Anda di halaman 1dari 6

NAMA: ELZA KHOIRUNNISA

NPM: 2112011118
MATA KULIAH: PENGANTAR HUKUM INDONESIA
DOSEN: DIANE EKA RUSMAWATI, S.H., M.HUM.

RESUME HUKUM PIDANA

BAB I
PENGERTIAN, FUNGSI, DAN TUJUAN, SERTA SUMBER HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana


Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, bahwa hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana. Kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa memberikan
(menjatuhkan) kepada seorang sebagai hal yang tidak mengenakan dan juga tidak sehari-hari
diberikan.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang telah melanggar larangan
tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi sanksi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yanag disangka telah melanggar larangan tersebut.

B. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana


1. Fungsi yang umum
Hukum pidana pada dasarnya merupakan bagian dari keseluruhan lapangan hukum, oleh
karenanya fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu mengatur
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan
perbuatan-perbuatan yang “social relevant”, artinya yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat.
Hukum pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila.
Demikian juga hukum pidana. Sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang sangat tercela dan
bertentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum pidana (negara) tidak turun tangan (campur
tangan), karena tidak dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang benar-benar
hidup dalam masyarakat.
2. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang
hendak memperkosanya (Rechtguterschautz) dengan sanksi yang berupa pidana, yang sifatnya lebih
tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-
kepentingan hukum (benda hukum) ini boleh dari orang seorang, badan (korpoassi) atau kolektiva,
misalnya masyarakat, negara dsb. Sanksi yang tajam ini dapat mengenai harta benda, badan, bahkan
kadangkadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa
hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.

C. Sumber Hukum Pidana Indonesia


1. Hukum pidana tertulis
Sebagai induk (sumber utama) peraturan hukum pidana Indonesia adalah KUHP. Nama aslinya
adalah “Wetboek van Strafrecth voor Nederlandsch Indie” (WvSNI atau WvS).
2. Hukum pidana tidak tertulis
Sumber hukum pidana tidak tertulis ini adalah hukum pidana adat. Dasar hukum berlakunya hukum
pidana adat, pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, adalah Indische Staat Regeling (I.S) Pasal
131 Jo Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B).

BAB II
ASAS BERLAKUNYA PERATURAN HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU DAN MENURUT
TEMPAT

A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu (Asas Legalitas)


Peraturan hukum, termasuk peraturan hukum pidana, pada dasarnya berlaku untuk masa yang
akan datang (ke depan), artinya berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada waktu sesudah
hukum (UU) ditetapkan.
Kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Proses ini
diakhiri dengan terbentuknya UU, artinya suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana dan
dapat dipidana apabila sudah ditetapkan dalam UU. Di samping kriminalisasi, ada dekriminalisasi,
yaitu proses penghapusan sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.
Dalam kaitannya dengan masalah penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam UU,
sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi individu dan sisi
masyarakat. Dari sisi individu, yang menjadi objek adalah keharusan untuk melindungi individu
terhadap negara (to protect the individu againt the state). Hal ini disekpresikan dalam bentuk
peribahasa (maxim) “Nulla poena sine lege”. Dari sisi masyarakat, yang menjadi objek adalah
keharusan melindungi masyarakat terhadap penjahat yang tercermin dalam peribahasa “Nullum crimen
sine poena”.
Anselm von Feuerbach (1775-1883), pada tahun 1801, dalam bukunya “Lehrbuch Des Peinlichen
Rechts”, merumuskan asas-asas tersebut meliputi: (a) “Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa
undang-undang), (b) “nulla poena sine crimine“ (tiada pidana tanpa kejahatan), (c) “Nullum crimen
sine poena legali” (tiada kejahatan tanpa hukum (UU) pidana). Rumusan tersebut juga dirangkum
dalam satu kalimat, yaitu “Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali (tiada tindak
pidana, tidak ada pidana, tanpa adanya aturan hukum pidana lebih dahulu). Asas-asas tersebut juga
disebut sebagai “asas legalitas”, yaitu sebagai asas yang fundamental.

C. Asas Retroaktif dalam Masa Hukum Peralihan


Asas legalitas (Pasal 1 KUHP) merupakan asas mengenai “ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu”, yang pada dasarnya terdiri dari dua asas, yaitu:
1. asas mengenai berlakunya hukum pidana “pada waktu tindak pidana dilakukan”, diatur dalam
Pasal 1 ayat (1), dan dikenal dengan asas “lex temporing delicti” atau asas “nonretroaktif ”;
dan
2. asas mengenai berlakunya hukum pidana “pada waktu ada perubahan perubahan perundang-
undangan atau dalam masa transisi”, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), dan dikenal dengan asas
“retroaktif ”
Pasal 1 ayat (2) KUHP berbunyi:
“Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling meringankan”
Ketentuan tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) menurut Barda Nawawi Arief bukan merupakan dasar
hukum untuk berlakunya peraturan hukum pidana secara surut (retroaktif), melainkan hanya
memberikan pedoman kepada penegak (aparat pelaksana) hukum mengenai ketentuan hukum pidana
mana yang berlaku dalam masa transisi, yakni dalam terjadi perubahan perundangundangan pidana.
Dalam masa transisi, di mana akan ada (berlaku) dua peraturan hukum pidana, peraturan hukum
pidana yang diberlakukan adalah yang paling menguntungkan terdakwa. Jadi, menurut pasal ini,
bilamana terjadi masa transisi, maka ada dua kemungkinan, pertama, peraturan hukum pidana lama
yang berlaku, yakni apabila dipandang lebih meringankan/ menguntungkan terdakwa; atau kedua,
peraturan hukum pidana baru yang berlaku, yakni apabila dipandang lebih meringankan/
menguntungkan terdakwa. Asas ini mengandung “prinsip/asas subsidiaritas”.
RESUME HUKUM ACARA PIDANA

BAB I
PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formal disebut dengan
“Strafvordering”, dalam bahasa Inggris disebut “Criminal Procedure Law”, dalam bahasa Perancis
“Code d’instruction Criminelle”, dan di Amerika Serikat disebut “Criminal Procedure Rules”. Simon
berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur
bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum
dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya (Het formele strafrecht
regelt hoe de Staat door middel van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoolegging doet gelden,
en omvat dus het strafproces ). Hal ini dibedakan dari hukum pidana material, atau hukum pidana yang
berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu
perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur
kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Menurut Van Bemmelen ilmu hukum acara
pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan
terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Sedangkan menurut Van Hattum, hukum pidana formal
adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara nyata (Het formele strafrecht bevat de voorshriften volges welke het abstracte
strafrech in concretis tot gelding moet worden gebracht ). Satochid Kertanegara menyatakan bahwa
Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana dalam arti “concreto” yaitu mengandung peraturan
mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawa ke dalam suatu in concreto. Hukum Acara
Pidana menurut pendapat Andi Hamzah. memiliki ruang lingkup yang lebih sempit yaitu dimulai dari
mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh
jaksa.

B. Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia


1. Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda
Pada tanggal 1 Agustus 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desember 1847
Staatblaad No. 57 maka di Indonesia (Hindia Belanda), berlakulah Inlands Reglements atau di
singkat IR. Diberlakukan hukum IR (Inlands Reglements staatblaad No.16) untuk orang pribumi dan
Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Regelement of strafvordering (Hukum Acara Pidana)
dan reglement of the burgelijke recht vordering (hukum acara perdata) untuk bangsa Eropa. Nama
pengadilannya adalah Raad Van Justitie yang sekarang menjadi pengadilan tinggi. IR masih memuat
Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Rancangan IR tersebut penyusunannya diketahui
oleh Mr. Wichers dan mendapat tanda tangan dari Gubernur Jenderal Rochussen sehingga
mengalami perubahan. Akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan Raja Belanda melalui firman
Raja tanggal 29 September 1849 diumumkan dan disebarluaskan dalam Staatblaad 1849 No. 63.
Setelah IR diubah beberapa kali akhirnya dengan Staatblaad 1941 No. 44 diumumkan dengan Het
Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR. Diberlakukan HIR untuk orang-orang pribumi dan
Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Nama pengadilannya adalah Landrad yang sekarang
menjadi Pengadilan Negeri.

2. Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang


Pada zaman Jepang tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. UU No. 1 Tahun 1942
tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3, menyatakan: Semua badan Pemerintah tetap diakui asal tidak
bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.

3. Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia


Berdasar ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala badan Negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945
ini”. Dengan Aturan peralihan ini maka secara sah HIR masih tetap berlaku, namun pada tahun 1948
HIR diganti namanya menjadi Reglements Indonesia yang diperbaharui dan disingkat RIB. Dengan
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 HIR/RIB diunifikasikan dan berdasar Pasal 6 ayat 1 maka HIR/RIB
dipakai sebagai pedoman Hukum Acara Pidana berlaku sampai tahun 1981.

C. Tujuan Hukum Acara Pidana


Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundangundangan baru
terutama sejak pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam
kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah disusunnya KUHAP. Apabila diteliti
beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP
memiliki lima tujuan sebagai berikut.
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
3. Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai tujuan Hukum Acara Pidana
yakni
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Jika menilik rumusan tersebut di atas maka dapat dirinci tujuan Hukum Acara Pidana sebagai
berikut.
1. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui
penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
2. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan
suatu tindak pidana.
3. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu
tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Tujuan Hukum Acara Pidana ini sejalan dengan fungsi hukum menurut van Bemmelen yaitu
mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan.

D. Sumber Hukum Acara Pidana


Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai Hukum Acara Pidana
adalah Pasal 24 ayat (1): kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-
lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syaratsyarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan kedua pasal ini
mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang
kedudukannya para hakim. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor
76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai