Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA

KELOMPOK 6
Implementasi Penyelesaian Sengketa Kekayaan
Intelektual (KI) Dalam Era Perdagangan Bebas

Dendinar Badrusalam - 110120200502


M. Haikal Yushendri - 110120200523
Universitas Padjadjaran
Istilah hak atas kekayaan intelektual adalah terjemahan dari
istilah Intellectual Property Rights (Bahasa Inggris) dalam
sistem hukum Anglo Saxon. Sedangkan istilah hak atas milik
intelektual adalah terjemahan dari istilah intellectuele
eigendomsrecht (Bahasa Belanda) dalam sistem hukum
Kontinental. Istilah HaKI atau Hak atas Kekayaan Intelektual
merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR),

Pengertian sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 7 Tahun 1994


tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The

Kekayaan World Trade Organization). Pengertian Intellectual Property


Right sendiri adalah pemaknaan mengenai hak atas kekayaan

Intelektual
yang muncul dari kemampuan intelektual manusia, yang
mempunyai kaitan dengan hak seseorang secara pribadi
yaitu hak asasi manusia (human right).

Pada intinya Kekayaan Intelektual adalah hak untuk


menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas
intelektual. Objek yang diatur dalam Kekayaan Intelektual
adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan
intelektual manusia
Dasar
Hukum Hak
Kekayaan
Intelektual

1. Undang - Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang


2. Undang - Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri
3. Undang - Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu
4. Undang - Undang Nomor 4 tahun 2001 tentang Paten
5. Undang - Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek
6. Undang - Undang Nomor 28 tahun 2014 atas perubahan Undang -
Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
Perkembangan Hukum
Kekayaan Intelektual Kekayaan intelektual (KI) ialah kekayaan yang timbul ataupun
lahir dari keahlian intelektual manusia. Karya- karya yang

dalam Perspektif timbul ataupun lahir dari keahlian intelektual manusia bisa
berupa karya- karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan,
seni serta sastra. Karya - karya tersebut dilahirkan ataupun
Hukum di Indonesia dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia lewat curahan
waktu, tenaga, benak, energi cipta, rasa serta karsanya. Perihal
tersebut yang membedakan kekayaan intelektual dengan tipe
kekayaan lain yang pula bisa dipunyai oleh manusia tetapi
tidak dihasilkan oleh intelektualitas manusia.
Di Indonesia istilah tentang Kekayaan Intelektual mengalami
perubahan. Dasar Hukum Perubahan istilah HAKI Menjadi
HKI, sebutan yang universal serta umum dipakai saat ini
merupakan Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat HKI.
Secara garis besar perkembangan hukum kekayaan intelektual tidak terlepas dari hukum yang di ratifikasi sebelumnya oleh
belanda pada tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Pada tahun
1886 terdapat perjanjian Berne Convention untuk masalah hak cipta (copyright). Dengan sejarah Indonesia yang dulu
pernah jadi jajahan Belanda maka banyak hukum-hukum kita yang terpengaruhi Belanda atau bahkan yang belum kita ubah
sejak zaman Belanda. Oleh karenanya UU Hak Cipta dan UU Merek peninggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak
demikian halnya dengan UU Paten karena dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan
dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang
Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

Secara garis besar perkembangan hukum kekayaan intelektual tidak terlepas dari hukum yang di ratifikasi sebelumnya oleh
belanda pada tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Pada tahun
1886 terdapat perjanjian Berne Convention untuk masalah hak cipta (copyright). Dengan sejarah Indonesia yang dulu
pernah jadi jajahan Belanda maka banyak hukum-hukum kita yang terpengaruhi Belanda atau bahkan yang belum kita ubah
sejak zaman Belanda. Oleh karenanya UU Hak Cipta dan UU Merek peninggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak
demikian halnya dengan UU Paten karena dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan
dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang
Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama
yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan
sementara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang
pengajuan sementara permintaan paten luar negeri. Undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI disahkan pada tanggal 11
Oktober 1961, yaitu UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk mengganti
UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang–undang Indonesia pertama di bidang HKI mulai berlaku
tanggal 11 Nopember 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang–barang
tiruan/bajakan. Perkembangan Sistem HKI di Indonesia

Kemudian Pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial
Property (Stockholm Revision 1967)] berdasarkan Keputusan Presiden No.24 tahun 1979. Namun demikian, partisipasi Indonesia
dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,
yaitu Pasal 1 sampai dengan Pasal 12, dan Pasal 28 ayat (1). Di bidang Hak Cipta, Pemerintah mengesahkan UU No. 6 tahun 1982
tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) pada tanggal 12 April 1982 untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda.
Indonesia telah meratifikasi TRIP’s Agreement Part III Article 41(1)
Penyelesaian Trade related to Intelectual Property Rights (TRIPs) Agreement

Sengketa Kekayaan menyatakan bahwa setiap anggota harus memastikan bahwa prosedur
penegakan hukum HKI yang ditentukan dalam bagian ini tersedia
Intelektual dalam berdasarkan hukum nasional mereka sehingga memungkinkan
tindakan yang efektif terhadap setiap pelanggaran HKI berdasarkan
Perdagangan Bebas perjanjian ini. Artinya, Indonesia dapat menggunakan hukum
nasionalnya untuk melakukanupaya hukum dalam menyelesaikan
sengketa.

Seiring perkembangan ekonomi dan perdagangan, sering kali muncul


sengketa (dispute) ataupun pelanggaran KI yang menimbulkan
kerugian ekonomi bagi pemegang hak. Penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni jalur pengadilan dan jalur non-
pengadilan atau yang dikenal juga sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“APS”). Beberapa bentuk APS yang selama ini telah dikenal
yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Untuk jalur pengadilan (litigasi), setiap orang yang merasa haknya telah dilanggar dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain terhadap kekayaan intelektual-nya. Khusus untuk pelanggaran Rahasia Dagang, gugatan diajukan ke
Pengadilan Negeri. Sedangkan untuk penyelesaian di jalur non-pengadilan (non-litigasi) atau APS, Indonesia memiliki undang-undang yang
mengatur mengenai APS yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase menurut
Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah: Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan kata lain apabila dalam proses sengketa terjadi antara dua belah pihak bisa menggunakan hukum nasional dalam proses
penyelesaiannya karena dengan meratifikasi TRIP’s apabila terjadi sengketa kekayaan intelektual antara pihak Indonesia dengan pihak luar maka
kedua belaj pihak bisa menggunakan hukum Indonesia untuk menyelesaikan sengketanya. Sengketa KI tidak saja terjadi dengan pihak yang
berada di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. World Intellectual Property Organizations (WIPO) sebagai salah satu ‘specialized agency’ dari
United Nations adalah lembaga internasional yang bergerak di bidang perlindungan kekayaan intelektual. Hukum yang mengatur mengenai KI
sangat banyak dipengaruhi oleh perdagangan dunia dan sangat erat kaitannya dengan WTO dan TRIPS Agreement. Apabila terjadi sengketa
antara negara mengena KI maka badan arbritase internasional dapat ditunjuk dalam proses penyelesaian sengketa Ketika itu di sepakati oleh
kedua belah pihak yang bersengketa.
Kesimpulan

1. Perkembangan hukum Indonesia mengenai Kekayaan Intelektual tidak terlepas dari hukum
belanda namun dalam perkembangannya Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian
sehingga beberapa perturan tentang Kekayaan Intelektual mengikuti aturan yang telah di sepakati
atau di ratifikasi oleh Indonesia.
2. Proses penyelesaian sengketa Kekayaan Intelektual dalam Perdagangan Bebas bisa di lakukan
dengan proses Arbritase Internasional ataupun hukum nasional yang berlaku didalam kedua
belah pihak yang bersengketa. Dalam praktiknya biasanya penyelesaian sengketa KI antar negara
akan di ajukan kepada Lembaga arbritase internasional untuk memutus dan menindak perkara
sengketa KI Internasional.
TERIMA KASIH
Universitas Padjadajran

Anda mungkin juga menyukai