Anda di halaman 1dari 5

BAB I

Pengertian hokum pidana

Berikut ini disajikan beberapa pengertian hokum pidana dari pendapat beberapa ahli hokum:

1. J.M Van Bemmelen

Hukum pidana terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat
diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan-
perbuatan itu. (Van Bemmelen: 2)

2. Utrecht

hokum pidana merupakan hokum sanksi istimewa, dan hanya mengambil alih hokum lain dan
kepadanya dilekatkan sanksi pidana. (Utrecht:59)

3. Mezger

Hukum pidana adalah aturan hokum yang mengaitkan kepada suatu perbuatan tertentu yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.(Sudarto:1)

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hokum pidana adalah
aturan yang menentukan dasar-dasar negara untuk:

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai
ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Bagian hokum pidana yang pertama ini disebut dengan tindak pidana. Sumber pokoknya Buku II dan III
KUHP.

2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan. Bagian ini dapat disebut dengan
asas-asas umum hokum pidana. Sumber utamanya adalah Buku I KUHP.

II. Jenis-jenis hokum pidana

Hokum pidana dapat dibagi atau dibeda-bedakan atas dasar antara lain sebagai berikut:

1. hokum pidana dalam arti objektif (ius poenale) dan dalam arti subjektif (ius poeniendi).

a. Ius poenale adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang apabila
dilanggar diancam dengan hukuman. Ius poenale dibagi menjadi:

Hukum pidana materiil, dapat disebut juga dengan hokum pidana dalam keadaan diam ditemui
terutama di dala KUHP:
Hokum pidana formil, disebut juga dengan hokum acara pidana, berupa hokum pidana dalam
keadaan bergerak. Sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara
mempergunakan haknya untuk melaksankan hokum.
2. hokum pidana dalam arti subjektif (Ius puniendi): sejumlah peraturan yang mengatur hak negara
untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak negara untuk menghukum.
2. Hukum pidana dalam keadaan diam dan dalam keadaan bergerak.
Atas dasar ini, hokum pidana dibedakan antara hokum pidana materiil dan hokum pidana formil atau
hokum acara pidana sebagaimana telah dibicarakan diatas.

3. atas dasar subjek hokum atau pada siapa berlakunya hokum pidana.
Dapat dibedakan antara hokum pidana umum (ius commune) dan hokum pidana (ius speciale).
Hokum pidana umum (ius commune) memuat aturan hokum pidana yang berlaku bagi setiap
orang dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hokum tertentu. Setiap warga negara
harus tunduk dan patuh terhadap hokum pidana umum, Contoh: KUHP.
Sedangkan hokum pidana khusus (ius speciale) memuat aturan hokum pidana yang berlaku bagi
subjek hokum/orang-orang tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu.
Misalnya hokum pidana yang dimuat dalam bab XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan
yang hanya diperuntukan dan berlaku bagi orang-orang warga penduduk negara yang
berkualitas sebagai pegawai negeri saja, atau hokum pidana militer yang hanya berlaku bagi
subjek hokum anggota TNI saja.

4. hokum pidana dikodifikasi dan hokum pidana yang tidak dikodifikasikan

Hokum pidana yang dikodifikasikan adalah hokum pidana yang dibukukan, misalnya KUHP, KUHP Militer.
Kodifikasi (asal kata codex, latin) adalah pembukuan hokum undang-undang dalam bidang tertentu
dengan system tertentu secara lengkap oleh suatu negara.

Sedang hokum pidana yang tidakdikodifikasikan adalah hokum pidana yang tersebar diluar hokum
pidana yang dikodifikasikan.

5. berdasarkan tempat berlakunya hokum pidana dibedakan:

a. hokum pidana umum, adalah hokum pidana yang dibentuk oleh Pemerintahan Negara Pusat yang
berlaku bagi subjek hokum yang berada dan berbuat melangar hokum pidana di seluruh wilayah hokum
negara. Hokum pidana yang dimuat dalam KUHP berlaku bagi setiap orang yang melanggar larangan di
wilayah hokum Negara Republik Indonesia.

b. hokum pidana local, adalah hokum pidana yang dibuat oleh pemerintah Daerah yang berlaku bagi
subjek yang melakukan perbuaatan dilarang hokum pidana di dialam wilayah hokum pemerintahan
daerah tersebut. Hokum pidana local dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah, baik tingkat Provinsi,
Kabupaten, maupun Pemerintah Kota.

6. berdasarkan wilayah berlakunya, hokum pidana dibedakan:

a. hokum pidana nasional, bahwa atas dasar kedaulatan suatu negara dalam mengurus dan mengatur
serta melindungi kepentingan hokum rakyat, bangsa, dan negaranya dalam hal berlakunya hokum
pidana, semua negara menggunakan asas teritorialitet.

b. hokum pidana internasional, adalah hokum pidana yang dibuat, diakui, dan diberlakukan oleh banyak
atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi
hokum bangsa-bangsa.

7. berdasarkan bentuknya, dapat dibedakan antara Hukum pidana tertulis dan hokum pidana tidak
tertulis (Hukum adat pidana)
Hokum pidana tertulis adalah semua ketentuan hokum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang
baik yang dikodifikasikan maupun tidak. Sedangkan hokum pidana yang tidak tertulis adalah norma
hokum pidana yang hidup di dalam kelompok masyarakat tertentu walaupun tidak dirumuskan dalam
undang-undang.

Perbedaan antara hokum public dan hokum privat

Hukum public :

a. mengatur hubungan yang sub-ordinair, membawahi dimana terdapat hirarki antara negara dan
penduduk;

b. mengatur kepentingan umum; harus dipertahankan oleh alat negara; misalnya oleh penuntut umum
dalam hubungan dengan hokum pidana berlaku khusus (ius speciale), hokum ini memberi kekuasaan
khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan, misalnya mencabut suatu hak untuk
kepentingan umum.

Hokum privat :

a. mengatur hubungan yang kedudukannya sejajar yakni antara penduduk dengan tidak memperhatikan
tingkat kedudukannya di dalam masyarakat, tingkat intelektualnya, dst.

b. mengatur kepentingan perorangan.

c. yang ingin mempertahankannya diserahkan kepada orang yang berkepentingan sendiri; misalnya
dalam soal hutang-piutang

c. menurut Mr. Hk. Hamaker, hokum perdata merupakan hokum umum (ius commune), bahwa hokum
perdata ini berlaku baik untuk pemerintah maupun rakyat.

BAB II

Hukum Pidana di Indonesia

Hukum pidana tertulis sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi tiada
suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya perbuatan itu dilakukan.

Sedangkan hokum pidana yang tidak tertulis tidak dapat dijalankan oleh negara karena tidak
terdapatnya kesatuan hokum dan kepastian hokum. Kemungkinan untuk dapat memberikan
kemungkinan untuk memberlakukan hokum pidana tidak tertulis (hokum pidana adat) yaitu terdapat
pada Pasal 5 ayat (3) sub (b) UU No. 1 Drt. Th. 1951, pasal ini memungkinkan penyimpangan terhadap
asas lex certa sebagaimana diatur dalam asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
tersebut. Penyimpangan dilakukan dengan mengakui berlakunya hokum yang hidup yang menentukan
bahwa adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tidak ada persamaannya dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini menjadikan hokum adat sebagai sumber hokum dalam
arti positif.

II. KUHP : Sejarah berlakunya dan sistematikan KUHP

1. sejarah berlakunya KUHP

Induk peraturan hokum pidana positif ialah kitab undang-undang hokum pidana yang kemudian disebut
dengan KUHP, sebenarnya nama aslinya ialah Wetboek van Strafrecht voor Nenerland Indie
(W.v.S.v.N.I), sebuah Titah Raja (Koninkklijk Besluit atau disingkat K.B.), tanggal 15 Oktober 1915 No. 33
dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Kemudian untuk memahami sejarah KUHP di Indonesia
berikut ini disampaikan tahap-tahap kronologis berlakunya KUHP, sebagai berikut:

Tahap I : sebelum belanda datang ke wilayah Nusantara (Indonesia), pada waktu itu Hukum Pidana
hanyalah berupa Hukum Pidana Adat yang sebagian besar merupakan hokum tidak tertulis dan berlaku
dalam isi, tempat /golongan yang berbeda-beda (pluralitas). Hanya sebagian kecil saja Hukum Pidana
Adat yang sudah tertulis pada waktu itu, tetapi hanya berlaku secara local didalam wilayah kerajaan-
kerajaan yang membuatnya masing-masing saja.

Tahap II : setelah belanda bercokol di Nusantara, maka di negeri ini terjadi dualisme hokum pidana yakni
adanya deferensiasi yaitu Hukum pidana yang yang berlaku bagi orang-orang belanda ini termuat dalam
Wetboek van Strafrecht voor de Europeanen dan hokum yang berlaku bagi orang-orang Bumi Putera
(Pribumi Indonesia) dan golongan Timur Asing (Arab, India, Cina dan sebagainya) yang aturannya
termuat dalam Wetboek van Strafrecht.

Tahap III: pada tahun 1915 diumumkan adanya KUHP (WvS voor Nederlandsche Indie) yang baru, dan
KUHP tersebut baru berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 bagi semua penduduk di wilayah Hindia-
Belanda dengan menghapus kedua KUHP (Wetboek van Strafrecht voor de Eropean dan Wetboek van
Strafrecht). KUHP nasional Belanda yang telah ada sejak tahun 1866, melalui beberapa perubahan,
tambahan/penyelarasannya untuk disesuaikan dengan keadaan di Hindia/Belanda pada waktu itu (asa
Concordansi).

Tahap IV : pada tanggal 8 maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia setelah berhasil mengalahkan
Belnada, dan sejak saat itu jepang memberlakukan Undang-undang(Osamu Seirei) No. 1 Th. 2602
tentang menjalankan pemerintahan balatentara, mulai tanggal 7 bulan 3 tahun Syoowa (2602),
bertepatan dengan 7 mater 1942, di dalam pasal 3 nya ditentukan :

semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang
dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer.

Sistematika KUHP

KUHP terdiri dari 3 buku, yaitu:

Buku pertama I : Tentang ketentuan -ketentuan umum (Pasal 1 -103).


Buku Kedua II : Tentang kejahatan, (Pasal 104 488).
Buku Ketiga III : Tentang Pelanggaran, (Pasal 489-569).

IV. Sekilas Tentang Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Karena pada alasan politis (kebanggan nasionalisme untuk memiliki KIHP Nasional sendiri), alasan
sosiologis (merupakan tuntutan social untuk mempunyai KUHP yang bersendikan system nilai nasional),
alasan praktis (adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia) bangsa Indonesia perlu melakukan
pembaruan hokum pidana. Khusus sepanjang berkaitan alasan sosiologis, hal ini dapat mencakup baik
hal-hal yang bersifat ideologis yang bersumber yang bersumber pada falsafah bangsa Pancasila, maupun
hal-hal yang bersumber pada mencakup baik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan
tradisi Indonesia, sepanjang hal tersebut tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa (Muladi, 1990,
h.3).

Anda mungkin juga menyukai