yang berlaku sebelum tindak pidana
dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni terhadap
ketentuan mana yang paling menguntungkan terdakwa. Bila yang
menguntungkan itu adalah aturan yang baru, maka aturan tersebut yang
diberlakukan.
b. Tindak pidana penting mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal
penjatuhan pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa
karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana
ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Jika ketika melakukan tindak
pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan pasal 45, 46 dan 47
KUHP. Kini ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak berlaku. Kini
berlaku UU no. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak, yaitu pentingnya
mengetahui waktu peristiwa pidana sehubungan dengan peradilan yang
akan mengadili si pelaku tersebut, karena apabila saat kejadian terdakwa
sekurang-kurangnya berumur 8 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan
belum kawin, maka si terdakwa tersebut diadili dengan peradilan anak.
Apabila saat melakukan tindak pidana umur pelaku belum sampai 18 tahun
dan belum kawin, tetapi pada saat diajukan kepersidangan umurnya lebih
dari 18 tahun dan belum mencapai 21 tahun, maka pelaku tersebut tetap
diadili di peradilan anak (Pasal 4 UU No.3 tahun 1997). Apabila dalam hal
ini si pelaku belum mencapai umur 8 tahun, maka terhadap anak itu dapat
dibina oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, penyidik
menyerahkan anak tersebut kepada orang tuanya atau pengasuhnya
tersebut.
c. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan
ketentuan kadaluwarsa bagi hak Negara untuk melakukan penuntutan
pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78-81 KUHP. Kadaluarsa
yang dimaksud baik kadaluwarsa mengenai memalsukan pengaduan baik
tindak pidana aduan, kadaluwarsa menjalankan hukuman maupun
kadaluwarsa melakukan penuntutan terhadap si pelaku tindak pidana
tersebut.
d. Tindak pidana penting mengenai hal untuk menentukan usia korban
ketika tindak pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, di mana
ketika tindak pidana dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290).

e. Tindak pidana penting mengenai hal yang berhubungan dengan


keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindak pidana sebagaimana
ditentukan dalam pasal 44 KUHP. Misalnya ketika petindak melakukan
tindak pidana terdapat keadaan jiwa sebagaimana keadaan jiwa yang
cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu jiwanya karena penyakit.
Akan tetapi, ketika dia sembuh, tetap ia tidak dapat dipidana. Lain halnya
ketika tindak pidana dilakukan saat jiwanya dalam keadaan normal (sehat),
namun kemudian ia sakit, maka selama jiwanya sakit ia tidak dapat diadili.
Akan tetapi, setelah ia sehat, peradilan tetap dilangsungkan, dan
terhadapnya tetap dapat dipidana. Tindak pidana penting mengenai hal
yang berhubungan dengan pengulangan (recidive) beberapa kejahatan
sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. Bagi
kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal itu, pidana yang dijatuhkan
pada petindak yang melakukan tindak pidana tersebut belum lima tahun
sejak yang bersangkutan menjalani pidana yang dijatuhkan karena dulu
melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan sepertiga dari
pidana yang diancamkan pada kejahatan tersebut.

2. Teori
Teori Tempus Delicti antara lain yaitu: (Kansil, Chistine S.T., Pokok-Pokok
Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007).

a. Teori perbuatan jasmani

Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu tindak


pidana adalah waktu di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur
tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.

b. Teori alat

Menurut teori alat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana alat digunakan
dan bekerja efektif dalan hal terwujudnya tindak pidana.

c. Teori akibat

Menurut teori akibat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana akibat dari
perbuatan itu timbul.

Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya, A mengundang seluruh
sanak familinya ke Jakarta, termasuk B (pamannya) yang tinggal di
Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 ini diselenggarakan tanggal 5
januari sesuai tanggal kelahiranya.
Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya.
Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran
sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli waris,
sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan
oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan
kepala yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke
Surabaya. Sementara pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok
harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya.
Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang
memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah
sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas terakhirnya. Laporan
medis yang dikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan,
bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri
depan akibat benturan benda keras.

- Pertanyaan yang muncul atas kejadian ini, dapatkah A dihukum atas


perbuatannya terhadap B?b

:Jawab

1. Menurut teori perbuatan jasmani, bahwa perbuatan/pertengkaran


secara fisik yakni pelemparan asbak rokok ke kepala B hingga luka dan
berdarah dan menyebabkan B mati, dilakukan (terjadi) di tanggal 4 januari.
Dimana tanggal tersebut, A masih berusia 17 tahun (dibawah 18 tahun)
vide UU no.3/1997. Oleh karena itu berdasarkan ajaran ini hakim dapat
memutuskan 1 diantara 3 kemungkinan yaitu:
a. Mengembalikan A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina
atau.
b. Diserahkan kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke
rumah pendidikan negara guna dididik hingga perilakunya berubah dan
sampai usia 18 tahun.
c. Menjatuhkan pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.
2. Menurut teori alat, bahwa bekerjanya/bereaksinya asbak rokok
sebagai alat yang melukai kepala B dalam pertengkaranya dengan A,
terjadi tanggal 4 januari dimana tanggal tersebut A masih berusia 17 tahun
(dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap A majelis hakim dapat
menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti pada ajaran no.1
diatas.
3. Menurut teori akibat, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B
meninggal tanggal 9 januari. Dimana pada tanggal tersebut A sudah
berusia 18 tahun dengan demikian A sudah dapat dijatuhi hukuman orang
dewasa
BAB 5

AJARAN KAUSALITAS

Secara etimologi, Kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang
berarti sebab. Kata Kausa dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau
dasar hukum; suatu sebab yang dapat menimbulkan suatu
kejadian. Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kausalitas merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan
akibat. Dalam ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk
menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang
tidak dikenhadi undang-undang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus
pidana menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sendiri tidak petunjuk tentang hubungan sebab dan akibat yang
dapat menimbulkan delik. Meskipun dalam beberapa pasal KUHP dijelaskan
bahwa dalam delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna
menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya (M. Marwan & Jimmy P., Kamus
Hukum, (Surabaya:Realiti Publiser,2009), hlm 326).

a. Tindak Pidana dalam delik comissionis

Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang


oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal
372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempat
dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure
pertanggungjawaban pidana.

b. Tindak Pidana dalam Delik Ommissionis

Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni,
tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik ommisionis terdapat
dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
c. Sebab akibat

Hubungan sebab akibat ( kausalitas). berasal dari kata causalitas yaitu


sebab. ajaran ini banyak berhubungan dengan delik materiil. sebab inti dari delik
materiil adalah adanya akibat yang dilarang. Tujuan pada akibat adalah sebab
dari pada akibat. disini dicari banyak atau beberapa sebab yang dinamakan
syarat dari akibat itu. adalah tiap perbuatan yang merupakan syarat dari akibat
apabila perbuatan itu tidak dapat ditiadakan untuk menimbulkan suatu akibat
(Hamzah , Andi. 2010. Asas asas hukum pidana. jakarta: Rineka cipta.).

Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum
dan mantan presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman. Von Buri
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau
bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari
rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat).
Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan sederajad tidak membedakan faktor
syarat dan faktor penyebab. Jika salah satu syarat tidak ada maka akan
menimbulkan akibar yang lain pula. Teori ini juga disebut dengan equivalent
theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya
tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab.] Ajaran ini berimplikasi pada
perluasan pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.(Sudarto. 1983.Hukum
Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru).
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada
orang yang mati ditembak orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata api,
perusahaan senjata api juga bertanggung jawab atas kematian orang tersebut.
Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof. Moelyatno
tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah benar. Teori
inibertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang
justru membedakan antara syarat dan penyebab. Menurutnya, perbuatan
seorang penjual senjata api tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya
seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembunuhnya. Beliau
membedakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran
tentang kesalahan digunakan apabila terdakwa telah terbukti melakukan
perbuatan pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan apakah
terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat
dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan
dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara
konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab.
Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki
peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah
Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885
yang menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan,
tidak semua dapat digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor
yang dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan penyebab
timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah bagaimana menentukan faktor yang
dominan dalam suatu perkara Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi
faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam ilutrasi di
atas. Dan pengemudi mini bus yang membunyikan klakson tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan teori ubergewischts
theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan
sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi
karena faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif)
daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor
sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan
memenangkan faktor positif tadi.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian
faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan
dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut
akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu
akibat. Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa
terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang menurut akal dan
kewajaran manusia.
4. Ajaran Kausalitas dalam Hal Berbuat Pasif
Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan menjadi
tindak pidana aktif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif (tindak
pidanaomisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang disebabkan oleh
perbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk
berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan
suatu perbuatan akan tetapi dia tidak melakukan (pasal 304 KUHP) atau
diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang (pasal 522 KUHP).
BAB 6
SIFAT MELAWAN HUKUM

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan hal pokok yang harus
ada/mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Kata melawan hukum adalah
kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa
Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful.
Dengan demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau unlawfulness dapat
diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum. Terminologi
wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana,
sedangkanonrechtmetige dalam bidang hukum perdata. Sehingga tindak pidana
(strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya
adalah feit yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum
(Poernomo, Bambang.1994. asas asas hukum pidana. jakarta: Ghalia
indonesia.).
A. Ajaran hukum Formil
Menurut Ajaran melawan hukum formil (fungsi negatif)
mengatakan, jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan
melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat
menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, tidak tercela, maka
hukumnya tidak berlaku contoh permainan tinju, menurut pasal 351 KUHP
tentang penganiayaan diancam dengan hukuman paling lama 2 tahun 8
bulan, kalau luka berat ancaman hukumannya maksimum 5 tahun, sama
juga dengan merusak kesehatan. Tapi kenyataannya, pasal KUHP ini tidak
berlaku bagi permainan tinju, walaupun saling menyakiti badan/tubuh lawan
masing-masing (menganiaya), karena masyarakat menganggap wajar-wajar
saja atau biasa-biasa saja, tidak tercela dan dilakukan atas kehendak
masing-masing.
- Nah apakah perbuatan cipika-cipiki antara laki-laki dengan
perempuan juga seperti halnya permainan tinju, yang masyarakat anggap
biasa-biasa saja, tidak tercela? Barang kali hal ini memerlukan suatu
penelitian yang lebih mendalam, karena melanggar norma agama yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin berbeda halnya
kalau cipika-cipiki dilakukan dinegara Belanda khususnya atau Eropa pada
umumnya.
b. Ajaran Hukum Materil
Ajaran melawan hukum materil (fungsi positif) mengatakan
bahwa bila suatu perbuatan dilakukan melanggar norma-norma tidak
tertulis yang ada di dalam masyarakat dan tercela, tetapi tidak diatur di
dalam hukum positif atau hukum tertulis tidak mengatur pada
masyarakat tersebut, masih dapat diancaman hukum pidana penjara
berdasarkan Undang-undang Drt No 01/1951, yaitu pada Pasal 5 sub b
menyatakan bahwa jika suatu perbuatan oleh hukum tertulis dianggap
tidak melawan hukum, tetapi masyarakat mencela, dapat di jatuhi
hukuman ringan atau berat. Berat ringannya hukuman tergantung
penilaian masyarakat setempat. Di samping itu pelaku dikucilkan dari
masyarakat atau dicemoh (Zainal Abidin, Andi. 1987, Asas-Asas
Hukum Pidana (Bagian Pertama). Bandung. Alumni.).
Dalam sifat melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
a. Fungsi negative

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang


negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar
undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus
sifat melawan hukum.

Contoh : Kasus pencurian nasi bungkus seharga Rp 1.500,-


oleh seorang ibu yang karena keadaan terpaksa melakukan perbuatan
tersebut dengan alasan anaknya sudah tidak makan dalam 3 hari dan
anaknya itu sedang sakit. Perbuatan ibu tersebut secara formil
memenuhi unsur pasal 362 KUHP (WvS) tantang pencurian, namun ibu
tersebut dapat dibebaskan dari jeratan pasal tersebut karena adanya
alasan pembenaran dari hukum yang tidak tertulis yang bersifat materiil.
Karena dalam situasi dan kondisi tersebut, jika ibu tersebut tidak
melakukan perbuatan melawan hukum, dapat berakibat hilangnya
nyawa anak dari ibu tersebut. Yang berhak menentukan alasan
pembenaran diluar peraturan perundang-undangan adalah Hakim,
namun aparat penegak hukum lainnya juga harus memperhatikan dan
mempertimbangkan adanya fungsi negatif dari sifat melawan hukum
materiil ini.

b. Fungsi positif

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya


yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu
delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-
undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain
yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

Contoh : Peristiwa adat carok di Madura, yang merupakan


jalan terakhir penyelesaian konflik antar warga Madura dengan cara
bertarung saling membunuh dengan menggunakan alat sabit, dianggap
sebagai perbuatan yang wajar dilakukan untuk di lingkungan
masyarakat Madura. Peristiwa ini pasti akan membawa kematian bagi
salah satu pihak yang bersengketa, meski perbuatan membunuh
dibenarkan oleh masyarakat setempat, namun orang yang melakukan
pembunuhan tersebut tetap dapat dijerat dengan pasal 338 KUHP
(WvS). Dilain sisi, hukum carok yang berlaku di masyarakat tersebut
hanya dapat sebagai alas an pembenaran untuk mendapatkan
keringanan.

C. Ajaran Hukum Pidana Positif

Hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis


dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadilan dalam negara Indonesia." Penekanan "pada saat ini sedang
berlaku," karena secara keilmuan rechtwefenschap, pengertian hukum
positif diperluas. Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan
termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Perluasan ini
timbul karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif dimasukkan
unsur "berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu." Hukum yang
pernah berlaku, adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu dan
tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif, walaupun
dimasa lalu. Memasukkan hukum yang pernah berlaku sebagai hukum
positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian keilmuan yang
membedakan antara ius constitutum dan ius constituendum (Moeljatno.
2002. Azas-azsas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.).

Hukum positif Indonesia juga berlaku dimana Indonesia


mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) atas wilayah yang tidak
lagi masuk wilayah teritorial negara Indonesia seperti pada Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE).

d. Ajaran Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat


terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan
karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, kendati
demikian, tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan
penderitaan, setidak-tidaknya dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran
melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan (Sudarto, dalam H.
Soetiyono, kejahatan korporasi, ( Malang: bayumedia publishing, 2005) hal.
102)..
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana
yang terdapat dalam suatu Pasal. Salah satu unsur dalam suatu Pasal
adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit
maupun yang secara implisit ada dalam suatu Pasal. Meskipun adanya
sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu Pasal masih
dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan
unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si
pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntatan dan pembuktian di
pengadilan.
Demikian yang disebutkan, bahwa salah satu unsur utama tindak
pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan
pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam
bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk (weder =
bertentangan dengan, melawan; recht = hukum). Dalam menentukan
perbuatan dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat
melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan
undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela
kadang-kadang dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik
cupla.Sedangkan dalam hukum pidana, yang menjadi perhatian adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-
perbuatan inilah yang dihukum dan diancam pidana (Moeljatno, asas-asas
hukum pidana, ( Jakarta: Rineka cipta, 2008 ) hal. 14).
Menurut pendapat para ahli di dalam buku teguh prasetyo mengenai
pengertian melawan hukum antara lain ialah :
1. Simon : melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada
umumnya
2. Noyon : melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif
orang lain
3. Pompe : melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-
undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
4. Van Hammel : melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa
hak/wewenang.
5. Hoge raad : dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan menurut HR
melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.

6. Lamintang berpendapat bahwa perbedaan diantara pakar tersebut


antara lain disebabkan karena dalam bahasa belanda recht dapat berarti
“hak”. Ia mengatakan, dalam bahasa indonesia kata wederrechtelijk itu
berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan
dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau
hukum subjektif ( Teguh prasetyo dan Abdul Hakim Barakatullah, politik
hukum pidana kajian kebijakan kriminalisasi dan deskriminasi. (
yogyakarta : pustaka belajar, 2005 ) hal. 31-32)
Sifat melawan hukum adalah salah satu unsur utama tindak pidana yang
bersifat objektif, di mana sifat
melawan hukum ini di jadikan unsur tertulis dalam pembentukan undang-
undang.
BAB 7

KESALAHAN

a. Pengertian
Dalam hukum pidana dikenal asas yang paling fundamental, yakni Asas
"Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" yang dikenal dengan "keine strafe ohne
schuld" atau "geen straf zonder schuld" atau "nulla poena sine culpa". Dari asas
tersebut dapat dipahami bahwa kesalahan menjadi salah satu unsur
pertanggungjawaban pidana dari suatu subjek hukum pidana. Artinya, seseorang
yang diakui sebagai subjek hukum harus mempunyai kesalahan untuk dapat
dipidana.

Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan


merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat
dan perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan
perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan
hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan
kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan, dalam pidana


subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: 1) Adanya
kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, 2) Perbuatannya tersebut
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 3) Tidak adanya alasan
penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf ( Prodjodikoro, Wirjono.
2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama.)

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu bergantung pada unsur
yang lain. (Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
Bandung).
b. Kesengajaan, Kealpaan, Kelalaian

1. Pengertian Kesengajaan
Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat
dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa)
(Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama.).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) tahun 1809
dijelaskan pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang – undang”;
Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari
kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat
terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya
kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan
tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang
pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti
misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406
KUHP) dan lain sebagainya.

2. Pengertian Kealpaan (culpa)


Di dalam Undang-Undang untuk menyatakan “kealpaan” dipakai
bermacam-macam istilah yaitu: schuld, onachtzaamhid, emstige raden heef om
te vermoeden, redelijkerwijs moetvermoeden, moest verwachten, dan di dalam
ilmu pengetahuan dipakai istilah culpa.
Istlah tentang kealpaan ini disebut “schuld” atau “culpa” yang dalam bahasa
Indenesia diterjemahkan dengan “kesalahan”. Tetapi maksudnya adalah dalam
arti sempit sebagai suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak
sederajat seperti kesengajaan, yaitu: kurang berhati-hati sehinga akibat yang
tidak disengaja terjadi
Penjelasan tentang apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van
Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan
Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan
Rancngan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud denga
“kelalaian” adalah:
a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan
c. Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari
Culpa itu oleh ilmu pengetahuan dan yurisprudensi memang telah
ditafsirkan sebagai “een tekortaan voorzienigheid” atau “een manco aan
voorzichtigheid” yang berarti “suatu kekurangan untuk melihat jauh kedepan
tentang kemungkinan timbulnya akibat-akibat” atau “suatu kekurangan akan
sikap berhati-hati”
Untuk menyebutkan pengertian yang sama dengan “kekurang hati-hatian”,
“kurangnya perhatian” seperti yang dimaksud di atas, para guru besar
menggunakan istilah yang berbeda-beda. Pompe misalnya, talah menggunakan
istilah “onachtzaamheid”, sedangkan Simaons telah menggunakan istilah-istilah
“gemis aan voorzichtigheid” dan “gemis aan voorzienbaarheid”. Van Bemmlen
telah menggunakan istilah “roekeloos”
Sactohid Kartanegara (Sri Widyastuti 2005: 40) merumuskan delik culpa
seiring dengan Culpose Delicten yaitu:
Tindak-tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang hati-hati. Akan tetapi
hukumannya tidak seberat seperti hukuman terhadap Doleuse delicten, yaitu
tindak pidana yang berunsur kesengajaan. Culpose delicten adalah delik yang
mempunyai unsure culpa atau kesalahan (Schuld).
Contoh: -Pasal 359 KUHPidana
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun
-Pasal 188 KUHPidana
Barangsiapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran peletusan atau
banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500,-, jika terjadi bahaya kepada mau orang lain, atau jika hal
itu berakibat matinya seseorang.
Lamintang (1997: 204) mengemukakan tentang delik culpa adalah
“Culpose delicten atau delik yang oleh pembentuk Undang-Undang telah
disyaratkan bahwa delik tersebut terjadi dengan sengaja agar pelakunya dapat
dihukum”.
Demikianlah apa yang dimaksud dengan isi kealpaan itu, menurut ilmu
pengetahuan terhadap delik-delik culpa yany berdiri sendiri. Delik culpa yang
berdiri sendiri, seperti Pasal-Pasal 188. 231 ayat (4), 232 ayat (3), 334, 359, 360,
409, 426 ayat (2), 427 ayat (2), 477 ayat (2) KUHPidana (vide di atas) juga
sering disebut sebagai delict culpoos yang sesungguhnya, yaitu delik-delik yang
dirumuskan dengan perbuatan kealpaan yang menimbulkan suatu akibat
tertentu. Lain halnya dalam menghadapi delict culpoos yang tidak sesungguhnya
(delict pro parte dolus pro parte culpa), seperti Pasal-pasal 283, 287, 288, 290,
292, 293, 418, 480, 483, dan 484 KUHPidana.
Di situ dipakai unsure “dikethui” atau “sepatutnya harus diduga” sehingga
apabila salah satu dari bagian unsure tersebut sudah terpenuhi, cukup untuk
menjatuhkan pidana delict-dolus yang salah satu unsurnya diculpakan.
Persoalan yang terjadi didalam delik culpa yang tidak sesungguhnya, menyebut
dengan istilah elemen culpa, yang ditempatkan sesudah opzet dengan ancaman
pidana yang tidak berbeda.
Kalau dasar adanya kealpaan adalah merupakan kelakuan terdakwa yang
tidak menginsyafi dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi
oleh hukum, maka dasar hukum untuk memberikan pidana terhadap delik culpa,
berarti kepentingan penghidupan masyarakat, yang mengharapkan setiap
anggota memasyarakatkan dalam melakukan perbuatan, beusaha sedemikian
rupa untuk memperhatikan kepentingan hukum sesama anggota masyarakat,
sehingga tidak berbuat lagi jika tidak maka harus berjanggungjawab dengan
mendapat pidana.
Kealpaan yang merupakan perbuatan tidak dengan sengaja (tidak
diinsyafi) akan tetapi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi
hukum, atau tidak melakukan kewajiban yang diharuska oleh hukum, atau tidak
mengindahkan larangan peratran hukum, sebagai suatu jenis kesalahan menurut
hukum pidana. Dengan demikian delik culpa pada dasarnya merupakan delik
yang bagi pembuatnya mempunyai pertanggungjawaban yang berdiri sendiri.
Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, dapat dikatakan bahwa bentuk
kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang mempunyai dasar yang sama
dengan bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana (perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana), dan harus adanya kemampuan
bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa
pemaaf.
Culpa dibedakan menjadikan culpa levissima dan culpa lata. Culpa
levissima atau lichtste schuld, artinya adalah kealpaan yang rinagn, sedangkan
culpa late atau merkelijke schuld, grove schuld artinya adalah kealpaan berat.
Tentang adanya culpa levissima para ahli menyatakan dijumpai di dalam jenis
kejahatan, oleh karena sifatnya yang ringan, akan tetapi dapat di dalam hal
pelanggaran dari buku III KUHPidana, sebaliknya ada pandangan bahwa culapa
levissima oleh Undang-Undang tidak diperhatikan sehingga tidak diancam
pidana. Sedangkan bagi culpa lata dipandang tersimpul didalam kejahatan
karena kealpaan.

3. Pengertian kelalaian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian biasanya


disebut juga dengankesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Hal ini dapat
dilihat dalam penjelasan R. Soesilomengenai Pasal 359 KUHP, dalam bukunya
yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang mengatakan bahwa “karena
salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.
Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang


lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan
disebut dengan culpa. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya
yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia(hal. 72) mengatakan
bahwa arti culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si
pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.
c. dasar Pemidanaan Pidana
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa.
Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang
tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif),teori relatif
(deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori
perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan
berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan


pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena
si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar
hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah
menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si
pelaku harus diberi penderitaan.
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak
peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan
untuk memidana suatu kejahatan.]Penjatuhan pidana pada dasarnya
penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat
penderitaan bagi orang lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan
keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :
1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;
5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan
umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang
dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan
hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah
untuk mencegah (prevensi) kejahatan.
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan
mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan.
Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib
masyarakat itu diperlukan pidana.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan,
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering
juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :
1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana ;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah
gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan
bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum
dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat
daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas
diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini
memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga
diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat
berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan
tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku
kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh
karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku
kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.
Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak
mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun
kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak
dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,
melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih
lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan
utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial
mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan
tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya
seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan
untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada
umumnya.
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara
kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di
sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat
penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

d. Bentuk Kesalahan

Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang


bersifat normatif, unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai
kesalahan, dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti
jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal.
2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik
yang disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa)
3. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus
kesalahan.(Teguh Prasetyo 2011:82)

e. Pertanggung jawaban

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si


pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,
masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena
adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak
dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak
pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat
apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai
kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya
hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan
sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan
perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,
ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar
hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang
yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga
dengan teorekenbaardheid ataucriminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2] Secara
subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat
untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana,
maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakalaterdapat
pertanggungjawabanpidana. Ini berarti setiap orang yangmelakukan tindak pida
na tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana
dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait
erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur
melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.
Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur
melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari
pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam
tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan
seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu
adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur
melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya.
Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat
apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang
dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang
memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.

f. alasan pembenar (Rechtvaardigingsgrond)


Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1). Keperluan
Membela Diri (Noodweer) Pasal 49 ayat 1 : “Tidakalah seorang yang melakukan
suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela
badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya
sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat
melanggar hokum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk)
atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend)”.
Missal : A menyerang B dengan menggunakan tongkat untuk memukul B,
kemudian B mengambil suatu tongkat pula, sehingga A kewalahan dengan
pukulan si B. B mengambil tongkat karena B tidak sempat lari atau dalam
keadaan yang sangat mendesak. Dengan alas an membela diri inilah seseorang
tidak mendapat hukuman.
Terpaksa dalam melakukan pembelaan ada 3 pengertian :
a. Harus ada serangan atau ancaman serangan
b. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan
pada saat itu dan harus masuk akal.
c. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan.
Adapaun kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan
adalah :
a. diri/badan orang.
b. Kehormatan dan kesusilaan
c. Harta benda orang
g. Alasan pemaaf

Alasan Pemaaf : alasan yang mengahpuskan kesalahan terdakwa, tetap


melawan hokum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tapi dia tidak dipidana,
karena tak ada kesalahan. Tercantum dalam pasal 49 (2), 51 (2) Melampaui
Batas Membela Diri (Noodweer-Exces) Pasal 49 ayat 2 KUHP : “tidaklah kena
hukuman pidana suatu pelampauan batas keperluan membela diri apabila ini
akibat langsung dari gerak perasaan, yang disebabkan oleh serangan lawan”.
Pelampauan ini terjadi apabila :
1. Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah
dihentikan.
2. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan
kepentingan lawan yang diserang kembali.
Dalam hal ini terdakwa hanya dapat dihindarkan dari pidana apabila hakim
menerima aksesnya yaitu “langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang
hebat”. Hal ini sangat berhubungan dengan perasaan seseorang ketika
dihadapkan pada sebuah peristiwa. Contoh yang sering terjadi di masyarakat
adalah pengeroyokan seorang pencuri oleh masyarakat/orang banyak dapat
masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat
dari pasal 49 ayat 2 KUHP. Maka orang-orang yang mengeroyok tidak dapat
dihukum. Akan tetapi si pencuri juga berhak membela diri dari pengeroyokan
tersebut, apabila dalam membela dirinya pencuri tersebut melukai salah seorang
pengeroyok maka si pencuri tidak dapat dihukum atas tuduhan penganiyayaan
pasal 351 KUHP.

h. Alasan Penghapus tuntutan

Alasan penghapus penuntutan : ini adalah peran otoritas dari pemerintah,


pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada
masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum.
Contoh : pasal 53 KUHP, kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan
niatnya percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.

Dalam ilmu pengetahuan diperlukan perbedaan mendasar antara alasan


penghapusan penuntutan (vervolgingsuitsluitings gronden) dan alasan
penghapusan pidana (strafuitsluitings groden). Jonkers memberikan perbedaan
bahwa alasan penghapusan pidana adalah pernyataan untuk dilepas dari segala
tuntutan hukum, sedangkan alasan penghapusan penututan adalah pernyataan
tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penutut umum. Bambang Poernomo,
Asas-Asas Hukum Pidana., halaman 192

Dalam KUHP, pernyataan tidak dapat dituntut dalam pasal 61-62 tentang
kejahatan dari penerbitan/percetakan, pasal 367,376, 394 tentang kejahatan
harta kekayaan (Jonkers 1946:169) Lebih jelas lagi dalam aturan umum Buku I
KUHP, alasan penghapus penuntutan dalam pasal 2-8 mengenai batas
berlakunya peraturan perundang-undangan hukum pidana, pasal 61-62
mengenai penuntutan penerbitan/percetakan, pasal 72 mengenai delik aduan,
pasal 76 mengenai asas nebis in idem, pasal 77-78 mengenai hapusnya
penuntutan karena terdakwa meninggal dan karena kadaluarsa

Sedangkan alasan penghapus pidana terdapat dalam pasal 44 menngenai


tidak mampunya bertanggung jawab, pasal 48 mengenai daya paksa, pasal 49
mengenai bela paksa, pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan undang
undang, pasal 51 mengenai melaksanakan perintah jabatan, dan pasal 59
mengenai pengurus yang tidak ikut melakukan pelanggaran. (P.A.F. Lamintang,
S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Halaman 571)

i. Alasan penghapus pidana


Menurut pandangan Van Hamel dibedakan
 alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden)
dan
 alasan yang menghapuskan sifat dapat dipidana (strafwaardigjeid uitsluiten)
Menurut Vos
 "Faits justificatifs" dihapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga
perbuatan itu dibenarkan, dengan kata lain Alasan Pembenar
 Disebut juga alasan penghapus pidana objektif, hal ini sesuai dengan pandangan
dari sifat melawan hukum adalah unsur dari perbuatan pidana, yang juga
merupakan bagian dari objektif daripada strafbar feit
 "Faits d'excuse" dihapuskan dari pertanggungjawaban dari si pembuat atau
dihapuskan kesalahan dari si pembuat sehingga perbuatan itu tidak dipidana,
dengan kata lain Alasan Pemaaf
 Terletak pada bagian subjektif dalam strafbaar feit, makan disebut juga alasan
penghapus pidana subjektif.
Dalam kasus
Ada seorang yang masuk ke dalam rumah telah mematikan lampu dan
membawa perkakas untuk membunuh suatu keluarga, tiba tiba seorang bayi
menangis. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk membunuh karena kasihan
dan iba. Apakah ia dapat dipidana? Jika tidak, apakah merupakan alasan
penghapus penuntutan, alasan penghapus pidana, atau alasan pemaaf?
Jawab :
Sebelum berbicara termasuk alasan apakah kasus tersebut.
Dapat kita analisis bahwa tindakan membatalkan niat untuk membunuh karena
kasian dan iba itu merupakan tindakan faktor internal. Akan tetapi, ini merupakan
faktor internal yang disebabkan faktor eksternal yaitu bayi yang menangis.
Sehingga berdasarkan Pasal 53 ayat 1 KUHP "pelaksanan itu sendiri telah
tidak selesai yang semata mata disebabkan oleh keadaan yang tidak bergantung
pada kemauannya"
Dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan
pasal 53 ayat 1 KUHP,
 Apabila si pelaku dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat masih
mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat dan
 Karena jaminan semacam itu merupakan sarana pasti untuk dapat
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang berlangsung
Syarat tersebut membuktikan sebagai salah satu unsur percobaan yang dapat
dihukum
Oleh karena tidak adanya suatu "vrijwilige terugtred"/pembatalan niat
secara sukarela, maka unsur keadaan yang tidak bergantung pada kehendaknya
harus dibuktikan, bahwa tidak selesainya kejahatan yang ingin dilakukan oleh
seorang tertuduh itu bukanlah merupakan akibat dari suatu pembatalan niat
secara sukarela
Sehingga dalam surat dakwaan menyebutkan keadaan keadaan yang
mana saja menghambat pelaksanaan kejahatan yang dilakukan terdakwa dan
menjelaskan bahwa keadaan keadaan tersebut bukan merupakan keadaan yang
bergantung pada kemauan terdakwa, dan hanya karena keadaan itulah
pelaksaan kejahatan yang dilakukan terdakwa menjadi tidak selesai.
Perbuatan pembunuhan seperti yang dirumuskan dalam pasal 338 KUHP
itu dalah perbuatan membunuh. Dengan demikian, maka apabila perbuatan
membunuh itu telah dilakukan oleh pelakunya, maka kejahatan pembunuhan
telah selesai dilakukan.
Walaupun pembunuhan belum dilakukan, permulaan pelaksanaan dengan
persiapan serta memasuki rumah secara tanpa hak merupakan salah satu unsur
percobaan pembunuhan, begitu juga bayi yang menangis merupakan kehendak
diluar kemampuan si pelaku. Niat dalam hal ini adalah unsur sifat melawan
hukum yang subjektif. Dan dasar berlakunya pidana terhadap percobaan
pembunuhan ini adalah teori objektif formil, yaitu rangkaian perbuatan yang
dilarang terhadap tata hokum.
Menurut Prof.Moeljatno,S.H, jika mengingat alasan yang disebut dalam
Memorie van Toelihting, maka unsur ketiga dari perobaan yaitu tidak selesainnya
pelaksanaan harus bukan karena kehendaknya sendiri adalah alasan penghapus
penuntutan.[8] Dan pengunduran sukarela / pembatalan niat secara sukarela
untuk membunuh, penututannya dapat dihapuskan sehungga tidak perlu
meneruskan perkara ke pengadilan demi hukum. Perbuatannya merupakan
dasar dipidananya percobaan pembunuhan, akan tetapi pembatalan niat untuk
membunuh secara sukarela karena iba mendengar bayi menangis menghapus
sifat tindak pidananya, sehingga menghapus tuntutan pidana terhadap perbuatan
tersebut

CONTOH
 Alasan penghapus penuntutan
 Si A yang melakukan pembunuhan kepada si B, lalu selama perkaranya belum
diputus oleh hakim tiba-tiba si A meninggal dunia, maka tuntutanya menjadi
hapus berdasarkan pasal 77 KUHP
 Si A memberikan laporan pengaduan atas pencemaran nama baik oleh si X,
tetapi karena si A sudah memaafkan si X dan mencabut tuntutanya, maka
tuntutannya menjadi hapus berdasarkan pasal 75 KUHP
 Si A yang dituntut pidana mati, lalu selama perkaranya diproses memakan waktu
lebih dari 18 tahun, maka perkaranya menjadi daluwarsa sehingga tidak dapat
dituntut kembali, atau tuntutanya menjadi hapus berdasarkan pasal 78 ayat 1 (d)
KUHP
 Alasan penghapus pidana
 Pasal 44 KUHP mengenai tidak mampu bertanggung jawab
 Si A memiliki jiwa yang cacat mental melakukan pencurian mangga ruma
tetangganya
 Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa
 Si A di hipnotis untuk melakukan pencurian uang di sebuah kantor, atau si A
yang dipaksa dengan dibawah tekanan pistol untuk mengambil uang dari
brankas bank
 Pasal 49 KUHP mengenai bela paksa /noodweer
 Rahma yang memukul Rendy karena Rendy mengambil barang Rahma dari
dalam tasnya saat itu secara mendadak
 Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang undang
 Satpol PP yang berdasarkan UU untuk merusak rumah seseorang
 Algojo yang menembak mati seorang terpidana
 Pasal 51 KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan
 Pejabat yang berwenang untuk merusak atau mengambil suatu paksa menyuruh
orang lain dengen memberikan kewenanganya atas jabatan itu, maka tidak
dipidana
 Alasan pemaaf
 Pasal 49 ayat 2
 Rahma yang sangat takut, jiwanya sangat tergoncang atas akan diperkosa oleh
seseorang lelaki secara mendadak, maka ia langsung memukul lelaki tersebut
sebelum lelaki tersebut memperkosanya.
BAB 8
INTERPRETASI UU PIDANA

a. pengertian
Sebelum berbicara lebih jauh tentang interpretasi, akan disampaikan
terlebih dahulu dalam tulisan ini pengertian interpretasi baik secara bahasa
maupun secara istilah. Ensiklopedi Indonesia (1982: 1466) memberikan
pengertian interpretasi secara kebahasaaan sebagai berikut:“Interpretasi berasal
dari bahasa latin interpretatio = penjelasan, keterangan. Tafsiran mengenai suatu
pernyataan, uraian atau naskah; mengemukakan arti luas atau lebih mendalam
dari apa yang terlihat atau diketahui sepintas lalu; mengungkapkan hal yang
tersirat dari apa yang tersurat. Interpretasi merupakan kegiatan yang
mengakibatkan bahwa kenyataan fisik atau psikologis dengan model
konsepsional yang mmeberi arti dan tempat bagi kenyataan tersebut…”

Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 384) mengartikan


interpretasi dengan pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Marmor
(2005: 9) membedakan interpretasi dalam arti sempit dan arti luasnya.
Interpretasi dalam maknanya yang luas mencakup semua bentuk penjelasan dan
pemahaman, sedangkan interpretasi dalam makna sempitnya hanya mencakup
pada pemahaman yang bersifat unik.

1. b. Berbagai Metode Penafsiran Hukum


Agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta dapat
menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim
menggunakan beberapa cara penafsiran,yaitu:

1. Metode Subsumptif
Yang dimaksud dengan metode subsumptif adalah di mana hakim harus
menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasusu in-konkreto, dengan
belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar
menerapkan sillogisme.
Sebagai contoh, seorang hakim yang mengadili perkara pidana, dimana
penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa melakukan pencurian. Dalam
Hukum Pidana Indonesia, pencurian diatur dalam pasal 362 KUH Pidana yang
menuntut terpenuhinya beberapa unsur, yaitu:

1. Mengambil suatu barang,


2. Barang itu sebagian atau seluruhnya milik orang lain,
3. Dengan maksud untuk memiliki,
4. Secara melawan hukum
Interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang
paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi
menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar
“membaca undang-undang”. (Mertokusumo, 2005: 170-171).
Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat
atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan
bahasa secara biasa (sehari-hari). “Peralatan rumah tangga” dan “alat angkutan”
misalnya harus diartikan secara wajar dalam hubungannya dengan perkara yang
diperiksa pengadilan. Ini tidak menghalangi penggunaan istilah yang lebih teknis
bila hal itu diperlukan. “Kendaraan” (air), misal yang lain, adalah segala angkutan
orang atau barang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain di atas atau di
bawah permukaan air. (Kusumaatmadja, 1999: 100). Akan tetapi, hal ini tidak
berarti hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi
gramatikal ini juga harus logis. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga
dengan metode obyektif.
b. Jenis Interpretasi UU Pidana

Macam- macam penafsiran dalam hukum pidana:

1. Penafsiran autentik : penafsiran ini disebut juga dengan penafsiran


resmi, disebut penafiran autentik karena tertulis secara resmi dalam uu, artinya
berasal dari pembentuk uu itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hokum yakni
hakim.
2. Penafsiran historis : adalah cara penafsiran suatu norma atau bagian/
unsure norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang didasarkan
pada sejarah ketika uu itu didisusun, dibicarakan ditingkat badan-badan
pembentuk uu.

3. Penafsiran sistematis : adalah suatu cara untuk mencari pengertian dari


suatu rumusan norma hokum atau bagian/unsure dari norma hokum dengan
cara melihat hub antar bagian atau rumusan yang satu dengan yang lain dari
suatu undang-undang.

4. Penafsiran logis : suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki


untuk mencari maksudsebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam
uu dengan menghubungkannya dengan norma yang lain yang masih ada
sangkut pautnya dengan rumusan norma tersebut.

5. Penafsiran gramatikal : disebut juga penafsiran menurut atau atas


dasar bahasa sehari-hari yang biasa digunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan.

6. Penafsiran teologis : teleologische intepretatie adalah suatu penafsiran


terhadap suatu rumusan norma atau bagian dari rumusannorma dalam uu
berdasarkan maksud pembentuk uu dalam merumuskan norma tersebut.

7. Penafsiran analogis : adalah macam penafsiran terhadap suatu


rumusannorma atau bagian/ unsure suatu norma rertentu dalam uu dengan cara
memperluas berlakunya suatu norma dengan mengabstraksikan rasio ketentuan
itu sedemikian rupa luasnya pada suatu kejadian kongkret tertentu yang
sesungguhnya tidak termasuk dalam isi dan pengertian dari norma itu.

8. Penafsiran ekstensif : Penafsiran ini hampir sama dengan Penafsiran


analogis hanya saja pada Penafsiran ekstensif pijakannya masih pada
pengertian tentang norma itu, tetapi telah disesuaikan dengan pengertian dan
makna dari norma itumenurut masyarakat sekarang, tidak menurut pengertian
pada saat norma itu dibentuk. Artinya ada perubahan makna dari suatu
pengertian unsure rumusan atau rumusan suatu norma.

9. Penafsiran A contrario : adalah suatu macam Penafsiran dengan


cara mempersempit berlakunya uu. Merupakan kenalikan dari Penafsiran
analogis dan ekstensif.

C. Penemuan Hukum Oleh Hakim (RechtVinding)

Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-


Undang” dan Pasal 22 AB + Pasal 14 Undang-undang No. 14 tahun 1970
mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang
mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”.

Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka
untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan
: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang
Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(Recht vinding).

Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum


oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum
terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi
dasar untuk mengambil keputusan.

Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan


pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada
asas :

1. Menyesuaikan Undang-undang dengan fakta konkrit


2. dapat juga menambah Undang-undang apabila perlu.

Hakim membuat Undang-undang karena Undang-undang tertinggal dari


perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang
juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang merupakan
hukum dan mana yang bukan hukum. Seolah-olah Hakim berkedudukan sebagai
pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk per Undang-undangan.

Pasal 21 AB menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan


yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Sebenarnya hukum yang
dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan
hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim tidak
berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
berperkara. Sesuai pasal 1917 (2) KUHPerdata yang menentukan “bahwa
kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan
dalam keputusan tersebut.

Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan
pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan
Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat
mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum.

Sedangkan hukum kontinental [seperti di Indonesia] mengenal penemuan


hukum yang heteronom sepanjang Hakim terikat kepada Undang-undang. Tetapi
penemuan hukum Hakim tersebut mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat
disebabkan Hakim harus menjelaskan atau melengkapi Undang-undang menurut
pendangannya sendiri. Lebih lanjut lahir pula suatu aliran yang mengetengahkan
Metode penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari
Hakim dalam melaksanakan Undang-undang apabila terjadi peristiwa konkrit.
Undang-undang sebagai kaedah umumnya adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Oleh sebab itu harus dilaksanakan/ditegakkan. Agar dapat
memenuhi azas bahwa setiap orang dianggap tahu akan Undang-undang maka
undang-undang harus disebar luaskan dan harus jelas. Kalaupun Undang-
undang itu jelas tidak mungkin lengkap dan tuntas, tidak mungkin Undang-
undang mengatur segala kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas karena
kegiatan menusia sangat banyaknya. Selain itu Undang-undang sebagai hasil
karya menusia yang sangat terbatas kemampuannya.
Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat
umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila
tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan
rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya.
Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah
tersebut diterapkan kepada peristiwanya.

Seorang Sarjana terkemuka Carl Von Savigny memberi batasan tentang


penafsiran yaitu rekontruksi pikiran yang tersimpul dalam Undang-undang. Ini
bukan metode penafsiran yang dapat dipergunakan semaunya tetapi pelbagai
kegiatan yang semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan
yaitu penafsiran Undang-undang. Yang memerlukan penafsiran ialah terutama
perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian
itu cukup jelas kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh
ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair”
tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian
itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan
penafsiran”.
Selanjutnya Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh :

1. Materi peraturan per.Undang-undangan yang bersangkutan misalnya


peraturan jual-beli.
2. Tempat dimana perkara tersebut timbul yaitu memperhatikan kebiasaan
setempat.
3. Waktu yaitu berlaku tidaknya peraturan hukum tersebut.

Mengenai penafsiran Hukum inipun mempunyai metode penafsiran antara lain :

1. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara


penafsiran Undang-undang menurut arti kata- kata (istilah) yang terdapat
pada Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai
dalam bahasa sehari-hari yang umum. Mis. [a] Peraturan per.Undang-
undangan melarang orang menghentikan “Kenderaannya” pada suatu
tempat. Kata kendaraan bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda
empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain
(E. Utrecht). Jadi harus diperjelas dengan kendaraan mana yang
dimaksudkan. [b] Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam
pasal 342 KUHP Mis. sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas
Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang berhubungan dengan
pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan. [c] Istilah
“menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai
menghilangkan.
2. Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang
dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran
historis ini ada 2 yaitu : [a] Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts
historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan
menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh : KUHPerdata BW) yang
dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya
mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan
pada tahuan 1838. [b] Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu
undang-undang Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-
undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak
dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud
ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang pada
waktu pembentukannya.
3. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu per
Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-undang lain,
serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita
memahami maksudnya. Contoh [a] Dalam pasal 1330 KUHPerdata
menyatakan “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain
orang-orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang
dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut
harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang
yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun. [b] Apabila hendak
mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar
perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan
didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga
dengan pasal 278 KUHP.
4. Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang-
undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya
peraturan perUndang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi
disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan
sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat
aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-
hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan
kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam tatanan Hukum
Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu
daerah. Umpamanya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah
dianggap seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus
dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang ibu. Dalam hal ini hakim
harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya dengan
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.
5. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi) yaitu penafsiran yang resmi
yang diberikan oleh pembuat Undang-undang tentang arti kata-kata yang
digunakan dalam Undang-undang tersebut. Contoh : Dalam Titel IX Buku I
KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti beberapa
kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang
dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah
masa yang lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini
tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh
peraturan pidana diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai
corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum
itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.
6. Metode interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan cara
memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam Undang-undang sehingga
suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Contoh : Bahwa
Jurisprudensi di Nederland : “Menyambung” atau “menyadap” aliran listrik
dapat dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas
pengertian unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.
7. Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang
membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam Undang-undang
seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api
“Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata
juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati
sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi
separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya) ( Mr. C. Asser,
1986, hal 84-85).
8. Metode interpretasi Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu
peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan
tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut. Contoh penafsiran penjualan dalam pasal 1576
KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa
menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila misalnya seseorang
menghibahkan rumah miliknya kepada orang lain sedangkan rumah
tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain, bagaimana?.
Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah),
menukar, mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu
adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan suatu benda maka
hakim membuat suatu pengertian “bahwa pengasingan (menukar,
mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa. Pasal 1576
KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat
diterapkan pada peristiwa hibah, menukar mewariskan. Oleh konstruksi
hukum seperti itu. Hakim dapat menyempurnakan sistem formil hukum.
Konstruksi hukum seperti diatas menurut Scholten tidak boleh dilakukan
secara sewenang-wenang.
Konstruksi itu harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive moet
de positive stof dekken). Yang dimaksud dengan bahan-bahan positip
adalah sistem materil Undang-undang yang sedang berlaku. Konstruksi itu
harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada
dalam Undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar Undang-
undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-
anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil positip. Didalam hukum
pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif
dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik).
Hukum di Inggris yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak
tertulis (Common law) mengenal analogi. Walaupun demikian Hukum di
Inggris menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana.
Sedangkan di Uni Soviet menghilangkan dengan sengaja ketentuan nullum
delictum dan menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus
menghukum semua tindakan yang membahayakan masyarakat.
9. Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang
memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi
dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan
perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak
termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-
undangan. Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan
antara menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan
Undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2
menjalankan Undang-undang tersebut berbeda-beda, analogi membawa
hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara
Argumentus a contrario membawa hasil yang negatif. Contoh : Dalam
pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak
dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu
300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a
contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan
harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum
Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena
dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari
suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah
menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami
berikutnya.

Akhirnya dari uraian2 di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak
lengkap, tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul dalam
masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum yang
oleh Prof. Mr. Paul Schalten menyebutkan Hakim menjalankan Recht
vinding.
2. Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.
3. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode
penafsiran terhadap Undang-undangseperti penafsiran menurut bahasa,
penafsiran secara historis, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara
teleologis/sosiologis, penafsiran secara authentik, penafsiran secara
ektensif, penafsiran secara restriktif, penafsiran secara analogi, penafsiran
secara argumentus a contrario.
BAB 9

DELIK

a. Pengertian

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam
Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa
Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa
Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan
sebagai berikut. “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu


meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin
atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena
perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa
hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur
oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).

Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah


pelanggaran pidana untuk kata delik.

Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa


pidana dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam
pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa


pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan
diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab
kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang
lain.

Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana


yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana
masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik
adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van
Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap
hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).

Pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah:


Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun
Undang-Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang
hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.

b. Rumusan Dalam UU

Bertalian dengan cara penuangan rumusan perbuatan pidana dan


pertanggungan jawab (kesalahan) di dalam sesuatu pasal undasng-undang
hukum pidana yang ada sekarang ini masih terdaspat kesimpangsiuran, di
sebabkan pola cara berpikir hukum pidana yang lama.\

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan yang


dilarang oleh peraturan hukum, dan pertanggungan jawab pidana (kesalahan)
me4nunjuk kepada orang yang melanggar dengan dapat dijatuhi pidana
sebagaimana diancamkan. Oleh karena itu, penuangan-penuangannya di dalam
sesuatu perumusan pasal sedapat-dapatnya di sesuaikan atau konsisten dengan
konstruksi pemikiran bahwa yang dilarang oleh aturan hukum adalah
perbuatannya, dan yang diancam dengan pidana adalah orangnya yang
melanggar larangan.
c. Pembagian Delik

1.Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman,
ancaman Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang
ancaman Huk umannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam
peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.Contoh: Delik
pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru
akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi
tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang
Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan,
tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh,
sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan
diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II
KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang
tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana
korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;
7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada
pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk
melakukan tindakan;
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan
sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya,
kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang
menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan
kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil,
tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP,
pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau
dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang
menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang
berkualifikasi;
11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan
keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;
12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu
perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan
lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak
mencuri dan memperkosa;
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang
dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
yang dilanjutkan;
14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat
larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal
362 KUHP;
15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi
orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164
KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai
syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik
Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284 KUhp.
BAB 10
PENYERTAAN (DEELNEMING)

a. Pengertian

Adalah: apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang,
sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta
dalam persitiwa tersebut.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah:


1. bersama-sama melakukan kejahatan
2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan
sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana
tersebut.
3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:


1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut
serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta dinilai
senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang
menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta
yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu
dihukum yang lain juga.

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:


1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP, yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) pasal 56 KUHP
Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan
b. mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)
b.Subjek

Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:


1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.

Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang
melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak
memakai alat. Dengan kata lain, plegeradalah mereka yang memenuhi seluruh
unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap
pasal.

Ad.2. Doen Plegen


Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua
orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen
plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak
melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain,
dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang
kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang
yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen)
belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh
melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung
adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah
orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang
yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang
menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus
tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan
"orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena
ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak
pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan
persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku,
harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang
menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah
dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara
memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan,
sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan",
"orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai
kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya.
Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan
dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang
dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada


pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan.
Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan
sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau
"pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana
jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak
pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak
lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau
persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun
moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada
sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-
benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri
sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut
membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula
datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal
dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk
melakukan" (uitlokker).

c. Kasus

ANALISIS KASUS PENYERTAAN ( DEELNEMING)

"IBRAHIM JUAL EMAS TANPA DITIMBANG"

1) FE IT (perbuatan-perbuatan pelaku yang memenuhi unsur-unsur yang ada


dipasal 55 jo pasal 363
-Dua orang pelaku pencuri emas 1,5 kg tertangkap di jambi oleh tim jajaran
buser polresta jambi pada tanggal 3/7 2011 pada pukul 20:30 WIB diperumahan
yang baru di sewa di kawasan pinang merah Simpang Rimbo. Pelaku-pelakunya
adalah adalah Ibrahim (29) dan K (Teman Ibrahim) .
Sejumlah alat bukti yang ditemukan adalah uang tunai sebesar Rp4,5 juta juga
ada buku tabungan dengan nilai Rp 27 juta .
Para pelaku melancarkan aksinya dengan cara masuk melalui jendela belakang
ruko emas itu pada malam hari sekitar jam 2 dan mengambil kotak emas itu.
2) BENTUK PENYERTAAN

Bentuk penyertaan dari kedua pelaku ini merupakan bentuk MEDEPLEGEN


(orang yang turut serta melakukan, orang yang dengan sengaja turut berbuat /
turut magengerjakan terjadinya suatu tindak pidana) dikatakan sebagai bentuk
penyertaan MEDEPLEGEN karena mereka berdua melakukan aksinya dengan
cara bagi tugas. Otak kejahatan ini adalah Ibrahim.

3) SYARAT-SYARAT MEDEPLEGEN
- Adanya kerja sama secara sadar

Adanya kerja sama secara sadar dari kedua pelaku ini dan ada kesengajaan
yang disadari kalau tindakan mereka melanggar hukum.
- Adanya pelaksanaan bersama secara fisik

Kedua pelaku pencurian ini melaksanakan aksinya secara bersama

-Sama saling membantu satu sama lain saat menjalankan aksinya .

Dimana Ibrahim bertugas untuk memantau took emas yang akan dia curi,
sedangkan temannya K bertugas menunggu diluar memeantau situasi.

4) MAKSIMAL ANCAMAN PIDANA OLEH PELAKU (pasal 55 jo 363)

Pasal 55 (1)= dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang menyuruh,
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu.

Pasal 363 = diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, masing-
masing pelaku mendapat ancaman hukum selama 7 tahun.
BAB 11

HUKUM PENITENSIER

Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan


ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara
bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki
status sebagai terhukum.
Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :
 Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)
 Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, pengumuman putusan hakim
Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana
suatu perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan
pengaruh kondisi social yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan
dalam masyarakat maka perbuatan itu akhirnya dijadikan merupakan perbuatan
pidana. Contoh lahirnya UU penyalahgunaan narkotika ( UU No. 9 / 1976),
dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan
yang dapat dipidana.
De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana
dalam hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan
masyarakat berubah menjadi perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal
534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan barang siapa yang memperagakan alat
kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam dengan hukuman
penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka pelaksanaan
program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh
BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini
tidak memilik daya paksa.
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses )
a. Pidana dan Tindakan
*Pidana Nestapa atau penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh Negara kepada
orang yang melanggar hukum

*Tindakan Nestapa atau penderitaan tetapi maknanya tindakan adalah


memperbaiki tingkah laku biasanya tindakan ini diberikan oleh Negara terhadap
anak yang melakukan tindak pidana dengan proses didik oleh Negara atau
dikembalikan kepada orang tua

b. Jenis-jenis Pidana

Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP


bab ke-2 dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. KUHP sebagai induk
atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang
bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam
KUHP disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam KUHP pidana dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana
tambahan.

Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):

A. Pidana mati

B. Pidana penjara

C. Pidanan kurungan

D. Pidana denda
Pidana pokok dalam hukum pidana militer tidak berbeda cuma dalam penerapan
pidana tambahan sedikit berbeda .

Adapun pidana tambahan terdiri dari (Bijkomende Straffen):

A. Pidana pencabutan hak-hak tertentu

B. Pidana perampasan barang-barang tertentu

C. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer adapun pidana


tambahannya adalah sebagai berikut :

1. ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya
untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
2. ke-2, Penurunan pangkat;
3. ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada
nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua
yaitu:

1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif),


sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Penjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah
terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus
menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas
maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan.
Sedangkan penjatuhan tindak pidana tambahan bersifat fakultatif maksudnya
adalah hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman tambahan bersifat fakultatif,
artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman tambahan (hakim
boleh memilih).
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan
pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan
tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan
kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat
berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri. Secara
rinci kita akan membahasa jenis-jenis pidana yang diatur Pasal 10 dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) , sebagai berikut :

1) Pidana Pokok

1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman
hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati
merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan
terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan
hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli
hukum ataupun masyarakat itu sendiri.

Bahkan beberapa negara di dunia sudah banyak yang menghapuskan


pidana mati, di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, semakin banyak pasal
yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP keseluruhannya sudah
menjadi 9 buah, contohnya Pasal 104 dan Pasal 340 KUHP.

Diluar KUHP pun ada beberapa Undang-undang yang mencantumkan


pidana mati sebagai ancamannya contohnya Undang-undang Narkotika (UU
No.9 tahun 1976)].

Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal


tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya
bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan
oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang
tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara
tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar
yaitu untuk membinasakan.

Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya


tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan,
maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas
pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan
adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si
pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.

Pada tanggal 11 desember 1977 di Deklarasi Stockholm, Amnesti


Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati di seluruh dunia. Di
Indonesia ada fiat eksekusi dari presiden berupa penolakan grasi walaupun
seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Pidana mati ditunda
jika terpidana mati sakit jiwa atau wanita itu sedang hamil, hal ini sesuai
ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
mengatakan pelaksanaan pidana dilakukan dengan memperhatikan
perikemanusiaan.

1. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.
Pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan
hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan, misalnya
di Rusia pengasingan ke Siberia dan juga berupa penjahat-penjahat inggris ke
Australia.

Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana
penjara seumur hidup. Pidana seumur hidup hanya tercantum dimana ada
ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua
puluh tahun ). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimal ialah 15 tahun.
Pengecualian terhadap di luar KUHP, yaitu dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak pidana Korupsi (UU Nomor 3 tahun 1971), maksimun
ialah pidana seumur hidup tanpa ada pidana mati.
Untuk menghindari pengaruh-pengaruh buruk dari sistem pemenjaraan, terutama
bagi yang diancam dengan pidana penjara yang tidak berat (tidak berlangsung
lama), di berbagai negeri telah dipikirkan usaha-usaha untuk mengganti pidana
penjara itu dengan alternatif lain. Pada uraian mengenai pidana denda di
belakang di katakan bahwa negeri Belanda telah diberlakukan ketentuan baru
yang menyatakan bahwa hakim dapat mengganti pidana penjara ringan dengan
pidana denda walaupun ancaman pidana denda tidak tercantum dalam
ketentuan pidana yang bersangkutan.

a) Pidana Kurungan

Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama,
ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang menyangkut kejahatan
kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian
satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP).
Kedua pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh dikemukakan oleh Vos
sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. Yang kedua
sebagai coustodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran itu, pidana kurungan
menjadi pidana pokok. Khusus Untuk Negeri Belanda (di Indonesia tidak )
terdapat pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di
tempat kerja negara.
Pada delik dolus tidak ada pidana kurungan, kecuali dalam satu pasal di atur
tentang unsur sengaja dan culpa seperti pasal 483 dan 484 KUHP (Vos
menyebut artikel padananya di Negeri Belanda, yaitu Artikel 418 dan 419 WvS).
Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana
kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja
dan culpa contohnya ialah Pasal 293 KUHP (Vos menyebut artikel 248 ter
WvS). Mengapa ada pidana penjara pada delik culpa menurut Vos karena
sulitnya menarik garis pemisah antara sengaja dan culpa
Sebenarnya ada contoh yang lebih tepat, dimana hanya ada pidana
penjara pda delik culpa, yaitu Pasal 359 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa
karena salahnya menyebabkan matiya orang, dipidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Perbedaan lain dengan pidana penjara, ialah bahwa dalam hal pelaksanaan
pidana, terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ketempat lain di luar tempat
ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya sendiri. Menurut Jonkers,
ketentuan ini dipandang lebih ringan bagi orang indonesia, karena bagi mereka
pindah ketempat lain dipandang berat, jauh dari sanak keluarga dan handai tolan

Perbedaan lebih lanjut, ialah pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana


kurungan lebih ringan daripada terpidana penjara (Pasal 19 Ayat 2 KUHP). Lebih
berat bagi orang indonesia menurut Jonkers, karena umumnya terdiri dari petani,
sehingga sulit bekerja di penjara sebagaimana ditentukan dalam peraturan
kepenjaraan.

b) Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana
penjara. Mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap
masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bentuknya bersifat primitif.
Pada zaman majapahit telah terkenal adanya pidana denda. Begtu pula pada
berbagai masyarakat primitif dan tradisional di Indonesia.
Kadang-kadang berupa ganti kerugian, kadang-kadang berupa denda adat,
misalnya penyerahan hewan ternak seperti babi, kerbau, dan lain-lain. Di Irian
Jaya (Teluk Sudarso) pun terdapat denda adat semacam itu. Kadang-kadang
denda semacam itu dijatuhkan kepada masyarakat atau suku dimana pelanggar
hukum itu menjadi anggota.

Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan,
berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda
merupakan satu-satunya pdana yang dapat dipukul oleh orang lain selain
terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
c) Pidana Tutupan .

Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan


yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan
dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut di terapkan.

Pidana tutupan dimaksud dapat menggantikan hukuman penjara dalam hal


orang yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung pada
hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan
atau acara melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara
lebih pada tempatnya, maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.

Anda mungkin juga menyukai