Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kajian hukum Islam, istilah hukum pidana Islam diambil dari terjemahan Fiqh
Jinayah. Fiqh adalah ketentuan-ketentuan hukum Islam yang merupakan upaya
pemahaman manusia, dalam hal ini ulama, terhadap syariat. Sedangkan jinayah berarti
pidana. Fiqh jinayah adalah ketentuan yang berkaitan dengan sanksi-sanksi terhadap
segala tindak kejahatan. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Fiqh Jinayah adalah
hukum Islam yang mengatur persoalan pidana. Di Indonesia salah satu hukum tertulis
yang dipakai adalah Hukum Pidana. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan dilarang yang
disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar pelanggaran tersebut dan menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan. Suatu perbuatan tidak dapat di pidana kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada atau
terkenal dengan istilah Nullum Delictum, Nulla poena sine praevia lege poenali.
Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk hak asasi manusia, karena hak asasi
manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun. Dalam
Hukum Islam pun mengenal dengan apa yang dinamakan Asas Legalitas. Asas Legalitas
tidak hanya terdapat dalam hukum pidana, namun jauh sebelum asas legalitas
ditemukan pada sekitar abad XVIII Islam telat mengaturnya terlebih dahulu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah, rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan asas legalitas ?
2. Apa sumber hukum dari asas legalitas dalam hukum Islam ?
3. Bagaimana penjelasan mengenai penerapan asas legalitas dalam hukum Islam dan
hukum pidana beserta hukumannya ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asas Legalitas

Secara etimologi, Legalitas berasal dari bahasa Latin, kata benda ‘lex’ yang berarti
‘undang-undang’, atau dari kata jadiannya ‘legalis’ yang berarti ‘sah’ atau ‘sesuai’
dengan undang-undang dan ‘legalitas’ berarti ‘ keabsahan sesuatu menurut undang-
undang’. Dengan demikian ,asas legalitas berarti ‘ dasar keabsahan menurut undang-
undang’. Asas legalitas secara terminologi adalah dasar pokok dari segala ketentuan
pidana. Sehubungan dengan asas ini, dalam KUHP pasal 1 ayat (1) dinyatakan ‘ Sesuatu
perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada sebelumnya’.
Dalam hukum pidana , asas legalitas dikenal dengan nama “ Nullum delictum noella
poena sine praevia lege poenali’ yang berarti ‘ tidak ada tindak pidana jika belum ada
undang-undang pidana yang mengaturnya lebih dahulu’. Dalam kaitannya dengan fungsi
asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang-undang pidana,
an fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-
undang;
2. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
3. Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang.

Dalam Syari’at Islam, hukum Islam secara substansial menganut asas legalitas. Hal ini
terbukti dengan tertorehkannya asas legalitas secara implisit baik dalam Al Qur’an
maupun dalam sejumlah Hadits. Diantara kaidah-kaidah pokok yang berhubungan
dengan asas tersebut adalah:

“La hukma li af’aalil-‘uqala qabla wurud in Nasshi”

“ tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum ada nash atau
ketentuan “

Dari kaidah tersebut dapat disimpulkan yaitu:

Pertama, bahwa yang dinyatakan oleh Syara’ tersebut, dari awal sudah mempertegas
orang yang tidak cakap seperti orang gila tidak dapat dipidana. Orang gila tidak dapat
dituntut pertanggungjawabannya atas kesalahan yang diperbuatnya, sebab dirinya imun
akan pengetahuan sifat tercela ketika ia berbuat atau tidak berbuat. Hal ini sama
berlakunya dengan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia sesuai pasal 44 KUHP
sebagai alasan pemaaf disebutkan :

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan


kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan.

Kedua, perbuatan seseorang yang cakap (mukallaf) tidak mungkin dinyatakan sebagai
sebuah pelanggaran selama belum ada nash yang melarangnya, dan seseorang tersebut
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya hingga
ada nash yang menentukannya. Dengan demikian semua perbuatan dan semua sikap
boleh dilakukan karena kebolehan dari syara’, selama belum ada nash yang
melarangnya, maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan yang dilakukan itu.

Makna selanjutnya dalam kalimat “nas yang jelas dan yang melarang perbuatan” harus
pula dinyatakan hukumannya, baik dalam bentuk hukuman had maupun hukuman

ta’zir. Sehingga dalam konteks ini, Syariat Islam memandang “tidak ada jarimah (pidana)
dan tidak ada hukumannya kecuali dengan suatu nas.”

2.2 Sumber Asas Legalitas

Asas Legalitas dalam Islam bersumber dari Al-Quran, seperti yang termaktub dalam Al-Quran
dibawah ini.

- “Dan kami tidak akan meng’azab (menghukum) manusia, sebelum kami mengutus
seorang rasul” (QS. Al-Isra: 15)
Allah SWT tidak akan menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada
penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-Rasul Nya, sedangkan beban yang
diberikan kepada mereka adalah suatu hal yang disanggupi.
- “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota
itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidakpernah
(pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan
kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59)
- “Dan Al-Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al-
An’am: 19).
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat dalam syari’at Islam
sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian syari’at Islam
telah lebih dahulu mengenal asas ini dibandingkan dengan hukum positif yang baru
mengenalnya pada akhir abad XVIII Masehi.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana antara lain:
1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103)
2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

Asas Legalitas KUHP sendiri bersumber dari Pasal 1 KUHP, yang berbunyi:

‘Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pudana yang telah ada’

2.3 Penerapan Asas Legalitas

Pengertian jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan
diancam dengan had atau ta’zir telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-
perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash)
syara’. Artinya perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika
perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.

Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’, maka larangan-larangan tadi hanya
ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang
dapat menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami pembebanan (taklif)
dari syara’ tersebut.

Makhrus Munajat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang dikenai hukum jinayah jika
memenuhi dua unsur; yaitu umum dan khusus. Unsur umum terdiri dari;

1. Formil, yaitu adanya ketentuan undang-undang.


2. Materiil, yaitu sifat yang melawan hukum.
3. Moril, yaitu pelakunya mukallaf. Sedangkan unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat
pada perdana tertentu dan antara satu jenis berbeda dengan lainnya, seperti pencurian jika
ada barangnya.

a. Unsur Formil (Ar-Rukn, Al-Syar’i), yaitu adanya nash atau ketentuannya yang
menunjukkannya sebagai jarimah, atau dapat juga diartikan adanya ketentuan yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas perbuatan-
perbuatan tersebut. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus
ada unsur ini antara lain firman Allah dalam QS. Al-Isra: 15 yang mengajarkan bahwa Allah
tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini berisi ketentuan
bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah.
Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh
penguasa.
b. Unsur Material (Al-Rukn, Al-Madzi), yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang
benar-benar telah dilakukan atau adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik
melakukan perbuatan yang dilarang, atau melakukan perbuatan yang diharuskan. Hadist Nabi
riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman
untuk umat Nabi Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati, selagi ia
tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.

c. Unsur Moril (Al-Rukn, Al-Adabi), yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Pelaku
kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi adalah
mukallaf atau orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat).
Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.

Sehingga dapat disimpulkan bawa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai Jinayah, jika
perbuatan tersebut mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.

Sedangkan dalam hukum Pidana unsur-unsur seseorang dapat dipidana adalah:

1. Mampu bertanggung-jawab: factor akal dan faktor kehendak


2. Mempunyai kesengajaan dan kealpaan
3. Tidak ada alasan pemaaf

Dalam hukum Pidana kita juga mengenal alasan pemaaf dan alasan pembenar, yaitu dimana
seseorang itu tidak dapat dikenakan pidana.

Yang termasuk dalam kategori pemaaf adalah:

- Orangnya tidak dapat dipertanggung-jawabkan (Pasal 44)


- Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2)
- Dibawah perintah jabatan
Sedangkan yang termasuk dalam alasan pembenar adalah:

- Perbuatannya memenuhi unsur-unsur pidana tetapi orang tersebut tidak dapat dipidana
karena perbuatannya kehilangan sifat melawan hukumnya.
- Daya Paksa/dibawah paksaan (Pasal 48)
- Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1)

KLASIFIKASI KEJAHATAN PIDANA ISLAM (JARIMAH)

Konsep jinayah sangat berkiatan erat dengan masalah “larangan” karena setiap perbuatan yang
terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’.
Larangan ini timbul karena perbuatan-perbatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan
hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.

Sesuai dengan ketentuan fiqih, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
tidaknya cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai sanksi (hukuman) yang diancamkan
kepada yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu syari’at islam telah menetapkan perbuatan
tertentu sebagai kejahatan dan mengancamnya dengan hukuman tertentu dengan maksud
melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang diatasnya berdiri bangunan besar masyarakat.

Ditinjau dari berat- ringannya macam hukuman yang diancamkan ada beberapa klasifikasi yang
paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum islam mengenai kejahatan, yaitu:

1. Jarimah hudud, hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang
membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan). Adapun
menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’
untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman had yaitu hukuman yang
ditentukan sebagai hak Allah. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang paling berat dalam
hukum pidana Islam. Hukum Pidana Islam tidaklah absolute, ortodok, melainkan memberikan
ruang gerak bagi akal fikiran manusia untuk berijtihad sehingga bisa merespon kebutuhan
masyarakat secara dinamis.

Pada hakikatnya, ada kebebasan untuk menetapkan hukum, akan tetapi hukum Allah SWT
tetap dijadikan rambu dalam menegakkan keadilan, maka pemahaman jarimah hudud harus
disikapi sebagai sebuah ijtihad Ulama terdahulu.

Ada lima jenis kejahatan yang dikenai hukuman – hukuman (hudud) tertentu dari syar’I, yaitu :

a. Kejahatan atas badan, jiwa dan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut pembunuhan
(al qatl) dan pelukaan (al jarh)

b. Kejahatan atas anggota-anggota kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah)

c. Kejahatan atas harta. Jika harta ini diambil dengan cara memerangi, maka kejahatan ini
disebut dengan hirabah, yakni jika dilakukan tanpa alasan (ta’wil). Apabila dilakukan dengan
alasan, maka disebut dengan kezaliman. Terkadang diambil dengan cara menunggu kelengahan
dari suatu tempat penyimpanan maka demikian itu disebut dengan pencurian. Dan adapula
yang diambill dengan menggunakan ketinggian martabat dan kekuatan kekuasaan, maka yang
demikian itu disebut dengan ghasab.

d. Kejahatan atas kehormatan yaitu yang disebut dengan qadzf

e. Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang


diharamkan syara’. Hanya saja dalam syari’at yang dikenai hukuman (had) dari kejahatan
tersebut hanya mengenai khamr (minuman keras saja).
Senada dengan jenis kejahatan diatas, menurut Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang
tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu:

a. riddah (murtad), orang yang menyatakan kafir setelah beriman dalam Islam, baik
dilakukan dengan perbuatan menyembah berhala, dengan ucapan bahwa Allah mempunyai
anak, atau dengan keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk. Adapula yang menyebutkan
bahwa yang dianggap murtad yaitu seseorang yang berbuat penghinaan terhadap Nabi
Muhammad SAW, dan orang yang memaksa untuk murtad.

b. Al Baghy (pemberontakan), yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang
sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan.

c. Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik
dilakukan secara sukarela maupun paksaan.

d. Qadzf (tuduhan palsu), adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti
yang meyakinkan. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran nama baik adalah hak yang harus
dilindungi, bukan sekedar karena kebohongan.

e. Sariqoh (pencurian), ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam
dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan.

f. Muharobah atau Hirobah (perampokan) adalah sekelomok manusia yang membuat


keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan.

g. Shurb al khamr (meminum khamr). diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan
lainnya. Islam sangat memperhatikan kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan harta benda.

2. Jarimah qishas, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah
hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Qishash jatuh pada posisi di tengah
antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Sasaran dari kejahatan ini adalah
integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam
hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Yang
termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja
yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan1[31]. Jadi pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuh dengan sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan,
menimbulkan luka/ sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.

3. Jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya
dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi
macam hukumannya diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dan ada jariamah
yang macam maupun hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa2[32]. Landasan
dan penentuan hukumnya didasarkan pada ijma’ (konsensus) berkaitan dengan hak Negara
muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas,
yang menyebabkan kerugian/kerusakan fiisk, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu
atau masyarakat secara keseluruhan.

Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh
syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga
dapat dikenakan atas kehendak masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat,
melainkan awalnya mubah. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan
mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap
keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil. Jadi, jarimah
ta`zir berbeda dengan jarimah hudud.
Jarimah Ta`zir bisa dibagi menjadi tiga macam. Jarimah yang berasal dari hudud namun
terdapat syubhat. Jarimah yang dilarang nas, namun belum ada hukumnya. Dan jarimah yang
jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara`.

Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi; Hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang.
Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah
bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan,
pengucilan, pemecatan, dan publikasi.

4. Jarimah Qishash Diyat. Qishash Diyat adalah kejahatan terhadap jiwa atau anggota
badan yang diancam hukuman serupa ( qishash) atau diyat ( ganti rugi dari si pelaku kepada si
korban atau walinya). Termasuk di dalamnya, pembunuhan dengan sengaja, semi sengaja,
menyebabkan kematian karena kealpaan, penganiayaan dengan sengaja, atau menyebabkan
kelukaan tanpa sengaja.

Hikmah berlakunya hukum ini adalah untuk keberlangsungan hidup. Dengan qishash
menghindari kemarahan pihak korban dan melenyapkan rasa dendam. Dengan diyat, akan
meringankan beban nafkah pihak korban dan akan merasakan keadaan damai dan aman dalam
kehidupan.

Pembunuhan disengaja diberlakukan hukum pokok ( qishash), jika dimaafkan, diberlakukan


hukum pengganti ( diyat), dan bila keduanya dimaafkan, maka diberlakukan hukuman ta`zir.
Hakim bisa menetukan hukuman yang lebih rendah atas persetujuan korban atau walinya
secara kondisional, menurut jenis pembunuhannya, siapa pelakunya, dan kenapa terjadi.
Apapun substansinya, hukum qishash adalah upaya menegakkan keadilan, sehingga dapat
diterima oleh semua golongan

HUKUMAN
Hukuman atau `uqubah dalam istilah Arab merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang atas
perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk
kemaslahatan manusia. Hukuman diberlakukan dengan syarat: hukuman itu disyariatkan,
dikenakan hanya pada pelaku, dan berlaku bagi seluruh orang.

Hukuman dari segi pertaliannya dibagi empat macam; pokok ( jarimah hudud), hukuman
pengganti ( qishash diganti diyat), hukuman tambahan (pelaku qazf, hilang hak warisnya), dan
hukuman pelengkap melalui keputusan hakim, seperti mengalungkan potongan tangan ke
leher.

Dari segi kewenangan hakim, ada hukuman yang bersifat terbatas, seperti dera 100 bagi pezina.
Dan lainnya bersifat alternative untuk dipilih.

Sedangkan dari segi objek, dibagi menjadi; 1.hukuman jasmani; potong tangan, 2. psikologis;
ancaman, dan 3. hukuman benda; diyat, ganti rugi dan penyitaan harta.

Hukuman gabungan ialah serangkaian sanksi yang diterapkan pada seseorang bila ia nyata
melakukan jarimah berulang-ulang dan antara perbuatan satu dan lainnya belum mendapatkan
putusan terakhir. Hukuman gabungan dibagi menjadi dua sifat, gabungan anggapan dan
gabungan nyata.

Pelaksanaan hukuman diklasifikasikan dalam tiga ketentuan; jarimah hudud yang berwenang
hanyalah Imam atau diwakilkan kepada Hakim yang diangkat secara resmi. Jarimah Qishash
Diyat dapat dilakukan oleh korban atau walinya, tapi harus dibawah pengawasan Penguasa agar
tidak berlebihan, namun dianjurkan untuk diserahkan pelaksaannya kepada Penguasa. Adapun
pelaksanaan jarimah ta`zir, mutlak wewenang Kepala Negara atau Hakim. Jika dilaksanakan
orang lain, akan dikenai sanksi.

Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah
perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif
(pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan
kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Hukum dari jinayah ini ada beberapa macam tergantung perbuatannya:

a. Pembunuhan

Ada beberapa hukum dalam pembunuhan, pembunuhan yang disengaja, adapun untuk
pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua
alternatif, yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat.
Pembunuhan seperti di sengaja, dalam hal ini tiada wajib qisas (balas bunuh) bagi si pembunuh,
tetapi diwajibkan ke atas keluarga pembunuh untuk membayar diyat mughallazah (denda yang
berat) dengan secara beransur – ansur selama tiga tahun kepada keluarga korban.
Pembunuhan tidak di sengaja, bagi si pembunuh tidak dikenakan qisas (balas bunuh) tetapi dia
dikenakan diyat mukhafafah (denda yang ringan). Diyat itu dibayar oleh adik-beradik pembunuh
dan bayarannya boleh ditangguhkan selama tiga tahun.

b. Pencurian

Dalam Al-Quran, pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat
apabila mati sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para
penjahat, karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran

kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai
tindakan defensif (pencegahan). Dalam ijtihad, potong-tangan diberlakukan untuk pencuri
professional. Dalam teori halah al-had al-a`la, hukum potong tangan dalam kejadian tertentu
dapat digantikan dengan hukuman lain yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti dengan
yang lebih tinggi.

c. Perzinahan

Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai
mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan
hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoer
mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan
hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.

Rajam adalah alternatif hukuman terberat dan bersifat insidentil. Penerapannya lebih bersifat
kasuistik, karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan
individu dan masyarakat.

d. Qadzaf

Sanksi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sanksi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu
dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari
perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan.

e. Muharobah atau Hirob

Hukuman bagi muharobah adalah hukuman bertingkat. Sanksi hukum pelaku muharobah
adalah : dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya mengambil
atau merusak harta benda; dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang;
dipenjara atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan
kekacauan saja tanpa mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.

f. Riddah.

Dalam hadis, hukum riddah dibunuh. Namun dalam pemahaman kontektual bahwa murtad,
hanya dihukumi ta`zir, karena sanksinya bersifat akhirat, murtad hanya dihukum jika mencaci
maki agama, akan tetapi bisa dikenai hukuman mati dengan ta`zir jika terbukti melakukan
desersi sedang negara dalam keadaan perang.
g. Al baghy (pemberontakan)

Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia
kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang
lakukan oeh Ali bin Abi Thalib.

h. Shurb al khamr (meminum khamr).

Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai hukum ta`zir sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Umar bin Khattab.

Sedangkan jenis hukuman pidana di Indonesia tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Jenis
hukuman pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, dimana pidana
tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan.

Jenis jenis hukuman pidana tersebut adalah:


Hukuman-hukuman pokok, yaitu :

 Hukuman mati
 Hukuman penjara
 Hukuman kurungan
 Hukuman denda
 Hukuman tutupan

Hukuman-hukuman tambahan, yaitu :

 Pencabutan beberapa hak-hak tertentu


 Perampasan barang-barang tertentu
 Pengumuman keputusan hakim
Penjelasan mengenai hukuman-hukuman pokok:

Hukuman mati

Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan ataupun
tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya. Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman.

Hukuman penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan
kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.

Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12 KUHP).
Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan
15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman
penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu dalam hal
kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dihukum mati, penjara seumur hidup, dan
penjara sementara, hukuman ditambah karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-
ulang membuat kejahatan atau karena aturan pasal 52. Akan tetapi, bagaimanapun juga
hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal
12 ayat (4) KUHP.

Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi narapidana
juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:

 Hak untuk memilih dan dipilih.


 Hak untuk memangku jabatan politik.
 Hak untuk bekerja di perusahaan.
 Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
 Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
 Hak untuk kawin, dan lain-lain.

Hukuman kurungan

Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman
kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya.
Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan
1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman
penjara.

Di dalam beberapa hal, (samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan) hukuman
kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP).
Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan bagi
peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan di dalam hal
pelanggaran.

Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:

 Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang


termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai
oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
 Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
 Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan,
yaitu 1 (satu) hari.

Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:

Perbedaan yang penting antara pidana penjara dan pidana kurungan disebutkan di dalam
penjelasan pasal 18 KUHP oleh Sugandhi (1981), sebagai berikut :

 Hukuman penjara dapat dijalankan didalam penjara di mana saja, sedangkan hukuman
kurungan dilaksanakan di daerah tempat terhukum bertempat tinggal pada waktu
hukuman dijatuhkan.
 Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan lebih ringan daripada pekerjaan
yang harus dijalankan oleh terpidana penjara.
 Terpidana kurungan mempunyai hak Pistole. Hak Pistole adalah suatu hak terpidana
untuk memperbaiki kehidupannya didalam lembaga dengan biaya sendiri.

Ruba`i (1997), menambahkan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara sebagai
berikut :

 Maksimum umum pidana kurungan adalah satu tahun. Jika dibandingkan dengan
maksimum umum pidana penjara yang lamanya sampai lima belas tahun, maka
maksimum umum pidana kurungan jauh lebih ringan. Maksimum umum satu tahun ini
dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan apabila terjadi perbarengan,
pengulangan atau tindak pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatan.
 Menurut pasal 62 ayat (1) Reglemen penjara, terpidana kurungan hanya diwajibkan
bekerja 8 jam sehari, sedangkan terpidana penjara diwajibkan bekerja 9 jam sehari.

Hukuman Denda

Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman denda.
Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi berlainan
dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang yang
dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan,
bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.

Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman itu
dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan hukuman dapat memilih,
membayar denda atau kurungan sebagai gantinya.

Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus
dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan undang-
undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas (15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan
putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3) KUHP).
Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus) resedive, dan
delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).

Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya. Jangka
waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai dengan
waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.

Hukuman tutupan

Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda.
Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.

Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang
yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1
undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan
hukuman penjara.

Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh
ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan
tersebut diterapkan.

Hukuman Hukuman Tambahan

Melihat namanya saja, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah
pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal
tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif,
artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Pencabutan hak-hak tertentu.

Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut
“burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).

Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:

 Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.


 Hak memasuki angkatan bersenjata.
 Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan umum.
 Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke
bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
 Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri.
 Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut,
hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:

 Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.


 Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan
paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
 Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5 tahun.

Perampasan barang-barang tertentu.

Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam
pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:

 Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.


 Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan
kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu
dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian
barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.

Pengumuman Putusan Hakim.

Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan
pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.

Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-
hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana
sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan .

Anda mungkin juga menyukai