Anda di halaman 1dari 63

1

Bagian

Pendahuluan
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat. Pada tradisi hukum di daratan
Eropa (Civil Law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum public
dan hukum privat atau hukum perdata. Tetapi menurut sistem Anglo Sakson
(Common Law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

ukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun

H
berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum
yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang
disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis
menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih
dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813) Pada Tahun 1814
Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER
namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh
NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi
pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1
Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-
Belanda).
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang).
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil
hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda KUHPerdata yang
dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah
di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang
pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda
atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah
dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan,
UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia
kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang
kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt.
Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari
1948.
1
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt.
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan
Undang -Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata

KUH Perdata terdiri dari 4 bagian yaitu :

1. Buku I tentang Orang / Personrecht


2. Buku II tentang Benda / Zakenrecht
3. Buku III tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
4. Buku IV tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs

A. DEFINISI HUKUM PERDATA


Definisi Hukum Perdata menurut para ahli :
1) Sri Sudewi Masjchoen Sofwan; bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
2) Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.; bahwa hukum perdata adalah Hukum yang mengatur
kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
3) Sudikno Mertokusumo; bahwa hukum perdata adalah Hukum antar perseorangan yang
mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yag lain didalam lapangan
berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
4) Prof. R. Soebekti, S.H.; bahwa hukum perdata adalah Semua hak yang meliputi hukum privat
materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.

Definisi secara umum :


Suatu peraturan hukum yang mengatur orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum
yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata:


1) Norma Peraturan
2) Sanksi
3) Mengikat/dapat dipaksakan.

Azas-Azas Hukum Perdata:


1) Azas Individualitas
2) Azas Kebebasan Berkontrak
3) Azas Monogami (dalam Hukum Perkawinan)

1) Azas Individualitas
Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan
dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak,
memelihara, dsb.
Batasan terhadap azas individualitas :
a. Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak milik )
b. Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
c. Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain.

2
2) Azas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam UU
maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.

3) Azas Monogami (dalam Hukum Perkawinan)


Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan mempunyai satu orang istri.
Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok
Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat
pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP.

B. PERKEMBANGAN KUH PERDATA DI INDONESIA


Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804. Pada
tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon. Tahun 1811 –
1830, Code Napoleon berlaku di Belanda. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata
Belanda, yaitu buku “Burgerlijk Wetboek” (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848.
Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan
yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru
menurut UUD ini.
Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
1) .Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengatur
tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya kecuali hypotek
2) .Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September
1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460,
1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
3) .Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan
wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.

C. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA


Menurut Ilmu Pengetahuan
1. Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
2. Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
3. Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
4. Buku IV : Hukum Waris (Vermogensrecht)
Menurut KUH Perdata
1. Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
2. Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
3. Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
4. Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)

3
4
2
Bagian

Orang Sebagai Subyek Hukum


Subyek hukum dibagi menjadi dua yaitu: orang dan badan hukum. Subyek hukum adalah setiap
manusia atau badan hukum yang punya hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Pada
dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan
(dikenai) atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan
berbuat atau kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap
manusia. Sebab hal ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang
mempunyai kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.

H ukum disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara),
kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana),
maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata
usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau
warga negara sehari-hari, seperti kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta
benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk
memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji
ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah
keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan,
domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup
peraturan hukum perorangan.

A. Pengertian Subyek Hukum

5
Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject (Belanda) atau law of subject (Inggris).
Pada umumnya rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian subyek hukum
(rechtsubject) menurut Algra adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai
wewenang hukum (rechtbevoegheid) dan kewajiban hukum. Pengertian wewenang hukum
(rechtbevoegheid) adalah kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi subjek dari hak-
hak.
Dalam pengertian ini subyek hukum memiliki wewenang, wewenang subyek hukum ini dibagi
menjadi dua:
1. Wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid)
2. Wewenang untuk melakukan/menjalankan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Namun dalam pengertian ini subyek hukum hanya terbatas pada orang saja, padahal selain orang ada
subyek hukum lainnya yaitu badan hukum.

6
1. Manusia sebagai subyek hukum (Natuurlijk persoon)

Ada dua pengertian manusia: biologis dan yuridis. Di dalam KBBI disebutkan bahwa manusia adalah
makhluk yg berakal budi (mampu menguasai makhluk lain) sedangkan Chidir Ali mengartikan manusia
adalah mahluk yang berwujud dan berohani, yang secara berasa, yang berbuat dan menilia,
berpengatahuan dan berwatak. Kedua pengertian ini difokuskan pada pengertian manusia secara biologis
dimana manusia mempunyai akal yang membuatnya berbeda dengan mahluk lain. Namun secara yuridis
para ahli berpendapat bahwa manusia sama dengan orang (persoon) dalam hukum. Ada dua alasan
manusia disebut dengan orang (persoon) yaitu: manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan
hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai
pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak
semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang
dapat melakukan perbuatan adalah orang yang telah dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan
adalah sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Sedangkan orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah (1) orang yang sudah dewasa; (2) orang yang berada dibawah pengampunan
atau pengawasan; (3) Kurang cerdas; (4) sakit ingatan (pasal 1331 KUH Pdt.)

2. Badan hukum sebagai subyek hukum (Recht persoon)


Badan hukum daalam bahasa belanda disebut rechtpersoon. Menurut soemitro berarti suatu badan
yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. Pendapat lain
berpendapat bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk
mendirikan suatu badan yaitu (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk
tujuan tertentu, dan ini dikenal dengan yayasan (Sri Soedewi Masjchoen)
Kalau dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan sebagai subjek hukum sama
dengan manusia disebabkan karena:
• Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri
• Sebagai pendukung hak dan kewajiban
• Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
• Ikut serta dalam lalu lintas hukum biasa melakukan jual beli
• Mempunyai tujuan dan kepentingan

B. Kewenangan Berhak dan Berbuat

1. Kewenangan Berhak
Hukum perdata memandang bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Baik itu manusia
yang sudah dewasa ataupun manusia yang masih belum dewasa, maka hak-haknya tetaplah sama.
Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hukum perdata adalah apabila ia
meninggal dunia.
Namun apabila terdapat pertanyaan, apakah manusia yang tidak normal memiliki kewenangan
berhak? Dalam kenyataan setiap manusia atau setiap individu itu mempunyai atau mampu
bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Kewenangan berhak adalah mengandung
pengertian kewenangan setiap manusia pribadi yang berlangsung terus menerus hingga akhir hayatnya.
Kewenangan berhak setiap manusia tidak dapat ditiadakan oleh suatu ketentuan hukum apapun.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenanagan berrhak seseorang yang sifatya membatasi,
diantaranya:
a. Tempat tinggal, misalnya dalam pasal 3 PP No.24 Th.1960 dalam pasal 1 PP No. 41 Th. 1964
(tambahan pasal 3a s/d 3c) jo pasal 1 ayat 2 UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian
oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamtan tempat letak tanahnya (tanah absensi).
b.Kewarganegaraan, misalnya dalam pasal 21 UUPA disebutkan bahwa hanya WNI yag berhak
memiliki hak milik (berupa tanah).

2. Kewenangan Berbuat/Bertindak

7
Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk
dilakukan (dikenai) atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan
berbuat atau kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia.
Sebab hal ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang mempunyai
kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.
Contohnya adalah, adat Jawa yang mengatakan seseorang yang sudah mandiri dikatakan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Sebaiknya dikatakan belum dewasa apabila orang tersebut belum mandiri
dan belum berkeluarga. Undang-Undang Dasar 1945 melalui pasal 2 aturan peralihan menyatakan
bahwa: Ketentuan produk kolonial masih dapat diberlakukan sebelum dibentuk undang-undang yang
baru. Sampai sekarang belum ada undang-undang baru yang meneruskan pengertian dewasa dan belum
dewasa. Oleh harena itu ketentuan dewasa dan belum dewasa produk kolonial masih berlaku. Misalnya: -
Pasal 330 BW, untuk golongan eropa. Stablad 1924 No. 556, untuk golongan orang timur asing.
Contoh kongkrit yang lain adalah dengan keluarnya Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, maka konsep dewasa dan tidak dewasa menjadi berubah. Di dalam UU tersebut disebutkan,
bahwa ijin orang tua bagi: Orang yang akan melangsungkan perkawinan jika belum mencapai umur 20
tahun. Dan bagi wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Anak yang belum berusia 18 tahun,
belum pernah kawin, dan berada di bawah kekuasaan orang tua. Anak yang belum mencapai usia 18
tahun, belum pernah kawin dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, tetapi berada di bawah
kekuasaan wali.

C. Akibat ketidakcakapan
Kewenangan dan kecakapan, keduanya merupakan hal yang serupa. Kewenagan dan kecakapan
menjadi penting ketika dihadapkan pada sahnya subyek hukum dalam melakukan perbuatan hukum
tertentu. Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah:
1.Orang yang dewasa (diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
2.Tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
3.Tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan
perbuatan hukum.
Pendewasaan adalah meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar dapat melakukan
perbuatan hukum. Ada 2 macam pendewasaan :
a) Penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang dewasa dalam
semua hal. Pendewasaan Penuh/sempurna (Pasal 420 s/d 425 KUHPerdata) :
• Syaratnya yang bersangkutan telah mencapai umur 20 tahun
• Permohonan diajukan kepada Presiden dan diberikan setelah mendengar pertimbangan
Mahkamah
Agung
• Mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa
• Tidak dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum dewasa.
b) Terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada dibawah umur.
Ketentuan pendewasaan terbatas (Pasal 426-431 KUHPer) :
• Syarat yang bersangkutan telah mencapai umur 18 tahun
• Permohonan diajukan kepada Pengadilan Negeri
• Hanya cakap untuk tindakan-tindakan hokum tertentu
• Dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum dewasa
Contoh : membuat wasiat

D. Kewarganegaraan dan Akibat Hukumnya


Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 menyebutkan, Kewarganegaraan adalah
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang
baru ini tengah memuat asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal. adapun asas-asas yang
dianut dalam undang-undang ini antara lain :
1. Asas Ius Sanguinis (law of blood) merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

8
2. Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Asas Kewarganegaraan Tunggal
merupakan asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Asas Kewarganegaraan
Ganda terbatas merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Akibat Kewarganegaraan
Undang-undang kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan seorang anak
hanya apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, dan hilangnya
kewarganegaraan ayah atatu ibu tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan seorang anak
menjadi hilang. Berdasarkan undang-undang ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI
dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menentukan pilihannya, dan
pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia
18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan perkembangan baru yang positif bagi anak-anak
hasil perkawinan campuran. Namun perlu di telaah, apakah pemberian dua kewarganegaraan ini akan
menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari atau tidak, karena bagaimanapun memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk kepada dua yurisdiksi, dan apabila dikaji dari segi hukum perdata
internasional kewarganegaraan ganda memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status
personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan
negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lainnya tidak
bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila terdapat pertentangan antara hukum negara
yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang
mana, dan bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.

E. Pengertian dan Pentingya Domisili


1. Pengertian Domisili
Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats yang artinya tempat tinggal. Menurut
sri soedewi Masjchoen sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalah:
“tempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan
memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ”.
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya,
kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu
mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau di mana ia
berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu
berpindah-pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat
kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman hukum adalah:
“Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-
haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal
di lain tempat. Menurut Pasal 77, Pasal 1393 KUHPerdata tempat tinggal itu adalah “tempat
tinggal dimana sesuatu perbuatan hukum harus dilakukan”.
Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu,maka tenpat tinggal dianggap di
mana ia sungguh-sungguh berada.

2. Pentingnya Domisili

9
Prof. J. Hardijawidjaja, S.H. dan Prof. Ko Tjai Sing, S.H. mengatakan bahwa dalam arti hukum
domisili adalah tempat dimana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban
serta melaksanakan hak-haknya itu. Contoh: Seorang Anggota DPR RI yang pada kenyataannya
bertempat tinggal di Kendal akan dikatakan berdomisili di Jakarta karena meskipun tempat tinggalnya
di kendal namun di Jakarta adalah tempat dimana ia sewaktu-waktu dapat dipanggil dan melakukan
hak-hak serta kewajibannya.
Berdasarkan BW dan undang-undang lainya, domisili ditentukan berdasarkan tempat dimana
perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi yang bersangkutan.
Misalnya:
a) Pasal 76 BW Perkawinan harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil dari tempat
tinggal slah satu pihak yang hendak kawin
b) Pasal 207 BW Gugatan perceraian harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggal
suami istri.
c) Pasal 1393 ayat 2 BW Apabila tidak diperjanjikan lain, pembayaran dilakukan ditempat tinggal
kreditor. d) Pasal 118 ayat 1 HIR Perkara perdata diadili oleh Pengadilan Negeri dari tempat
tergugat.

Selain itu, domisili juga penting bagi seseorang dalam hal berikut:
a) Untuk menentukan atau menunjukan suatu tempat di mana berbagai perbuatan hokum harus
dilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili (menurut
sri soedewi sofwan).
b) Untuk mengetahui dengan siapakah seseorang itu melakukan hubungan hokum serta apa yang
menjadi hak dan kewajiban masing-masing (ridwan syahrani)
c) Diwilayah hukum mana perkawinan harus dilakukan bila seseorang hendak menikah.
d) Dimana seseorang atau badan hukum itu harus dipanggil oleh pengadilan.
e) Pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan orang atau
badan hukum itu.
f) Tempat dilaksankannya pembagian warisan yang ditinggalakan oleh orang yang bersangkutan
dimana ia tinggal sampai ia meninggal dunia.

F. Pengertian Catatan Sipil dan Kegunaan Akta yang Dibuat Catatan Sipil
1. Pengertian Catatan Sipil
Catatan Sipil merupakan bagiandari sistem administrasi kependudukan secara keseluruhan yang
terdiri subsistem pendaftaran penduduk dan catatan sipil. Keduanya mencakup hak asasi bagisemua
manusia yang berada dalam suatu negara walaupun demikian bukan berartipendaftaran penduduk
identik dengan pencatatan sipil. Keduanya dapatdibangundalam satu sistem, keduanya juga dapat
dikategorikan dalampelayanan publik.Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan yang menonjol
bahwa pencatatansipil memiliki aspek hukum yang membawa akibat hukum yang luas bagi
setiapwarga negara.
Banyak pihak yang merancukan"pencatatan sipil" sama dengan "pencatatan penduduk".
Haltersebut terbukti dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 1999 bahwa pendaftaran
penduduk adalah kegiatan pendaftaran dan atau pencatatan datapenduduk beserta perubahannya,
perkawinan, perceraian, kematian dan mutasipenduduk, penerbitan nomor induk kependudukan,
nomor induk kependudukansementara, kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan akta pencatatan
pendudukserta pengelolaan data penduduk dan penyuluhan.
Jadi jelas, dari definisitersebut merancukan antara pendaftaran penduduk dan “pencatatan
penduduk”.Seolah-olah pengertian “penduduk”sama dengan “sipil”. Menurut keputusan Menteri
Dalam Negeritersebut, definisi penduduk adalah setiap warga Indonesiayang selanjutnya disingkat
WNI dan warganegara asing selanjutnya disingkat WNA pemegang izin tinggal tetap di
wilayahnegara RI.
Sedangkan pengertian “sipil” bukan berarti penduduk semata, melainkan mencakup hak-hak
setiap warga negara yang mengkait status hukum sipil/keperdataan seseorang (warga negara). Bahkan
status hukum tersebut terkait pula dengan status kewarganegaraan seseorang.

10
Namun dalam kamus besar bahasa indonesi catatan sipil adalah kantor yang bertugas membuat
dan menyimpan surat-surat mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. Dalam
pencatatan ini, pemerintah menugaskan kepada kantor/lrmbaga catatan sipil dengan tujuan:
a) Agar setiap warga negara dapat memiliki bukti-bukti otentik tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi sehubungan dengan dirinya.
b) Untuk memperlancar aktivitas pemeritah dibidang kependudukan, misalnya dalam pendataan
pemilu.
c) Untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui

2. Kegunaan akta yang dibuat oleh catatan sipil


Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya
atau sempurnannya suatu hukum perbuatan hukum, harusnya dibuat suatu akta. Sebagai contoh dari
suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah pasal
1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan
bunga dan pasal 1851 tentang perdamaian.
Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagaai alat bukti.

Kesimpulan
Subyek hukum dibagi menjadi dua yaitu: orang dan badan hukum. Subyek hukum adalah setiap
manusia atau badan hukum yang punya hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Pada dasarnya,
setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan (dikenai)
atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau
kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebab hal
ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang mempunyai kewenangan
berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.
Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah:
a. Orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
b. Tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros,
dll.
c. Tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk
melakukan perbuatan hukum.

11
Hukum Keluarga

3
Bagian

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No..1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPerdata, tidak
memberikan pengertian mengenai perkawinan.

M
enurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Disamping pengertian tersebut diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana, yaitu:
a.   Menurut Prof. Subekti, S.H.: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
b.  Menurut Prof. Ali Afandi, S.H.: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
c.  Menurut Prof. Mr. PaulScholten: Perkawinan adalah hubung-an hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui
oleh negara.
d.  Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Perkawinan yaitu suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-
syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.
e.  Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Perkawinan adalah suatu hubungan
antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.
f.   Menurut K. Wantjik Saleh, S.H: Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri.
Dari uraian definisi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan
adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu
keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan
adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta
akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

A.   Bentuk-bentuk Perkawinan
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.  Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri
Ditinjau dari segi jumlah suami atau isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan Monogami ialah perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-
Undang Perkawinan.

12
2) Perkawinan Poligami ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita
ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Dengan demikian,
bentuk perkawinan ini dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:
a)  Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita.
b)  Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Misalnya
pada orang Eskimo, orang Markesas di Oceania, orang Philipina di Pulau Palawan dan
sebagainya.
2.  Dilihat dari segi asal suami-isteri
Apabila ditinjau dari segi asal suami-isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1)  Perkawinan Eksogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan suku dan
ras. Misalnya: masyarakat di Tapanuli, Minangkabau dan Sumatera Selatan.
2)  Perkawinan Endogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari suku dan
ras yang sama. Misalnya: masyarakat Toraja.
3)  Perkawinan Homogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang
sama. Misalnya: orang kaya cenderung kawin dengan anak orang kaya pula, suku Batak
cenderung kawin dengan anak dari keluarga Batak pula, dan sebagainya.
4)  Perkawinan Heterogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang
berlainan. Misalnya: orang keturunan bangsawan menikah dengan orang biasa, orang Batak
menikah dengan orang Sunda.
Disamping bentuk-bentuk perkawinan di atas, terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan
lainnya, yaitu:
a.  Perkawinan Cross Cousin
ialah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman)
atau anak dari saudara perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan
sebagainya.
b.  Perkawinan Parallel Cousin
ialah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka bersaudara atau ibu mereka
bersaudara.
c.  Perkawinan Eleutherogami
ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri
maupun dari klen lainnya. Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera Timur, Kali-
mantan, Minahasa, Ternate, Bali dan sebagainya.

B.   PERKAWINAN MENURUT KUHPerdata


1.   Asas Monogami dalam Perkawinan
Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUHPdt berasaskan monogami dan berlaku
mutlak.Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri saja, begitu pula
sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 yang memandang perkawinan hanya
dalam hubungan keperdataan(Pasal 26 KUHPdt). Hal ini berarti, bahwa perkawinan itu sah
apabila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum. Sementara itu dalam KUHPdt tidak
memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 81 nya, di mana upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum perkawinan
diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di dalam KUHPdt, perolehan keturunan bukan
merupakan tujuan perkawinan.
2.   Syarat-syarat Sahnya Perkawinan

13
Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPdt), syarat sahnya perkawinan (syarat materil)
adalah:
1. Berlaku asas monogami (Pasal 27);
2. Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 );
3. Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29);
4. Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan
terakhir bubar (Pasal 34);
5. Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua
mereka (Pasal 35). Sementara itu, mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-
ketentuan berikut ini:
a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya,
harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36).
b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah
maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37);
c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin
dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin
dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas.
Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan
pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin
(Pasal 39);
d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak
diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal
40);      
e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga
diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau
memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim
(Pasal 42).
6.   Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33).

3.   Larangan Perkawinan
Mengenai larangan perkawinan, di dalam KUHPdt ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang
antara:
1. Mereka yang bertaiian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau
dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara
perempuan (Pasal 30);
2. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan
saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak
laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31);
3. Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah, oleh putusan hakim
(Pasal 32);
4. Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir
jika belum lewat waktu 1 tahun (Pasal 33).

4.   Perjanjian Perkawinan

14
Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di mu-ka Hakim akan
berlangsungnya perkawinan dan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat
kecideraan yang di-lakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti-rugi dalam hal ini
adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Pada umumnya, seorang anak yang masih di bawah umur
(belum mencapai umur 21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili
oleh orang tuanya atau walinya, oleh undang-undang diadakan pengecualiannya. Menurut
Pasal 151 KUHPer, seorang anak yang belum dewasa yang memenuhi syarat untuk kawin,
diperbolehkan bertindak sendiri dalam menyetujui perjanjian kawin, asalkan ia "dibantu" oleh
orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin.
Setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akte notaris sebelum perkawinan
berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan (Pasal
147). Perjanjian kawin ini mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana pernikahan itu telah dilangsungkan (Pasal
152). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak
boleh diubah (Pasal 149).
Di dalam ketentuan Pasal 13 9-143 KUHPdt juga diatur mengenai hal-hal yang tidak dapat
dimuat dalam perjanjian kawin, yaitu:
a. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
c. Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua.
d. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan Undang-Undang kepada suami atau isteri
yang hidup terlama.
e. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan suami-
isteri.
f. Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas warisan dari
keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
g. Tidak boleh diperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang
lebih besar daripada bagian keuntungannya
h. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum, bahwa ikatan perkawinan mereka
akan diatur oleh undang-undang luar negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.

5.   Pemberitahuan, Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan


Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai
Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus
dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian
memperlihatkan kehendak kedua calon suami-isteri, dan tentang pemberitahuan itu oleh
Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51). Menurut Pasal 52 KUHPdt,
sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan
pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama
daripada gedung dalam mana register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus
tetap tertempel selama 10 hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau
hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi:
a.    Nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-isteri dan jika salah seorang
atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b.    Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.

15
Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jika kedua calon suami-
isteri tak mempunyai tempat tinggal  dalam daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka
pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing pihak
(Pasal 53 KUHPdt). Pengumuman hanya berlaku selama 1 bulan; apabila dalam waktu itu
tidak dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, untuk itu
pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat
dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal 100).

6.  Pelaksanaan Perkawinan
Menurut Pasal 71 KUHPdt, sebelum melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil
harus meminta supaya diperlihatkan kepadanya:
a. Akta kelahiran calon suami-isteri masing-masing.
b. Akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil tentang adanya izin kawin dari mereka
yang harus memberi izin, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan
sendiri.
c. Akta yang memperlihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri.
d. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta
kematian suami atau di dalam hal ke-tidakhadiran suami atau isteri yang dahulu,
turunan izin Hakim untuk kawin.
e. Akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan izin kawin.
f. Bukti, bahwa pengumuman kawin tanpa pencegahan telah berlangsung di tempat, di
mana pengumuman itu diperlukan, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan
telah digugurkan.
g. Dispensasi kawin yang telah diberikan.
h. Izin bagi para perwira dan militer rendahan yang diperlukan untuk kawin.
Pegawai Catatan Sipil berhak menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasar atas
kurang lengkapnya surat-surat yang diperlukan. Dalam hal demikian, pihak-pihak yang
berkepentingan dapat memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-
surat itu sudah mencukupi (Pasal 74). Perkawinan tak boleh dilangsungkan sebelum hari
kesepuluh setelah hari pengumumannya (Pasal 75).
Perkawinan harus dilangsungkan dimuka umum, dihadapan Pegawai Catatan Sipil tempat
tinggal salah satu dari kedua belah pihak, dan dengan dihadiri oleh dua orang saksi, baik
keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur 21 tahun dan berdiam di
Indonesia (Pasal 76). Untuk melangsungkan perkawinan, kedua calon suami-isteri harus
menghadap sendiri di muka Pegawai Catatan Sipil (Pasal 78).

7.   Pencegahan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 61-65 KUHPdt, para pihak yang ber-hak mencegah
berlangsungnya suatu perkawinan adalah:
a. Bapak atau ibu mereka.
b. Kakek atau nenek.                                                        
c. Paman dan bibi mereka.
d. Wali atau wali pengawas.
16
e. Pengampu atau Pengampu Pengawas.
f. Saudara lak-laki atau saudara perempuan.
g. Suami yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas isterinya sebelum 300 hari lewat,
setelah pembubaran perkawinan.
h. Jawatan Kejaksaan.
Sebaliknya adanya alasan pencegahan perkawinan, menurut Pasal 61 KUHPdt, disebabkan
beberapa hal:
a.   Tidak mengindahkan izin kawin dari orang tuanya.
b.   Belum mencapai usia 30 tahun.
c.   Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal budinya.
d.   Salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk kawin
e.   Jika pengumuman kawin tidak telah berlangsung.
f.   Jika salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena tabiatnya yang boros dan
perkawinan mereka nampaknya akan membawa ketidakbahagiaan.
Pencegahan perkawinan diadili oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya Pegawai Catatan Sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai
tempat kedudukannya (Pasal 66 KUHPdt).

8.   Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 85 KUHPdt, kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh
hakim, selanjutnya menurut Pasal 86, kebatalan suatu perkawinan dapat dituntut oleh:
a.  Orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami-
isteri.
b.  Suami atau isteri itu sendiri.
c.  Para keluarga dalam garis lurus ke atas.
d.  Jawatan Kejaksaan.
e.  Setiap orang yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu.
Dalam pada itu, menurut Pasal 92 KUHPdt, pembatalan suatu perkawinan yang
dilangsungkan tidak di depan Pegawai Catatan Sipil yang ber-wenang, atau dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh sejumlah saksi sebagaimana mestinya, maka boleh dimintakan
pembatalannya oleh:
a.   Suami-isteri itu sendiri.
b.   Para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas.
c.   Wali atau wali pengawas.
d.   Setiap orang yang berkepentingan.
e.   Jawatan Kejaksaan.
Pasal 93 KUHPdt mengatur mengenai larangan terhadap pihak-pihak tertentu untuk
melakukan pembatalan perkawinan, yaitu:
a.   Anggota keluarga sedarah dalam garis ke samping.
b.   Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c.   Orang lain yang bukan keluarga selama suami-isteri masih hidup.
Selanjutnya, setelah suatu perkawinan dibubarkan, Jawatan Kejaksaan tidak diperbolehkan
menuntut pembatalan perkawinan (Pasal 94). Suatu perkawinan walaupun telah dibatalkan,
tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap suami-isteri mau-pun terhadap anak-
anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami-isteri kedua-duanya telah dilakukan dengan
itikad baik (Pasal 95 KUHPerdata).
17
9.   Hak dan Kewajiban Suami-isteri
Menurut KUHPdt, hak dan kewajiban tersebut antara lain :
a. Suami dan isteri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103);
b. Suami-isteri wajib memeliharadan mendidikanaknya (Pasal 104);
c. Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat 1);
d. Suami wajib memberi bantuan kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2);
e. Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3);
f. Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4);
g. Suami tidak diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak
bergerak milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5);
h. Setiap isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1);
i. Setiap isteri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2);
j. Setiap suami wajib membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110);
k. Setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118).
Menurut ketentuan Pasal 111 KUHPdt menegaskan, bantuan suami kepada isterinya tidak
diperlukan apabila:
a.  Si isteri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pida-na.
b.  Si isteri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk men-dapatkan perceraian,
pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.

10. Harta Benda dalam Perkawinan


1.  Persatuan Harta Kekayaan
a)   Pengurusan harta kekayaan persatuan
Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang
dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh
di kemudian hari selama perkawinan. Menurut Pasal 119, prinsip harta benda
perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami dan isteri. Sedangkan yang
berwenang bertindak atas harta benda perkawinan adalah suami, baik untuk harta
pribadi isteri (Pasal 105 yaitu suami sebagai kepala perkawinan) atau harta persatuan
(Pasal 124 ayat 1 yaitu suami sebagai kepala harta persatuan).
Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat (2) KUHPdt, suami diperbolehkan menjual,
memindahtangankan dan membebani harta kekayaan persatuan, tanpa campur tangan si
isteri, kecuali dalam hal-hal berikut ini:
1.Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tak bergerak dan semua barang
bergerak dari persatuan, kecuali  memberi kepada anak (Pasal 124 ayat 3);
2.Tidak diperbolehkan menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun
diperjanjikan, ia tetap menikmati pakai hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4);
3.Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian ka-win dapat ditentukan,
bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama isteri yang jatuh dalam persatuan
tanpa persetujuan si isteri, tidak dapat dipindah atau dibebani (Pasal 140 ayat 3).
Jika si suami tidak hadir atau tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, dan
tindakan dengan segera sangat dibutuhkannya, maka si isteri dapat meminta izin
Pengadilan memindahtangankan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125).
b).  Bubarnya harta persatuan
Menurut Pasal 126 KUHPdt, harta kekayaan persatuan menjadi bubar karena:
1.Kematian salah satu pihak.

18
2.Berlangsungnya perkawinan baru si isteri atas izin hakim, setelah adanya keadaan
tak hadir si suami.
3.Perceraian,
4.Perpisahan meja dan tempat tidur.
5.Perpisahan harta kekayaan.
Setelah bubarnya harta persatuan, maka harta persatu-an dibagi dua antara suami
dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempersoalkan
dari pihak mana barang itu diperolehnya (Pasal 128 ayat l).
2.  Pemisahan harta kekayaan
a)   Alasan-alasan pemisahan harta kekayaan
Menurut Pasal 186 ayat (1), sepanjang perkawinan, setiap isteri berhak memajukan
tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, yaitu hanya dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Jika si suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah memboroskan
harta kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga.
2. Jika si suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus
harta kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya harta si isteri
menjadi kurang.
3. Jika si suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si isteri, sehingga
kekayaan ini terancam bahaya.
Selanjutnya menurut Pasal 186 ayat (2), pemisahan harta kekayaan atas
permufakatan sendiri adalah terlarang. Menurut Pasal 187, tuntutan akan pemisahan
harta kekayaan hams diumumkan dengan terang-terangan.
3.  Akibat-akibat pemisahan harta kekayaan
Menurut Pasal 189 KUHPdt, kekuatan putusan Pengadilan perihal pemisahan harta
kekayaan berlaku surut sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta
kekayaan itu, timbul hal-hal sebagai berikut:
a)    Isteri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rum ah tangga dan pendidikan
anak-anaknya (Pasal 193);
b)    Isteri memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaannya dan
bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum dari
Pengadilan Negeri (Pasal 194).
4.  Penyatuan kembali harta kekayaan yang sudah dipisah
Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan boleh dipulihkan
kembali dengan persetujuan suami-isteri. Persetujuan yang demikian itu diadakan dengan
cara memuatkannya dalam sebuah akta otentik (Pasal 196). Suami-isteri wajib
mengumumkan pemulihan kembali akan persatuan harta kekayaan dengan terang-terangan
(Pasal 198).

11. Putusnya Perkawinan
1.  Alasan-alasan putusnya perkawinan
Menurut Pasal 199 KUHPerdata, perkawinan putus (perkawinan bubar) karena:
a. Kematian.
b. Kepergian suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan
orang lain.
c. Putusan hakim setelah adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.

19
d. Perceraian.
2.  Perpisahan meja dan tempat tidur
a.  Pengertian perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan isteri yang
tidak mengakhiri pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi
suami-isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda
adalah sama dengan perceraian. Dengan demikian, perkawinan belum menjadi bubar
dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur.
b.  Cara-cara pengajuan perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri
mengajukan permohonan perpisahan meja dan tempat tidur adalah:
1) Semua alasan untuk perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja,
penghukuman, penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak,
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
2) Berdasarkan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan
penghinaan kasar, yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain
(Pasal 233 ayat 2).
Cara pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan
meja dan tempat tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal perceraian
(Pasal 234).
Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat diajukan tanpa alasan, dengan
syarat:
a)  Perkawinan harus telah berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b)  Suami dan isteri harus membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan diri
mereka, mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan
serta pendidikan anak-anak mereka (Pasal 237 ayat 1).
3.  Pengumuman keputusan perpisahan meja dan tempat tidur                                               
Keputusan mengenai perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan dalam Berita
Negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak
ketiga (Pasal 245). Setelah men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan perpisahan
meja dan tempat tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa dari kedua orang tua
itu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan ini berlaku setelah keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal 246).
4.  Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur ini adalah:
a)  Suami-isteri dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila
perpisahan meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa
adanya perdamaian (Pasal 200);
b)  Pembebasan dari kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c)  Berakhirnya persatuan harta kekayaan (Pasal 243);
d)  Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5.  Batalnya perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila suami-isteri rujuk
kembali dan semua akibat dari perkawinan antara suami-isteri hidup kembali, namun semua
perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap berlaku (Pasal 248
KUHPdt).

20
Perceraian
1)  Pengertian perceraian
Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan
hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut
Pasal 208 KUHPdt, perceraian atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2)  Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 209 KUHPdt, alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah:
a)   Zinah.
b)   Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c)   Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan.
d)   Penganiayaan berat, yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga
membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.
3)  Tata cara perceraian
a)   Gugatan perceraian: Tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan
Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat
tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan
ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenarnya. Jika suami pada saat tersebut
tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka
tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal
207);
b)   Gugatan perceraian gugur demikian juga hak untuk menuntut gugur : apabila:
1. Antara suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2. Suami atau isteri meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c)   Pemeriksaan di pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat
maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si suami
dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai
pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan
si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1). Selama perkara berjalan,
Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua
seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada orang tua yang lain, atau kepada
seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan, atau pun kepada Dewan Perwalian.
Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh dimohonkan banding (Pasal 214);
d)   Putusan Pengadilan: Perkawinan bubar karena keputusan perceraian dan pembukuan
perceraian itu dalam register Pegawai Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4) Akibat perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUHPerdata adalah:
a)   Kewajiban suami atau isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang
menang dalam tuntutan perceraian (Pasal 222). Kewajiban memberikan tunjangan nafkah
berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b)   Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian
terhadap anak-anak mereka (Pasal 229).
c)   Apabila suami dan isteri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka demi
hukum segala akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak pernah ada
perceraian (Pasal 232 KUHPerdata).

21
12.  Perkawinan di Luar Indonesia
Menurut Pasal 83 KUHPdt, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara
warganegara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dan warganegara lain adalah
sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, di mana
perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-isteri warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt. Selanjutnya menurut Pasal 84, dalam waktu 1 tahun
setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan tadi harus dibukukan
dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka.

C.  PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974


1.    Asas Monogami dan Izin Berpotigami dalam Perkawinan
a.  Asas monogami dalam perkawinan
Pada Undang-Undang Perkawinan ini, berlaku pula asas monogami dalam
perkawinan. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUP, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami (asas monogami). Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, perolehan
keturunan merupakan tujuan perkawinan.

b.   Izin berpoligami dalam perkawinan


Di samping asas monogami tersebut, dalam Pasal 3 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa
Pengadilan dapat memberi izin ke-pada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Pasal 63 UUP,
pengadilan yang dimaksudkan di sini adalah:
1)  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2)  Pengadilan Umum bagi lainnya.
Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Menurut
Pasal 4 UUP, dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila:
1)  Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2)  Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan menurut Pasal 5 ayat (1)
UUP, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)  Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2)  Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
3)  Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa persetujuan tersebut tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada
kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Dalam Pasal 65 UUP
22
ditegaskan pula, bahwa dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, maka
berlaku lah ketentuan-ketentuan berikut:
1)  Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
2)  Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan dengan isteri  kedua atau berikutnya itu terjadi.
3)  Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
Sehingga dengan demikian menurut Undang-Undang Perkawinan, seorang suami
boleh mempunyai isteri lebih dari seorang asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
yaitu Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 65 UUP. Sedangkan menurut Pasal 40
»No. 9 Tahun 1975, apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang,
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Kemudian
menurut Pasal 41 PP No.9 Tahun 1975, Pengadilan memeriksa mengenai:
1)   Sah atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu:
a)  Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b)  Bahwa isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c)  Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2)   Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis.
Apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan.
3)   Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
a)  Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja; atau
b)  Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c)  Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
4)   Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal tersebut di atas, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu
dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 PP 9/1975). Apabila Pengadilan berpendapat
bahwa cukup alasan bagi pe-mohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang (Pasal 43 PP
9/1975). Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan (Pasal 44
PP 9/1975).

2.   Syarat-syarat Sahnya Perkawinan


Menurut Pasal 2 UUP, perkawinan sah apabila dilakukan menu-rut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undanganyang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 6 UUP, syarat-syarat perkawinan adalah:
a.   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

23
b.   Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum men-capai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
c.    Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan ke-
hendaknya.
d.    Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
e.    Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua, wali, atau keluarga dalam garis
lurus ke atas, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tern pat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut.
f.    Ketentuan pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
g.    Selanjutnya, menurut ketentuan di dalam Pasal 7 UUP di-sebutkan, bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal
adanya penyimpangan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3.  Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.                        
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapaktiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Sedangkan menurut Pasal 9 UUP, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal:
a.  Mendapat izin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat 2 UUP).
b.  Si isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacad
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan
keturunan (Pasal 4 ayat 2 UUP).
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
24
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain (Pasal 10 UUP).

4.  Perjanjian Perkawinan
Mengenai perjanjian perkawinan ini menurut Pasal 29 UUP adalah sebagai berikut:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama
dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga. Dengan demikian, perjanjian perkawinan ini bisa dibuat dengan akta
otentik dan bisa juga dibuat dengan akta di bawah tangan.
5.  Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan
Menurut PP No. 9 Tahun 1975, tahap-tahap pencatatan perkawinan itu adalah sebagai
berikut:
a.  Pegawai pencatat perkawinan
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat  Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
b.  Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya
itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan
tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah
(Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau
oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat: nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu
(Pasal 5).
c.  Penelitian oleh pegawai pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut:
1)   Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.
2)   Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
3)   Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh
Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
4)   Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal
orang tua calon mempelai.

25
5)   Izin tertulis/izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya belum mencapai umur 21 tahun.
6)   Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih
mempunyai isteri.
7)   Dispensasi Pengadilan/Pejabat.
8)   Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
9)   Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan
Bersenjata.
10) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena se-suatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang
diperuntukkan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan
perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan
tersebut di atas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau
kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7).
d. Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu
halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat
pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan
pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Me-
nurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1)   Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka
terdahulu.
2)   Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
e.  Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan oleh pegawai pencatat. Tata - cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan mengindahkan tata cara
perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan is pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh
mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat
yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penanda-tanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal
11).
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh
pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah
26
Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan isteri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).       

6.  Pencegahan Perkawinan
a. Syarat dan para pihak yang berhak mencegah perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 13 UUP). Adapun para pihak yang dapat mencegah per-
kawinan menurut Pasal 14 ayat (1) UUP adalah sebagai berikut:
1)   Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
2)   Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3)   Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
4)   Wali dari salah seorang calon mempelai;
5)   Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6)   Pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka yang tersebut di atas tersebut, dapat juga mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut di atas (Pasal 14
ayat 2 UUP). Selanjutnya menurut Pasal 15 UUP, barang-siapa karena perkawinan dirinya
masih terikat dengan salah satu dari kedua be I ah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini. Hal ini berarti, bahwa yang
bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin dari
Pengadilan.
Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat (1) UUP, seorang pejabat yang ditunjuk
berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila:
1)   Usia pria dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)   Terkena larangan perkawinan (Pasal 8 UUP).
3)   Seseorang masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)   Suami dan isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)   Tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP).

b.  Pengajuan dan pencabutan pencegahan perkawinan


Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UUP).
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah (Pasal 18 UUP).
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut (Pasal 19 UUP).
c.  Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Menurut Pasal 20 UUP, pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran mengenai:
1)    Usia pria dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)    Terkena larangan kawin (Pasal 8 UUP).
27
3)    Seseorang masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)    Suami dan isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)    Tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP). meskipun
tidak ada pencegahan perkawinan.
Selanjutnya di dalam Pasal 21 UUP ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat
perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-Undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal
penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh
pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya
ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana
pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar
supaya perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang kekuatannya jika rintangan-
rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

7.   Pembatalan Perkawinan
a.  Syarat-syarat dan pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UUP). Yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan menurut Pasal 23 UUP adalah:
1)   Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2)   Suami atau isteri.
3)   Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4)   Pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu putus.
Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal 24 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan
masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.

b.  Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan


Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau
isteri (Pasal 25 UUP). Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tan
pa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga da-
lam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Hak
untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan tersebut gugur apabila
mereka telah hidup bersama sebagai suami-isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah (Pasal 26 UUP). Di dalam Pasal 27 UUP

28
ditegaskan, bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila:
1)   Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2)   Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka atas diri suami atau
isteri.
Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya,
dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri
dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
haknya gugur. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan sesuai dengan tata
cara pengajuan gugatan perceraian (Pasal 38 PP 9/1975).
c.  Saat batalnya perkawinan
Menurut Pasal 28 UUP, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
1)   Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2)   Suami atau isteri bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3)   Orang ketiga lainnya, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sehingga dengan demikian, batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan (Pasal 37 PP 9/1975).

8.  Hak dan Kewajiban Suami-isteri


Hak dan kewajiban dari suami-isteri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 34, yaitu:
a. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
e. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman
ini ditentukan secara bersama-sama.
f. Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai. hormat- menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
g. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.
h. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
i. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan.

9.  Harta Benda dalam Perkawinan


Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah

29
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain (Pasal 35 UUP).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa harta benda perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan adalah harta ferpisah. Aftinya, segala harta yang dibawa ke dalam
perkawinan (yang disebut dengan harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang
membawa. Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali diperoleh
karena warisan dan hibah. Apabila mau menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan ini,
maka dibuat perjanjian kawin sebelum perkawinan (lihat Pasal 29).
Sementara itu, yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan  menurut Pasal 36
UUP adalah :
a. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
b.Mengenai harta bawaan masing-masing. suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Selain itu disebutkan dalam Pasal 37 UUP. bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

10.  Putusnya Perkawinan
a.  Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan, putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 sampai
dengan Pasal 41. Menurut Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
1)  Kematian.
2)  Perceraian.
3)  Atas keputusan Pengadilan,
b.   Masa tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu. Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan, bahwa masa
tunggu bagi seorang janda adalah:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang
bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak
datang bulan ditetapkan 90 hari.                                                           
3) Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu tunggu bagi janda
yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap; sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.

11.  Perceraian Perkawinan
a.  Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan, bahwa perceraian dapat terjadi karena
atasan:

30
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tan pa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun Jtjf atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

b.  Tata Cara Perceraian


1. Gugatan perceraian.
Menurut Pasal 39 UUP, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami- isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-
isteri.
Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan (Pasal 40 UUP). Dalam Pasal 20
PP 9/1975, disebutkan, bahwa:
a)   Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b)   Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
c)   Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan
menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Dalam hal karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan di
tempat kediaman penggugat. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan
atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal
21 PP 9/1975). Sedangkan gugatan perceraian karena alasan antara suami dan isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga, maka diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman
tergugat. Gugatan ini dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak
keluarga, serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu (Pasal 22 PP 9/1975).
Menurut Pasal 23 PP 9/1975, gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari
suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai
bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan
31
perkara di serta i keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Menurut Pasal 24 PP 9/1975, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mung-kin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b.Menentukan hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
2. Gugatan perceraian gugur: 
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu (Pasal 25 PP 9/1975).
3. Panggilan sidang; 
Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri
sidang tersebut. Bagi Pengadilan Negeri, panggilan dilakukan oleh juru si la, dan bagi
Pengadilan Agama, panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui
Lurah atau yang dipersamakan dengan itu, Panggilan tersebut dilakukan dan
disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada
tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP 9/1975).
Apabila dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap. panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan
mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang
ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar
atau mass media, dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan
antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Dalam hal sudah
dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat (Pasal 27 PP 9/1975). Apabila dalam hal tergugat bertempat
kediaman di luar negeri, panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat (Pasal 28 PP 9/1975).
4. Pemeriksaan di pengadilan
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu
mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang
waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka. Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar
negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6
bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan

32
Pengadilan (Pasal 29 PP 9/ 1975). Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami
dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 30 PP 9/1975).
Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.
Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
sidang pemeriksaan (Pasal 31 PP 9/1975). Apabila tercapai perdamaian, maka tidak
dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang.
Ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian (Pasal 32 PP 9/1975). Apabila tidak dapat dicapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 33 PP
9/1975).
5. Putusan pengadilan
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat. Perceraian itu dinyatakan di depan
sidang Pengadilan (Pasal 18 PP 9/1975). Putusan mengenai gugatan perceraian
diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala
akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap (Pasal 34 PP 9/1975).
6. Pegawai pencatat perceraian
Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat
di tempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila perceraian dilakukan pada
daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat di mana
perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan mengenai gugatan
perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa
bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari
daftar catatan perkawinan; dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri,
salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian mengirimkan
salinan putusan tersebut menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan apabila
yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya
(Pasal 35 PP 9/ 1975).

c.   Akibat perceraian
Menurut Pasal 41 UUP, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
33
12.  Perkawinan di Luar Indonesia
Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) UUP, di mana perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Selanjutnya menurut Pasal
56 ayat (2) UUP, dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat buku perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka.

13.  Perkawinan Campuran


a.  Pengertian perkawinan campuran
Dalam Pasal 57 ditegaskan; “perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
b.  Memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan
Selanjutnya ditegaskan, bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya
dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan-nya, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58 UUP).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan ini (Pasal 59 UUP).
c.  Syarat-syarat melangsungkan perkawinan campuran
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah
dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu
tidak ada rintangan untuk melangsungkan - perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat- syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang
bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara, serta tidak boleh
dimintakan banding  lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu
beralasan atau tidak. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan,
keputusan itu menjadi pengganti keterangan. Surat keterangan atau keputusan pengganti ke-
terangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam
masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan (Pasal 60 UUP).
d.  Pencatatan perkawinan campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Barangsiapa
melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai
pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan ini,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. Apabila pegawai
pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan mengetahui bahwa keterangan atau

34
keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 UUP).

4
Bagian

e. Kedudukan anak dalam perkawinan campuran


Dalam perkawinan campuran, kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat ( 1)
UUP, yaitu kewarganegaraan si anak yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan orang tuanya menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata (Pasal 62 UUP). Keluarga adalah kesatuan masyarakat
terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Hal
ini dapat dikatakan sebagai pengertian keluarga dalam arti sempit, namun apabila dalam
suatu keluarga itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka
terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan pertalian darah. Hal ini merupakan pengertian keluarga
dalam arti luas. Dari uraian tersebut, dalam usaha membahas lebih lanjut hukum keluarga
ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama masalah perkawinan.

35
Hukum Benda
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (belanda). Benda dalam arti ilmu
pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum yaitu sebagai lawan
dari subyek hukum

byek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum)

O
dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai
oleh subyek hukum. Pengertian benda (zaak) dalam perpekstif hukum dinyatakan dalam pasal 499
KUH Perdata, sebagai berikut :
Menurut paham undang-undang yang dinamakan dengan kebendaan ialah tiap-tiap barang
dan tiap-tiap hak, yang dikuasai oleh hak milik. Istilah hukum benda merupakan terjemahan dari
istilah dallam bahasa belanda, yaitu Zakenrecht. Dalam perpekstif perdata (privatrecht), yaitu
hukum harta kekayaan mutlak.
Dalam kamus hukum disebutkan pengertian hukum benda, yaitu :
“keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan”.
Menurut tititk tri wulan tutik, hukum benda adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang
hak-hak kebendaan dan barang-barang tak terwujud (immaterial). Hukum harta kekayaan mutlak
disebut juga dengan hukum kebendaan : yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum
antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum ini, melahirkan hak kebendaan (zakelijk
recht) yakni yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai
ssesuatu benda didalam tangan siapapun benda itu.
Menurut titik tri wulan tutik mengemukakan pengertian hukum kekayaan relatif yang
merupakan bagian dari hukum harta kekayaan, yaitu : ketentuan yang mengatur utang piutang
atau yang timbul karena adanya perjanjian. Hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan
hukum perikatan. Yaitu : hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan
seseorang lain. Hubungan hukum ini menimbulkan hak terhadap seseorang atau perseorangan
(personalijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk menuntut
seseorang yang lain untuk berbuay sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Menurut P.N.H.Simanjuntak, hukum benda yaitu: Hukum benda adalah peraturan-
peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.
Menurut Prof. Soediman Kartihadiprojo, bahwa huum kebendaan ialah semua kaidah
hukum  yang mengatur apa yang diartikan dengan  benda dan mengatur hak-hak atas benda.
Menurut Prof. L.. J Van Apel Doorn, yaitu: hukum kebendaan adalah peraturan mengenai
hak-hak kebendaan.
Menurut Prof Sri Soedewi Masjchoen Sofwan juga mengemukakan ruang lingkup yang
diatur dalam hukum benda itu, sebagai berikut: Apa yang diatur dalam dalam hukum benda itu?
Pertama-tama hukum benda itu mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-
macam benda dan selanjutnya bagran yang terbesar mengatur mengeras macam-macam hak
kebendaan.

Menurut subekti membagi menjadi 3 benda :


1. Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh setiap orang.
2. Benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja.
3. Benda adalah sebagai objek hukum.
Dari uraian diatas, intinya dari hukum benda atau hukum kebendaan itu adalah serangkaian
keetentuan huum yang mengatur hubungan hukum secara langsung antara seseorang (subyek
hukum) dengan benda (objek dari hak milik) yang melahirkan berbagai hak kebendaan (Zakelijk
36
recht). Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang dalam penguasaan
dan kepemilikan sesuatu benda dimanapun bendanya berada.  disini adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang pengertian benda, pembedaan benda dan hak-hak kebendaan.

A. Macam-macam Benda
Pembedaan berbagai macam kebendaan dalam hukum perdata berdasarkan perspektif kitab
undang-undang hukum perdata. KUH perdata membeda-bedakan benda dalam berbagai macam,
1. Kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak (anroe rende zaken) dan benda bergerak
(roerendes zaken) (pasal 504 KUH perdata)
2. Kebendaan dapat dibendakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh (luchamelijke
zaken) dan benda yang tidak berwujud atau berubah (onlichme Lijke Zaken) (pasal 503
KUH perdata)
3. Kebendaan dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken)
(pasal 505 KUH perdata), pembedaan kebendaan demikian ini diatur dalam pasal-pasal
503,504 dan 505 KUH perdata yang berbunyi sebagai berikut: (pasal 503, tiap-tiap
kebendaan adalah bertubuh/ tidak bertubuh), (pasal 504, tiap-tiap kebendaan adalah
bergerak atau tidak bergerak, satu sama lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua
bagian berikut), (pasal 505, tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan/tak
dapat dihabiskan kebendaan terlepas dn benda-benda sejenis itu, adalah kebendaan
bergerak). Selain itu, baik didalam buku I dan buku II KUH Perdata, kebendaan
dibedakan atas benda yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan benda yang baru akan
ada (taekomstige zaken) (pasal 1134 KUH Perdata) dibedakan lagi atas kebendaan dalam
perdagangan (zaken in de handel) dan benda diluar perdagangan (zaken buiten de handel)
(pasal 1332 KUH Perdata), kemudian kebendaan dibedakan lagi benda yang dapat dibagi
(deelbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken) (pasal 1163 KUH
Perdata), serta akhirnya kebendaan dibedakan atas benda yang dapat diganti
(vervangbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (onvervange zaken) (pasal 1694
KUH Perdata). Pembedaan benda yang sangat penting yaitu pembedaan atas benda
bergerak dan tidak bergerak serta benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.

Pembedaan macam kebendaan berdasarkan totalitas bendanya :


Didasarkan kepada ketentuan dalam pasal 500 dan pasal 501 KUH Perdata yang
menyatakan sebagai berikut :
Pasal 500
“Segala apa yang kaarena hukum perlekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan
sepertipun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil
karena pekerjaan orang lain, selama yang akhir-akhir ini melekat paada kebendaan
itu laksana dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari pada
kebendaan tadi”
Pasal 501
“Dengan tak mengurai ketentuan-ketentuan istimewa menurut undang-undang
atau karena perjanjian tiap-tiap hasil perdata adalah bagian dari pada sesuatu
kebendaan, jika dan selama hasil itu belum dapat ditagih”.
Dari pasal-pasal diatas benda dapat dibagi menjadi benda pokok (utama) dan benda
perlekatan. Benda pokok adalah benda yang semula telah dimiliki oleh seseorang
tertentu, sedangkan benda perlekatan adalah setiap yang (1) karena perbuatan alam ; (2)
karena perbuatan manusia ; (3) karena hasil perdata yang belum dapat ditagih.
Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan
undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Ada 3 golongan benda tak bergerak,
yaitu :
1. Benda menurut sifatnya tak bergerak dapat dibagi menjadi 3 macam :
 Tanah

37
 Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang
(seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik, dan sebagainya)
 Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah, yaitu karena
tertanam dan terpaku seperti tanaman.

2. Benda yang menurut tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tak bergerak,
yaitu :
 Pada pabrik ; segala macam mesin-mesin katel-katel dan alat-alat lain yang
dimaksudkan supaya terus-menerus berada disitu untuk digunakan dalam menjalankan
pabrik.
 Pada suatu perkebunan ; segala sesuatu yang dapat digunakan rabuk bagi tanah, ikan
dalam kolam dan lain-lain.
 Pada rumah kediaman ; segala kacak, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk
menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding, sarang burung yang
dapat dimakan (walet)
 Barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna
untuk mendirikan lagi bangunan itu.

3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak, yaitu :
 Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti : hak opstal,
hak hipotek, hak tanggungan dan sebagainya)
 Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK)

Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan dalam
undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Ada 2 golongan benda bergerak, yaitu:
1. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat dipindah atau
dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain. Misalnya : kendaraan (seperti : sepeda,
sepeda motor, mobil); alat-alat perkakas (seperti : kursi, meja, alat-alat tulis)
2. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak adalah segala
hak atas benda-benda bergerak. Misalnya : hak memetik hasil, hak memakai, hak atas
bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang, hak menuntut dimuka pengadilan agar
uang tunai atau benda-benda beregerak diserahkan kepada seseorang (penggugat), dan
lain-lain.

Perbedaan mengenai benda bergerak dan benda tak bergerak tersebut penting artinya, karena
adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda tersebut,
misalnya : pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
 Mengenai hak bezit; Untuk benda bergera ada ketentuan dalam pasaL 1997 ayat (1) BW
yang menentukan, barang siapa yang menguasai bendaa bergerak dianggap ia sebagai
pemiliknya.
 Mengenai pembebanan (bezwaring); Terhadap benda bergerak harus digunakan lembaga
jaminan gadai (pand). Sedangkan benda tak bergerak harus digunakan lembaga jaminan
hyphoteek. (pasal 1150 dan pasal 1162 BW).
 Mengenai penyerahan (levering); Pasal 612 BW menetapkan bahwa penyerahan benda
bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Sedangkan benda tak bergerak,
menurut pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
 Mengenai kedaluarsa (verjarinng); Terhadap benda bergerak tidak dikenal daluarsa,
sebab bezti sama dengan eigendom. Sedangkan benda tak bergerak mengenai kadaluarsa.
Seseorang dapat mempunyai hak milik karena lampaunya 20 tahun (dalam hal ada alas
yang sah) atau 30 tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang disebut dengan “acquisitive
verjaring”.

38
 Mengenai penyitaan (beslag); Revindicatior beslag adalah penyitaan untuk menuntut
kembali suatu benda bergerak miliknya pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan
orang lain.

Benda yang musnah


Sebagaimana diketahui, bahwa objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi
subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum. Maka benda-
benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan benda-benda itu terletak pada
kemusnahannya. Misalnya : makanan dan minuman, kalau dimakan dan diminum (artinya
musnah) baru memberi manfaat bagi kesehatan.
Benda yang tetap ada
Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan
benda itu musnah, tetapi memberi manfaat bagi pemakaiannya. Seperti : cangkir, sendok,
piring, mobil, motor, dan sebagainya.
Benda yang dapat diganti dan benda yang tak dapat diganti
Menurut pasal 1694, BW pengambilan barang oleh penerima titipan harus in natura,
artinya tidak boleah diganti oleh benda lain. Oleh karena itu, maka perjanjian pada penitipan
barang umumnya hanya dilakukan mengenai benda yang tidak musnah.
Bilamana benda yang dititipkan berupa uang, maka menurut pasal 1714 BW, jumlah uang
yang harus dlkembalikan harus dalam mata uang yang sama pada waktu dititipkan, baik
mata uang itu telah naik atau turun nilainya. Lain halnya jika uang tersebut tidak dititipkan
tetapi dipinjam menggantikan, maka yang menerima pinjaman hanya diwjibkan
mengembalikan sejumlah uang yang sama banyaknya saja, sekalipun dengan mata uang
yang berbeda dari waktu perjanjian (pinjam mengganti) diadakan.
Benda yang diperdagangkan
Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan objek (pokok)
suatu perjanjian. Jadi semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian dilapangan harta
kekayaan termasuk benda yang dipertahankan.
Benda yang tak diperdagangkan
Benda yang tak diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan objek
(pokok) suatu perjanjin dilapangan harta kekayaan.

B. Asas-asas Hukum Benda


Berdasarkan dengan asas perlekatan, KUH Perdata membedakan menjadi asas perlekatan
vertikal dan asas perlekatan horizontal :
1.Asas perlekatan vertikal : seegala sesuatu yang melekat pada tanah, yang merupakan hasil
alam, maupun hasil perbuatan manusia, termasuk hasil perdata dianggap merupakan dan
menjadi satu kesatuan dangan bidang tanah tersebut.
2.Asas perlengkapan horisontal : perlekatan yang terjadi misalnya antara balkon dengan rumah
tinggal, atau gudang bawah tanah dengan hrumah dari mana dudang tersebut dapat dimasuki

Dalam doktrin ilmu hukum benda juga dapat dibedakan :


1. Benda tambahan : merupakan buh-buah atau hasil-hasil dari status benda pokok yang dalam
hal ini buah atau hasil tersebut terwujud dalam bentuk hasil alam, hasil pekerjaan manusia,
dan hasil perdata yang telah dapat di tagih.
2. Benda ikutan : yang mengikuti status benda pokok, yang tanpa benda pokok tersebut benda
ikutan ini tidak akan mempunyai arti, meskipun benda ikutan ini sendiri tidak melekat pada
benda pokoknya.

Pembedaan macam kependaan berdasarkan kepemilikannya


Ketentuan dalam pasal 519 KUH Perdata menyatakan bahwa ada kebendaan yang bukan
milik siapapun juga, kebendaan lainnya milik Negara, milik badan kesatuan atau milik

39
seseorang. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 519 KUH Perdata, maka suatu bisa
merupakan:
1. Kebendaan (bergerak) yang tidak ada pemiliknya (Rer Nullius)
2. Kebendaan milik negara
3. Kebendaan milik Badan Kesatuan, yaitu kebendaan milik bersama dari perkumpulan-
perkumpulan
4. Kebendaan milik seseorang, yaitu kebendaan milik satu orang atau lebih dalam
perseorangan.

C. Hak kebendaan dan macam-macamnya


Hak kebendaan dalam hukum perdata dan perundang-undangan membagi hak keperdataan
tersebut dalam 2 hal, yaitu: hak mutlak (absolut) dan hak nisbi
Hak absolut adalah suatu hak yang berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang, yang
merupakan bagian dari hak keperdataan. Hak absolut ini dapat dibedakan dalam beberapa
pengertian, yaitu :
1. Hak absolut atas suatu benda, disebut juga hak kebendaan. (Zakelijke Recht) yang diatur
dalam buku II KUH Perdata
2. Hak absolut yang juga berkaitan dengan  pribadi seseorang, disebut juga hak kepribadian
(Persoonlijkheids Recht), misalnya hak hidup, hak merdeka atas kehormatan, dll.
3. Hak absolut yang berkaitan dengan orang dan keluarga, disebut juga hak kekeluargaan
(Familieheids Recht), misalnya hak-hak yang timbiul dari hubungan hukum antara orang
tua dan anak, antara wali dan anak.
4. Hak absolut atas benda tida berwujud, disebut juga hak immateriel recht, misalnya hak
merek, hak paten, dan hak cipta.

Hak nisbi (relatif) atau hak perseorangan (persoonlijk)


Hak nisbi yaitu suatu hak yang hanya dipertahankan terhadap orang tertentu saja (hak suatu
tuntutan/ penagihan terhadap sesorang). Hak ini timbul karena adanya hubungan perhutangan,
undang-undang, dan sebagainya.
Dalam buku II KUH Perdata diatur pula mengenai berbagai hak kebendaan, sehubungan
dengan itu ketentuan dalam pasal 528 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut : “Atas sesuatu
kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu  kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak
waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”.
Maka hak-hak kebendaan adalah sebagai berikut :
1. Hak Bezit atau keadaan berkuasa atas suatu benda
2. Hak milik atas suatu benda
3. Hak waris suatu benda
4. Hak pakai hasil
5. Hak pengabdian tanah
6. Hak gadai (Pand)
7. Hak hipotik (Hypotheek).

Adapun beberapa hak atas tanah yang diatur dalam UUPA antara lain :
1. Hak milik, hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh
negara.
2. Hak guna bangunan, yaitu hak untuk mendirikan bangunan dan mempunyai bangunan
atas tanah yang bukan milik sendiri dalam batas waktu tertentu, maksimal 30 tahun.
3. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
negara atau orang lain.
4. Hak sewa, yaitu hak menggunakan tanah orang lain untuk keperluan bangunan dan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

D. Cara Mengalihkan Hukum Benda

40
Misalnya dua orang atau lebih bersama-sama membeli sebuah buku, maka buku tersebut
akan menjadi milik bersama, apabila hak milik dari sebuah buku tersebut dirubah menjadi hak
milik perseorangan, maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu antara orang-orang yang sudah

5
Bagian

membeli sebuah buku tersebut, dengan kata lain buku yang telah mereka beli dengan cara iuran
atau apa bisa diganti dengan uang sesuai dengan sebuah kesepakatan yang telah mereka buat.
Dari sini hukum suatu benda akan beralih dari hukum benda suatu kelompok menjadi hukum
benda milik perorangan.

Hukum Perikatan
PadaBukuIIIBWyangberjudul"vanVerbintenissen",dimanaistilahini jugamerupakanistilahlainyangdikenal
dalamCodeCivilPerancis, istilahmanadiambildarihukumRomawiyangterkenaldenganistilah"obligation".
IstilahverbintenisdalamBW(KUHPerdata),ternyataditerjemahkanberbeda-bedadalamkepustakaanhukum
Indonesia.Berkaitandenganitu,SoetojoPrawirohamidjojo,di dalamsalahsatubukunyamenegaskanbahwa

stilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan "perutangan", perjanjian maupun dengan

I
"perikatan". karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam
menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut
dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda
yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam
KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R.Subekti, mempergunakan istilah
“verbintenis” untuk perkataan “perikatan”, demikian juga R.Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk
“verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman
Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan
“verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu R.Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het
verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .

A. Istilah dan Pengertian Perikatan


Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya
tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan
tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan
terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk
verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk
menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya
ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh
terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengertian

41
perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani
beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa
orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-
cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo
mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir
Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang
terletak dalam bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan
tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,
atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa “perikatan adalah suatu
hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994;
2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana dikemukakan para ahli di atas,
dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum
yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang
maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban,
misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa
perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya
suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-
udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah
melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar
hukum.
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang
ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan,
kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat
hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-
lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan
perikatan atau hubungan hukum. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari tiga contoh kasus
berikut :
1). Amir menjual mobilnya kepada Budi, maka dalam hal ini, menimbulkan perikatan antara
kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai kewajiban untuk menyerahkan mobil
yang dijualnya karena hal itu juga merukan haknya Budi, demikian juga sebaliknya,
bahwa pihak Budi juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau membayar harga
pada Amir karena hal itu merupakan haknya Amir, demikian juga dari keadaan tersebut
menimbulkan kewajiban bagi Budi untuk membayar harga yang telah ditentukan;
2). Joni menitipkan sepeda motornya pada Ali, maka dengan keadaan tersebut dapat dikatakan
telah terjadinya perikatan antara kedua pihak tersebut, di mana Joni berhak atas sepeda
motor yang dititipkan atau menerima kembali sepeda motor yang telah dititipkannya,
demikian juga sebaliknya, Ali berkewajiban menyerahak sepeda motor yang telah
dititipkan oleh Joni.
3). Akhir secara tidak sengaja menabrak seseorang pejalan kaki dengan kendaraannya,
maka hal demikian juga telah melahirkan perikatan antara Akhir dengan Pejalan kaki
tersebut, di mana akhir berkewajiban untuk mengobati dan sebaliknya si pejalan kaki
mempunyai hak untuk menuntut agar Akhir mengobatinya.
Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya perikatan merupakan “suatu hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi
tuntutan tersebut”. Dalam hal ini, dapat disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur
(pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak

42
berutang). Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang
harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak dan
kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu tindakan
untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi atau
kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal yang
mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa
hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian,
misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan, rumah
bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam arti peristiwa
hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik.
Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut
kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut
Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-
masing pihak (kretidur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi itu” (Ridwan Syahrani, 1992; 203).

Prestasi
Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu
sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh
debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali dengan uang.
Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak yang
berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak
yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai
debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah
disebut debitur, sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak
yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar
upah disebut debitur.
Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami tentang
rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah
dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan
“kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang
yang bersumber pada tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai
dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.

B. Pengaturan Hukum Perikatan


Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian
khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai
dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab babI, bab II bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) da
bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal
1352 dan pasal 1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja,
yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab yang bersangkutan. Pengaturan hukum perikatan
dilakukan dengan "sistem terbuka", artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik
yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Tetapi “Keterbukaan” ini dibatasi oleh
tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.

43
Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa
perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dengan kata lain,
sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang-undang. Dalam perikatan yang timbul karena
perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri,
dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak
debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditur
ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan undang-
undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi.
Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti
pelanggaran undang-undang.
Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-undang
diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh undang-
undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang. perikatan yang timbul karena perbutan
orang dalam pasal 1353 KUH Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan
menurut hukum (rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).

C. Prestasi dan Wanprestasi


1. Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi
adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai
jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua
harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan
umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan ujud prestasi, yaitu
(a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat
1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas
suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah,
perjanjian gadai, hutang-piutang.
Dalam perikatan yang objeknya "berbuat sesuatu", debitur wajib melakukan perbuatan
tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar
tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus
mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang
tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya "tidak berbuat sesuatu", debitur tidak melakukan
perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang
telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan
tetangganya. Apabila debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena
melanggar perjanjian.

Sifat prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi
oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:

44
1. Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitur memenuhi
perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan
perikatan batal (niegtig);
2. Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar
dengan segala usahanya, jika tidak demikian perikatan batal (nietig);
3. Harus diperbolehkan (hallal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak
bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Jika
prestasi itu tidak halal, perikatan batal (niegtig).
4. Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan
mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
5. Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali
perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan perikatan
(vernietigbaar).

2. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah
ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua
kemungkinan alasan, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun
karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan
debitur. Debitur tidak bersalah.

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu


ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi
prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2. debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan
apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau
tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi "tidak ditentukan",
perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan
tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya?
Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib
memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak
memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat
dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi
dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut "somatie". Kemudian
Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut
kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi
misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada
debitur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut "ingebreke stelling".
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau
saksi hukum berikut ini:
1. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal
1243 KUH Perdata);
2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan
perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);

45
3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2);
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri,
dan debitur dinyatakan bersalah;

3. Keadaan Mamaksa (overmacht)


Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat
perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini
timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah
sebagai berikut:
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan/ memutuskan
benda objek perikatan; atau
2. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan
debitur untuk berprstasi;
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan
memaksa ini disebut "keadaan memaksa objektif". Vollmar menyebutnya dengan absolute
overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi, karena
bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan
diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama
mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan
karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan
memaksa ini disebut "keadaan memaksa yang subjektif". Vollmar menyebutnya dengan
relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi, karena ada peristiwa yang
menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik
dari seorang pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu.
Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk
dok untuk perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Pada peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit
memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang banyak.
Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti (tidak batal)
hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi
diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak
diperlukan lagi, maka perikatan "gugur" (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya
objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek
perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat
prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada, sehingga mungkin
dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.
Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada
arti (manfaat) lagi perikatan "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Persamaannya ialah pada
perikatan batal, gugur, keduanya itu tidak memcapai tujuan.
Dalam KUH Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan secara
khusus pada perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH Perdata perjanjian
sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545 KUH Perdata perjanjian
tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-meyewa, Karena itu, pihak-pihak

46
bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat, apabila terjadi
keadaan memaksa.
Dalam keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh kreditur
(pasal 1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh kedua belah pihak
(SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460 KUH Perdata). Pada perjanjian tukar
menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH Perdata). Pada perjanjian
sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal 1553 KUH Perdata).

D. Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Maksud "kerugian" dalam pasal di atas ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan
wanprestasi (lalai atau sengaja untuk memenuhi prestasi). Kerugian tersebut wajib diganti oleh
debitur terhitung sejak ia dinyakan lalai. Ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan;
2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian
debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah
karena kesalahan konstruksi, sehingga merusak perabot rumah tangga;
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang
terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan
penyerahan bendanya.
Ganti kerugian harus berupa uang, bukan barang, kecuali jika diperjanjian lain. Dalam ganti
keruagian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu mungkin hanya kerugian yang
sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin keugian
sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Untuk melindungi debitur dari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang
memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang harus dibayar oleh debitur sebagi akibat
dari kelalaiannya (wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar oleh debitur hanya meliputi :
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat periktan. Dapat diduga itu tidak hanya mengenai
kemungkinan timbulnya kerugian, melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika
jumlah kerugian melampaui batas yang dapat diduga, kelebihan yang melampaui batas batas
yang diduga itu tidak boleh dibebankan jkepada debitur, kecuali jika debitur ternyata
melakukan tipu daya (pasal 1247 KUH Perdata).
2. Kerugian sebgai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitur, seperti yang ditentukan
dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat "akibat langsung" dapat dipakai
teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman
manusia normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi. Dengan timbulnya
wanprestasi, debitur selalu manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur. Teori
adequte ini diikuti dalam praktek peradilan.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 KUH Perdata). Besarnya
bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut yurisprodensi,
pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat diberikan terhadap periktan yang timbul karena perbuatan
melawan hukum (Sri Soedewi, 1974: 36).

E. Jenis-Jenis Perikatan
1). Perikatan bersyarat

47
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada
syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik
dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan
membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH
Perdata). Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan
syarat batal dan periktan dengan syarat tangguh:
a. Perikatan dengan syarat tangguh;
Apabila syarat "peristiwa" yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan
dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur
untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun
rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum
pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin, maka A
berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat batal;
Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila "peristiwa" yang dimaksudkan
itu terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah milik
A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan rumah
tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat "selesai dan kembali
ke tanah air" masih akan terjadi dan belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut
terjadi perjanjian berakhir dalam arti batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala
sesuatu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di
atas B berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah "batal demi hukum", melainkan "dinyatakan batal" oleh hakim.
Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal harus dimintakan kepada hakim., tidak
cukup dengan permintaan salah satu pihak saja, atau pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat
batal itu dicantumkkan dalam perikatan (pasal 1266 KUHPerdata)

2). Perikatan dengan Ketetapan Waktu


Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya. Maksud syarat "Ketetapan waktu" ialah pelaksanaan perikatan itu
digantungkan pada" waktu yang ditetapkan". Waktu yang ditetapkan adalah peristiwa yang
masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah
ditetapkan. Misalnya: A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk
memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya lahir. Disini "kelahiran"
adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja
berdasarkan pemeriksaan dokter, anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B,
bahwa ia akan membayar hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning.
Dalam hal ini "hasil panen yang sedang menguning" sudah pasti, karna dalam waktu dekat A.
Akan panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, apayang harus dibayar pada waktu yang
ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba . Tetapi apa yang sudah dibayar
sebelum waktu itu tibe dapat diminta kembali (pasal 1269 KUH Perdata).
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk
kepentingan debitur, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan ternyata
bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentinagn kreditur (pasal 1270 KUH Perdata).
Biasanya kepentingan kreditur itu ditetapkan dalam perjanjian atau dalam akta.

3). Perikatan manasuka (boleh pilih)


Pada Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan
manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima
benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari
dua benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak

48
memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur
(pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata).
Misalnya, A memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko
barang elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang tersebut
dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan bahwa A yang
menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan kepda A bahwa barang pesanan sudah
tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua benda objek perikatan itu. JIka A telah
memilih dan dan memerima dari salah satu benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi objek perikatan itu hilang atau tidak dapat diserahkan
atau musnah, maka perikatan itu menjadi murni dan bersyahaja. Jika kedua benda itu hilang
dan debitur bersalah tentang hilangnya salah satu benda itu, debitur harus membayar harga
benda yang hilang paling akhir (pasal 1274 dan 1275 KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur dan hanya salah satu benda saja yang hilang, maka jika
itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, kreditur harus memperoleh benda yang masih ada.
Jika salah satu benda tadi terjadi karena kesalhan debitur, maka kreditur boleh menuntut
pembayaran harga salah satu menurut pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda atau
kedua benda itu karena kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip dasar di atas ini
berlaku, baik jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam perikatan maupun jika perikatan
bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277 KUH perdata). Melakukan perbuatan,
misalnya dalam perikatan mengerjakan bangunan dan melakukan pengangkutan barang. Disini
debitur boleh memilih mengerjakan bangunan atau melakukan pengangkutan barang ke lokasi
bangunan.
Selain dari perikatan manasuka (alternatif), ada lagi yang disebut perikatan fakultatif, yaitu
perikatan dengan mana debitur wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang
tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi
prstasi itu, ia dapat menganti dengan prestasi lain. Misalnya A berjanji kepada B untuk
meminjamkan kendaraannya guna melaksankan penelitian. Jika A tidak mungkin
meminjamkan kendaraannya karena rusak, ia dapat menganti dengan sejumlah uang biaya
transportasi penelitian itu. Perbedaan antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif
adalah sebagai berikut :
a. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus
menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif hanya satu
benda saja yang menjadi prestasi.
b. Pada perikatan alternatif jika benda yanmg satu hilang, benda yang lain menjadi
penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa. perutangan
menjadi lenyap.
Adalagi yang disebut perikatan generik, yang objeknya dutentukan oleh jenisnya,
misalnya beras Cianjur, Kuda Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif ialah jika periktan
generik objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin. Sedangkan pada perikatan alternatif
objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak homogen. Keberatan perikatan generik ialah
debitur tidak perlu memberikan benda prestasi itu yang terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk
(pasal 969 KUH Perdata). Benda yang menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika
sekurang-kurangnya dapat ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.

4). Perikatan Tanggung Menanggung


Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur berhadapan dengan
beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur.
Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam
hal ini setiap kreditur barhak atas pemenuhan prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi
tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278
KUH Perdata).
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing dengan kreditur, apabila dalam
suatu perikatan harus diserahkan suatu benda, yang kemudian musnah karena kesalahan

49
seseorang dari pihak debitur, maka pihak debitur lainnya tidak dibebaskan dari tanggung
jawabterhadap kreditur untuk membayar benda yang musnah tersebut. Kreditur yang
menderita kerugian karena salahnya debitur hanya berhak menuntut ganti kerugian terhadap
debitur yang bersalah itu (pasal 1285 KUH Perdata). Demikian pula dengan tuntutan
pembayaran bunga yang dilakukan terhadap salah satu debitur tanggung-menanggung, berlaku
juga terhadap debitur-debitur lainnya (pasal 1286).
Jika diantara debitur tangung-menanggung itu ada hubungan hukum yang lain dengan
kreditur atau mempunyai kedudukan yang istimewa terhadap kreditur, maka hubungan hukum
tersebut harus dipisahkan dari hubungan hukum tanggung-menaggung itu. Debitur yang
bersangkutan dapat menggunakan hak tangkisannya, sedangkan debitur yang lainnya tidak
(pasal 1287 KUH Perdata). Jika seorang debitur menjadi ahli waris dari kreditur, perikatan
antara keduanya itu menjadi lenyap (pasal 1288 KUH Perdata).
Adakalanya juga seorang kreditur menerima sari salah seorang debitur bagian yang
menjadi kewajibannya. Jika hal ini terjadi, kewajiban tanggung-menanggung terhadap debitur
lainnya tetap ada, kecuali kreditur secara tegas menyatakan bahwa yang diterimanya itu untuk
bagian keweajiban debitur itu (perhatikan pasal 1289.1290 dan 1291 KUH perdata). Dalam
Peraktek terkadang jenis perikatan ini juga terjadi, di mana perikatan tanggung-menanggung
pasif, pihak kreditur lebih merasa terjamin atas pemenuhan perikatannya. Perikatan tanggung-
menanggung pasif dapat terjadi karena :
a. Wasiat, apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan suatu legaat (hibah
wasiat) kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung;
b. Ketentuan undang-undang, dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas
perikatan tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung-menanggung yang secara tegas diatur dalam perjanjian khusus itu
adalah sebagai berikut :
a. Persekutuan dengan Firma (pasal 18 KUHD), di mana setiap sekutu bertanggung jawab
secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan Firma;
b. Peminjaman barang (pasal 1749 KUH Perdata), jika beberapa orang bersama-sama
menerima suatu barang dalam peminjaman, mereka itu masing-masing untuk seluruhnya
bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman;
c. Pemberian kuasa (pasal 1181 KUH Perdata), seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa
orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama, mereka
bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat
pemberian kuasa itu;
d. Jaminan orang (borgtocht, pasal 1836 KUH Perdata), jika beberapa orang telah
mengikatkan dirinya sebagai penjamin seorang debitur yang sama untuk hutang yang
sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh hutang.

5). Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi


Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang menjadi
objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak
boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu
didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b.Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persolan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti, apabila dalam perikatan itu
terdapat lebih seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya seorang debitur saja,
dalam perikatan itu maka perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun
prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan pasal 1360 KUH Perdata, tak seorang debitur pun
dapat memaksa kreditur menerima pem bayaran hutangnya sebagian-demi sebagaian,
meskipunhutang itu dapat dibagi-bagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila salah satu pihak meninggal
dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara

50
para ahli waris almarhum itu. Hal ini tergantung dari benda yang menjadi objek perikatan yang
penyerahan atau perbuatan pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun
secara perhitungan (pasal 1296 KUH Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat
dibagi ialah, bahwa dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut
seluruh prestasi pada setiap debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi prestasi tersebut
seluruhnya. Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur, membebaskan debitur lainnya dan
perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang dapat dibagi setiap kreditur hanya berhak
menuntut suatu baguian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitur wajib
memenuhi prestasi untuk bagiannya saja menurut perimbangan.

6). Perikatan dengan Ancaman Hukuman


Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai
memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian
atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak. Disamping itu juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika
betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk
memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang
besarenya ganti kerugian yang telah dideritanya.
Menurut ketentuan pasal 1304 KUH Perdata, ancaman hukuman itu ialah, melakukan
sesuatu apabila periktan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu ialah sebagai ganti
kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (pasal 1307 KUH Perdata). Ganti kerugian selalu
berupa uang. denbgan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa
ancamam pembayaram denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut
oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu, karena adanya kedaan memaksa
(overmacht).
Misalnya dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong
bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan pekerjaan nya ia dikenekan denda
Rp50.000,- setiap hati keterlambatan. Dalam hal ini jika pemborong tadi melalaikan
kewajibannya berarti ia harus membayar denda sebesar Rp 50.000,- sebagai ganti kerugian
setiaop hari keterlambatan.
Dalam menentapkan denda sebagai ganti kerugian itu mungkin jumlahnya terlalu tinggi.
Menurut ketentuan pasal 1309 KUHPerdata. Hukuman dapat diubah dengan hakim, jika
perikatan pokok telah dipenuhi sebagian. Tetapi jika debitur belum sama sekali melaukan
kewajibanya sedangakan hukuman yang ditetpkan terlalui tinggi, Hakimpun dapat
menggunakan pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat dengan syah harus
dilaksanakan dengan iktikad baik (Pervormence in good faith).
Ancaman hukuman dalam perikatan ini bersifat asesor (pelengkap), artinya adanya
hukuman tergantung adanyan perikatan pokok. Batalnya perikatan pokok mengakibatkan
batalnya ancaman hukuman. Tetapi batalnya ancaman hukuman tidak membewa batalnya
perikatan pokok (pasal 1305 KUHPerdata).

F. Hapusnya Perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang melainkan juga penyerahan
suatu benda. Dengan kata lain perikatan berakhir karen pembayaran dan peneyerahan benda. Jadi
dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang.
Dalam hal perikatan adalah suatu benda, maka perikatan berakhir setelah penyerahan benda. Dalam
hal objek perikatan adalah pebayaran uang dan penyerahan benda secra timbl balik, perikatan baru
berakhir setelah pembayaran dan penyerahan benda.

51
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara Notaris dan atau
jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian
debitur meniptipkan pembayaran itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat untu disimpan.
Dengan demikian perikatan menjadi hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya penawaran pembayaran itu
sah, perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar;
c. mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;
d. waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. syarat dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
f. penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah disetujui;
g. penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau Jurusita disertai oleh dua orang
sakasi.
3. Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur
lama dengan debitur baru , dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti
dengan hutang baru terjadi penggantian objek perjanjian (novasi objek), di sini hutang lama lenyap.
Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaharuan ini
disebut "novasi subjek pasif". Jika yang diganti itu krediturnya, pembahruan itu disebut "novasi
subjek aktif". Dalam hal ini hutang lama lenyap.
4. Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan krteditur secara
timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitunganini hutang piutang lama lenyap.
Misalanya A mempunyai hutang Rp 25.000.000,- pada B. Sebaliknya B punya hutang pada A
sejumlah Rp 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan, ternyata B masih mempunyai hutang pada A
Rp 25.000.000,-. Supaya hutang itu dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan;
b. hutang itu harus sudah dapat ditagih;
c. hutang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (pasal 1427
KUHPerdata).
Setiap hutang apa pun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini;
a. apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari
pemiliknya, misalanya dengan pencurian;
b. apabila dituntut pengambalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. terhadap suatu hutang yang bersumberkan pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan
tidak dapat disita (pasal 1429 KUH perdata). Selain itu yurisprudensi juga menetapkan
bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak mungkin, yaitu ;
 hutang-hutang negara berupa pajak;
 hutang-hutang yang timbul dari periktan wajar.
5. Percampuran Hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan
kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. percampuran hutang tersebut
terjadi dami hukum. Dalam percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap." Percampuran
hutang itu terjaadi misalnya A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B sebagai pewaris.
Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan termasuk juga hutang atas dirinya sendiri.
Dalam hal ini hutang lenyap demi hukum.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak
menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perikatan. Denmgan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus. Menurut pasal 1438
KUH Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan.

52
Bukti tersebut dapat digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur
kepada debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).
7. Musnahnya Benda yang Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek
perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur
dan sebelumnya ia lalai menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, maka
perikatannya memnjadi hapus. Tetapi bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah,
misalnya karena pencurian, mka musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan
debitur (orang yang mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur lalai
menyerahkan benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan
bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar
kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama, meskipun sudah berada di
tangan kreditur.
8. Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUHPerdata ditegaskan bahwa hanyalah menganai soal pembatalan saja dan
tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-syarat untuk batal yang disebutkan itu adalah syarat-
syarat subjektif yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat subjektif tidak
dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal, melainkan "dapat dibatalan" (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya
kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
a. Dengan cara aktif, yaitu meneuntut pembatalan kepada Hakim dengan mengajukan
gugatan;
b. Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat dimuka Hakim untuk memenuhi
perikatan dan baru diajukan alasan kekurangan dari perikatan itu.
Sementara itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang memeberikan pembatasan
waktu yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan pembatalan untuk pembelaan tidak
diadakan pembatasan waktu waktu.
9. Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat manajika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (neitig, void), sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut "syarata batal". Syarat batal pada asasnya selalu
berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.
10. Lampau waktu (daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1956 BW, "lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu
(acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang" (extintieve
verjaring).

G. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian


1. Istilah dan Pengertian Perjanjian
Istilah Perjanjian terkadang digunakan bersamaan dengan istilah lainnya seperti kontrak, untuk
itu perlu adanya penegasan, artinya mana padananan kata atau istilah yang tepat untuk digunakan.
Dikatakan demikian karena terkadang secara teoritis dan bahkan prakteknya penggunaan suatu
istilah jika tidak tepat akan membingungkan dan mengaburkan arti atau konsep dasarnya, dalam arti
apakah terminologi yang akan digunakan, apakah kontrak dan atau perjanjian Pembatasan demikian
sangat diperlukan, dikatakan demikian, gunanya adalah untuk menyamakan persepsi tentang
penggunaan istilah yang tepat dalam pembahasan materinya.
Penggunaan istilah perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, apakah sama saja dengan
kontrak”, terkadang istilah itu baik dalam teori maupun perakteknya bersamaan digunakan dan
adakalanya digunakan secara sendiri-sendiri, sehingga bagi pihak yang belum memahami
penempatan istilah tersebut cukup membingungkan, untuk itu perlu adanya penjelasan dari segi
teoritisnya. Istilah perjanjian ini, terumus dalam bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang

53
biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan
adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa
yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan
menunjukkan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju
tentang segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya terjemahan istilah tersebut dapat dikatakan
sama, terkadang bahkan digunakan bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan
sama, karena perjanjian itu sendiri sebenar juga adalah persetujuan.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah perjanjian dan
kontrak terkadang disamakan saja, hal ini disebabkan, karena kontrak ini juga sebenarnya juga
sebagai suatu perjanjian, karena kontrak diartikan sebagai suatu kesepakatan yang diperjanjikan.
Sebaliknya perjanjian juga merupakan suatu perbuatan hukum yang pada asasnya lahir karena ada
kesepakatan. Hal ini berarti perjanjian dimaksud bermakna cukup luas, dalam perakteknya biasa
saja terjadi dengan cara atau bentuk lisan, sebaliknya kontrak dalam perakteknya biasanya
dilakukan dalam cara atau bentuk tertulis.
Melihat apa yang dikemukakan tersebut, tanpa mengurangi perbedaan berbagai istilah yang
digunakan, namun sebenarnya banyak para ahli yang menyamakan penggunaan istilah dimaksud,
dikatakan demikian karena pada satu sisi suatu kontrak yang diadakan menjadi kebiasaan dilakukan
secara tertulis. Sebaliknya perjanjian dimungkinkan saja tidak dalam bentuk tertulis, namun pada
prinsipnya padanan kedua kata tersebut sering digunakan dalam perakteknya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka untuk memahami lebih jauh, dalam uraian selanjutnya
dibahas “bagaimana pengertian kontrak dan atau perjanjian itu sebenarnya”. Mengenai pengertian
perjanjian sebagaimana dimaksudkan, sebagai patokan awal, dalam hal ini dapat dipedomani
rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, di mana rumusan dalam ketentuan undang-
undang itu tidak hanya menggunakan istilah perjanjian, tetapi dalam pasal lainnya digunakan juga
istilah kontrak, seperti dikenalnya azas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata. Pada pasal 1313 KUHPerdata di tegaskan bahwa suatu perjanjian adalah; “suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata di atas mendapat kritikan dari beberapa
ahli, karena dirasakan kurang lengkap artinya terdapat beberapa kelemahannya. Menurut Abdul
Kadir Muhammad, kelemahan tersebut, antara lain: Seolah-olah perjanjian tersebut bersifat sepihak
saja, sedangkan perjanjian bersifat dua pihak. Hal ini dilihat dari perumusan “....satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Perkataan “mengikatkan”
disini sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua belah pihak. Perumusan itu
seharusnya “....saling mengikatkan dirinya...” sehingga dengan begitu terdapat konsensus antara
pihak-pihak . Jadi, perjanjian baru akan terjadi apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah
pihak.
Sementara itu, perkataan “perbuatan” dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata mengandung
pengertian menyangkut juga tindakan atau perbuatan tanpa konsensus dan termasuk juga disini
perbuatan melawan hukum. Penggunaan kata yang lebih tepat adalah dengan memakai kata
persetujuan. Sedangkan mengenai pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga terlalu
luas. Hal ini disebabkan karena pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut mencakup juga pengertian perjanjian dalam lapangan hukum keluarga,
sedangkan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang
terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Demikian juga dalam rumusannya tidak
menyebutkan tujuan. Pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata
tersebut tidak menyebutkan tentang apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian atau untuk apa
pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian, sehingga dapat menimbulkan
pengertian yang sangat luas. (Abdul Kadir Muhammad, 1982; 77).
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan oleh Abdul Kadir Muhammad di atas,
maka seharusnya rumusan tersebut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta
kekayaan”. Demikian juga halnya dengan R.Setiawan menganggap perlu diadakan perbaikan

54
mengenai pengertian perjanjian tersebut, yaitu: Perbuatan harus diartikan sebagai perbutan hukum,
yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambahkan perkataan “…
atau saling mengikatkan dirinya...” dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.
Dengan demikian perumusannya menjadi: “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”. (R. Setiawan, 1994; 49). Dalam pada itu yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu
kesepakatan yang diperjanjikan diantara dua pihak atau lebih yang dapat memodifikasi atau
menghilangkan hubungan hukum.
Dari pengertian-pengertian perjanjian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedua istilah dan
pengertian tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda, dikatakan demikian, karena pengertian
perjanjian dan kontrak dimaksud dilahirkan karena adanya kesepakatan dan pada akhirnya
menimbulkan suatu perjanjian dan melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Dalam konsep
hukum perdata, bahwa perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak saja dilahirkan karena
adanya suatu perjanjian dan atau kontrak, tetapi juga disebabkan karena undang-undang
menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau perbuatan seseorang tanpa didahului adanya
perjanjian/kontrak telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Seperti adanya perbuatan
melawan hokum atau melanggar hokum yang dinyatakan oleh undang-undang telah melahirkan
hubungan hukum atau perikatan (Pasal 1365 dan 1367). Artinya orang yang melanggar hukum
tersebut terikat untuk menanggung beban kerugian akibat kesalahannya.

2. Pengaturan Mengenai Perjanjian


Peraturan yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah KUHPerdata Buku III Bab II
yang berjudul “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Secara sistematis
pengaturan mengenai perjanjian dalam KUHPerdata ini terdiri dari empat bagian, yakni dari Pasal
1313–1351 KUHPerdata, yang terdiri dari:
a. Bagian Kesatu yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 1313–1319 KUHPerdata);
b. Bagian Kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320–
1337 KUHPerdata);
c. Bagian Ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari perjanjian (Pasal 1338–1341
KUHPerdata);
d. Bagian Keempat yang mengatur tentang penafsiran perjanjian-perjanjian (Pasal 1342–1351
KUHPerdata).
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan mengenai pengaturan perjanjian, yakni :
a. Pasal 1266 dan 1267 Bab I Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan-perikatan
bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni wanprestasi.
b. Pasal 1446–1456 KUHPerdata tentang kebatalan dan pembatalan
Dengan demikian antara perikatan dengan perjanjian mempunyai hubungan yang sangat erat
sekali. Hal itu dikarenakan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang Perikatan, dimana pengertian perikatan itu sendiri tidak ditegaskan pada salah satu
pasalpun. Mengenai hubungan yang erat antara perjanjian dengan perikatan ini dapat dilihat pada
Pasal 1233 yang menyatakan : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena
Undang-undang”. Hal ini berarti, perjanjian melahirkan perikatan, demikian juga halnya dengan
undang-undang yang menentukan lahirnya perikatan.

55
Sumber perikatan tersebut digambarkan dalam bentuk skema :

PERIKATAN
(Pasal 1233)

Perjanjian Undang-Undang
(Pasal 1313) (Pasal 1352)

Semata-mata Perbuatan
Undang-undang Manusia
(Pasal 1353)

Pekarangan Memelihara Anak


Berdampingan (Pasal 104)
(Pasal 625)

Perbuatan Menurut Hukum Perbuatan Melawan Hukum

Zaakwaarneming Onverschuldigde Natuurlijk


(Pasal 1354) Betaling Verbintenis
(Pasal 1359 ayat 1) (Pasal 1359 ayat 2)

3. Subjek dan Objek Kontrak/Perjanjian


Dalam suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan atau melaksanakan perjanjian
dan juga terikat dengan perjanjian tersebut. Pihak itulah yang biasa disebut dengan subjek
perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, subjek perjanjian dapat berupa
a. Manusia pribadi (Natuurlijk Persoon)
b. Badan hukum (Recht persoon)
Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap subjek hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian, dan
setiap subjek perjanjian harus mampu dan berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang
ditetapkan dalam Undang-undang. Pada dasarnya, suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri, hal inilah yang biasanya disebut dengan azas pribadi (Pasal 1315
jo Pasal 1340 KUHPerdata). Sedangkan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang
mengikat pihak ketiga kecuali dalam apa yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (Pasal 1317
KUHPerdata).
Sementara itu, suatu perjanjian harus mempunyai objek yang akan diperjanjikan. Ketentuan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah
adanya hal tertentu. Ada hal tertentu inilah yang disebut dengan objek perjanjian atau pokok

56
perjanjian. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun berupa prestasi tertentu, yakni berupa
benda berwujud atau benda tidak berwujud bisa juga berupa benda yang ada atau benda yang akan
ada.

4. Unsur-unsur Perjanjian
Menurut hukum perdata dalam suatu perjanjian, terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara
lain:
a.Para pihak yang sedikit-dikitnya dua orang,
Pihak-pihak inilah yang disebut dengan sebagai subjek perjanjian.
b.Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang dalam tahap berunding. Persetujuan tersebut
ditujukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, mengenai syarat-syarat dan
mengenai objek perjanjian.
c. Ada tujuan yang akan dicapai dengan diadakannya perjanjian.
Tujuan tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dimana tujuan
tersebut sifatnya tidak dilarang oleh undang-undang dan juga tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Prestasi adalah kewajiban yang akan dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat
yang diperjanjikan. Pada sistem hukum Anglo Saxon istilah prestasi ini biasa disebut dengan
“considerans”. Dimana dengan adanya persetujuan maka akan timbul kewajiban untuk
melaksanakan suatu prestasi oleh para pihak dalam perjanjian.
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk disini perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-undang yang menyatakan bahwa
hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan
bukti.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat-syarat tertentu ini merupakan isi perjanjian, yang mana dari syarat-syarat itu dapat
diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat disini ada yang berupa syarat pokok dan ada
pula yang berupa syarat tambahan.

5. Asas-Asas Dalam Perjanjian


Dalam Hukum Perjanjian dikenal beberapa asas. Asas-asas tersebut diantaranya adalah :
1). Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan
perjanjian apa saja baik sudah ataupun belum diatur oleh Undang-undang, bebas untuk tidak
mengadakan perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun dan juga bebas
untuk menentukan isi, syarat dan luasnya perjanjian. Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak
melanggar ketentuan Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata . Pembatasan ini diberikan
sebagai akibat dari:
a. Perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan ekonomi membuat orang-orang
menggabungkan diri dalam bentuk usaha bersama atau membentuk usaha swasta.
b.Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.
c. Adanya aliran masyarakat yang bersifat social ekonomi.
2). Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau
perikatan yang timbul atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok
dan tidak diperlukan suatu formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir sejak kata sepakat
telah tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya Undang-Undang menetapkan tetap adanya
suatu formalitas tertentu. Misalnya adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk

57
tertulis atau dengan akta notaris. Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis
yaitu adalah dalam hal sebagai alat bukti.
3). Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pengaturan asas ini
ditegaskan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yakni:
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini menentukan ukuran
mengenai hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
4). Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya”. Hal tersebut berarti bahwa para pihak mempunyai keterikatan pada perjanjian
yang mereka buat.
5). Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang telah mereka buat dan mereka sepakati. Dimana masing-masing pihak harus
memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama dengan itikad baik, sehingga tercipta
keseimbangan antara kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut.
6). Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian hukum.
Dalam menciptakan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, maka perjanjian itu haruslah
mempunyai kekuatan mengikat layaknya sebagai Undang-undang bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
7). Bersifat Obligatoir
Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam tahap
menimbulkan hak dan kewajiban, belum sampai pada tahap memindahkan hak milik. Hak
milik baru akan berpindah jika telah diperjanjikan tersendiri, hal ini biasanya disebut dengan
perjanjian yang bersifat kebendaan.
8). Bersifat Pelengkap
Bersifat pelengkap maksudnya yaitu pasal-pasal dalam Undang-undang boleh
disingkirkan apabila para pihak dalam perjanjian menghendakinya, dan mereka sepakat
membuat ketentuan sendiri. Tapi jika mereka tidak menentukan mengenai hal tersebut maka
ketentuan dalam Undang-undang tetap berlaku.. Buku Ketiga KUHPerdata pada Pasal 1338-
1341 mengatur mengenai akibat dari perjanjian, antara lain sebagai berikut :
a. Berlaku sebagai Undang-Undang
Dasar hukum bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang adalah Pasal 1338 Ayat
(1) KUHPerdata. Sehingga, jika ada salah satu pihak dalam perjanjian yang melanggar
perjanjian itu, maka ia dianggap telah melanggar Undang-undang. Terhadap pelanggaran
yang dilakukan akan menimbulkan akibat hukum tertentu yaitu berupa pemberian sanksi.
Hukuman bagi yang melanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-
undang atau berdasarkan permintaan pihak lainnya. Adapun bentuk sanksi yang diberikan
dapat berupa:
1. Membayar ganti kerugian (Pasal 1234 KUHPerdata);
2. Perjanjian dapat diputuskan (Pasal 1266 KUHPerdata);
3. Menanggung beban resiko (Pasal 1237 Ayat (2) KUHPerdata);
4. Membayar biaya perkara jika sampai dibawa kehadapan hakim pengadilan (Pasal 181
Ayat (1) HIR).
b. Tidak dapat ditarik kembali
Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan mengikat para pihak yang membuat
perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Akan tetapi perjanjian tersebut dapat
saja ditarik kembali apabila:

58
1.Memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
2.Adanya alasan-alasan yang cukup kuat menurut Undang-undang.
3.Alasan-alasan yang dimaksud adalah alasan yang terdapat dalam KUHPerdata yakni
pada Pasal 1571, 1587, 1814 dan 1817.
c . Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik
Maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik disini adalah sebagaimana yang
diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata yaitu pelaksanaan perjanjian itu hendaknya berjalan
dengan memperhatikan norma-norma kepatutan, kesusilaan serta Undang-undang, yakni
menyangkut nilai-nilai yang patut, pantas, sesuai, cocok, sopan , layak dan beradab yang
ada dalam masyarakat.

6. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian


Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh
undang-undang. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-
syarat sah tersebut antara lain:
1.Adanya persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian;
2.Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3.Ada suatu hal tertentu;
4.Ada suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua di atas disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang
yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan .
Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjajian itu tetap mengikat pihak-
pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (pasal 1454
KUHPerdata).
Syarat ketiga dan kempat merupakan disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu
yang menjadi object perjanjian. Jika syrat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini
dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke Muka hakim, dan Hakim menyetakan
perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif. karena tidak memenuhi syarat
objektif.
Persetujuan Kehendak
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian, dalam arti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak
yang lainnya. Persetujuan kehendak tersebut sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan
dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam persetujuan
kehendak dimaksud juga tidak ada kekilafan dan tidak ada penipuan.
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada
dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti,
misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui
perjanjian yang akan diadakan (Pasal 1324 KUHPerdata).
Dikatakan tidak ada kekilafan atau kekeliruan ataupun kesesatan, apabila salah satu pihak
tidak kilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian
atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut Pasal 1322 ayat i dan 2
KUHPerdata, kekeliruan atau kekilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali
apabila kekeliruan atau kekilafan itu terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok
perjanjian atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan
perjanjian.
Akibat Hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan, penipuan)
ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pemabatalannya kepada Hakim (vernietigbaar,
voidable). Menurut ketentuan pasal 1454 KUHPdt, pembatalan dapat dimintakan dalam
tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti;
dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan
penipuan itu.

59
7. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian memang tidak diatur secara tersendiri dalam Undang-undang.
Akan tetapi, mengenai berakhirnya perjanjian ini dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang
terdapat dalam Undang-undang. Berakhirnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari pada
hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan
sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam perjanjian jual beli, dimana apabila
harga sudah dibayar maka perikatan mengenai pembayaran sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum
hapus karena perjanjian penyerahan barang belum terlaksana.
Berakhirnya perjanjian sebagai akibat dari berakhirnya semua perikatan ini tidaklah berlaku
secara mutlak, karena ada perjanjian yang menyebabkan suatu perikatan hapus atau berakhir. Hal
tersebut dapat kita temui dalam suatu perjanjian yang berlaku surut, misalnya saja akibat dari
pembatalan yang disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi (Pasal 1266
KUHPerdata) maka segala perikatan yang telah terlaksana menjadi hapus.
Berkaitan dengan hapusnya perjanjian dimaksud, dalam prakteknya disebabkan beberapa
hal, antara lain :
1). Ditentukan terlebih dahulu dalam persetujuan oleh para pihak;
Misalnya persetujuan yang dibuat ditentukan untuk batas waktu tertentu, bila perjanjian
sampai pada batas waktu yang ditentukan, maka perjanjian akan berakhir.
2). Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya;
Waktu tertentu tersebut dijelaskan lagi dalam pasal 1066 ayat (4) yang berbunyi:
“Persetujuan yang sedemikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun setelah
lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”.
3). Oleh para pihak atau oleh Undang-undang ditentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu;
Jika salah satu pihak meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus.
4). Salah atu pihak atau kedua belah pihak memberikan pernyataan menghentikan atau mengakhiri
perjanjian (opzegging);
Opzegging ini hanya ada pada persetujuan–persetujuan yang bersifat sementara, seperti pada
perjanjian kerja dan perjanjian sewa menyewa.
5). Adanya putusan hakim untuk mengakhiri suatu perjanjian yang diadakan;
6). Telah tercapainya tujuan diadakan dalam perjanjian.

H. PerikatanYangLahirDari Undang-undang
1. Ketentuan Undang-undang
Perikatan yang diuraikan dalam bagian ini ialah perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai
akibat dari perbuatan orang. Jadi, bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan,
melainkan undang-undang menetapkan adanya perikatan. Perbuatan orang itu dikalsifikasikan
menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbutan yang tidak sesuai dengan
hukum.
Perikatan yang timbul dari perbutan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu penyelenggaan
kepentingan (zaakwarneming) diatur dalam pasal 1359 s/d 1364 KUH Perdata. Sedangkan perbutan
yang timbul dari perbutan yang tidak sesuai dengan hukum dalah perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad) diatur dalam pasal 1365 s/d 1380 KUHPerdata.
Perbutan melawan hukum dapat ditujukan pada harta kekeyaan orang lain dan dapat pula
ditujukan pada diri pribadi orang lain, perbuatan mana menimbulkan kerugian pada orang lain
itu. Dalam hukum Anglo Saxon, perbuatan melawan hukum disebut "tort". Soerjono Soekonto
menerjemahkan onrechtmatigedaad dengan "penyelewengan perdata". Sebenarnya perikatan
yang lahir dari undang-undang ini antara lain dapat berbentuk; zaarwaarneming,
onverschuldigdebetaling, natuurlijke verbintenis dan onrechtmatigedaad, namun dalam
pembahasan selanjutnya hanya dibahas mengenai zaakwaarneming dan onrechtmatigedaad, hal

60
ini disebabkan perbuatan demikianlah yang dominan terjadi dalam peraktek kehidupan
masyarakat.

2. Penyelenggaraan Kepentingan (zaakwaarneming)


Menurut ketentuan pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela tanpa
mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang
itu, maka secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan
tersebut hingga orang yang diwakili keppentingan itu dapat mengerjakan segala sesuatu yang
termasuk urusan itu. Selanjutnya ia diwajibkan pula mengerjakan segala sesuatu yang termasuk
urusan tersebut. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan
dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.
Figur hukum yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata ini disebut zaakwarneming, yang
oleh Sri Soedewi diterjemahkan dengan kata-kata "peyelenggaraan kepentingan". Orang yang
menyelenggarakan kepentingan itu tidak dengan kuasa dari orang yang berkepentingan. Unsur-
unsur penyelenggaraan kepentingan adalah sebagai berikut:
1.Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya. Yang melakukan perbuatan itu tidak
mempunyai kepentingan apa-apa, kecuali manfaat yang berlkepentingan sendiri. Dalam
hal ini ia bertindak semata-mata karena kesediaan sesama manusia, sesama anggota
keluarga, sesama teman.
2.Tanpa mendapat perintah atau kuasa, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak atas
inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, kuasa dari pihak yang berpekepentinmgan baik
lisan maupun tulisan.
3.Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak untuk
kepentingan orang lain, bukan kepentingan pribadi sendiri. Urusan yang diwakili itu dapat
berupa perbuatan atau hukum atau perbutan wajar, misalnya memelihara hewan, barang-
barang berharga, mengurus harta benda yang terlantar.
4.Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan itu tidak
mengetahui bahwa kepentingan diurus oleh orang lain. Namun demikian, jika ia
mengetahui hal itu ia tidak mencegah dan tidak pula memberi kuas kepada orang yang
menyelenggarakan kepentingan itu. Jadi, secara diam-diam ia menyetujui kepentingan
diurus oleh orang lain, walaupun mungkin bertentangan dengan kehendaknya.
5.Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan perbuatan
untuk kepentingan orang itu, ia harus mengerjakan sampai selesai, sehingga orang yang
diewakili kepentingan itu dapat menikmatik manfaatnya atau dapat mengerjakan segala
sesuatu yang termasuk urusan itu. Untuk itu ia harus memenuhi segala kewajiban sebagai
seorang bapak yang baik. Ia juga diwajibkan menurut keadaan memberikan pertangungan
jawaban. Ia juga mengeluarkan biaya-biaya untuk mengurus kepentingan itu.
6.Bertidak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbutan mengurus kepentingan itu,
harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum (undang-undang) atau bertindak
tidak bertentngan dengan kehendak pihak yang berkepentingan.
Karena perikatan ini lahir dari undang-undang maka hak dan kewajiban pihak-pihak
juga ditetapkan oleh undang-undang, seperti berikut ini:
1. Hak dan kewajiban mewakili
Ia wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urussan itu sampai selesai, dengan
memberikan pertangung jawaban. Apabila yang berkepentingan meninggal dunia, yang
mengurus kepentingan itu meneruskan ahli waris orang itu dapat mengoper pengurusan
tersebut (pasal 1355 KUH Perdata). Yang mengurus kepentingan itu memikul segala beban,
biaya atau ongkos mengurus kepentingan itu.
Orang yang mengurus kepentingan itu berhak mendapat ganti kerugian dari orang yang
diwakili atas segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan memperoleh penggantian
atas segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu (pasal 1357 KUH Perdata). Jika ganti
kerugian atau pengeluaran itu belum dilunasi oleh yang berkepentingan, orang yang

61
mewakili itu berhak menahan benda-benda yang diurusnya sampai ganti kerugian atau
pemngeluaran dilunasi. Hak ini disibur "retensi".
2. Hak dan kewajiban yang diwakili
Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakili itu atas
namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak untuk
mengurus kepentingan itu (pasal 1357 KUHPerdata). Orang yang berkepentingan berhak
atas keringanan pembeyaran ganti kerugian atau pengeluaran itu, yang disebabkan oleh
kesalahan atau kelalaian pihak yang mengurus kepentingan itu berdasarkan petimbangan
hakim (pasal 1357 ayat 2 KUH Perdata). Pihak yang berkepentingan berhak meminta
pertanggung jawaban atas pengurusan kepentingan itu.
Dalam perikatan zaakwaarneming tidak dikenal upah. Undamg-undang menentukan
bahwa pihak yang telah mewakili urusan orang lain, tidak berhak atas suatu upah (pasal
1358 KUH perdata). Namun demikian, pertimbangan untuk memberikan sekedar imbalan
atas dasar kemanusiaan terserah pada orang yang berkepentingan sendiri.
Jika diperhatikan, perikatan zaakwarneming ini sesuai dengan falsafah negara kita
Pancasila. Perikatan ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional kita. Walaupun
berdasarkan observasi jarang ditemukan keadaan ini, motivasi timbulnya perikatan ini dapat
dijumpai dalam masyarakat yang sifat pangujuban masih diutamakan, misalnya di daerah
pedesaan, di daerah yang jauh dari kota besar. Contoh zaakwarneming adalah sebagai
berikut :
(1) Orang yang berkeinginan berdinas di suatu daerah karena mendapat kecelakaan lalu
lintas, kemudian dirawat di R.S. Sementara anak dan rumahnya diurus oleh tetangga
dekatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak mempunyai keluarga yang berhak
mengurus itu. Tetangga dekat tersebut menurut undang-undang wajib mengurus anak
dan harta kekayaannya itu sampai yang bersangkutan pulih kembali.
(2) Seorang dosen yang memelihara ternak ayam negeri dalam jumlah yang besar, pergi
keluar negeri karena mendapat tugas belajar dan perginya secara mendadak,
sehingga terlantar usahanya itu. Tanpa kuasa dari yang bersangkutan, kakaknya
mengurus ternak tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming) dan
pemberian kuasa (lastgeving) antara lain:
1. Pada penyelenggaraan kepentingan, perikatan timbul karena undang-undang,
sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan timbul karena adanya perjanjian;
2. Penyelemngaraan kepentingan tidak berhenti jika yang diwakili itu meninggal dunia,
sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa meninggal
dunia;
3. Pada penyelenggaraan kepentingan tidak dikenal upah, karena dilakukan secara sukarela,
sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.

3. Perbuatan Melawan Hukum


Dalam usaha mengetahui apa yang dimaksudkan dengan "perbuatan melawan hukum"
(onrechtmatige daad), Pasal 1365 KUHPerdata menentukan sebagai berikut: "Tiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah
menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut". Dari ketentuan pasal tersebut, dapat
ditarik empat unsur penting yakni:
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan;
4. antara kesalahan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan
perbuatan melawan hukum.

62
Perbuatan Melawan hukum terhadap diri pribadi
Perbuatan melawan hukum terhadap diri pribadi ini, dapat kita contohkan seperti
penghinaan. Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, jadi dapat
dimasukkan dalam perbuatan melawan hukum yakni pencemaran nama baik seseorang. Oleh
karenanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dikatakan demikian, karena
penghinaan dapat menimbulkan kerugian terhadap nama baik seseorang, martabat dan
kedudukan seseorang dalam masyarakat. Menurut ketentuan dalam Pasal 1372 KUHPerdata;
"gugatan berdasarkan penghinaan bertujuan mendapatkan ganti kerugian serta pemulihan nama
baik seseorang.

63

Anda mungkin juga menyukai