Ketika berbicara tentang kejahatan, maka seringnya
yang muncul di dalam benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita bisa menyebut mereka penjahat, criminal, atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada pendekatan penghukuman (pemidanaan) terhadap pelaku. Memberikan pidana kepada pelaku masih dianggap sebagai “obat manjur” untuk “menyembuhkan” baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang diidap pelaku kejahatan. Herbert L.Packer dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sementara sebaliknya, bila merupakan ancaman jika dipergunakan secara sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lapas. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. John Delaney, mengatakan: pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realization process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, penghargaan, dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat darimana ia berasal. John Martison yang telah mempelajari ratusan program reformasi selama jangka waktu dua dasawarsa mengambil kesimpulan bahwa penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil daripada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk”. David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan ini muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. Juga kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara. Penjara telah mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar melalui sikap para petugas penjara terhadap para terpidana yang selalu diiringi rasa was- was, mereka merasa setiap saat dalam keadaan bahaya karena mereka dikelilingi oleh penjahat yang dicurigai setiap saat memberontak. Selain itu ketrampilan atau pekerjaan yang ada sangat terbatas dengan upah yang tidak memadai. Ironisnya, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa direstorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula, dimana dalam keadilan restoraif ini dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigm penghukuman yang disebut sebagai RESTORATIVE JUSTICE, di mana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya, dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakan masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Pengertian Restorative Justice
Restorative Justice (RJ) adalah respon yang
sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan jahat (tindak pidana). Restorative Justice adalah suatu proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Dilihat dengan kaca mata RJ, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati. Korban, dalam pandangan RJ, adalah orang yang menjadi target atau sasaran kejahatan, anggota keluarganya, saksi mata, anggota kelurga pelaku, dan masyarakat secara umum. Tindak pidana memunculkan kewajiban dan liabilitas. Pelaku harus dibantu untuk sadar akan kerugian atau kerusakan yang timbul dan dibantu dalam menunaikan kewajibannya untuk secara maksimal memulihkan kerugian atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Kesadaran yang muncul, keinginan untuk memulihkan, dan pelaksanaan pemulihan kerugian atau kerusakan diharapkan muncul karena kerelaan dari pelaku tindak pidana bukan dikarenakan adanya paksaan dari pihak lain. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai kewajiban terhadap korban dan pelaku tindak pidana dalam mengintegrasikan mereka kembali ke dalam masyarakat dan menjamin terbuka luasnya kesempatan bagi pelaku untuk dapat memperbaiki diri dan kembali aktif di dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan RJ akan merespon tindak pidana dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi dan mengambil langkah-
langkah untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan. b. Melibatkan seluruh pihak seluruh pihak yang terkait. c. Adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyarakat dengan pemerintah dalam merespon tindak pidana. Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan RJ:
1. Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya
pemulihan bagi pihak yang dirugikan. 2. Siapa yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam menindaklanjutinya. 3. Pemerintah berusaha dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian. Mengacu kepada prinsip-prinsip di atas, maka terdapat 4 (empat) nilai utama dalam RJ:
1. Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu menciptakan
kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dan memiliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang telah terjadi dan pasca kejadian. 2. Amends (perbaikan), dimana sangat diharapkan pelaku mengambil langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya. 3. Reintegration(bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat. 4. Inclusion(terbuka), dimana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penanganan masalahnya. Mekanisme yang umum dilakukan dalam RJ:
1. Victim offender mediation;
2. Conferencing; 3. Cricles; 4. Victim assistance; 5. ex-offender assistance; 6. Restitution; 7. Community service. Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigms of Juvenile Justice” memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:
1. Model pembinaan pelaku perorangan (individual
treatment model); 2. Model retributif (retributive model); 3. Model restoratif (restorative model). 1. Model Pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model)
Di dalam model pembinaan pelaku perorangan
persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandate peradilan yang samar- samar, pembinaan dilandaskan pada cara medic terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya. Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi.
Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat
perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku delinkuen.
Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini
dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistik, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. 2. Model Retributive (retributive model) Model ini sama dengan apa yang sedang berlaku menurut hukum pidana Indonesia sekarang.
3. Model Restorative (restorative model)
Model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restoratif ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.
Ciri pembeda model restoratif dengan kedua
model lainnya terletak pada sisi pandang terhadap perilaku delinkuensi anak. Menurut model restorative, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat.
Peradilan restorative tidak bersifat punitif, tujuan
utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model peradilan restorative juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertangggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses.
Konsep restorative justice telah muncul lebih dari
20 tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik
Akibat Hukum Bagi Notaris Dan Akta Yang Dibuatnya Terkait Adanya Keterangan Palsu Dalam Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Yang Berkaitan Dengan Pengalihan Saham Perseroan