KELOMPOK SOSIAL
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Komunitas (community) dapat didefinisikan sebagai penduduk suatu wilayah yang dapat
menjadi tempat terlaksananya kegiatan kehidupan kelompok manusia. Orang desa berbeda
dengan orang kota karena berbeda kondisi fisiknya. Terisolasinya komunitas desa tradisional,
homogenitas, pekerjaan di bidang pertanian dan ekonomi subsistensi cenderung menciptakan
orang bersifat hemat, bekerja keras, konservatif, dan etnosentris. Perubahan teknologi cenderung
melahirkan revolusi desa yang sekaligus berkurangnya isolasi desa, muncul usaha pertanian
komersial dan cara hidup menyerupai kota. Keberadaan kota sebagai akibat surplus hasil
pertanian dan sarana transportasi. Perkembangan yang menonjol dalam struktur kota ialah
munculnya daerah metropolitan atau kota mandiri di wilayah pinggiran kota yang sangat
berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kondisi ini membawa kecenderungan terjadi
ke daerah desa dan kota-kota kecil. Kampung kumuh merupakan akibat dari adanya penghuni
kampung yang berpenghasilan rendah. Keberadaan kampung seperti itu terjerat dalam lingkaran
sebab akibat dari ketidak pedulian dari pemilik rumah. Kadang-kadang kebijakan pengadaan
rumah rakyat untuk menanggulangi kerapuhan kota kurang banyak memberi hasil yang
menggembirakan, karena pengadaan rumah rakyat dapat juga mempertegas isolasi kaum miskin
dari kelompok masyarakat lainnya. Kota merupakan gabungan dari beberapa wilayah alamiah
(natural area) yang secara terus menerus berubah melalui proses ekologi. Kehidupan dan
kepribadian urban dipengaruhi oleh kondisi fisik dan sosial kota. Kondisi kepadatan penduduk,
jarak sosial dan keteraturan hidup menciptakan kepribadian urban yang berbeda, rasa sepi,
materialistis, rasa tidak aman dan berdikari, walaupun teori mendapat tantangan dari ahli
sosiologi yang lain. Suatu anggapan umum bahwa kehidupan desa dan orang desa lebih baik dari
pada kehidupan kota dan orang kota. Dewasa ini perbedaan antara desa sudah mulai terkikis
secara cepat. Perbedaan yang masih terlihat antara desa dengan kota adalah dalam klasifikasi
pekerjaan. Dalam segi kehidupan sosial terlihat para penduduk desa non petani jumlahnya
meningkat dalam lebih berperilaku urban daripada desa. Kelompok miskin kota yang berasal dari
kelompok minoritas merupakan kelas sosial terlantar, mereka tidak mempunyai pekerjaan dan
tidak mampu pindah ke kota atau daerah lain untuk memperoleh pekerjaan. Pembangunan kota
kecil terbatas dalam upaya menyalurkan penduduk dan usaha bidang industri ke komunitas baru
yang telah dirancang. Perencanaan kota merupakan suatu upaya untuk menanggulangi masalah-
masalah kota yang semakin kompleks.
Brown membuat sebuah definisi untuk lebih mempertegas pencirian dan pembagian dari
massa kerumunan (crowd). Menurut brown, kerumunan masa dapat dibagi ke dalam dua
golongan besar, yaitu mobs dan Audience. Masing-masing golongan tersebut memiliki cirinya
sendiri.
Untuk lebih memperjelas perincian pembagian dari kerumunan, Brown membuatnya
dalam sebuah bagan. Perhatikan bagan berikut ini:
1. Crowd (kerumunan) adalah sekelompok individu yang untuk sementara menunjukkan
kesatuan perasaan dan aksi, disebabkan kenyataan bahwa perhatian mereka berpusat pada
objek, bahan, atau ideal yang sama.
2. Mobs adalah suatu kerumunan aktif yang menyebabkan kerusakan – kerusakan.
3. Aggressive adalah suatu bentuk kerumunan yang mengarah pada penghancuran dan
perusakan.
4. Exope adalah suatu bentuk tingkah laku kolektif yang lahir dari kemudahan – kemudahan
menghadapi ancaman, sehingga lebih berbentuk suatu aktivitas/gerakan massal yang
berbondong – bondong melarikan diri dari sumber ancaman atau bahaya.
5. Acquisitive adalah kualitas hasrat yang besar untuk memperoleh dan memilikinya.
6. Expressive adalah suatu bentuk tingkah laku massa yang lebih berbentuk lontaran dan
cetusan perasaan sesaat saja.
7. Audience atau secondary crowd adalah terbentuknya suatu kelompok karena adanya
penggerak yang sama.
8. Casual adalah suatu kerumunan massa, yang terbentuknya tidak direncanakan lebih dulu.
9. Intensional adalah suatu bentuk kerumunan massa yang terbentuknya direncanakan terlebih
dahulu.
10. Recreational adalah suatu kerumunan yang terbentuk dalam kesempatan rekreasi dan
mencari kesenangan.
11. Information seeking adalah suatu kerumunan yang berbentuk usaha dari individu – individu
di dalam kerumunan untuk mendapatkan kepastian suatu informasi yang masih belum jelas.
12. Lynching adalah suatu bentuk kemarahan massa yang diarahkan pada individu sebagai objek,
biasanya berbentuk pengeroyokan sampai terjadi pembunuhan.
13. Terrorization adalah suatu bentuk kriminalitas massal yang berbentuk terror.
14. Riot adalah bentuk gerakan massa yang menghancurkan dan merusak lingkungan.
15. Panic organization adalah perilaku yang berkembang manakala kerumunan pada suatu
kelompok menjadi histeris atau kacau.
16. Panic in organization adalah perilaku yang berkembang manakala kerumunan pada suatu
kelompok tidak menjadi histeris atau kacau.
Type-type Paguyuban
1) Ikatan darah (gemeinschaft by blood)
Ikatan yang berdasarkan pada hubungan darah atau keturunan
Contoh : keluarga, dan kelompok kekeluargaan
2) Tempat
Yaitu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga
dapat saling tolong menolong.
Contoh : rukun tetangga, rukun warga, arisan
3) Jiwa- fikiran
Yaitu terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah, ataupun
tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama,
ideologi yang sama. Paguyuban ini biasanya tidak sekuat paguyuban karena hubungan darah.
Pembedaan kelompok menurut Robert K. Merton dibagi menjadi 2 yaitu: Membership Group
dan Reference Group.
Membership Group
merupakan kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok
tersebut. Batas-batas yang dipakai untuk menentukan keanggotaan seseorang pada suatu
kelompok secara fisik tidak dapat dilakukan secara mutlak. Hal ini disebabkan karena
perubahan-perubahan keadaan, situasi yang tidak tetap akan mempengaruhi derajat interaksi
di dalam kelompok tadi sehingga adakalanya seorang anggota tidak begitu sering berkumpul
dengan kelompok tersebut, walaupun secara resmi di belum keluar dari kelompok yang
bersangkutan. Selain itu membership group adalah tempat setiap orang secara fisik menjadi
anggota kelompok secara otomatis.
Reference Group adalah kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan
anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan prilakunya. Dengan kata lain seorang yang
bukan anggota kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasi dirinya dengan kelompok
tadi, misalnya seseorang yang ingin sekali menjadi mahasiswa tetapi gagal memenuhi
persyaratan untuk memasuki salah satu perguruan tinggi, bertingkah laku sebagai mahasiswa,
walaupun dia bukan mahasiswa.
Reference group adalah suatu grup tempat seseorang mengidentifikasi diri atas dasar norma-
norma dan tujuan –tujuan grup yang disetujui orang itu karena nilai/norma grup yang diangga
cukup baik untuk dituruti. Reference grup mempengaruhi prilaku seseorang dapat berubah-ubah
sesuai dengan situasinya, pada masa remaja, seseorang menjadikan kelompok selebriti sebagai
grup referensinya sehingga mereka berupaya meniru pakaian atau potongan rambut artis itu.
Robert K. Merton menyebut beberapa hasil karya Harrold H. Kelley, Shibutani dan Ralph H.
Tunner mengemukakan adanya dua tipe umum reference group yaitu:
1) Tipe normatif (normative type) mengemukakan dasar – dasar bagi kepribadian seseorang.
Tipe ini mengemukakan sumber nilai bagi individu, baik yang menjadi anggota maupun yang
bukan anggota kelompok, contohnya adalah anggota angkatan bersenjata yang berpegang
teguh pada tradisi yang telah dipelihara oleh para veteran.
2) Tipe perbandingan (comparison type) yang merupakan pegangan bagi individu di dalam
menilai kepribadiannya. Tipe ini lebih dipakai sebagai perbandingan untuk menentukan
kedudukan seseorang misalnya status ekonomi seseorang dibandingkan dengan status
ekonomi dari orang-orang semasyarakat.
Grup formal adalah grup yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan dengan
khusus dirumuskan oleh anggota-anggotanya untuk mengatur antar mereka, misalnya peraturan-
peraturan untuk memilih seorang ketua, pemungutan uang iuran dan sebagainya, seringkali
peraturan-peraturan grup yang menjabarkan norma-norma grup dirumuskan secara tertulis. Ciri-
ciri formal lazimnya berukuran besar, misalnya ada pemangku tugas-tugas grup , ada sebuah
tempat pertemuan secara teratur dan keputusan-keputusan grup lebih menekankan pada efisiensi
kegiatan grup.
Sedangkan grup informal peraturan – peraturan tertulis tidak terdapat, grup informal
biasanya berbentuk karena saling berhubungan yang berulang kali menghasilkan pertemuan
kepentingan bersama atas dasar pengalaman pengalaman yang sama. Ciri-ciri informal lazimnya
berukuran kecil, misalnya tidak ada seorang pemangku tugas secara khusus atau tempat
pertemuan secara teratur dan keputusan-keputusan
Kasus 1.1
“Hubungan Migran Madura dan Kelompok Etnis Bugis di Kalimantan Barat”
Migran swakarsa orang Madura di Kalimantan Barat berasal dari status sosial ekonomi bawah,
baik ditinjau dari sudut pandang pendidikan maupun sosial ekonominya. Di Kalimantan Barat
umumnya mereka masih tetap berstatus ekonomi sosial di lapisan bawah, walaupun terdapat
kemajuan berarti dalam penghasilan perkapita pertahun, yaitu dari Rp 17.973, 78 di Madura
menjadi Rp 87.500,- di Kalimantan Barat
Latar belakang pekerjaan mereka di madura adalah tidak bekerja 12%, tani 67%, buruh tani
9,5%, tidak tetap 8,5%, guru agama 0,25%, berdagang 0,75%, nelayan 1,25% dan pandai besi
0,75%. Di kalimantan barat 59,75% dari mereka, kembali bekerja sebagai petani, 40,25%
memasuki sektor informal di perkotaan sebagai tukang becak, penambang sampan, sopir oplet,
pemecah batu, penjual daging sapi, dan buruh harian.
Pola pemukiman mereka di kalimantan barta terbagi dua: pemukiman mengelompok dan
pemukiman sisipan. Pemukiman mengelompok dijumpai di daerah pedesaan, dan pemukiman
sisipan dijumpai di kota-kota. Walaupun mereka bertempat tinggal menyisip di tengah kelompok
etnik lain, namun mereka umumnya tetap berkelompok, artinya tinggal diantara mereka sendiri
secara berdekatan,misalnya satu rumah ditempati dua atau tiga keluarga. Dimadura pola
pemukiman seperti itu disebut sistem tanean lanjang. Tanean lanjang yang terpencar dengan
jarak cukup jauh semakin menimbulkan ikatan kekeluargaan yang erat. Soalnya, untuk
menghadapi kesulitan hidup dan gangguan dari luar, keluarga di dalam tanean lanjang lah yang
pertama tama akan membantu. Dalam sistem tanean lanjang tersebut terdapat solidaritas, yang
diwujudkan dalam bentuk tolong-menolong dan saling membantu ketika menghadapi kesulitan,
baik dengan uang maupun dengan tenaga.
Para migran baru yakin bahwa keluarga atau teman-temannya yang telah menetap di
kalimantan barat akan membantu. Bantuan dapat berupa tempat tinggal sementara, menjamin
kehidupan sehari-hari, seraya mencari pekerjaan hingga suatu saat mereka memiliki tempat
tinggal sendiri dan pekerjaan. Salah satu usaha bersama yang menunjukkan kerukunan dan
solidaritas adalah penerapan sistem arisan. Di kecamatan sungai Ambawang dikenal arisan
tanah, artinya uang yang terkumpul dengan cara arisan ini digunakan untuk membeli tanah
secara bergilir.
Menyimak sejarah kedatangan migran madura di kalimantan barat, orang bugis dipandang
mempunyai peranan penting. Soalnya, mereka adalah salah satu kelompok etnis pertama yang
menampung kedatangan orang Madura dan memberi pekerjaan sebagai penebang hutan dan
pembantu dikebun, serta memberikan tempat tinggal sementara. Jadi pada saat-saat pertama
kedataan orang madura di kalimantan barat., hubungan orang madura dengan orang bugis antra
pekerja kontrak dengan majikan. Pandangan migran madura terhadap orang bugis, terutama yang
tua-tua, adalah orang bugis yang baik dan dapat diajak bekerja sama. Hubungan baik di bidang
sosial ekonomi ini diperkuat oleh adanya persamaan agama, yaitu sama-sama memeluk agama
islam secara fanatik dalam arti positif.
Selama ini ada prasangka rasial bahwa orang bugis dan orang madura tidak dapat terjalin
dengan aik. Kenyataannya di kalimantan barat tidak demikian. Dikota pontianak misalnya,
penduduk madura diperkirakan 13,09%, sedangkan orang bugis 20,39%. Faktor yang
menyebabkan dua suku bangsa yang sama-sama migran tersebut dapat hidup damai adalah
mereka mempunyai bidang usaha yang berbeda. Tidak ada orang bugis yang menjadi penambang
sampan, penarik becak, penjaja sayuran dan buah-buahan. Jadi jika ada persaingan di bidang
ekonomi atau pencarian nafkah. Bahkan di bidang perkebunan, orang bugis mendapat
kesempatan menggunakan tenaga orang madura yang tekun dan ulet sebagai pembantu.end.
Dari kasus 5.1 dapat diketahui bahwa pola pemukiman migran madura di kalimantan barat
terbagi dua: pemukiman mengelompok dan pemukiman sisipan. Pemukiman mengelompok
dijumpai di daerah pedesaan, dan pemukiman sisipan dijumpaidi kota-kota, berdasarkan
penjelasan tersebut secara sosiologis yang dinyatakan bahwa migran madura tersebut
berkelompok. Apabila merujuk kepada empat dasar yang melandasi pembentukan grup menurut
Koentjaraningrat (1979), maka dasar pembentukan kelompok migran madura yang tinggal di
kalimatan barat adalah territorial (tinggal dekat). Oleh karena, seperti telah dijelaskan dalam
kasus tersebut bahwa pola pemukiman migram madura di kalimantan barat terbagi dua:
mengelompok dan sisipan. Pemukiman mengelompok di daerah pedesaan dan sisipan di
perkotaan. Tinggal mengelompok diantara mereka sendiri secara berdekatan, misalnya satu
rumah ditempati dua atau tiga keluarga.
Sumber:
Syarbaini, syahrial; Rusdianta. 2013. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta. Graha Ilmu. Hlm 40-
45
Santoso, slamet. 2004. Dinamika Kelompok Ed. Rev. Cet. 2. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 30-69
Soekanto, soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm
99-125
Sunarto, kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Hlm 90-98
Anwar, yesmil, dan Adang. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika Aditama.
Hlm 219
Fredian Tonny Nasdian. 2015. Sosiologi Umum. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Universalism, Particularism, and the Question of Identity; Author(s): Ernesto Laclau; Source:
October, Vol. 61, The Identity in Question (Summer, 1992), pp. 83-90; Published by: The
MIT Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/778788 Accessed: 25-04-2016 04:42
UTC
https://julitaseptanius.wordpress.com/eksklusivisme-dan-partikularisme-bangsa-israel/ 26 April
2016, pukul : 11.41 WIB.