Anda di halaman 1dari 17

SISTEM DAN KEBERADAAN

HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
DALAM KERANGKA
HUKUM INTERNASIONAL
ANGGOTA KELOMPOK

01 02 03
Puji Calara Christina Purba Roy Sarman
18.4301.096 18.4301.115 18.4301.158

04 05
Sonia Damayanti Kania Tesalonika
18.4301.162 18.4301.180
01
Latar Belakang
Latar Belakang
Hak Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR) yang diatur
dalam undang-undang nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The
World Trade Organization). Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut dengan HKI memiliki
perlindungan dari adanya pemahaman atas perlu dibentuk suatu penghargaan khusus terhadap karya
intelektual seseorang dan hak yang muncul dari karya itu sendiri dan HKI baru ada bila kemampuan
intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca dan digunakan
secara praktis.

Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman pemerintahan
Hindia-Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang
sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan pemerintah HindiaBelanda yang
berlaku di negeri Belanda dan diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan
prinsip konkordasi. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan
perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan
keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi
Indonesia.
Latar Belakang
Kerangka aturan HKI diatur dalam salah satu agenda WTO yaitu Agreement on Trade Related Aspecs of
Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods atau secara singkat dengan TRIPs,
agenda ini meningkatkan standar perlindungan HKI dengan tujuan substantif dan objektif sepanjang hal
tersebut memberikan kontribusi bagi peningkatan perdagangan yang sehat dan lebih terbuka.

HKI mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional maupun internasional karena sudah
menjadi isu bagi negara maju maupun negara berkembang. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa
melepaskan diri dari keterkaitan dengan isu perlindungan hukum terhadap HKI yang telah menjadi
perhatian dunia, bahkan Indonesia telah ikut serta dalam perjanjian internasional yang berkaitan dengan
hal tersebut, sehingga mau tidak mau Indonesia harus ikut meratifikasi perjanjian tersebut agar negara
kita tidak dikucilkan dalam arena perdagangan antar bangsa. Berdasarkan dengan inilah, Indonesia
kemudian membuat peraturan perundang – undangan tentang HKI.
IDENTIFIKASI MASALAH

Bagaimana Sistem Hak Kekayaan


Intelektual Dalam Hukum Internasional?

Bagaimana Keberadaan Hak Kekayaan


Intelektual Dalam Kerangka Hukum
Internasional?
02
Pembahasan
Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam
Hukum Internasional
Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan
intelektual yang cukup memadai dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPs.

Peraturan perundang-undangan dimaksud mencakup:


• Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
• Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
• Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
• Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
• Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
• Undang-undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten dan;
• Undang-undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia juga telah meratifikasi 5
konvensi internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual, yaitu sebagai berikut :
• Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World
Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979)
• Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden No. 16 Tahun
1997)
• Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997)
• Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works (Keputusan Presiden No. 18
Tahun 1997)
• WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997)

WIPO didirikan dengan dua misi, yaitu :


• Meningkatkan atau mempromosikan perlindungan HKI di seluruh dunia, dan
• Mengadministrasikan perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI dan Negara negara anggota
pesertanya.
Untuk merealisir misi yang pertama WIPO usaha yang dilakukan adalah memprakarsai pembuatan
perjanjian internasional; memberikan informasi-informasi tentang perkembangan dan masalah-masalah
HKI kepada negara peserta dan memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang. Bagi
negara-negara berkembang penanganan HKI melalui WIPO ini sudah tepat, karena dalam melakukan
sosialisasi dan pengambilan keputusan senantiasa memperhatikan kepentingan kepentingan negara
berkembang dan juga memperhatikan budayanya, khususnya dalam hal penegakan HKI.

Sejak tanggal 15 April 1946 tidak kurang dari 124 negara, termasuk Indonesia, telah menandatangani
GATT-Putaran Uruguay 47. Di samping disepakatinya berdirinya WTO (World Trade Organization),
melalui Agreement Establishing The World Trade Organization, untuk menggantikan GATT. Salah satu
kesepakatan yang dihasilkan dalam GATT-PU adalah berkaitan dengan Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), di mana di dalamnya mengatur materi tentang HKI.
Dengan diberlakukannya WTO membawa implikasi masuknya HKI dalam sistem hukum nasional. Hal
ini disebabkan setiap negara yang telah menyepakati GATT-PU memiliki kewajiban untuk
menyesuaikan instrumeninstrumen hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
TRIPs.
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka Hukum
Internasional
Kedudukan HKI dalam kerangka hukum internasional, dapat dilihat dalam sejarah perkembangan HKI
secara umum. Perhatian terhadap HKI sudah dimulai pada tahun 1883 dengan dibentuknya suatu badan
yang bernama “The World Intellectual Property Organization (WIPO)” yang dapat memberikan
perlindungan atas adanya penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu.
Akan tetapi dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kemajuan ekonomi dunia, maka ketentuan-
ketentuan dalam konvensi-konvensi WIPO menjadi bersifat compultatif (keharusan) yang artinya bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut wajib dilaksanakan bagi negara-negara yang sudah tergabung dalam
keanggotaannya.

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dimulai
dengan telah dicapainya kesepakatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), kemudian setelah
Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem
perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization). Indonesia sendiri telah
meratifikasi konvensi pendirian WTO melalui Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang diundangkan dalam Lembaga
Negara Republik Indonesia 1994 Nomor
57 tanggal 2 November 1994.
Sangat pentingnya perlindungan internasional atas kekayaan intelektual menjadi bukti ketika dalam
suatu pameran diluar negeri beberapa pemikir yang telah menemukan invensi dan inovasi baru yang
menolak untuk hadir pada “The International Exhibition of Invention in Vienna” pada tahun 1873. Hal
mana disebabkan suatu kehawatiran bahwa ide-ide mereka akan dicuri dan disebarluaskan secara
komersil ke negara-negara lain. Merupakan sesuatu hal yang wajar jika para penemu tidak bersedia
memamerkan penemuannya sebelum adanya suatu jaminan atas keamanannya. Karena bagaimanapun
harus diakui bahwa setiap ide-ide yang cemerlang dan kreatif yang datang dari seseorang atau
sekelompok orang merupakan bentuk dari kemampuan intelektual manusia yang tidak semua orang bisa
memiliki atau mempunyainya. Apalagi karya intelektual itu nantinya berguna dan memberi dampak baik
dari berbagai aspek kehidupan. Dari itu, perlu adanya jaminan keamanan dan perlindungan.

Berkenaan dengan kepentingan tersebut, maka pada tahun 1883 ditetapkan sebagai lahirnya “The Paris
Convention for Protection of Industrial Property”, keputusan internasional yang pertama dibuat untuk
membantu orang pada suatu negara dapat diberikan perlindungan pada negara-negara lain dalam bentuk
“Hak Kekayaan Industri (industrial property rights)”, seperti :
Invention (patents), Trademarks, Industrial designs.
Kemudian pada tahun 1884 “the Paris Convention” yang memiliki 14 negaranegara anggota, yang
dibentuk dalam suatu “Biro Internasional” untuk melakukan tugastugas admisnitrasi, seperti melakukan
pertemuan-pertemuan organisasi dengan negara- negara anggota dalam rangka melakukan kordinasi
tentang pentingnya perlindungan atas kekayaan industri.

Pada tahun 1886, dengan berkembangnya industri yang sangat cepat lahirlah ketentuan tentang hak cipta
(copyrights) termasuk ke dalam arena internasional dengan “Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works”. Isi dari konvensi ini telah membantu kepentingan nasional dari negara-
negara anggota yang memberikan perlindungan internasional atas hak-hak mereka dalam mengontrol,
dan untuk menerima pembayaran, pada saat menggunakan kreativitas kerja mereka.

Tahun 1893 telah dilakukan penyatuan dua biro-biro kecil untuk membentuk suatu organisasi
internasional yang disebut “The United International Bureau for the Protection of Intellectual Property
(yang disebut dalam nama Perancis sama dengan BIRPI). Organisasi kecil ini adalah merupakan cikal
bakal dari pada berdirinya WIPO. “Paris Convention” yang di dalamnya mengatur tentang proses serta
perlindungan atas hak-hak atas kekayaan intelektual khususnya di bidang industri (intellectual property
rights of industrial) yang terdiri dari beberapa hak atas kekayaan intelektual.
03
Simpulan
 Pada saat ini, HKI telah menjadi isu yang sangat  Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi
penting dan mendapat perhatian baik dalam nasional internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual,
maupun internasional. Dimasukkannya TRIPs dalam yaitu sebagai berikut :
paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan • Paris Convention for the Protection of Industrial
dimulainya era baru perkembangan HKI di seluruh Property and Convention Establishing the World
dunia. Persetujuan TRIPs merupakan kesepakatan Intellectual Property Organization (Keputusan
internasional yang paling komprehensif, dan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas
merupakan suatu perpaduan dari prinsip-prinsip dasar Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979)
GATT (General Agreement on Tariff and Trade) • Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation
khususnya tentang national treatment dan most- under the PCT (Keputusan Presiden No. 16 Tahun
favoured nation dengan ketentuan-ketentuan 1997)
substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional • Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17
bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Tahun 1997
Convention for the protection of industrial Property • Berne Convention for the Protection of Literary and
dan Berne Convention for the Protection of Literary Artisctic Works (Keputusan Presiden No. 18 Tahun
and Artistic Works. 1997)
• WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19
Tahun 1997)
04
Saran
SARAN

Kedepan sudah sepantasnya negara serius dalam mengatasi


permasalahan dalam Hak Kekayaan Intelektual. Indonesia sudah
meratifikasi 5 (lima) konvensi Internasional di bidang Hak Kekayaan
Intelektual dan sudah mempunyai perangkat peraturan perundang-
undangan yang cukup untuk melingungi hal-hal yang tercakup dalam
HKI. Dengan demikian sudah saatnya perlindungan betul-betul dapat
ditegakkan. Kemudian juga negara harus dapat memberikan
pemahaman kepada masyarakat sebagai penemu untuk sungguh-
sungguh menghasilkan kekayaan intelektual dan menjadikannya
sebagai pemenuhan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Anda mungkin juga menyukai