Anda di halaman 1dari 15

STUDI KOMPARATIF ANTARA ASAS LEGALITAS HUKUM

PIDANA POSITIF DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM

Muadz Abdul Aziiz1, Muhammad Azaria Kanigara2


Puspa Puspita Anugrah3, Putri Sansadila Yustisia4
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Sunan Gunung
Djati Bandung
Email: muadzabdulaziiz70@gmail.com, azariakngra@gmail.com,
puspitapuspa4@gmail.com, putridila8899@gmail.com

Abstract: The purpose of this study is to determine the meaning, similarities and
differences in the principle of legality according to positive criminal law and
Islamic criminal law. The research method used in this research is normative
juridical method through literature study as a form of research. Literature study is
chosen with the aim of analyzing legal materials systematically. The principle of
legality in Positive Criminal Law aims to protect society by limiting the authority
of the authorities while in Islamic criminal law the principle of legality has the aim
of ennobling humans by protecting offspring, property, mind, soul, and religion.
The principle of legality according to positive criminal law and according to Islamic
criminal law have similarities, it can be seen from the applicable environment and
interpretation theory. Basically, the understanding of the principle of legality
according to positive criminal law and Islamic criminal law is not much different.
It's just that in Islamic criminal law analogies are allowed while in positive criminal
law analogies are not allowed.

Keywords: Principle of Legality, Law, Criminal, Islam

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian, persamaan
dan perbedaan asas legalitas menurut hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif melalui studi kepustakaan sebagai bentuk penelitiannya. Studi
kepustakaan dipilih dengan tujuan untuk menganalisa bahan hukum secara
sistematis. Asas legalitas dalam Hukum Pidana Positif bertujuan untuk melindungi
masyarakat dengan cara membatasi wewenang penguasa sedangkan dalam hukum
pidana Islam asas legalitas memiliki tujuan untuk memuliakan manusia dengan
menjaga keturunan, harta, akal, jiwa, dan agama. Asas legalitas menurut hukum
pidana positif dan menurut hukum pidana Islam memiliki persamaan, hal itu dapat
diketahui dari lingkungan berlakunya dan teori penafsiran. Pada dasarnya,
pengertian asas legalitas menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam
tidak jauh berbeda. Hanya saja dalam hukum pidana Islam penganalogian
diperbolehkan sedangkan di dalam hukum pidana positif penganalogian tidak
diperbolehkan.

Kata kunci: Asas Legalitas, Hukum, Pidana, Islam

PENDAHULUAN
Hukum hadir di setiap Masyarakat di dunia. Oleh karena itu, hukum
memiliki sifat universal, berlaku di manapun dan kapan pun . Dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945, Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai negara
hukum. Dalam konteks pemerintahan negara, salah satu hal yang sangat penting
adalah penerapan sistem hukum dalam kehidupan masyarakat. Pandangan ini bukan
hanya karena Indonesia mengadopsi prinsip negara hukum, tetapi juga sebagai hasil
dari pemantauan kritis terhadap perkembangan masyarakat Indonesia yang menuju
ke arah modernisasi.1
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyatakan bahwa suatu tindakan tidak dapat dihukum pidana kecuali jika
tindakan tersebut telah diatur dalam undang-undang sebelum tindakan itu
dilakukan. Prinsip ini dikenal dengan sebutan asas legalitas, yang mengatur bahwa
hukum pidana berlaku berdasarkan undang-undang yang ada pada saat tindakan
dilakukan. Dalam bahasa Latin, prinsip ini disebut "nullum delictum sine praevia
lege peonali," yang berarti bahwa tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang
pidana yang telah ada sebelumnya. Aturan mengenai kekuatan berlakunya hukum
pidana menurut waktu merupakan aturan yang sangat mendasar.

1
Abdul Halim prasetyo, Teguh & Barkatullah, Politik Hukum Pidana (YOGYAKARTA: Pustaka
pelajar, 2005).
Dalam hukum pidana Islam dikenal juga asas legalitas yang didasarkan pada
Al-Quran yaitu pada surat Al-Baqarah ayat 286, surat Al-An‟am ayat 19, surat Al-
Isra‟ ayat 15, dan surat Al-Qashash ayat 59. Semua ayat tersebut memiliki
kandungan yang serupa, yakni selama tidak ada ketentuan hukum yang berisi
perintah atau larangan maka tidak ada hukum bagi seseorang yang melakukan
perbuatan tertentu.
Perbaikan sistem hukum di Indonesia mesti diawali dengan membangun
paradigma substansi hukum. Dalam hukum pidana, perbaikan hukum tersebut bisa
diawali dengan melakukan pemulihan terhadap asas legalitas. Hukum pidana Islam
dapat dijadikan acuan dalam pembaharuan asas legalitas di Indonesia. Hukum yang
berkembang dalam masyarakat tersebut perlu diperbaiki sehingga menghasilkan
hukum yang memiliki asas legalitas yang lebih komprehensif yang diharapkan
dapat menghasilkan keadilan hukum yang sesungguhnya.

METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
melalui studi kepustakaan (Library Research) sebagai bentuk penelitiannya. Studi
kepustakaan dipilih dengan tujuan untuk menganalisa bahan hukum secara
sistematis. Data-data terkait penelitian dikumpulkan kemudian disusun serta
disimpulkan secara objektif. Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan referensi
terkait studi-studi hukum.

PEMBAHASAN
Pengaturan dan Tujuan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Positif
Dalam hukum pidana positif di Indonesia asas legalitas tercantum dalam
KUHP pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya.” Sehingga, dapat dikatakan bahwa setiap perbuatan yang disebut
sebagai tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu ke dalam undang-undang
dengan menetapkan rumusan yang jelas tentang perbuatan yang dimaksud.
Akibatnya, tidak semua tindakan yang dianggap tercela dapat dipidana.2
Asas legalitas merupakan salah satu asas mendasar dalam hukum pidana.
Eksistensi asas ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-
wenangan penguasa. Namun, adanya asas ini juga menghambat keberadaan hukum
kebiasaan yang tidak tertulis dan tumbuh secara natural dalam masyarakat. Adapun
tujuan asas legalitas, yaitu: (1) Melindungi warga negara dari perbuatan sewenang-
wenang yang dilakukan oleh negara; (2) Melindungi kemerdekaan individu dari
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara; (3) Melindungi
kemerdekaan individu dari tindakan sewenang-wenang; (4) Merupakan ekspresi
legal positivisme dalam hukum pidana.
Secara pokok, asas legalitas hanya melaksanakan dua fungsi, yaitu; (1)
fungsi perlindungan, yang melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan
penguasa dan hakim. Fungsi ini hanya dimaksudkan untuk kepentingan pelaku.
Pelaku tidak bisa dituntut selama perbuatan mereka tidak termasuk mala prohibita
(bertentangan dengan undang-undang). (2) fungsi pembatasan, untuk membatasi
kekuasaan penguasa dan kewenangan hakim. Fungsi ini juga hanya dimaksudkan
untuk kepentingan pelaku, karena penguasa tidak boleh menuntut pelaku yang
melakukan crimina extra ordinaria (perbuatan tindak pidana yang belum atau tidak
dilarang oleh undang-undang pidana), meskipun menimbulkan kerugian yang luar
biasa bagi korban.3

Pengaturan dan Tujuan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam


Semua ketetapan dalam hukum Islam ada di dalam al-Qur’an dan sunah
rasul yang berlaku sampai akhir zaman, maka dari itu hukum Islam telah memuat
semua perbuatan yang dianggap sebagai maksiat, bahkan untuk perbuatan pidana
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sumber-sumber hukum Islam antara lain
ialah al-Qur’an, sunnah, hadits, serta ar-ra’yu (akal pikiran).

2
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana Komtemporer (Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2020).
3
Annisa Hafizah, Madiasa Ablisar, and Rafiqoh Lubis, ‘Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Indonesia Dan Hukum Pidana Islam’, Mahadi: Indonesia Journal of Law, 1.1 (2022), 1–10
<https://doi.org/10.32734/mah.v1i1.8311>.
Tujuan hukum Islam yakni untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat
dicapai dengan cara mengambil langkah-langkah yang memiliki kemaslahatan dan
melarang semua hal yang tidak diridhoi allah berlandaskan prinsip tauhid. Menurut
al-Syathibi, kemaslahatan dapat terwujud apabila tercapainya 5 (lima) unsur pokok
yakni, agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.4
Asas legalitas digunakan untuk memastikan kebebasan individu dengan
cara membatasi hal yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga memastikan
agar tidak ada penyalahgunaan wewenang hakim, menjmin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap individu harus diberi peringatan
sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan yang melawan hukum beserta sanksinya.
Dengan begitu, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang,
selama tidak ada ketetapan yang melarangnya. Dan seseorang memiliki kebebasan
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatannya, sehingga ada nash yang tidak
memperbolehkannya.5

Perbandingan pengaturan asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia dan


hukum pidana islam
Dalam hukum pidana islam asas legalitas melegalkan penggunaan
penafsiran analogi hal tersebut dikuatkan oleh Riwayat nabi Muhammad sendiri
dengan Riwayat yang ditanyakan kepada sahabat mu’az “dengan apa engkau
memutus suatu perkara?” jawabannya: ”dengan alquran; kalau tidak saya dapati
dengan hadits maka saya ber-ijtihad dengan akal pikiran saya, dan rasul
membenarkannya. “penafsir secara analogi merupakan penggunaan akal pikiran
untuk menemukan hukum sehingga menyelesaikan suatu perkara menjadi lebih
mudah.
Sedangkan dalam KUHP asas legalitas menafsirkan secara analogi tidak
diperbolehkan karena merupakan sebuah konsekuensi asas legalitas dalam KUHP
yang menyatakan ketetapan dirancang dalam undang-undang sehingga bila
menggunakan hermeneutika secara analogi akan timbul sebuah tindak pidana yang
baru tanpa adanya undang-undang dan hakim akan berlaku sewenang-wenangnya

4
H. A Djazuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: Raja
GrafindoPersada, 2000).
5
Hanafi.Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: bulan bintang, 1993).
dalam membuat keputusan hukuman kepada seseorang. Menafsirkan dengan cara
analogi juga merupakan sebuah cara untuk menemukan hukum dan dengan
larangan tersebut maka akan menyusahkan dalam memberantas sebuah kasus
karena undang-undang memiliki keterbatasan.
Dalam hukum pidana Islam pengecualian hukum tidak berlaku surut atau
non rektoaktif pada asas legalitas, ada pada Jarimah Qhadzaf contoh kasus pada
saat ada tuduhan terhadap istri nabi yaitu sayyidina Aisyah r.a dimana ia dituduh
berzinah dengan Shafwan, dan ternyata tuduhan tersebut tidaklah benar dan
menimbulkan fitnah, dan terhadap penuduhnya nabi SAW. Meskipun penuduhan
sudah terjadi sebelum turunnya nash tersebut, jadi menunjukan sebuah ketentuan
yang berlaku surut. Hal ini dilakukan demi menjaga kehormatan sebuah indvidu.
Namun dalam asas legalitas didalam KUHP, pengecualian prinsip hukum tidak
berlaku surut ada pada Pasal 1 Ayat (2) KUHP, yang berbunyi: “Jika ada perubahan
dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”. Ada sebuah
pengecualian terhadap asas non rektoaktif bila mana seorang subjek hukum
melakukan tindak pidana lalu terjadi perubahan undang-undang, dan undang-
undang baru tersebut lebih menguntungkan subjek hukum yang melakukan tindak
pidana tadi, maka dipilihlah undang-undang yang lebih menguntungkan bagi subjek
hukum yang melakukan pidana, karena ada upaya yang dilakukan oleh seorang
manusia untuk menciptakan sebuah hukum yang lebih baik.6 Asas legalitas dalam
hukum pidana Islam berkaitan dengan panduan yang diberikan oleh Rasulullah
sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hukum yang disampaikan oleh Rasulullah
memiliki tujuan untuk melindungi aspek-aspek penting dalam kehidupan, seperti
keturunan, harta, akal, jiwa, dan agama. Sedangkan Asas legalitas dalam KUHP
bertujuan untuk membatasi kekuasaan hakim dalam penerapan hukum sehingga
tidak akan muncul kesewenang-wenangan dalam menetapkan peraturan dan
hukuman.

6
Hafizah, Ablisar, and Lubis.
Dalam sebuah komparasi tentunya ada sebuah persamaan, perbedaan, dan
kelebihan, kelemahan. Berikut merupakan persamaan, perbedaan, kelebihan, dan
kelemahan antara Hukum Pidana Positif dengan Hukum Pidana Islam7
Perbedaan:
Hukum Pidana Positif Hukum Pidana Islam
1. Dalam perihal hukuman, 1. Sementara dalam perihal
Hukum Pidana Positif hukuman, Hukum Pidana Islam
memberikan satu atau dua menetapkan hukuman dengan
macam hukuman dengan cara jelas hal ini membuat seorang
memberikan batas yang paling hakim atau ulil amri tidak
rendah dan yang paling tinggi. membuat dakwaan sendiri.
2. Dalam ketrentuan pidana, 2. Dalam hukuman, Hukum
Hukum Pidana Positif pidana Islam nas-nas yang
membatasi tindak pidana yang menentukan tindak pidana
dimasukan kedalam suatu bersifat fleksibel karena semua
aturan pidana hal ini terjadi peridtiwa hukum bisa diwadahi.
karena setiap tindak pidana bisa
dikenali sedetail mungkin
dengan menyebutkan unsur-
unsur materilnya.
3. Dalam hukum pidana positif 3. Cara penerapan dalam hukum
penerapan asas legalitas sama pidana Islam ada tiga cara
saja untuk semua tindak penerapan yaitu:
pidana. a. Pada tindak pidana ta’zir
yang diancam hukuman demi
kemaslahatan umum
b. Pada tindak pidana yang
tidak begitu berbahaya

7
Leni Dwi Nurmala, ‘Studi Komparatif Tentang Asas Legalitas Berdasarkan Hukum Pidana Positif
Indonesia Dan Hukum Pidana Islam’, Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 9.1
(2021), 50 <https://doi.org/10.29103/sjp.v9i1.4802>.
c. Pada tindak pidana yang
gawat dan sangat
mempengaruhi keamanan dan
ketentraman mayarakat.
4. Pada abad ke-18 maasehi baru 4. Sementara dalam hukum pidana
diterapkanlah asas legalitas islam asas legalitas diterapkan
dalam hukum positif. sejak wahyu diturunkan,
terhitung sejaknperiode
madinah

Kelemahan & kelebihan:


Kelebihan Kelemahan
Hukum Pidana Islam 1. Dalam asas pidana 1. Hukum Islam
Islam, tidak ada hanya diakui
penghapusan tindak sebagai sumber
pidana berdasarkan hukum positif saja
jabatan, sehingga karena Indonesia
semua orang yang menganut sistem
memiliki jabatan, hukum Eropa
tetap harus kontinental. Oleh
bertanggung jawab karena itu, pelaku
atas perbuatannya. tindak pidana
Pada dasarnya, hanya dapat
setiap individu yang dijerat
telah mencapai usia berdasarkan
kematangan KUHP (hukum
beragama harus materiil) dan
bertanggung jawab KUHAP (hukum
atas tindakannya. formil), yang
bersifat mengikat
2. lebih dari pada itu dan tidak boleh
cakupan hukum digunakan dalam
pidana islam bukan konteks hukum
hanya terbatas pada Islam.
bidang muamalah
saja 2. Dalam hukum
(hablumminannas) pidana Islam,
tetapi juga dalam tidak terdapat
bidang ibadah dan lembaga yuridis
aqidah formal yang
(hablumminallah). secara khusus
bertugas
3. Dalam pidana islam mengawasi
ada tiga jenis pelaksanaannya di
hukuman yaitu Indonesia,
jarimah, hudud, sehingga tidak
qishas-diyat, dan memungkinkan
ta’zir. dalam pidan untuk
Islam hakim mengaplikasikan
memiliki hukum pidana
kewenangan untuk Islam dengan cara
menghukum pelaku yang sama seperti
jarimah yang tidak hukum pidana
diatur menurut positif.
jarimah hudud,
qishas-diyat, 3. Hukum pidana
sehingga membuat Islam yang
seluruh pelaku berkaitan dengan
jarimah dalam pidana jarimah
peraturan islam hudud tidak dapat
dikenai hukuman. dirubah-rubah
baik deraksi
maupun ketentuan
pidananya karena
sudah baku dari
Allah.
Hukum Pidana Positif 1. Hukum pidana 1. Penghapusan
positif di Indonesia tindak pidana
bersifat wajib, berdasarkan
sehingga setiap jabatan sering kali
pelaku tindak digunakan sebagai
pidana dapat dikenai alasan oleh pelaku
hukuman dalam tindak pidana
kerangka hukum dalam hukum
pidana. pidana positif,
yang
2. terlaksananya menyebabkan
hukum pidana pelaku tindak
positif tidak terlepas pidana karena
dari adanya andil pelaksanaan tugas
lembaga-lembaga jabatannya
tertentu selaku seringkali tidak
aparat penegak dapat dihukum.
hukum.
2. Dalam hukum
3. Hukum pidana pidana positif,
positif dapat hanya ada dua
mengalami jenis hukuman
perubahan baik yang dikenal,
dalam substansi yaitu hukuman
maupun ketentuan penjara dan
pidananya kapan denda. Ini karena
saja. hakim dalam
sistem ini
dianggap sebagai
pelaksana atau
penegak undang-
undang, dan
karenanya mereka
tidak memiliki
kewenangan
untuk
memberikan jenis
hukuman lain
selain yang telah
diatur dalam
KUHP.

3. Hukum pidana
positif hanya
mencakup
masalah
muamalah atau
transaksi antara
manusia yang
diawasi oleh
penegak hukum
sebagai
perwakilan
pemerintah. Oleh
karena itu,
tindakan yang
terjadi di luar
ranah muamalah
tidak dapat
dikenakan sanksi
pidana positif.
Persamaan
Adapun dari segi persamaan hukum pidana positif dan hukum pidana islam
dapat diketahui dari segi:
a. Lingkungan Berlakunya
Dapat diketahui terbatas dari lingkungan berlakunya seperti pada
negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam atau negara-
negara yang hanya menganut agama Islam sebagai agamanya. Hal ini sesuai
dengan prinsip nasionalisme dan teritorialitas yang menjadi dasar dari
sistem hukum pidana positif, sebagaimana diatur dalam pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana berikut ini:
Pasal 2 dari Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia menyatakan
bahwa ketentuan pidana berlaku di Indonesia untuk setiap individu yang
melakukan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (peristiwa pidana) di
wilayah Indonesia.
Sementara itu, Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menguraikan beberapa prinsip yang mempengaruhi lingkup
berlakunya hukum pidana Indonesia di luar negeri: (1) Ketentuan pidana
Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan perbuatan
di luar negeri dalam beberapa kasus tertentu, termasuk kejahatan yang diatur
dalam bab I dan II buku kedua KUHP, serta beberapa pasal tertentu seperti
160, 161, 240, 279, 450, dan 451; (2) Penuntutan terhadap perbuatan yang
dimaksudkan dalam (a) juga dapat dilakukan jika tersangka baru menjadi
warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan tersebut.
Dengan demikian, Pasal 2 mengacu pada prinsip teritorialitas, yang
berlaku di wilayah Indonesia, sementara Pasal 5 mengacu pada prinsip
nasionalitas aktif dan personalitas, yang memungkinkan penerapan hukum
pidana Indonesia terhadap warga negara Indonesia yang melakukan
tindakan tertentu di luar negeri. Prinsip-prinsip ini menjadikan ketentuan
hukum pidana Indonesia dapat berlaku baik di dalam maupun di luar
wilayah Indonesia, tergantung pada jenis perbuatan dan status
kewarganegaraan pelaku.
b. Teori penafsiran
Dalam hukum pidana, kita sering menemui prinsip-prinsip
penafsiran yang serupa, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum
pidana islam. Meskipun dalam hukum pidana positif, kita bisa melihat
berbagai macam pendekatan penafsiran, prinsip utamanya adalah
memberikan keuntungan kepada terdakwa ketika ada keraguan. Hal ini
dapat mengakibatkan hukuman yang lebih ringan atau bahkan pembebasan.
Sebagai contoh, jika seorang hakim ragu apakah tindakan pembunuhan
tersebut dilakukan dengan sengaja atau direncanakan sebelumnya, maka
keraguan tersebut harus diuntungkan terdakwa. Jika kedua unsur tersebut
tidak terbukti atau tidak ada, maka tindakan tersebut mungkin akan
dianggap sebagai pembunuhan yang tidak disengaja atau menyebabkan
cedera atau kematian karena kesalahan (sebagaimana diatur dalam pasal 359
KUHP).
Prinsip serupa juga berlaku dalam hukum pidana Islam, di mana
setiap keraguan atau ketidakpastian akan ditafsirkan untuk menguntungkan
terdakwa. Hal ini bisa berarti menghapuskan hukuman hadd (hukuman yang
telah ditentukan dalam syariat Islam) karena adanya keraguan atau
memberikan prioritas pada pemberian pengampunan. Istilah "syubhat"
dalam konteks ini mengacu pada situasi di mana mungkin ada kesan atau
persepsi bahwa suatu perbuatan telah terjadi, meskipun sebenarnya tidak
demikian.
c. Prinsip Legalitas Digunakan Dalam Hukum Pidana Baik Dalam
Hukum Pidana Positif Maupun Hukum Pidana Islam.
Dapat diartikan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dihukum
apabila aturan hukum yang berlaku (nash) telah ada sebelum perbuatan
tersebut dilakukan. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 KUHP, tidak ada
tindakan yang dapat dikenai hukuman kecuali jika ada dasar hukum yang
mengatur perbuatan tersebut. Jika undang-undang berubah setelah
perbuatan dilakukan, maka tersangka akan diberlakukan dengan ketentuan
yang menguntungkannya.
d. Dalam Hal Percobaan Melakukan Tindak Pidana.
Hukum pidana positif dan hukum pidana Islam memiliki kesamaan
dalam tidak memberikan hukuman pada tahap pemikiran, perencanaan, dan
persiapan. Akan tetapi Hukuman hanya akan diterapkan pada tahap
pelaksanaan perbuatan.
e. Dalam hal turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam memiliki
pandangan yang serupa mengenai perbuatan langsung dan tidak langsung,
serta mengenai hubungan sebab-akibat antara perbuatan langsung dengan
tindakan pidana yang terjadi.8

SIMPULAN
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 1 Ayat (1)
KUHP. Dan memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
dari kesewenang-wenangan penguasa, asas legalitas tidak menghendaki adanya
pidana tanpa peraturan yang terlebih dahulu. Asas legalitas juga mengatur
ketentuan tentang larangan penggunaan analogi dan larangan berlaku surutnya
suatu peraturan perundang-undangan. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam
terdapat dalam al-Qur'an yang diperkuat penjelasannya di dalam hadits dan
didukung dengan akal manusia untuk mendefinisikan hukum. Bertujuan untuk
memuliakan manusia, asas legalitas dalam hukum pidana Islam berfungsi untuk
menjaga jiwa, akal, agama, harta, serta keturunan manusia. Hukum pidana
Indonesia dan hukum pidana Islam memiliki ciri khasnya masing-masing dengan
beberapa persamaan dan perbedaan. Hukum pidana Islam sebagai salah satu hukum
yang hidup di masyarakat memiliki potensi untuk diterapkan dalam konteks
pembaharuan terhadap asas legalitas di Indonesia. Sebab, seiring dengan
perkembangan zaman, hukum pidana harus mampu untuk menciptakan hukum
yang bisa mengakomodir kebutuhan masyrakat.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana Komtemporer (Jakarta: Raja

8
Zaid Alfauza Marpaung, Calon Dosen, and Hukum Pidana, ‘Fakultas Syari ’ Ah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri’, 2016, 2–5.
GrafindoPersada, 2020)
Djazuli, H. A, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam
(Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2000)
Hafizah, Annisa, Madiasa Ablisar, and Rafiqoh Lubis, ‘Asas Legalitas Dalam
Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam’, Mahadi: Indonesia
Journal of Law, 1.1 (2022), 1–10 <https://doi.org/10.32734/mah.v1i1.8311>
Hanafi.Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: bulan bintang, 1993)
Marpaung, Zaid Alfauza, Calon Dosen, and Hukum Pidana, ‘Fakultas Syari ’ Ah
Dan Hukum Universitas Islam Negeri’, 2016, 2–5
Nurmala, Leni Dwi, ‘Studi Komparatif Tentang Asas Legalitas Berdasarkan
Hukum Pidana Positif Indonesia Dan Hukum Pidana Islam’, Suloh:Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 9.1 (2021), 50
<https://doi.org/10.29103/sjp.v9i1.4802>
Prasetyo, Teguh & Barkatullah, Abdul Halim, Politik Hukum Pidana (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2005)

Anda mungkin juga menyukai