2016
DAFTAR ISI
Pengantar
BAB 7 Kesalahan
BAB 9 Delik
BAB 10 Penyertaan
Seperti yang telah diketahui bersama, salah satu tujuan hukum yang paling
utama, disamping menjamin tercapainya rasa keadilan, juga menciptakan
ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sosial. Salah satu alasan yang
mendasari perlu diciptakannya ketertiban dan keamanan adalah adanya
persoalan-persoalan yang seringkali terjadi dalam ruang lingkup hubungan antar
manusia, yang merupakan bagian dari dinamika kehidupan bermasyarakat.
Berbagai persoalan tersebut mencakup seluruh segi kehidupan sosial, termasuk
di bidang hukum
1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama
saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk
mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau menyelenggarakan suatu tata
dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu
kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana yang telah
ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih
tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-
aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan
Jika ditinjau secara umum, memang fungsi hukum pidana adalah
menjaga ketertiban umum. Artinya dengan adanya hukum pidana,
diharapkan suasana tertib dalam masyarakat senantiasa terwujud.
Sedangkan secara khusus, hukum pidana melindungi kepentingan individu
yang meliputi perlindungan terhadap nyawa, perlindungan terhadap harta
benda, dan perlindungan terhadap kehormatan, juga melindungi setiap
kepentingan masyarakat yang ingin dicapai serta kepentingan negara.
Sementara mengenai memberikan keabsahan kepada negara dalam
rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum, dalam buku
karangan Eddy O.S. Hiariej yang berjudul Prinsip- Prinsip Hukum Pidana,
dijelaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum
negara, masyarakat dan/ atau individu, maka dalam batas- batas yang
ditentukan oleh undang- undang, negara dapat menjalankan alat- alat
kekuasaannya untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum
yang dilanggar.
a. Asas Legalitas
Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ini berasal darivon
Feuerbach, sarjana hukum pidana dari Jerman, yang merumuskannya dalam
bukunya yang berjudul "Lehrbuch des peinlichen Recht" (1801). Perumusan
asas legalitas dari von Feuerbach tersebut dikemukakan berhubung dengan
teorinya yang dikenal dengan nama teori "vom psychologischen zwang", yaitu
yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang
harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan. Dengan cara demikian, maka oleh orang yang akan melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut, terlebih dahulu telah diketahui pidana apa
yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Pendirian
von Feuerbach mengenai pidana adalah pendirian yang tergolong absolut atau
mutlak, sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
c. Asas Teritorial
f.Asas Universal
TINDAK PIDANA
a. Pengertian
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar
pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi
sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai
perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality)
asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,
biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.
(Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar
Baru, 1990).
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang
dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk
adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan
bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk
kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut
telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga
atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala
bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana
telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana
sesuai dengan pasal yang mengaturnya. (Nawawi Arief, Barda. 1996.Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung Citra Aditya Bakti)
b. Penggolongan
1.KEJAHATAN:
Secara doktrin Ketajahatan adalah Rechtdelicht, yaitu perbuatan perbuatan yang
ebrtentangan dengan kedailan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak. sekalipun tidak dirumuskan sebagai
delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak
pidana ini jugasering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dukualisifikasikan sebagai Rechtdelicht dapat disebut anatara lain pembunuhan,
pencurian dan sebagainya.
2.PELANGGARAN:
Jenis tindak pidana ini disebut Wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai
tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya
dengan sanksi pidana. tindaka pidana ini disebut juga mala qui prohibita.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualisifikasikan sebagai sebagai wetsdelicht
dapat disebut misalnya memarkir mobil disebelah kanan jalan, berjalan dijalan
raya disebelah kanan dan sebagainya Dalam perkembangannya pembagian
tindak pidana secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut
diatas tidak diterima. Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara
kualitatif tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru
disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam
undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua Kejahatan merupakan
perbuatan yang benar-benar telah dirasakan mnasyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga pelanggaran yang memang
benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan kedailan, sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan
sebagai tindak pidana dalam Undang-undang.
- Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Formil dan tindak pidana
Materiil :
Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Perbuatan yang
dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Formil adalah
tindak pidana yang telah dianggap terjadi/selesai dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibat.
Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana Formil dapat disebut
misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP, penghasutan
sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHP dan sebagainya.
Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Akibat yang
dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Materiil adalah
tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi , atau dianggap telah selesai
apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Jadi jenis pidana ini
mempersyaratkan terjadionya akibat untuk selesainya. Apabila belum terjadi
akibat yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak pidana ini, yang
terjadi baru percobaan . Sebagai contoh misalnya tindak pidana pembunuhan
pasal 338 KUHP dan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP dan sebagainya.:
c. Subjek
a Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak
pidana.
b Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan,
penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana,
melainkan (menyuruh) orang lain.
Locus Delicti, Locus (inggris) yang berarti lokasi atau tempat, secara istilah
yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan
pidana. Locus delicti perlu diketahui untuk: (https://www.linkedin.com/pulse/sifat-
melawan-hukum-dalam-pidana-togi-sirait?forceNoSplash=true)
1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan
pidana tersebut atau tidak.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus
perkaranya (kompetisi relative).
3. Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak
pidana (Locus Delicti) didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah
sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat
terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempatdimana perbuatan tersebut
dilakukan.
contoh kasus
pertanyaannya adalah, dimana locus delictinya? jika merujuk pada teori diatas
maka locus delikctinya di Malang kerena pada waktu kejadian penikaman anda
di Malang. samapai disini apakah anda sudah mengerti? jika tidak silahkan baca
ulang.
2. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan (de leer van het instrument)
teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau Teori
Instrumental. menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus
delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak
pidana. akbiat apa? bisa kematian, penderitaan, kerugian dan akibat-akibat lain.
namun dalam kasus anda tadi akibat yang timbul adalah anda mati karena anda
ditikam. hehe kejam banget ya..
contoh
Suatu hari hari Anda mengirip paketan buku kepada musuh anda yang berda
diluar kabupaten Malang, anggap saja musuh anda di Surabaya. Ketika musuh
Anda membuka paketan tersebut DOORRRR ternyata isinya adalah BOM.
musuh anda terluka atau mati. Dimana locus delictinya? berdasarkan ajaran
instrumen maka locus deliktinya di Surabaya. Karena instrumen yang digunakan
dalam tindak pidana tersebut menyebabkan akibat di Surabaya.
Teori Akibat
ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini
bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah tempat
dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.
Menurut Van Hamel , bahwa yang harus diterima sebagai locus delicti, ialah :
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang
dilarang (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud.
4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.
Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan diketahuinya
tempus delicti adalah sbb :
2. Teori
Teori Tempus Delicti antara lain yaitu: (Kansil, Chistine S.T., Pokok-Pokok
Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007).
b. Teori alat
Menurut teori alat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana alat digunakan
dan bekerja efektif dalan hal terwujudnya tindak pidana.
c. Teori akibat
Menurut teori akibat, waktu tindak pidana ialah waktu di mana akibat dari
perbuatan itu timbul.
Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya, A mengundang seluruh
sanak familinya ke Jakarta, termasuk B (pamannya) yang tinggal di
Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 ini diselenggarakan tanggal 5
januari sesuai tanggal kelahiranya.
Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya.
Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran
sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli waris,
sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan
oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan
kepala yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke
Surabaya. Sementara pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok
harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya.
Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang
memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah
sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas terakhirnya. Laporan
medis yang dikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan,
bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri
depan akibat benturan benda keras.
:Jawab
AJARAN KAUSALITAS
Secara etimologi, Kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang
berarti sebab. Kata Kausa dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau
dasar hukum; suatu sebab yang dapat menimbulkan suatu
kejadian. Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kausalitas merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan
akibat. Dalam ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk
menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang
tidak dikenhadi undang-undang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus
pidana menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sendiri tidak petunjuk tentang hubungan sebab dan akibat yang
dapat menimbulkan delik. Meskipun dalam beberapa pasal KUHP dijelaskan
bahwa dalam delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna
menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya (M. Marwan & Jimmy P., Kamus
Hukum, (Surabaya:Realiti Publiser,2009), hlm 326).
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni,
tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik ommisionis terdapat
dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
c. Sebab akibat
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum
dan mantan presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman. Von Buri
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau
bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari
rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat).
Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan sederajad tidak membedakan faktor
syarat dan faktor penyebab. Jika salah satu syarat tidak ada maka akan
menimbulkan akibar yang lain pula. Teori ini juga disebut dengan equivalent
theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya
tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab.] Ajaran ini berimplikasi pada
perluasan pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.(Sudarto. 1983.Hukum
Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru).
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada
orang yang mati ditembak orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata api,
perusahaan senjata api juga bertanggung jawab atas kematian orang tersebut.
Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof. Moelyatno
tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah benar. Teori
inibertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang
justru membedakan antara syarat dan penyebab. Menurutnya, perbuatan
seorang penjual senjata api tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya
seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembunuhnya. Beliau
membedakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran
tentang kesalahan digunakan apabila terdakwa telah terbukti melakukan
perbuatan pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan apakah
terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat
dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan
dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara
konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab.
Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki
peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah
Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885
yang menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan,
tidak semua dapat digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor
yang dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan penyebab
timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah bagaimana menentukan faktor yang
dominan dalam suatu perkara Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi
faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam ilutrasi di
atas. Dan pengemudi mini bus yang membunyikan klakson tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan teori ubergewischts
theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan
sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi
karena faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif)
daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor
sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan
memenangkan faktor positif tadi.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian
faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan
dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut
akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu
akibat. Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa
terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang menurut akal dan
kewajaran manusia.
4. Ajaran Kausalitas dalam Hal Berbuat Pasif
Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan menjadi
tindak pidana aktif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif (tindak
pidanaomisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang disebabkan oleh
perbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk
berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan
suatu perbuatan akan tetapi dia tidak melakukan (pasal 304 KUHP) atau
diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang (pasal 522 KUHP).
BAB 6
SIFAT MELAWAN HUKUM
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan hal pokok yang harus
ada/mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Kata melawan hukum adalah
kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa
Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful.
Dengan demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau unlawfulness dapat
diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum. Terminologi
wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana,
sedangkanonrechtmetige dalam bidang hukum perdata. Sehingga tindak pidana
(strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya
adalah feit yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum
(Poernomo, Bambang.1994. asas asas hukum pidana. jakarta: Ghalia
indonesia.).
A. Ajaran hukum Formil
Menurut Ajaran melawan hukum formil (fungsi negatif)
mengatakan, jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan
melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat
menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, tidak tercela, maka
hukumnya tidak berlaku contoh permainan tinju, menurut pasal 351 KUHP
tentang penganiayaan diancam dengan hukuman paling lama 2 tahun 8
bulan, kalau luka berat ancaman hukumannya maksimum 5 tahun, sama
juga dengan merusak kesehatan. Tapi kenyataannya, pasal KUHP ini tidak
berlaku bagi permainan tinju, walaupun saling menyakiti badan/tubuh lawan
masing-masing (menganiaya), karena masyarakat menganggap wajar-wajar
saja atau biasa-biasa saja, tidak tercela dan dilakukan atas kehendak
masing-masing.
- Nah apakah perbuatan cipika-cipiki antara laki-laki dengan
perempuan juga seperti halnya permainan tinju, yang masyarakat anggap
biasa-biasa saja, tidak tercela? Barang kali hal ini memerlukan suatu
penelitian yang lebih mendalam, karena melanggar norma agama yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin berbeda halnya
kalau cipika-cipiki dilakukan dinegara Belanda khususnya atau Eropa pada
umumnya.
b. Ajaran Hukum Materil
Ajaran melawan hukum materil (fungsi positif) mengatakan
bahwa bila suatu perbuatan dilakukan melanggar norma-norma tidak
tertulis yang ada di dalam masyarakat dan tercela, tetapi tidak diatur di
dalam hukum positif atau hukum tertulis tidak mengatur pada
masyarakat tersebut, masih dapat diancaman hukum pidana penjara
berdasarkan Undang-undang Drt No 01/1951, yaitu pada Pasal 5 sub b
menyatakan bahwa jika suatu perbuatan oleh hukum tertulis dianggap
tidak melawan hukum, tetapi masyarakat mencela, dapat di jatuhi
hukuman ringan atau berat. Berat ringannya hukuman tergantung
penilaian masyarakat setempat. Di samping itu pelaku dikucilkan dari
masyarakat atau dicemoh (Zainal Abidin, Andi. 1987, Asas-Asas
Hukum Pidana (Bagian Pertama). Bandung. Alumni.).
Dalam sifat melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
a. Fungsi negative
b. Fungsi positif
KESALAHAN
a. Pengertian
Dalam hukum pidana dikenal asas yang paling fundamental, yakni Asas
"Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" yang dikenal dengan "keine strafe ohne
schuld" atau "geen straf zonder schuld" atau "nulla poena sine culpa". Dari asas
tersebut dapat dipahami bahwa kesalahan menjadi salah satu unsur
pertanggungjawaban pidana dari suatu subjek hukum pidana. Artinya, seseorang
yang diakui sebagai subjek hukum harus mempunyai kesalahan untuk dapat
dipidana.
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu bergantung pada unsur
yang lain. (Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
Bandung).
b. Kesengajaan, Kealpaan, Kelalaian
1. Pengertian Kesengajaan
Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat
dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa)
(Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama.).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) tahun 1809
dijelaskan pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang – undang”;
Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari
kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat
terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya
kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan
tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang
pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti
misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406
KUHP) dan lain sebagainya.
3. Pengertian kelalaian
d. Bentuk Kesalahan
e. Pertanggung jawaban
Dalam KUHP, pernyataan tidak dapat dituntut dalam pasal 61-62 tentang
kejahatan dari penerbitan/percetakan, pasal 367,376, 394 tentang kejahatan
harta kekayaan (Jonkers 1946:169) Lebih jelas lagi dalam aturan umum Buku I
KUHP, alasan penghapus penuntutan dalam pasal 2-8 mengenai batas
berlakunya peraturan perundang-undangan hukum pidana, pasal 61-62
mengenai penuntutan penerbitan/percetakan, pasal 72 mengenai delik aduan,
pasal 76 mengenai asas nebis in idem, pasal 77-78 mengenai hapusnya
penuntutan karena terdakwa meninggal dan karena kadaluarsa
CONTOH
Alasan penghapus penuntutan
Si A yang melakukan pembunuhan kepada si B, lalu selama perkaranya belum
diputus oleh hakim tiba-tiba si A meninggal dunia, maka tuntutanya menjadi
hapus berdasarkan pasal 77 KUHP
Si A memberikan laporan pengaduan atas pencemaran nama baik oleh si X,
tetapi karena si A sudah memaafkan si X dan mencabut tuntutanya, maka
tuntutannya menjadi hapus berdasarkan pasal 75 KUHP
Si A yang dituntut pidana mati, lalu selama perkaranya diproses memakan waktu
lebih dari 18 tahun, maka perkaranya menjadi daluwarsa sehingga tidak dapat
dituntut kembali, atau tuntutanya menjadi hapus berdasarkan pasal 78 ayat 1 (d)
KUHP
Alasan penghapus pidana
Pasal 44 KUHP mengenai tidak mampu bertanggung jawab
Si A memiliki jiwa yang cacat mental melakukan pencurian mangga ruma
tetangganya
Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa
Si A di hipnotis untuk melakukan pencurian uang di sebuah kantor, atau si A
yang dipaksa dengan dibawah tekanan pistol untuk mengambil uang dari
brankas bank
Pasal 49 KUHP mengenai bela paksa /noodweer
Rahma yang memukul Rendy karena Rendy mengambil barang Rahma dari
dalam tasnya saat itu secara mendadak
Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang undang
Satpol PP yang berdasarkan UU untuk merusak rumah seseorang
Algojo yang menembak mati seorang terpidana
Pasal 51 KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan
Pejabat yang berwenang untuk merusak atau mengambil suatu paksa menyuruh
orang lain dengen memberikan kewenanganya atas jabatan itu, maka tidak
dipidana
Alasan pemaaf
Pasal 49 ayat 2
Rahma yang sangat takut, jiwanya sangat tergoncang atas akan diperkosa oleh
seseorang lelaki secara mendadak, maka ia langsung memukul lelaki tersebut
sebelum lelaki tersebut memperkosanya.
BAB 8
INTERPRETASI UU PIDANA
a. pengertian
Sebelum berbicara lebih jauh tentang interpretasi, akan disampaikan
terlebih dahulu dalam tulisan ini pengertian interpretasi baik secara bahasa
maupun secara istilah. Ensiklopedi Indonesia (1982: 1466) memberikan
pengertian interpretasi secara kebahasaaan sebagai berikut:“Interpretasi berasal
dari bahasa latin interpretatio = penjelasan, keterangan. Tafsiran mengenai suatu
pernyataan, uraian atau naskah; mengemukakan arti luas atau lebih mendalam
dari apa yang terlihat atau diketahui sepintas lalu; mengungkapkan hal yang
tersirat dari apa yang tersurat. Interpretasi merupakan kegiatan yang
mengakibatkan bahwa kenyataan fisik atau psikologis dengan model
konsepsional yang mmeberi arti dan tempat bagi kenyataan tersebut…”
1. Metode Subsumptif
Yang dimaksud dengan metode subsumptif adalah di mana hakim harus
menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasusu in-konkreto, dengan
belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar
menerapkan sillogisme.
Sebagai contoh, seorang hakim yang mengadili perkara pidana, dimana
penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa melakukan pencurian. Dalam
Hukum Pidana Indonesia, pencurian diatur dalam pasal 362 KUH Pidana yang
menuntut terpenuhinya beberapa unsur, yaitu:
Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka
untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan
: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang
Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(Recht vinding).
Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan
pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan
Undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat
mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum.
1. Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak
lengkap, tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul dalam
masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum yang
oleh Prof. Mr. Paul Schalten menyebutkan Hakim menjalankan Recht
vinding.
2. Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.
3. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode
penafsiran terhadap Undang-undangseperti penafsiran menurut bahasa,
penafsiran secara historis, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara
teleologis/sosiologis, penafsiran secara authentik, penafsiran secara
ektensif, penafsiran secara restriktif, penafsiran secara analogi, penafsiran
secara argumentus a contrario.
BAB 9
DELIK
a. Pengertian
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam
Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa
Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa
Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan
sebagai berikut. “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana
masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik
adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van
Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap
hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).
b. Rumusan Dalam UU
1.Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik Hukuman,
ancaman Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang
ancaman Huk umannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam
peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.Contoh: Delik
pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang dilarang itu selalu justru
akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi
tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338, Undang-undang
Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan,
tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati terbunuh,
sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan
diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku II
KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang
tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana
korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;
7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada
pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara untuk
melakukan tindakan;
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan
sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya,
kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang
menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan
kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas mobil,
tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP,
pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau
dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang
menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang
berkualifikasi;
11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan
keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian biasa;
12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu
perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan
lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak
mencuri dan memperkosa;
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang
dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
yang dilanjutkan;
14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang bersifat
larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal
362 KUHP;
15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi
orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal 164
KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
16. Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai
syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367 KUHP;Delik
Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284 KUhp.
BAB 10
PENYERTAAN (DEELNEMING)
a. Pengertian
Adalah: apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang,
sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta
dalam persitiwa tersebut.
Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang
melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak
memakai alat. Dengan kata lain, plegeradalah mereka yang memenuhi seluruh
unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap
pasal.
Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang
menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah
dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara
memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan,
sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan",
"orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai
kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya.
Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan
dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang
dibujuk sendiri.
c. Kasus
3) SYARAT-SYARAT MEDEPLEGEN
- Adanya kerja sama secara sadar
Adanya kerja sama secara sadar dari kedua pelaku ini dan ada kesengajaan
yang disadari kalau tindakan mereka melanggar hukum.
- Adanya pelaksanaan bersama secara fisik
Dimana Ibrahim bertugas untuk memantau took emas yang akan dia curi,
sedangkan temannya K bertugas menunggu diluar memeantau situasi.
Pasal 55 (1)= dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang menyuruh,
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu.
Pasal 363 = diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, masing-
masing pelaku mendapat ancaman hukum selama 7 tahun.
BAB 11
HUKUM PENITENSIER
b. Jenis-jenis Pidana
A. Pidana mati
B. Pidana penjara
C. Pidanan kurungan
D. Pidana denda
Pidana pokok dalam hukum pidana militer tidak berbeda cuma dalam penerapan
pidana tambahan sedikit berbeda .
1. ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya
untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
2. ke-2, Penurunan pangkat;
3. ke-3, Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada
nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua
yaitu:
1) Pidana Pokok
1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman
hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati
merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan
terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan
hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli
hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
1. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.
Pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan
hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan, misalnya
di Rusia pengasingan ke Siberia dan juga berupa penjahat-penjahat inggris ke
Australia.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana
penjara seumur hidup. Pidana seumur hidup hanya tercantum dimana ada
ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua
puluh tahun ). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimal ialah 15 tahun.
Pengecualian terhadap di luar KUHP, yaitu dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak pidana Korupsi (UU Nomor 3 tahun 1971), maksimun
ialah pidana seumur hidup tanpa ada pidana mati.
Untuk menghindari pengaruh-pengaruh buruk dari sistem pemenjaraan, terutama
bagi yang diancam dengan pidana penjara yang tidak berat (tidak berlangsung
lama), di berbagai negeri telah dipikirkan usaha-usaha untuk mengganti pidana
penjara itu dengan alternatif lain. Pada uraian mengenai pidana denda di
belakang di katakan bahwa negeri Belanda telah diberlakukan ketentuan baru
yang menyatakan bahwa hakim dapat mengganti pidana penjara ringan dengan
pidana denda walaupun ancaman pidana denda tidak tercantum dalam
ketentuan pidana yang bersangkutan.
a) Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama,
ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang menyangkut kejahatan
kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian
satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP).
Kedua pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh dikemukakan oleh Vos
sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. Yang kedua
sebagai coustodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran itu, pidana kurungan
menjadi pidana pokok. Khusus Untuk Negeri Belanda (di Indonesia tidak )
terdapat pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di
tempat kerja negara.
Pada delik dolus tidak ada pidana kurungan, kecuali dalam satu pasal di atur
tentang unsur sengaja dan culpa seperti pasal 483 dan 484 KUHP (Vos
menyebut artikel padananya di Negeri Belanda, yaitu Artikel 418 dan 419 WvS).
Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana
kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja
dan culpa contohnya ialah Pasal 293 KUHP (Vos menyebut artikel 248 ter
WvS). Mengapa ada pidana penjara pada delik culpa menurut Vos karena
sulitnya menarik garis pemisah antara sengaja dan culpa
Sebenarnya ada contoh yang lebih tepat, dimana hanya ada pidana
penjara pda delik culpa, yaitu Pasal 359 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa
karena salahnya menyebabkan matiya orang, dipidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Perbedaan lain dengan pidana penjara, ialah bahwa dalam hal pelaksanaan
pidana, terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ketempat lain di luar tempat
ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya sendiri. Menurut Jonkers,
ketentuan ini dipandang lebih ringan bagi orang indonesia, karena bagi mereka
pindah ketempat lain dipandang berat, jauh dari sanak keluarga dan handai tolan
b) Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana
penjara. Mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap
masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bentuknya bersifat primitif.
Pada zaman majapahit telah terkenal adanya pidana denda. Begtu pula pada
berbagai masyarakat primitif dan tradisional di Indonesia.
Kadang-kadang berupa ganti kerugian, kadang-kadang berupa denda adat,
misalnya penyerahan hewan ternak seperti babi, kerbau, dan lain-lain. Di Irian
Jaya (Teluk Sudarso) pun terdapat denda adat semacam itu. Kadang-kadang
denda semacam itu dijatuhkan kepada masyarakat atau suku dimana pelanggar
hukum itu menjadi anggota.
Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan,
berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda
merupakan satu-satunya pdana yang dapat dipukul oleh orang lain selain
terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
c) Pidana Tutupan .