TELKOM UNIVERSITY
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi
Hak Kekayaan Intelektual disingkat HKI atau akronim HAKI, adalah padanan kata yang
biasa digunakan untuk Intellectual Property Right (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah
pikir otak yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna bagi manusia. Pada intinya
HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek
yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual
manusia.
Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sejak tahun 1994 oleh pemerintah Republik Indonesia
sudah mulai mengadakan pembaharuan dalam pengaturannya,terlebih dari itu seseorang atau
badan hukum yang mempunyai Hak atas Kekayaan Intelektual tidak terlepas berhubungan secara
hukum dengan pihak lain baik langsung maupun tidak langsung.
BAB II
OBJEK HUKUM DAN SUBJEK HUKUM
Benda yang bersifat kebendaan atau zakelijke rechten atau materiele goerderen
Benda yang bersifat kebendaan dapat dibagi atas :
A) Benda bertubuh atau benda berwujud atau lichamelijke zaken. Benda ini sifatnya dapat
dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indra.
Benda ini dapat dibagi dalam :
a. Benda bergerak atau benda tidak tetap atau roerende zaken.
1. Benda yang dapat dihabiskan. Contoh: beras, minuman, bensin, uang, dan
sebagainya.
2. Benda yang tidak dapat dihabiskan. Contoh: mobil, perhiasan, pulpen, arloji, dan
semacamnya.
b. Benda tidak bergerak atau tetap atau onroerende zaken. Contoh: seperti tanah, rumah,
pabrik, kapal yang berukuran 20 m3 ke atas, gedung, toko, gudang, sawah, pohon di
ladang, kayu di hutan, pipa dan saluran got, barang-barang lain yang sifatnya secara
prinsip terpaku atau tertancap pada tanah dan bangunan dan juga termasuk hak-hak
seperti hak pakai, hak usaha, hak bunga tanah, hak pengabdian, pasar yang diakui
pemerintah.
B) Benda tidak bertubuh atau tidak berwujud atau onlichamlijke zaken. benda ini dapat
dirasakan dengan panca indra, tetapi tidak dapat dilihat ataupun diraba, namun dapat
direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya adalah surat berharga seperti Cek; Bilyet
Giro; Wesel; Surat Sanggup/Promes; dan Surat Berharga Lainnya.
2. SUBJEK HUKUM
Yang dimaksudkan dengan Subjek hukum ialah setiap orang. yang dapat mempunyai hak dan
cakap untuk bertindak di dalam hukum.
Orang (persoon) sebagai subjek hukum dibedakan dalam 2 pengertian, yaitu :
1. Natuurlijke persoon atau menselijk persoon yang disebut orang dalam bentuk manusia atau
manusia pribadi. Manusia sebagai subjek hukum dapat mempunyai hak dan itu semua diatur
oleh hukum, mulai sejak ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Contohnya antara
lain : Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk, Akta Nikah, Surat Kematian, dan banyak lagi
lainnya.
Selain mempunyai hak, manusia sebagai subjek hukum ini dapat melakukan tindakan-
tindakan hukum, namun untuk itu ia harus cakap bertindak dalam hukum. Berkenaan dengan
kecakapan ini, Pasal 1329 KUHPerdata mengaturnya bahwa tiap orang berwenang untuk
membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Berkenaan dengan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, akan dilakukan pembahasan tersendiri pada Bab
III. 2 mengenai Perjanjian.
2. Rechts persoon yang disebut orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan
hukum secara fiksi atau persona ficta, yang dapat melakukan tindakan hukum seperti
manusia. Rechts persoon ini dapat dibedakan dalam 2 macam yaitu :
a. Badan hukum publik (Publiek Rechts persoon) yaitu badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum publik, yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau
negara pada umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan negara yang
dikelola/ditangani oleh negara, contohnya antara lain :
Bank Indonesia (Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia);
Perusahaan Umum atau Perum, yaitu BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara
dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (Undang-Undang No. 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara)
BAB III
PERIKATAN & PERJANJIAN
2. PERJANJIAN
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih.
Syarat-syarat sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan oleh pasal
1320 KUH Perdata, yaitu :
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2) Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3) Suatu hal tertenu
4) Suatu sebab yang halal
Syarat no. 1 atau kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat no. 2 atau kecakapan
untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu untuk subjek hukum atau
orangnya. Sedangkan syarat no. 3 atau suatu hal tertentu dan syarat no.4 suatu sebab yang halal
disebut syart objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
1) Kesepakatan
Syarat no. 1 mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau
dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat (konsensual) para subjek hukum atau
orang, dapat terjadi dengan secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau dengan tertulis,
maupun secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.
a. Kebebasan bersepakat
Kebebasan bersepakat (konsensual) secara tegas dengan mengucapkan kata, seperti yang
terjadi antara penjual dengan pembeli, antara peminjam uang dengan yang
3) Hal Tertentu
Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPer ialah suatu hal tertentu.
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Hal
tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh Pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian
mengenai : 1. Jenis barang; 2. kualitas dan mutu barang; 3. buatan pabrik dan dari negara
mana; 4. buatan tahun berapa; 5. warna barang; 6. ciri khusus barang tersebut; 7. jumlah
barang; 8. uraian lebih lanjut mengenai barang itu.
BAB IV
KUASA
KUASA
Penerima Kuasa apabila diperjanjikan diberi Hak untuk dapat menyerahkan kuasanya pada
pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya kepada Pihak lain dengan sepengetahuan si Pemberi
Kuasa (Hak subtitusi).
Dalam pemberian kuasa pada pihak lain sebaiknya benar benar harus teliti dan mengenal
betul sifat dan karakter si Penerima Kuasa karena yang bersangkutan menjalankan kuasa untuk
dan atas nama si Pemberi Kuasa hal ini perlu diperhatikan karena sampai pemberian kuasa
tersebut disalahgunakan yang dapat mengakibatkan kerugian baik moril maupun materil bagi si
Pemberi Kuasa.
Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para
pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.
Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
2. Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa yang dianggap
sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat,
daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan
seorang pejabat umum.
Kekuatan Pembuktian
Berdasarkan pengertian dari akta otentik dan akta di bawah tangan sebagaimana tersebut di
atas, kita dapat melihat persamaan bahwa keduanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti,
namun kekuatan pembuktiannya-lah yang berbeda.
Akta Otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian (Retnowulan &
Oeripkartawinata,1979:49), yakni :
a. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Sedangkan untuk akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan sangat tergantung
pada kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan masing-
masing tanda tangannya. Apabila suatu akta di bawah tangan diakui isi dan tandatangannya oleh
masing masing pihak maka kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik; bedanya
terletak pada kekuatan pembuktian keluar, yang tidak secara otomatis dimiliki oleh akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar
terhadap pihak ketiga terkecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau
seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-
undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau
sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat
umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang
dihadapai akta itu.
BAB V
TENTANG PERUSAHAAN
Pertangungjawaban Terbatas
2. FIRMA
Fa atau VOF = Vennootschap Onder Firma atau Perseroan Firma adalah tiap-tiap
perseroan (maatschap) yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah satu
nama bersama, dimana anggota-angotanya langsung dan sendiri-sendiri bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap pihak ketiga. Bentuk perseroan ini diatur dalam Kitab Undang Hukum
Dagang (KUHD) Pasal 16 Sampai dengan Pasal 35. Perkataan firma sebenarnya berarti
nama yang dipakai untuk berdagang bersama-sama. Nama suatu firma adakalanya diambil
dari nama seorang yang turut menjadi persero pada firma itu sendiri, tetapi dapat juga nama
itu diambil dari nama orang yang bukan persero.
Dalam suatu VOF maka setiap persero berhak untuk melakukan pengumuman dan
bertindak keluar atas nama perseroan tersebut. segala perjanjian yang diadakan oleh seorang
anggota persero mengikat juga kawan-kawan persero lainnya. Pun segala sesuatu yang
diperoleh seorang anggota persero menjadi harta benda kepunyaaan firma yang berarti pula
kepunyaaan semua persero.
3. CV
CV atau Commanditaire Vennootschap atau Perseroan Komanditer adalah suatu
bentuk badan usaha yang didirikan oleh dua orang atau lebih, dimana satu orang atau lebih
dari pendirinya adalah pesero aktif (pesero pengurus/pesero komplementaris), yakni yang
aktif menjalankan perusahaan dan akan bertanggung jawab secara penuh sampai kekayaan
pribadinya, sementara satu orang lain atau lebih merupakan pesero pasif (pesero
komanditer), dimana dia hanya bertanggung jawab sebatas uang yang dia setor saja.
Bentuk perseroan ini diatur dalam Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD), namun
pengaturannya tidak secara khusus tetapi disatukan dengan pengaturan Firma. Terdapatnya
aturan perseroan komanditer di dalam aturan mengenai firma, karena perseroan komanditer
juga termasuk ke dalam bentuk firma dalam arti khusus. Persoalan Firma diatur dalam Pasal
Dasar hukum perlidungan konsumen adalah Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Latar belakang lahirnya peraturan tersebut disebabkan oleh adanya
suatu kondisi dan fenomena dewasa ini yang berpotensi mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang
merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
1. DEFINISI
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
5. KLAUSULA BAKU
Dengan maksud untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor: 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa :
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Selain itu Pelaku usaha juga dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian
kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
1. Adrian Sutedi, S.H., M.H., Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) : Penerbit SINAR
GRAFIKA
2. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) : Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
3. Djamali, R Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, CV Rajawali, 1984;
4. Darus Badrulzaman, Mariam, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasan,
Bandung, Alumni, 1983;
5. Djumhana, Muhammad, R djubaedillah, 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan
Praktiknya di Indonesia), Bandung, PT citra aditya Bakti
6. Ditjen HKI (bekerja sama dengan EC-ASEAN IPRs Co-operation Pro gramme (ECAP II),
Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual Dilengkapi Dengan Peraturan Perundang-
Undangan Di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Dijen HKI ECAP II
7. Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002;
8. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti,
1996;
9. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku II, PT. Citra Aditya Bakti,
1994;
10. Gatot Supramono, S.H., M. Hum, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, Penerbit PT
RINEKA CIPTA:
11. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Memahami Prinsip dasar, Cakupan, dan Undang-undang
yang berlaku : Sudaryat, S.H., M.H., DR, Sudjana, S.H., M.SI., dan Rika Ratna Permata,
S.H., M.H.
12. Kansil, C.S.T, Modul Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramitai, 1995;
13. Tomi Suryo Utomo, SH., LL.M., Ph.D, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: