Anda di halaman 1dari 73

Bahan Ajar

MATA KULIAH

HUKUM PIDANA
II

Oleh
Bangun P Simamora, SH., MH
Buku Wajib
1. Asas-asas Hukum Pidana, Moeljatno;
2. Asas-asas Hukum Pidana, Andi Hamzah;
3. Pelajaran Hukum Pidana 1 & 2, Adami
Chazawi;
4. Hukum Pidana Indonesia, P.A.F. Lamintang,
Djisman Samosir;
5. KUHP, R. Soesilo;
6. KUHAP.
PENDAHULUAN

PEMBAGIAN HUKUM

PUBLIK : PRIVAT :
1. PIDANA; 1. PERDATA;
2. H T N; 2. BISNIS
3. H A N; 3. DAGANG
4. H Intl, dll; 4. Dll

Negara – Warga negara Antar Warga Negara


(Kepentingan Umum) (Kepentingan Perorangan)
ARTI
HUKUM PIDANA

Moeljatno, SH
Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan
aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan yang tidak boleh, dilarang,


ancaman/sanksi pidana;
2. Menentukan kapan dan motif melanggar;
3. Menentukan cara pengenaan pidana.
PENGERTIAN
PIDANA & DELIK

PIDANA : suatu reaksi atas tindakan yang berwujud


penderitaan yang diberikan dengan sengaja oleh orang atau
badan kepada pelaku atau pembuat DELIK.

DELIK : suatu pelanggaran kaidah/norma tertulis maupun


tidak tertulis mengakibatkan munculnya penderitaan yang
dialami oleh orang lain.
Istilah PIDANAmerupakan istilah khusus selain
daripada hukuman yang tentu dapat berkonotasi luas
di dalam bidang-bidang kehidupan.

SUDARTO : Pengertian Pidana sendiri ialah nestapa


yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja
agar dirasakan sebagai nestapa.
TUJUAN HUKUM PIDANA

Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua,


ialah :

 Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai


melakukan perbuatan yang tidak baik;

 Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan


perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima
kembali dalam kehidupan lingkunganya;
Klasifikasi Hukum Pidana
Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu :
1. Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang
menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang
oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang
ditetapkan bagi yang melakukannya;
2. Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya
hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara
merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara
agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi
perbuatannya.
Ruang Lingkup Hukum Pidana

Peristiwa Pidana atau Delik ataupun Tindak Pidana

Simons
Peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan
melawan hukum yang diancam pidana dan
dilakukan seseorang yang mampu bertanggung
jawab. Sedangkan arti delik merupakan istilah
perbuatan pidana yang membedakan dari
perbuatan hukum selain pidana.
Unsur-unsur perbuatan Pidana
 
 Kelakuan dan akibat (=perbuatan);
 Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan;
 Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana;
 Unsur melawan hukum yang obyektif;
 Unsur melawan hukum yang subyektif.
SEJARAH HUKUM PIDANA
Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat
pengaruh VOC. Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire
strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP
di Indonesia :
1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor
55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari
1867.kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku
KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asing;
2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede
gelijkgestelde (Stbl.1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 januari 1873.
Zaman Hindia Belanda

Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886


dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak
persamaanya dengan Code Penal Perancis,perlu diganti dan disesuaiakan
dengan KUHP baru belanda tersebut.

Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings


Reglement, dan Pasal 131 Indische Staatsgeling, maka KUHP di negeri belanda
harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda harus
dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat.

Semula di rencanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan


Bumiputera yang baru.

Dengan Koninklijik Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP


golongan Eropa.
Zaman Pendudukan Jepang

Dibandingkan dengan hukum pidana materiel, maka


hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena
terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini
diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942
tanggal 20 sepetember 1942.
Zaman Kermedekaan
Ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku
sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942
dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang
disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie di ubah menjadi
Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

• Menurut waktu (Bab I Pasal 1 KUHP);

• Menurut tempat dan orang (Pasal 2 – 9


KUHP).
HUKUM PIDANA MENURUT
WAKTU
Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak
abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas
berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut
dengan menjalankan hukum pidana secara
sewenang-wenang, sekehendak dan menurut
kebutuhan Raja sendiri.

Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias


Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach
(1755-1833)
Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan
upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan
asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya
dalam bahasa latin (dalam bukunya yang
berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801)
yaitu :

“Nullum delictum nulla poena sina praevia lege”

Tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum


yang lebih dulu menentukan demikian;
Dasar Pemikiran Feuerbach
Pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang agar
tidak berbuat jahat, dan agar takut berbuat jahat,
terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman
pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
Agar orang mengetahui ancaman pidana itu, hal-hal
yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus
ditetapkan terlebih dulu dalam UU.

“asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal


8 “Declaration des droits de L’hommeet du
Citoyen” (1789) UUD (Revolusi Prancis)
Dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810

Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS


Nederland 1881 (sementara).
WvS 1886 Pasal 1 ayat (1)

Berdasarkan asas konkordansi 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van


Strafrecht voor Nederlandsch Indie (kini KUHP)
Oleh karena Pidana harus
mencapai Kepastian Hukum
1. Hukum pidana harus tertulis [dimuat dalam peraturan
perundang-undangan (UU, Perpu, PP, Perda, dlsb)];

2. Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam


Hukum Pidana.

3. Pemberlakuan ketentuan yang menguntungkan bagi


tersangka manaka terjadi perubahan di dalam
perundang-undangan.
Penafsiran Hukum
1. Penafsiran Autentik

  Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik,


resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-
kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk
UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan
pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu
”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan
matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti
hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan
babi.
2. Penafsiran Gramaticale

Penafsiran tata bahasa.

Contoh :
• “dipercayakan” dalam Pasal 432 KUHP secara
gramatikal diartikan dengan “diserahkan”
• “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan
secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
• Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 8-8-1983
No. 144/Pid/PT Mdn. (Penafsiran yang berlebihan,
tentang “bonda”).
3. Penafsiran Historis

• Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan


sejarah terjadinya hukum tersebut;

• Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud


pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya
denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik
Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP.
4. Penafsiran Sistematis/Dogmatis
Penafsiran menilik susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU
itu sendiri maupun dengan UU lainnya.

contoh :
”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347
KUHP. Kandungan dipandang sebagai manusia
hidup (Pasal 2 BW). Tetapi bila janin telah mati,
tidak bisa disebut menggugurkan kandungan.
5. Penafsiran Logis

Untuk mencari maksud sebenarnya dari


dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU
dengan menghubungkannya (mencari
hubungannya) denagan rumusan norma yang
lain atau dengan undang-undang yang lain
yang masih ada sangkut-pautnya dengan
rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP)
6. Penafsiran Teleologis
Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan
UU itu.

Contoh :
UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
(dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan
rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu,
selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu
untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang
menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan
kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
7. Penafsiran Analogis
Tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya;

contoh :
Pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan
pebuatan curang pada waktu menyerahkan
keperluan angkatan laut atau angkatan darat;
Bagaimana dengan Angkatan Udara ?
8. Penafsiran Esktensip

Memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu


sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan;

contoh :
Pasal 362 KUHP tentang pencurian barang
(benda). Pencurian “aliran listrik” termasuk juga
pencurian “benda”.
9. Penafsiran a Contrario

Menafsirkan UU yang didasarkan pada


perlawanan pengertian;

Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa


seorang perempuan tidak diperkenankan menikah
lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya
terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan,
bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ?
HUKUM PIDANA MENURUT
TEMPAT DAN ORANG

1. Asas Teritorialitas
Asas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang
berbunyi : “ketentuan pidana Indonesia berlaku
terhadap tiap-tiap orang yang di dalam wilayah
Indonesia sesuatu perbuatan (straftbaarfeit) yang
dapat dihukum melakukan delik.
Disini berarti bahwa orang yang melakukan delik
itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di
Indonesia tetapi deliknya straftbaarfeit terjadi di
wilayah Indonesia;
2. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara


(juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan
yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan
tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar
wilayah kekuasaan itu.

Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP.


Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang no. 4
tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh
pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang
tindak pidana ekonomi.
3. Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif

Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas


ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas
nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasional pasif
(asas perlindungan);

4. Asas Universalitas
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat
berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi
kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang
perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang
jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum
dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena
yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat
terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
SIFAT PIDANA TERHADAP KEJAHATAN
Dalam permasalahan tindak pidana terkait erat hubungan
antara : TINDAKAN dan orang yang melakukan
TINDAKAN. Sebab tidak mungkin ada suatu tindakan
tanpa ada orang yang melakukannya. Oleh karena itu
sangat penting sebagai elemen mendasar dalam rangka
penjatuhan pidana.

TINDAKAN : suatu wujud perbuatan yang dilakukan dan


berakibat.
Dengan demikian, sifat pidana menundukkan diri bahwa
seseorang yang dikenakan sanksi pidana hanya yang
bersalah, di mana kesalahannya dinyatakan terbukti sah
dan meyakinkan.
Jadi tidak semua yang tindak pidana secara otomatis
dipidana;
Melakukan Tindak Pidana Dipidana
Melakukan Tindak Pidana Belum tentu dipidana

SUDARTO :
Di dalam Hukum Pidana, pada umumnya yang
mempertanggungjawabkan adalah si pembuat, walaupun
tidak selalu demikian. Oleh karena itu, ada dua hal yang
perlu dibedakan :

1. Yang melakukan tindakan itu harus orang;


2. Orang yang melakukan tindakan itu harus mampu
bertanggung jawab.
RUSLAN SALEH
SIFAT PIDANA ADANYA UNSUR :

1. Pelaku Kejahatan;
2. Kesalahan dalam Pidana;
3. Kesengajaan (DOLUS);
4. Kealpaan (CULPA);
5. Kemampuan bertanggungjawab;
6. Pembahayaan Masyarakat.
LOCUS DELICTI dan TEMPUS DELICTI
Locus delicti menentukan :
1. Apakah Hukum Pidana Indonesia berlaku terhadap
perbuatan pidana itu atau tidak (Pasal 2 s.d 8
KUHP);
2. Kejaksaan dan pengadilan manakah yang
berwenang mengurus perkara itu.
Locus delicti ada 2 aliran/teori :
3. Aliran yang menentukan di satu tempat, tempat di
mana terdakwa berbuat;
4. Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu
mungkin tempat kelakuan, mungkin tempat akibat.
Tempus delicti : Waktu peristiwa pidana terjadi.
SIFAT MELAWAN HUKUM PIDANA
WEDERRECHTELYK
Terdapat 2 pendapat :

1. Pendirian Formil : Perbuatan sudah ternyata,


mencocoki rumusan wet;

2. Pendirian Materil : belum tentu kalau semua


perbuatan mencocoki rumusan wet bersifat
melawan hukum. Hukum bukan UU saja, masih
ada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
SIMONS
• Untuk dapat dipidana perbuatan harus
mencocoki rumusan delik dalam wet. Jika sudah
demikian, tidak perlu lagi untuk menyelidiki
apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau
tidak; Sedang sifat melawan hukum materil
hanya menempatkan kehendak pembentuk UU
yang telah ternyata dalam hukum positip; namun
tidak selalu yang mencocoki rumusan delik
dalam wet adalah bersifat melawan hukum.
Perkecualian demikian hanya dapat diterima jika
mempunyai dalam hukum positip.
Pendirian Indonesia
• Menganut pendirian materil. Sedang perkecualian
yang tidak bersifat melawan hukum materil disebut
Fungsi Negatip dari sifat melawan hukum materil
(meskipun masuk ke dalam perumusan UU, namun
tidak merupakan perbuatan pidana.

Sedang Fungsi Positip : Perbuatan tidak dilarang oleh


UU, namun oleh masyarakat dianggap keliru bukan
merupakan melawan hukum berhubung dengan asas
legalitas;

SELEBIHNYA PASAL 1365 KUH-Perdata


TEORI ABSOLUT

 Menitikberatkan perhatian kepada segi perbuatan


dan tidak kepada orang, sehingga muncul paham
negativisme yang menjatuhkan hukuman kepada
siapapun yang berbuat kejahatan. Secara absolut
tidak ada unsur yang meringankan ataupun
memberatkan hukuman dalam rangka mencapai
rasa aman bagi masyarakat.
 Balas dendam terhadap kejahatan;
 Hakim tidak punya wewenang dan hakim sebagai
mulut hukum/undang-undang (negativisme)
TEORI RELATIF (POSITIFISME)
 Hukuman tidak selalu diwujudkan dengan hukuman
badan, tetapi juga dalam bentuk denda. Hakim punya
kebebasan, punya kekuasaan mandiri tidak dapat
diintervensi oleh penguasa;
 Terdapat unsur meringankan dan memberatkan;
 Berusaha memperbaiki kondisi pelaku kejahatan dan
ada upaya mencegah terjadinya kejahatan;

Jadi Ilmu Pengetahuan Pidana telah mengembangkan


fungsi primer ataupun subsider (hukuman pokok+denda).
Sehingga Hukum Pidana menjaring perbuatan tercela
agar tindakan yang merugikan masyarakat relative kecil;
Tujuan Hukum Pidana yang Diterapkan Melalui
Sanksi

1. Sebagai upaya pencegah terjadinya tindak


kejahatan dengan menegakkan norma hukum
demi perlindungan masyarakat;
2. Membina dan memasyarakatkan terpidana agar
menjadi sumber daya manusia yang berguna;
3. Sebagai jalan penyelesaian konflik yang
disebabkan tindak pidana;
4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada diri
terpidana
TEORI-TEORI HUKUM PIDANA
ALIRAN KLASIK (Imanuel Kant, Plato, Jeremy
Bentham) :

Tidak ada manusia melakukan kejahatan jika ada kesadaran. Ciri-


cirinya :
 Bersifat pembalasan (revenge) ;
 Memberikan definisi tiap-tiap perbuatan, mis : mencuri adalah
mengambil sesuatu tanpa hak;
 Pidana harus dikenakan sesuai dengan tingkat kejahatan;
 Menganut doktrin kebebasan berkehendak (indeterminisme);
 Pidana mati ditentukan pada beberapa jenis kejahatan yang
dilakukan;
 Tidak ada reset empiris (penelitian yang mendasarkan pada
pengalaman yang mendalam;
 Pidana ditentukan dengan pasti;
ALIRAN NEO KLASIK (Cesar Lambroso, Enrico
Ferry, Garnoval) :

Pada dasarnya manusia itu baik hanya dipengaruhi lingkungan


dan keadaan sekitarnya. Ciri-cirinya :
 Bersifat pembinaan (treatment);
 Memiliki doktrin indeterminisme tetapi dimodifkasi dengan
pertimbangan patologi, factor ketidakmampuan pelaku,
penyakit jiwa yang diidap, dan kondisi lain dipertimbangkan
oleh hakim dalam mengambil putusan;
 Adanya alas an menghapus, meringankan pidana;
 Ada faham tidak semua perbuatan melawan hokum pelaku
dapat dipidana;
 Menerapkan saksi dalam acara peradilan;
 Memperhitungkan kondisi subyek pelaku pada saat terjadi
kejahatan.
ALIRAN MODERN (ABAD 19)/ALIRAN POSITIFISME
(John Austin, Hans Kelsen) :

Hukum Pidana bersifat Pembalasan dan


Pembinaan. Ciri-cirinya :
 Menolak definisi hukum kejahatan;
 Pidana harus disesuaikan dengan pelakunya;
 Menganut doktrin manusia tidak mempunyai
kebebasan berkehendak;
 Menghapuskan pidana mati;
 Melakukan reset empiris;
 Pemberian pidana yang tidak ditentukan secara
pasti, mis : minimum 3 bulan, maksimum 1 tahun.
PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA
Dalam KUHP Indonesia (wetboek van strafrecht) yang
diterima dari Belanda, penggolongan tindak pidana
hanya 2 (dua), yakni :
1. Tindak Pidana Kejahatan (TPK) (biasa & ringan);
2. Tindak Pidana Pelanggaran (TPP).

Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan, namun


perbedaan dapat dilihat dari :
3. Secara kwalitatif : unsur perbuatan melawan hukum
masing-masing dimiliki dalam TPK & TPP;
4. Secara kwantitatif : perbedaan terletak dalam
penegasan UU dan lamanya penjadwalan proses dan
beratnya hukuman
JONKERS :

Tentang sifat TPK lebih mengarah kepada suatu tindakan yang


bertentangan dengan pikiran dan bathin manusia pada
umumnya;

Secara filosofis, TPK digolongkan sebagai DELICT


HUKUM/RECHTS DELICTEN (RD), sehingga dapat dibedakan
dengan TPK yang belum tentu bertentangan dengan pikiran
dan bathin manusia, tetapi oleh UU suatu tindakan
dikategorikan sebagai kejahatan maupun sebagai pelanggaran
(Wet Delicten (WD)).
RD : rumusan materil (berkaitan dengan norma susila,
agama, adat)
WD : rumusan formil (berkaitan dengan kepentingan umum)
Letak perbedaan TPK & TPP yang terdapat di KUHP yang
ditinjau dari hasil/akibat perbuatan yang terpenting
adalah :
1. Dalam TPK terdapat pembagian kejahatan
(misdrijven) : TPK dengan sengaja (opzetlijk misdrijven)
(ps 340) dan TPK karena kesalahan (schuld misdrijven)
(ps 359). Sedang dalam TPP baik sengaja maupun
kesalahan tidak menjadi unsur bagi pemberian
hukuman;
2. Percobaan dalam TPK dihukum (ps 53), sedang
percobaan dalam TPP tidak dihukum (ps 54);
3. Proses TPK lebih lama dari TPP;
4. TPK dipenjara, TPP dikenakan denda atau kurungan;
5. Lalai dalam TPK dihukum, lalai dalam TPP dihukum
tambahan;
LICHTI MISDRIJVEN
Mvt : memperjelas apa yang dimaksud oleh para ahli hukum tentang Kejahatan
Ringan ditinjau dari kwalitas dan kwantitas (sebagai akibat).
Apabila ukuran ringannya menurut tindakan dalam suatu peristiwa pidana
(strafbarefeit) :

1. Penganiayaan ringan terhadap hewan (ps 302);


2. Penghinaan ringan terhadap orang namun sifatnya tidak merugikan sebagai
pencemaran nama baik (ps 315);
3. Penganiayaan ringan terhadap orang namun sifatnya tidak menjadi
penghalangmelanjutkan pekerjaan (ps 352);
4. Pencurian ringan terhadap barang di luar pekarangan rumah tertutup yang
harganya tidak lebih Rp.10.000,- (ps 364);
5. Penggelapan ringan (ps 373) yang harganya tidak lebih Rp.10.000,-;
6. Penipuan ringan (ps 379) dan juga penipuan ringan terhadap penjualan barang
(ps 384);
7. Perusakan barang (ps 407) meskipun masuk ke dalam TPK, asalkan harganya
tidak lebih dari Rp.250.- (Perppu 16/1960).
Umumnya Kejahatan Ringan diancam pidana paling lama 3 bulan atau denda.
DELIK MATERIL dan DELIK FORMIL

Delik Materil : salah satu tindak pidana yang


dirumuskan sebagai perbuatan yang menimbulkan
akibat tertentu tanpa melihat sebab dari perbuatan itu.

Mis: Ps. 338


Peristiwa hilangnya nyawa orang lain yang berakibat
kematian sebagai persoalan pokok di dalam Delik
Materil. Sedangkan penyebab kematian tidak penting
dipersoalkan. Jadi yang dilihat adalah akibat perbuatan
itu terhadap korban dan bukan kenapa dilakukan itu.
Delik Formil : Perbuatan yang dirumuskan sebagai
perbuatan/tindak pidananya tanpa melihat akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan itu.

Mis: Ps 362
“mengambil barang tanpa mempersoalkan akibat
tertentu”

Mis: Ps 263
“membuat dengan cara memalsukan” tanpa
mempersoalkan akibat tertentu.

SUDAH DILARANG TETAPI MASIH DILANGGAR


TINDAK PIDANA TIDAK BERBUAT

Dalam Ilmu Hukum Pidana selain ada larangan


berbuat (melakukan), maka timbul suatu
kewajiban yang harus dilakukan yang apabila
tidak dilakukan akan diancam pidana.

Mis:
• Ps 164 tentang Permufakatan jahat;
• Ps 531 tidak memberikan pertolongan;
• Ps 224 tidak memenuhi panggilan
KESENGAJAAN

“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste) richting van den wil op


een bepaald misdrijven, (Kehendak yang disadari yang
ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu).

1. Willstheori (teori kehendak) dianut oleh SIMONS


& POMPE

Kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada


terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet
(SIMONS), kehendak untuk berbuat dengan mengetahui
unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (POMPE);
2. Teori Pengetahuan – diajarkan oleh FRANK, dianut
oleh Van HAMEL

Kesengajaan mempunyai gambaran tentang apa yang


ada dalam kenyataan, jadi mengetahui (mengerti).

Tentang kedua-duanya teori di atas :


POMPE : perbedaan tidak terletak pada kesengajaan
melakukan perbuatan positip atau negatip, tetapi
dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur;

Van HATTUM : Perbedaan tidak terletak dalam bidang


yuridis tetapi dalam bidang psikologis, sehingga pada
umumnya perbedaan tampak pada terminology saja
MOELJATNO

Menganut teori Pengetahuan, karena dalam kehendak dengan


sendirinya diliputi pengetahuan, SEBAB untuk menghendaki sesuatu
itu terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan
(gambaran) tentang sesuatu itu. Tetapi apa yang diketahui seseorang
belum tentu dikehendaki olehnya.

Kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana


berhubungan dengan motif.
Untuk menentukan suatu perbuatan dikehendaki terdakwa :

1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan sesuai dengan motifnya untuk


berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai;
2. Antara motif, perbuatan, dan tujuan harus ada hubungan causal
dalam bathin terdakwa.
3 Tingkatan Kesengajaan
1. Kesengajaan sebagai tujuan/murni;
2. Kesengajaan sebagai kepastian;
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan.

Kecuali kesengajaan atau kealpaan terhadap unsur


delik yang tertentu yang masing-masing kesengajaan
dan kealpaan, dalam KUHP dijumpai juga rumusan
delik berbareng kesengajaan atau kealpaan.
(Konsep kesalahannya adalah hubungan batin dengan
sifat melawan hukumnya, sekalipun tidak sengaja,
cukup berbentuk kealpaan).
PEMBAGIAN DELIK
1. Delik Dolus : diperlukan adanya kesengajaan (Pasal
338, 340, 187, dll);
2. Delik Culpa : dapat dipidana bila kesalahan berbentuk
kealpaan (Pasal 359, 360, 189, dll);
3. Delik Commissionis : Perbuatan yang dilarang (Pasal
362, 372, 378, dll);
4. Delikta Commissionis : Tidak berbuat, padahal
seharusnya berbuat (Pasal 164, 224, 531);
5. Delik Biasa dan Delik yang dikualifisir. Pasal 362 – 363;
351-353-355-356;
6. Delik Menerus dan Delik Tidak Menerus [Pasal 333,
221 (sejak penculikan sampai dilepaskan)]
CONDITIO SINE QUA NON
Merupakan syarat tanpa mana tidak. Tiap-tiap syarat
adalah musabab yang tak dapat dihilangkan untuk
timbulnya AKIBAT. Tiap-tiap sebab adalah sama nilainya,
equivalent (Bedingungstheorie).

Van HAMEL
Conditio sine qua non harus dilengkapi dengan teori
SCHULDLEER, namun bagi MOELJATNO dengan
melengkapi teori schuldleer maka akan tidak berguna bagi
delik yang dikualifisir (dilihat dari akibat yang ditimbulkan)
tetapi bagi Van Hamel, keliru mengadakan pemberatan
pidana tanpa melihat kesalahan dan delik dikualifisir tidak
perlu diadakan dalam wet tetapi diserahkan pada hakim;
Batasan antara SYARAT dan MUSABAB

1. GENERALISEERINGTHEORIE : mengadakan batasan


umum abstrak, tidak terikat pada perkara tertentu
saja karena itu mengambil pendirian pada saat
sebelum timbul akibat (ante faktum);

2. INDIVIDUALSEERINGTHEORIE: mengadakan
batasan khusus konkret mengenai perkara tertentu
saja karena itu mengambil pendirian harus pada
saat sesudah timbul akibat (post faktum)
Teori-teori Generaliseering
J von Kries (mathematics) :
ADEQUAT TEORI : Musabab dari suatu kejadian adalah
syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian
normal yang mampu menimbulkan akibat atau
kejadian tersebut.
SIMONS :
Karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat
(tidak perlu terdakwa terikat pada apa yang diketahui
atau dikira-kira).
POMPE :
Tendens, Strekking : Mengandung kekuatan
menimbulkan akibat (apakah hal itu syarat atau hal itu
musabab)
PERCOBAAN
Diatur dalam Pasal 53 KUHP
Unsur-unsurnya :
1. Ada Niat;
2. Adanya Permulaan Pelaksanaan;
3. Perbuatan tidak selesai bukan karena kehendak pelaku.
SIMONS
• Delik Formal yaitu delik yang dianggap selesai dengan
dilakukannya perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman;
• Delik Materil yaitu delik dianggap selesai dengan
timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman.
PERCOBAAN SUBYEKTIF :
Dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sikap bathin atau watak yang
berbahaya dari si pelaku;
contoh : Kejahatan Makar

PERCOBAAN OBYEKTIF
Dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat bahayanya perbuatan;
contoh : Kejahatan terhadap orang
PENYERTAAN
Terdapat 2 pandangan/teori :
1. Dengan dasar memperluas dapat dipidananya orang
atau pelaku;
2. Dengan dasar memperluas dapat dipidananya
perbuatan.
MOELJATNO
Teori yang pertama sesuai pandangan individual, karena
yang diutamakan adalah dapat dipidananya orang;
Teori yang kedua sesuai dengan alam Indonesia, karena
yang diutamakan adalah dapat dipidananya perbuatan.
Penyertaan
• Diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP;
• Pasal 55 merumuskan Pelaku, sedang Pasal 56
merumuskan Pembantu.
PASAL 55, disebut Pelaku (PLEGER):
(1) Pelaku, Yang menyuruh melakukan, Yang turut
serta melakukan.
(2) Penganjur.

PASAL 56, disebut pembantu (medeplichtig) :


(3) Pembantu pada saat kejahatan dilakukan (aktif);
(4) Pembantu setelah kejahatan dilakukan (pasif)
SAMENLOOP VAN STRAFBAREFEITEN

Adalah gabungan beberapa tindak pidana :


Seorang melakukan beberapa tindak pidana yang
salah satunya belum mendapat ponis hakim. Apabila
telah mendapat ponis hakim (recidive);
SAMENLOOP :
1. Gabungan satu perbuatan (concursus idealis);
2. Perbuatan yang diteruskan (voortgezette
handeling);
3. Gabungan beberapa perbuatan (concursus realis).
COCURSUS IDEALIS

Melakukan suatu perbuatan termasuk beberapa


ketentuan pidana (kejahatan) yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya (condition sine quo
non), dikenakan pasal yang terberat ancamannya.
Bila termasuk kejahatan dan pelanggaran dikenakan
seluruh ancaman pasal;
Bila termasuk pelanggaran dan pelanggaran
dikenakan seluruh ancaman pasal dengan ketentuan
dalam hal ancaman kurungan, maka hukuman max 1
tahun 4 bulan dan dalam hal kurungan pengganti
tidak boleh melebihi 8 bulan.
PERBUATAN YANG DITERUSKAN
(voortgezette handeling)

Melakukan satu jenis perbuatan pidana ringan


(enteng) walaupun perbuatan masing-masing
menjadi kejahatan atau pelanggaran disatu hari
kemudian melakukan kembali perbuatan sejenis
di hari lain dst, dipandang sebagai perbuatan
yang diteruskan maka dikenakan pidana terberat.
CONCURSUS REALIS

Gabungan dari beberapa perbuatan yang


masing-masing dipandang berdiri tersendiri-
sendiri dan masing-masing merupakan
kejahatan yang diancam hukuman sejenis, maka
satu hukuman saja yang dijatuhkan yaitu jumlah
hukuman-hukuman tertinggi perbuatan itu yang
tidak boleh melebihi hukuman maksimum yang
paling berat ditambah sepertiganya.
HAL-HAL YANG MENGHAPUS, MERINGANKAN DAN
MEMBERATKAN HUKUMAN

• Ontoerekenbaarheid (tidak dapat dipertanggung


jawabkan suatu perbuatan pada diri sipelaku)
disebut sebagai Strafuitsluitingsgroond (dasar
meniadakan hukuman). Diatur dalam Pasal 44:
1. verstandelyke vermogens (kurang sempurna akal)
termasuk geest vermogens (kurang sempurna
jiwa);
2. Sakit gila, idiot, embicil, dll penyakit jiwa.
3. Terganggu pikiran.
KEADAAN TERPAKSA
M.v.T :
Overmacht dilukiskan sebagai setiap kekuatan
(kekuasaan), setiap tekanan atau paksaan,
terhadap keadaan-keadaan mana orang tidak
mampu memberikan perlawanan. (Van Hattum)
Overmacht-Pasal 48 :
Berupa keadaan terpaksa secara fisik (oleh pihak
ketiga) dan psikis (terpaksa memilih) dan keadaan
darurat (inisiatif) :
1. Secara fisik Fisik Pelaku tidak bebas (absolut);
2. Secara psikis Fisik Pelaku bebas (relative).
3. NOODTOESTAND – Keadaan Darurat (inisiatip
pelaku) :
1. Pertentangan antara dua kepentingan
hukum;
2. Pertentangan antara kepentingan hukum
dan kewajiban hukum;
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum.
PEMBELAAN DIRI

Pasal 49
(1) NOODWEER (Pembelaan Darurat);
(2) NOODWEER EXCES
TEORI-TEORI PEMIDANAAN

1. Absorsi : Pidana Tertinggi;


2. Cumulatif : Penjumlahan Perbuatan.
(biasanya dalam tindak pidana pelanggaran);
3. Absorsi diperkeras :Pidana Tertinggi di tambah
1/3 ancaman Pidana Tertinggi;
4. Cumulatif diperlunak : hukuman cumulative
yang dijatuhi diperlunak tapi tidak boleh
melampaui absorsi diperkeras.

Anda mungkin juga menyukai