Anda di halaman 1dari 7

RESTORATIVE JUSTICE

Kelompok 4 :

1. Billy Ainul Ilham (3172) 6. Melisa Yunita (3226)


2. Diasti Riski Ramadhani (3164) 7. Muhammad Yusuf P (3241)
3. Faldy Muharram Arilaha (3194) 8. Ricky Fahriza (3257)
4. Fariha Suci Rahmasari (3195) 9. Syafira Salsabillah I.M (3276)
5. Helianto Suryadi (3206) 10. Wahyu Ananda (3280)

A. Pendahuluan
Tindak pidana adalah pelanggaran terhadap orang dan hubungannya dengan
kewajiban negara untuk membela hak-hak tersebut. Tindak pidana menciptakan kewajiban
untuk membuat segala sesuatu benar, dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat
dalam mencari pemecahan untuk perbaikan, rekonsiliasi dan menentramkan hati atau
ketentraman.
Pada tahun 1912, Winston Churcill dengan mengutip pendapat Beccariia pernah
menyatakan bahwa “suasana hati dan perlakuan bangsa terhadap para pelanggar hukumny
aadalah suatu alat test yang shahih untuk mengukur tinggi rendahnya peradaban bangsa
itu”. Faktanya banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang
menyebabkan viktimisasi terhadap para narapidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan
pada level empirisnya, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada
tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah ‘sekolah kejahatan”. Sebab orang justru
menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan
Ketika berbicara tentang kejahatan, maka seringnya yang pertama muncuk dalam
benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita biasa menyebut mereka penjahat, criminal, atau
lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Masyarakat sudah terbiasa,
atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-satunya factor dalam kejahatan. Tidak
mengherankan bila upaya penanganan kehajatan masih terfokus hanya pada tindakan
penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap
sebagai “obat manjur” untuk menyembuhkan baik luka atau derita korban maupun kelainan
perilaku yang “diidap” pelaku kejahatan.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan
pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana.
Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti
pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat
serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban
utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem
peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban
untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara
keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu
perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam
usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.

B. Pembahasan
Pada tahun 1970 , di dunia internasional telah berkembang suatu pendekatan hukum
yang disebut dengan restorative justice. Menurut paparan Jecky Tengens, restorative
justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi tercipatanya
keadilan san keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme
tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses
dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang
lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice dilihat banyak orang as a philosophy, a process, an idea, a
theory and an intervention. Restorative justisce adalah peradilan yang menekankan
perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative
justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak. Restorative
justice merupakan alternative atau cara lain peradilan criminal dengan mengedepankan
perndekatan integrase pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu
kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan yang baik dalam
masyarakat.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggungjawab sebagai sebuah langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling
mengasihi antar sesama.
Kata kunci dari restorative justice adalah “empowerment” (pemberdayaan). Secara
fundamental ide restorative justice hendak mengatur kembali peran korban yang demikian
itu, dari semula yang pasif menunggu dan melihat bagaimana sistem peradilan pidana
menangani kejahatan “mereka”, diberdayakan sehigga korban mempunyai hak pribadi
untuk berpartisipasi dalam proses pidana. Empowerment berkaitan dengan pihak-pihak
dalam perkara pidana (korban, pelaku, dan masyarakat). Kongkretnya, empowerment atau
pemberdayaan dalam konteks restorative justice adalah proses pertemuan dalam hal ini
antara pelaku dengan korban atau masyarakat untuk membahas dan secara aktif
berpartisipasi dalam penyelesaian masalah pidana. Hal ini merupakan alternative atau
pilihan lain dari pengaruh respon terhadap kejahatan.
Respon terhadap kejahatan yang semual dilakukan dengan menggelar peradilan
pidana oleh negara untuk mencari kesalahan pelaku, kemudian diikuti dengan pengenaan
sanksi guna mencela dan mengenakan penderitaan kepadanya yang pada prinsipnya adalah
pengasingan. Restorative justice justru sebaliknya mengusung falsafah integrase yang
solutif, masing-masing pihak berperan aktif untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu
konsep restorative justice bisa dibilang mengintegrasikan prinsip musyawarah dalam
penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian, dapat tercipta kesepakatan atas
penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku
sehingga secara sosial, ekonomi, dan hukum, negara tidak usah turut campur lagi untuk
bersusah payah mengurusi narapida yang notabene-nya sudah dapat diselesaikan secara
adil menurut kedua belah pihak, serta didukung pula oleh masyarakat lingkungan.
Konsep teori restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam
penyelesaian perkara pidana, yaitu : pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang
tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban; kedua, menghilangkan konflik
khusunya antara pelaku dengan korban dan masyarakat; ketiga, fakta bahwa perasaan
ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus diatasi untuk
mencapai perbaikan.

Prinsip Dasar Restorative Justice


Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk restorative justice, prinsip tersebut adalah
:
1. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan
Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi)
2. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan
melestarikan perdamaian yang adil.

Restorative justice itu kemudian memunculkan standar program sebagai berikut :


1. Encounter, yaitu menciptakan peluang bagi korban, pelaku dan anggota masyarakat
yang ingin melakukannya untuk bertemu membicarakan tindak pidana dan bagaimana
sesudahnya;
2. Amends, yaitu mengharapkan pelaku untuk mengambil langkah-langkah guna
memperbaiki kerugian yang telah disebabkannya termasuk pemberian ganti rugi
3. Reintegration, yaitu baik korban maupun pelaku sama-sama dipulihkan/disembuhkan/
diperbaiki, serta berkontribusi sebagai anggota masyarakat
4. Inclusion, yaitu memberi kesempatan kepada pihak yang terkait dengan tindak pidana
(stakeholders) dapat berpartisipasi dalam mencari pemecahan masalah.

Salah satu model restorative justice adalah diversi, yaitu kemungkinan hakim
menghentikan/ mengalihkan/ tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan
terhadap anak selama proses dipermukaan siding. Dalam sistem hukum Indonesia, model
hukum yang demikian ini telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana untuk kasus anak yang bemasalah dengan
hukum, model diversi menjadi arus utama kebijakan penghukuman.
Di samping itu, seperti yang telah diuraikan diatas, pada hakikatnya diversi senada
dengan mediasi penal (penal mediation), yaitu model yang salah satu bentuknya disebut
dengan “victim-offender mediation” yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terjadi mediasi antara korban dengan pelaku merupakan model yang paling sering
ada dalam pikiran orang
2. Melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk.
Banyak variasi dari model ini. Mediator dapat berasal dari pejabat formal, mediator
independent, atau kombinasi
3. Dapat diadakan pada setiap proses, baik kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap
pemidanaan atau setelah pemidanaan
4. Model ini ada yang diterapkan kepada semua tipe pelaku tindak pidana ada yang
khusus untuk anak; ada yang untuk tindak pidana tertentu (missal penguntilan,
perampokan, dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak,
pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat bahkan untuk residivis

Model tersebut diatas juga senada denga pembaharuan hukum pidana di Indonesia,
seperti yang telah diatur dalam paragraph 3 tentang perubahan atau penyesuaian pidana
pasa 57 RUU KUHP yang menyatakan bahwa :
1. Putusan pidana dan tindakan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap dapat
dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana
dan tujuan pemidanaan
2. Perubahan atau penyesuaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
permohonan narapidana, orang tua wali atau penasihat hukumnya, dan atas
permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas
3. Perubahan atau penyesuaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana
4. Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. Pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b. Penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya
5. Jika permohonan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud ayat (1) ditolak oleh
pengadilan, maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak
penolakan
6. Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut pantas
dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun, maka ketentuan yang dimaksud
pada ayat (5) tidak berlaku.

Dari bunyi pasal 57 RUU KUHP, dapat disimpulkan bahwa upaya restorative justice dengan model
program mediasi penal ini dilaksanakan bukan hanya terbatas pada saat proses peradilan dalam
tahap pra ajudikasi dan tahap ajudikasi, tapi juga dilaksanakan pada tahap proses post-ajudikasi,
yaitu saat pelaksanaan pemidanaan. Hal ini sangat menarik karena proses usaha pemulihan
hubungan antara pelaku kejahatan dengan korban serta masyarakat tidak hanya terbatas pada saat
sebelum putusan pemidanaan dijatuhkan, akan tetapi berlanjut sampai ketika yang bersangkutan
telah berada di Lembaga Pemasyarakatan untuk menjalani pidana. Hal ini sangat masuk akal
karena suasana korban dan masyarakat tidak dapat serta-merta menerima dan memaafkan
perbuatan pelaku kehahatan, akan tetapi memerlukan suatu proses yang berbeda antara satu kasus
dengan kasu lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembaharuan hukum pidana Indonesia
kedepan, seperti telihat dalam RUU KUHP sangat berkeinginan untuk melaksanakan model
restorative justice secara konsisten di setiap tahapan proses peradilan pidana, baik pada tahap pra
ajudikasi, pada tahap ajudikasi, maupun pada tahap post ajudikasi. Dalam kaitan ini, peranan Balai
Pemasyarakatan sangat dominan untuk menyelenggarakan model restorative justice.

DAFTAR PUSTAKA

Herlina, Apong. 2014. Restorative Justice. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No. III.

Prayitno, Kuat Puji. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No.3.

Sudirman, Dindin. 2015. Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan Anatomi Permasalahan dan
Upaya Mengatasinya : Konsepsi Pemasyarakatan dan Kaitannya dengan Restorative
Justice. Jakarta : Center for Detention Studies.

Anda mungkin juga menyukai