Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN HASIL BELAJAR PERTEMUAN KE 8

Nama mahasiswa : Mohamad Fikih


NIM : 200711640067
Pertemuan ke : 8
Hari/Tanggal : Senin, 21 Maret 2022
Materi Kuliah : 1.Prinsip-prinsip dalam Hukum Islam.
2.Asas-asas umum dalam Hukum Islam.
3.Asas-asas Hukum Islam dalam bidang
Pidana, Perdata, Perkawinan, dan Kewarisan

Sumber pustaka : 1. Aswi, Karsul. 2014. Penghapusan Hak


Memilih Hukum Dalam Penyelesaian
Perkara Peradilan Agama Di Indonesia.
Palembang. Halaman 21-23. Institut
Agama Islam Negeri (Iain) Raden Fatah
Palembang
2. Rohidin. 2016. Buku Ajar Pengantar
Hukum Islam. Yogyakarta. Lintang Rasi
Aksara Books. Halaman 1-30

Catatan hasil belajar :

1. Prinsip – prinsip dalam Hukum Islam


Prinsip-prinsip hukum Islam artinya pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik
tolak berfikir dalam hukum Islam. Nilai-nilai tersebut yaitu :
Tidak Menyulitkan/Memberatkan (‘adam al-haraj)
Al-Haraj berarti al-dhaiq/ al-dhīq yang berarti kesempitan, kesusahan, kesedihan,
kesukaran, atau kesulitan.Prinsip ‘adam al-haraj dalam hukum Islam bermakna bahwa
di dalam hukum Islam tidak ada dan tidak boleh ada tugas/tanggung jawab yang
melebihi kemampuan atau terlalu berat untuk dipikul oleh manusia. Dengan perkataan
lain, segala taklīf Islam, demikian kata T.M. Hasbi ash-shiddieqy, berada dalam batas-
batas kemampuan mukallaf.

Menyedikitkan Beban (taqlīl al-takālīf)


Sebagai konsekuensi logis prinsip yang pertama, tidak menyulitkan atau tidak
memberatkan, tentunya beban-beban hukum yang mesti dipikul oleh manusia juga tidak
banyak. Sebab, beban hukum yang banyak menjadikan manusia berada dalam kesulitan.
Hal ini didukung oleh kenyataan kuantitas ayat-ayat dengan tema hukum di dalam
Alqur’an. Ibnu Qayyim, misalnya, mencatat bahwa jumlah ayat-ayat hukum di dalam
Alqur’an hanyalah 150 ayat. Ada lagi yang mengatakan jumlahnya 500 ayat dan yang
paling banyak, seperti yang dihitung oleh Ibn ‘Arabi, berjumlah 864 ayat. Jumlah ini
pun relatif sedikit dibandingkan dengan totalitas ayat-ayat Alqur’an yang 6000-an
lebih.14 Singkatnya, fakta ini cukup untuk mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa
beban hukum yang dibebankan Allah kepada manusia adalah sedikit.

Bertahap dalam Menetapkan Hukum (al-tadarruj fi al-tasyrī‘)


Orang mengamati dengan cermat proses pembinaan hukum Islam akan menemukan
bahwa pada galibnya, penetapan hukum Islam pada masa awalnya melalui tahapan-
tahapan (berangsur-angsur), seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, pengharaman
riba, dan khamar. Pola berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ini tentunya sangat
sejalan dengan tabiat manusia secara pribadi maupun masyarakat, terutama menyangkut
perkara-perkara yang telah “berurat dan berakar” atau mentradisi dalam masyarakat.
Agama Islam datang ke tengah-tengah komunitas yang sekian lama larut dengan tradisi-
tradisinya sehingga menyangkut ketetapan hukum yang bersifat kritik terhadap praktek
yang ada, membutuhkan tahapan-tahapan untuk sampai pada hukum yang final. Semangat
inilah yang terasa ketika, misalnya, kita mendapatkan tahapan-tahapan dalam
pengharaman riba dan minuman khamar

Memperhatikan Kemaslahatan Manusia


Prinsip memperhatikan kemaslahatan manusia juga merupakan pijakan nilai yang
menjiwai penetapan hukum Islam. Ayat-ayat Alqur’an yang menyangkut penetapan
hukum, demikian Anwar Harjono seperti dikutip oleh Fathurrahman Djamil, tidak
pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.

T.M. Hasbie ash-Shiddieqy, sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil,


menyebutkan bahwa dalam penetapan hukum, senantiasa didasarkan pada tiga sendi
pokok:
1. Hukum-hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
2. Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum
dan menundukkan masyarakat ke bawah ketetapannya.
3. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.

Dasar pemikiran ini jugalah, agaknya, yang melandasi adanya nasakh pada sebagian
kasus hukum. Misalnya, beralihnya kiblat kaum muslimin dari Baitul Maqdis ke
Masjidil Haram setelah lebih kurang satu setengah tahun Rasul bersama kaum muslimin
saat itu menghadap ke arah Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat (QS. Al-Baqarah/02:
144).

Mewujudkan Keadilan yang Merata


Keadilan di dalam Islam adalah keadilan yang tidak membedakan manusia satu sama lain
di depan hukum. Tidak boleh ada unsur subyektif dalam definisi keadilan. Apa
yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap berfikir yang reflektif dan pendekatan yang
obyektif terhadap masalah yang dihadapi. Penguasa sekalipun tidak dapat mengelak
dari tanggung jawab hukum apabila melakukan kejahatan. Demikian juga halnya
dengan orang berharta, berpangkat, dan status-status lainnya.

2. Asas-asas Umum dalam Hukum Islam


Asas hukum Islam cukup banyak, ada yang umum ada pula yang bersifat khusus. Asas yang
bersifat umum terdapat dalam semua bidang hukum Islam, ada pula yang spesifi k terdapat dalam
bidang-bidang hukum Islam tertentu. Asas hukum Islam berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad Saw. yang selanjutnya dikembangkan oleh para ahli hukum Islam ( Ali, 2007).
Asas- asas hukum Islam yang bersifat umum terdapat dalam semua bidang hukum Islam ada tiga
macam, yaitu:
Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Demikian
pentingnya sehingga ia dapat disebut sebagai asas semua asas hukum Islam. Asas
keadilan mendasari proses dan sasaran hukum Islam ( Ali, 2013). Keadilan merupakan
nilai paling asasi dalam ajaran Hukum Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas
kezaliman merupakan salah satu tujuan diturunkannya wahyu. Keadilan diletakkan
sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan (Aravik, 2016).

Asas Kepastian Hukum


Asas kepastian hukum merupakan asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu
perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan
berlaku pada perbuatan itu. Kepastian hukum hanya dapat dijelaskan secara normatif,
bukan sosiologi. Secara normatif kepastian adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma.

Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum.
Pelaksanaan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri, maupun kepentingan
masyarakat. Kemanfaatan hukum berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama
sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan
melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar
hukum karena akan dikenakan sanksinya. Putusan hakim harus memberi manfaat bagi
dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.

3. Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Pidana, Perdata, Perkawinan, dan Kewarisan
Asas Hukum Islam dalam Bidang Pidana
Asas-asas hukum Islam yang mendasari pelaksanaan hukum Islam dalam konteks
jinayah atau pidana. Asas-asas hukum pidana Islam tersebut di antaranya asas
legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, dan asas
praduga tak bersalah.

Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Perdata


Hukum perdata Islam meliputi Munakahat (segala sesuatu terkait perkawinan,
perceraian dan akibat hukumnya); Wiratsat (mengatur segala masalah dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan); dan Mu’amalah
(dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata
hubungan manusia dalam jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan,
kontrak, dan sebagainya).

Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Perkawinan


Asas-asas Hukum Perkawinan Islam menurut Hukum Islam dan peraturan
perundang- undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi orang islam di
Indonesia terdiri atas tujuh asas, yaitu asas personalitas keislaman, asas persetujuan,
asas kebebasan mencari pasangan, asas kesukarelaan, asas kemitraan suami istri, asas
monogamy terbuka, dan asas untuk selama-lamanya.

Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Kewarisan


Menurut Amir Syarifuddin asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu (1) asas
ijbari, (2) asas bilateral, (3) asas individual, (4) asas keadilan berimbang, dan (5) asas
warisan semata akibat kematian.

Anda mungkin juga menyukai