Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak. Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak. Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau
11

penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adatistiadat, hukum formal , atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya. Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja. Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial. Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan itu antara lain adalah : 1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan. 2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual. 3. Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja dan lemah mentalnya. 4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.
11

5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal. 6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional. Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak atau pun dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu. Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anak-anak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun dewasa Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas Dampak dari kriminalitas Solusi dari kriminaliatas

11

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Kriminalitas Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham. Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht. Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan : Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal. Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum pidana. Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti

11

sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan. Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal. Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. Misdad is benoming, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.). Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja. B. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan penjahat berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat. Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan. Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan

11

menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35). Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan hokum. Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya adalah sebagai berikut ; 1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat). 2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat). 3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ; penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan. Adapun Pembagian menurut Seelig : 1. Penjahat karena segan bekerja. 2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan. 3. Penjahat karena nafsu menyarang. 4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks. 5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan. 6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive. 7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya. 8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan. 9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 ). C. Teori-Teori Terkait Kriminalitas Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak maupun remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu lebih cenderung untuk melihat kriminalitas anak-anak maupun remaja sebagai bentuk perilaku
11

menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari Sutherland, danpower-confl ict terutama dari Young dan Foucault. (a) Struktural Fungsional Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton. Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3 istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori altruism, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori egoism. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori fatalism dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori anomie. Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan ( goals) dan legitimate

11

means ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang dapat diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi, yakni conformity, innovation, ritualism, retreatism, dan rebellion. (b) Interaksi Simbolik Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan datang dari individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori differential association, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya (c) Power-Conflict Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki

11

kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5 pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka. Kriminalitas Remaja: teori yang relevan Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masayarakat. Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku. Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
11

Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi. Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7 terjadinya penyimpangan, adalah efek samping atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105) Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh

11

individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu: 1. Conformity atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya benar dalam masyarakat 2. Innovation atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat. 3. Ritualism atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan. 4. Retreatism atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan. 5. Rebellion atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru. Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya the American Dream, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya. Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan mimpi tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat. Tentu saja kasus yang dicontohkan oleh Merton pun dapat
11

D. Faktor Penyebab Terjadinya Kriminalitas Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja. Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga. Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri. Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.
11

Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba. Aktivitas kelompok atau biasa dikenal gang sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya. Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum. Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya. Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya geng-geng yang nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah. Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan

11

swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif.

BAB III PENUTUP


11

A. Kesimpulan Kekerasan yang marak terjadi di kalangan pelajar khususnya untuk pelajar sekolah menengah tak lepas dari peranan orang tua, guru, serta keadaan lingkungan sekitar yang mendukung terjadinya kekerasan atau tindakan-tindakan menyimpang yang banyak terjadi di dalam dunia pendidikan. Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan tersebut, antara lain seperti; kesenjangan sosial, perbedaan stasus sosial pelajar sering kali menjadi pemicu utama terjadinya tindakan kekerasan tersebut, mereka sulit untuk menahan emosi apabila mereka dihina atau diejek status sosialnya, kemudian peranan orang tua yang kurang sering kali membuat anak merasa dirinya bebas dan menyepelekan orang, sehingga mereka merasa bebas untuk melakukan tindakan-tindakan yang mereka inginkan tanpa memikirkan sebab dan akibat dari tindakan atau perbuatan tersebut, lingkungan tempat tinggal merupakan tempat mereka bersosialisasi dan membentuk kepribadian mereka. Perilaku, sikap dan tindakan yang terbentuk merupakan cerminan atau contoh yang sering mereka lihat di sekitarnya. Oleh karena itu peranan orang tua dan lingkungan sekitar harus memberikan contoh-contoh yang baik sebagai kepribadian yang terbentuk akan baik pula. B. Saran a) Kita sebagai generasi muda harus memupuk nilai-nilai dan norma-norma kepribadian Indonesia. b) Kita juga harus dapat memilah lingkungan mana yang tidak sehat dan lingkungan mana yang sehat buat kita. c) Penanaman nilai-nilai agama juga sangat penting penting untuk menghindari tindakan-tindakan yang sangat mungkin kita lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

11

http//www.google.com bullying makin panas. Edisi xxxv Juli 2008. Majalah Gadis.

11

Anda mungkin juga menyukai