Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH HUKUM PERDATA

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perseorangan yang memilki karakter
mengatur dengan tujuan melindungi kepentingan individu (individual interest). Secara yuridis
formal, KUHPerdata terdiri dari 4(empat) buku, yaitu buku I mengatur tentang orang (van Perrsonen)
mulai Pasal 1 s/d 498, buku II mengatur tentang benda (van Zaken) mulai Pasal 499 s/d 1232, buku III
mengatur tentang perikatan (van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s/d 1864, dan buku IV mengatur
tentang pembuktian dan Kadaluwarsa (van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s/d 1993. Namun
berdasarkan sistematika ilmu hukum, sistematika hukum perdata terbagi atas hukum perorangan
(personenrecht), bagian kedua tentang hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum
harta kekayaan (Vermogenrecht), dan bagian keempat tentang hukum warirs (Erfrecht).

Berlakunya hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari banyaknya pengaruh kekuatan politik
liberal di Belanda yang mencoba berupaya melakukan perubahan-perubahan yang mendasar
didalam tata hukum kolonial, kebijakan ini dikenal dengan sebutan de bewiste rechtspolitiek
Berdasarkan asas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi
kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Kodifikasi mengenai Hukum Perdata disahkan melalui
Koninklijk Besuit tanggal 10 April 1838 dengan Staatsblad 1838 Nomor 12 yang dinyatakan berlaku
sejak tanggal 1 Oktober 1838, dan melalUi pengumuman Gubernur jendral Hindia Belanda tanggal 3
Desember 1847,dinyatakan bahwa sejak Tanggal 1 Mei 1848 B.W berlaku di Indonesia

Eksistensi hukum acara perdata sebagai hukum formil, mempunyai kedudukan penting dan strategis
dalam upaya menegakkan hukum perdata (materiil) di lembaga peradilan. Sebagai hukum formil,
hukum acara perdata berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya
hukum perdata(materiil) di dalam praktek pengadilan. Oleh karena itu, hukum perdata eksistensinya
terkait erat dengan hukum acara perdata, bahkan keduanya merupakan pasangan satu sama lain
yang tidak dapat dipisahkan.3 Meskipun demikian, peraturan hukum acara perdata yang ada
sekarang ini cukup memprihatinkan, karena kemerdekaan kita sudah berlangsung selama hampir 74
tahun namun hingga saat ini Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata produk dari
peninggalan pemerintah hindia belanda yaitu HIR4 dan RBG5.

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam setiap perikatan yaitu
Asas kebebasan berkontrak, Asas Konsesualisme, Asas Kepercayaan, Asas Kekuatan Mengikat, Asas
Persamaan hukum, Asas Keseimbangan, Asas Kepastian Hukum, Asas Moral, Asas Kepatutan.
Terdapat beberapa peraturan-peraturan yang berlaku dan diatur diluar KUHPerdata, contoh nya
dalam bidang pertanahan yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang
dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA, Hukum Perkawinan yang dikenal
dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan8,Hukum Hak Tanggungan

Keberadaan Hukum acara perdata yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda belum
mampu menjawab perkembangan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Upaya untuk
menjawab kebutuhan masyarakat atas keberadaan hukum acara perdata telah dilakukan melalui
pengaturan yang tersebar di beberapa undang-undang antara lain seperti Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkmah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009. Pengaturan yang tersebar dibanyak tempat ini
berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam pelaksanaanya, apalagi pengaturan mengenai hukum
acara ini tidak diatur secara rinci sehingga memerlukan peraturan pelaksana. Sayangnya peraturan
pelaksana yang dibutuhkan untuk mengatur hal-hal teknis yang diamanatkan oleh undang-undang
sehingga berdampak pada kesulitan dalam praktik pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut maka
Mahkamah Agung kemudian sesuai dengan kewenangannya membuat Peraturan Mahkmah Agung
(PERMA).

Keberadaan Perma tersebut untuk menjawab proses peradilan perdata yang tidak dapat dikatakan
efektif, cepat, dan terjangkau. Tidak seperti peradilan pidana yang mengenal acara pemeriksaan
singkat dan acara pemeriksaan cepat untuk jenis perkara tertentu, peradilan perdata yang mengacu
pada Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (RBg) tidak
memiliki mekanisme yang dianggap mudah untuk penyelesaian sengketa yang sederhana. Kondisi
tersebut berdampak pada minimnya jumlah perkara perdata yang masuk.Dari sejumlah 3.466.006
perkara yang masuk di pengadilan tingkat pertama, hanya terdapat 39.279 gugatan yang diajukan
atau sekitar 1.13% dari keseluruhan perkara yang ditangani oleh pengadilan tingkat pertama
(Laporan Tahunan MA, 2015). Jika dibandingkan dengan jumlah Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) sebanyak 57,9 juta

yang berpotensi memiliki sengketa, rasio jumlah perkara 0,067% sangatlah kecil. Kondisi tersebut
dijawab MA dengan membentuk mekanisme gugatan sederhana yang diatur dalam sebuah
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)

Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Nasional, yang maksudnya untuk menggantikan
HIR, R.Bg dan peraturan lainnya yang berlaku sekarang dan Pembaharuan perundang-undangan
Hukum Acara Perdata yang maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi HIR, R.Bg yang
berlaku sekarang. Kepala BPHN Kemenkumham Prof. R Benny Riyanto mengungkapkan dalam
rangka mempercepat penyusunan dan penyempurnaan, pemerintah menggunakan strategi khusus
yaitu membagai tugas penyusunan, melibatkan para pakar hukum acara perdata akan berkutat
dengan substansi dan konsep pembaharuan hukum acara perdata,Sementara itu, mengenai drafting
ditangani oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan dari Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan. Kalangan penegak hukum dan praktisi, memberi masukan terkait dengan
praktik di lapangan. Mengenai praktik di lapangan para Praktisi dan penegak hukum terlibat untuk
memberi masukan.
SEJARAH HUKUM PERDATA

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun
berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut
Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai
Belanda (1806- 1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan
terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813) Pada Tahun 1814 Belanda
mulai menyusun Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.

KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum
menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan
Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan
dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi
pemberontakan di Belgia yaitu :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang]

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil
jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis

ke dalam bahasa nasional Belanda

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat
Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya
berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang- Undang RI
misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan

KUH Perdata terdiri dari 4 bagian yaitu :

1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht

2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht

3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht

4.Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs

Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807,
Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon. Tahun 1811 – 1830, Code
Napoleon berlaku di Belanda. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu
buku “Burgerlijk Wetboek” (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Setelah kemerdekaan,
KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk
KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.

Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :

- Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengatur tentang


bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya kecuali hypotek
- Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963,
dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579,
1603 x (1),(2) dan 1682.
- Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang
menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
SEJARAH HUKUM PERDATA

Rahmad Hendra, SH, MH

Hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau
tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana)

- Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,
seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan,
harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Terjadinya hubungan hukum antara pihak-pihak menunjukkan adanya subyek sebagai pelaku dan
benda yang dipermasalahkan oleh para pihak sebagai obyek hukum.

- Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk
bertindak dalam hukum. Terdiri dari orang dan badan hukum.

Obyek hukum adalah segala sesuatu berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu
hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Obyek hukum adalah benda.

- Hak adalah kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum.
- Kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum

BW sebenarnya dari HK. Romawi, yaitu sejak pemerintahan Yulius Caesar (th. 1950 SM) yang
meluaskan kekuasaannya s.d. Eropa Barat. Negara Perancis-pun menjadi negara jajahan, dan di
dalamnya diberlakukan Hukum Romawi.

Hukum asli bangsa Perancis sudah ada, tetapi tetap diberlakukan Hukum Romawi, sehingga berlaku
3 Hukum, yaitu : (1) HK. Romawi, (2) HK. Perancis, (3) HK. Agama. Terjadi PLURALISME HUKUM.

- Pada masa pemerintahan Raja Perancis Frederick XV, Napoleon Bonaparte (1804) membuat
unifikasi Hukum Perancis dengan jalan kodifikasi : CODE CIVIL DE FRANCE , yang
pembuatannya sangat terpengaruh dengan tiga hukum tadi

Kemudian Perancis menjajah Belanda, dan Hukum Perancis-pun diterapkan di Belanda pada tahun
1811 M. Setelah pendudukan Perancis berakhir, dibentuk panitia untuk merencanakan kodifikasi
Hukum Perdata Belanda.

Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1830 dengan pembentukan dua kodifikasi
yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di
Belgia yaitu :

1.Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.

2.Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang]

Pada tahun 1848 Hukum Belanda diterapkan di Indonesia (Hindia Belanda) pada waktu Belanda
menjajah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai