Anda di halaman 1dari 38

PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

MACAM-MACAM SUMBER HUKUM TATA NEGARA BERDASARKAN


SUMBER HUKUM FORMIL DAN MATERIL

Muhammad Agung

Email: agungsmadnel18@gmail.com

No BP: 1910003600099

Universitas Ekasakti

A. Pendahuluan

Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi dari negara,

hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta kedudukan

warga negara dan hak-hak asasinya. Gelombang pasang Era Reformasi di Indonesia pada tahun

1998 telah mendorong berlangsungnya perubahan besar sistem dan praktik ketatanegaraan

Indonesia. Sejak Era Reformasi kehidupan ketatanegaraan Indonesia menjadi dinamis. Fondasi

penting dinamisasi ketatanegaraan tersebut adalah reformasi konstitusi yang memungkinkan

perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar 1945. Pada sisi lain, dibentuknya Mahkamag

Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sejak tahun 2003, yang merupakan produk perubahan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, berperan penting mendinamisasi

kehidupan ketatnegaraan Indonesia.

Atas dasar itulah Hukum Tata Negara Indonesia berkembang pesat dari waktu ke waktu.

Perkembangan kehidupan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini mulai menggeser praktik hukum

Tata Negara dari arah orientasi terlalu politis ke arah orientasi yang lebih praktis. Berdasarkan

peristiwa-peristiwa tersebut tentu Hukum Tata Negara mempunyai sumber-sumber hukum nya

dalam mengikuti perkembangannya yang begitu pesat dari waktu ke waktu. Sumber hukum

tersebut menjadi acuan bagi Indonesia dalam menghadapi perkembangan kehidupan


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

ketatanegaraannya yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Acuan tersebut membuat

sumber hukum itu sendiri menjadi sumber hukum yang bisa menjadi acuan di berbagai masa

yang akan datang, sebab perkembangan zaman yang begitu pesat sehingga juga mempengaruhi

perkembangan kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Negara Indonesia memang harus mempersiapkan mental-mental masyarakatnya dalam

menghadapi perkembangan kehidupan ketatanegaraan tadi. Indonesia sendiri haruslah

melakukan pemerataan kepada masyarakatnya mengenai ilmu pengetahuan tentang garis besar

ruang lingkup ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara, dan senantiasa mengakrabkan

masyarakatnya dengan pengetahuan Hukum Tata Negara. Sehingga masyarakatnya bisa siap

dalam menghadapi berbagai hal-hal tak terduga nantinya yang bersangkutan dengan kehidupan

ketata negaraan. Pemerintah Indonesia sekarang harus lebih memperhatikan lagi mengenai

kelanjutan studi Hukum Tata Negara, bagaimana mengembangkan pengetahuan masyarakatnya

walaupun diluar minat mereka, mereka harus paham secara garis besar tentang Hukum Tata

Negara tersebut.

Pada kelanjutan studi Hukum Tata Negara di perguruan tinggi, ada disalah satu

perguruan tinggi di daerah kota Padang, dari 10 orang hanya 2 orang yang berminat dalam

mempelajari Hukum Tata Negara. Para Pemerintah harus lebih memperhatikan lagi hal ini

karena hal itu juga mempengaruhi pola pikir suatu daerah tersebut, makin banyak peminat

Hukum Tata Negara, maka akan terlahir pelopor-pelopor yang akan menjadikan negrinya paham

akan Hukum Tata Negara di Indonesia. Jadi pada makalah kali ini akan membahas tentang

macam-macam sumber hukum Tata Negara berdasarkan sumber hukum formil dan sumber

hukum materil.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Judul kali ini diangkat untuk dapat mengungkap dasar-dasar dari Hukum Tata Negara

hukum tata negara dan macam-macam sumber hukum. Sumber hukum yang akan diuraikan

adalah sumber hukumnya yang berdasarkan kepada sumber hukum formil dan sumber hukum

materil. Sumber hukum tersebut akan diuraikan dengan detail pada makalah ini, jelasnya akan

dibahas secara detail beberapa sumber hukum tata negara dari sumber hukum formil dan sumber

hukum materil. Fokus dalam makalah ini adalah membahas mengenai yurisprudensi pengadilan,

konvensi ketatanegaraan, doktrin ilmu hukum (communis opinio doctorum), dan penerapan ilmu

hukun tata negara kepada masyarakat Indonesia.

B. Pembahasan

1. Sumber Hukum Tata Negara Berdasarkan Sumber Hukum Formil dan Sumber

Hukum Materil

Sumber hukum tata negara tidak dapat dipisahkan dari pengertian sumber hukum menurut

pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata negara mencakup sumber hukum

dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Sumber hukum materil tata negara

adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Misalnya : Dasar dan pandangan

hidup bernegara, dan kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan

kaidah-kaidah hukum tata negara.


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

• Sumber Hukum Formil

Sumber hukum formil merupakan sumber hukum yang menentukan bentuk dan sebab

terjadinya suatu peraturan atau kaidah hukum. Jimly menyebutkan 7 macam sumber hukum tata

negara sebagai berikut :

1.) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis

2.) Undang-undang dasar, baik pembukaannya maupun asalnya

3.) Perturan perundang-undangan tertulis

4.) Yurisprudensi pengadilan

5.) Konvensi ketatanegaraan

6.) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi IUS COMMUNIS OPINIO DOCTORUM

7.) Hukum Internasional yang telah diratifikasi.

• Sumber Hukum Materil

Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menentukan isi atau suatu peraturan

atau kaidah yang mengikat setiap orang.

• Sumber Hukum Tata Negara

1.) Konstitusi (undang-undang)

Undang-undang dasar negara GRONDWET dalam bahasa belanda CONSTITUER dalam

bahasa perancis merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi pada suatu negara dan

merupakan hukum dasar negara tertulis yang mengikat dan berisi aturan yang harus ditaati.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Tata urutan perundang-undangan menurut undang-undang nomor 10 tahun 2004 addalah

sebagai berikut :

a. UUD 1945 (UUD NKRI 1945)

b. UU / peraturan pemerintah pengganti uu (perpu)

c. Peraturan Pemerintah (pp)

d. Keputusan Presiden (Keppres)

e. Peraturan Menteri/Instuksi Menteri

2.) Peraturan Ketatanegaraan

Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat dan

dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Selain istilah kebiasaan (custom) dikenal pula

dengan istilah “adat istiadat” yang mengatur tata pergaulan masyarakat. Adat istiadat diartikan

sebagai himpunan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang

umumnya bersifat sakral, mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu. Suatu adat istiadat

dan kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, apa telah memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

a. Syarat materiil, yaitu kebiasaan tersebut berlangsung secara terus menerus dan dilakukan

dengan tetap

b. Syarat psikologis, yaitu ada keyakinan warga masyarakat, bahwa perbuatan atau

kebiasaaan itu masuk akal sebagai suatu kewajiban.

c. Syarat sanksi, yaitu ada sanksi apabila kebiasaan itu dilanggar atau tidak ditaati oleh

masyarakat.

3.) Yurisprudensi
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Yurisprudensi adalah putusan hakim yang mamuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan

hukum tetap, kemudian diikuti oleh hakim lain dalam peristiwa yang sama. Pengertian

yurisprudensi di negara-negara Anglo Saxon yang menganut tradisi hukum common law (inggris

dan amerika) memiliki arti yang luas, dimana yurisprudensi dapat diartikan sebagai ilmu hukum.

Yurisprudensi dalam arti luas sebagai putusan hakim atau hukum yang dibuat oleh

pengadilan, terdiri atas empat jenis, yaitu sebagai berikut :

a. Yurisprudensi tetap, yaitu semua putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan

sifatnya yuridis murni.

b. Yurisprudensi tidal tetap yaitu semua putusan hakim terdahulu yang tidak didasarkan

pada standard arrest, atau putusan hakim yang tidak didasarkan pada putusan hakim yang

telah berkekuatan tetap.

c. Yurisprudensi semi yuridis, yaitu semua penetapan pengadilan berdasarkan permohonan

seseorang yang hanya berlaku khusus pada pemohon.

d. Yurisprudensi administratif, yaitu surat edaran mahkamah agung (SEMA) yang hanya

berlaku secara administratif dan mengikat intern dalam lingkup peradilan.

4.) Traktat

Traktat disebut juga dengan istilah konvensi atau perjanjian internasional. Traktat atau

perjanjian antar negara adalah suatu perjanjian internasional setara dua negara atau lebih. Traktat

dapat dijadikan sebagai sumber hukum formal jika memenuhi syarat formal tertentu. Misalnya

perjanjian antar negara yang biasa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, harus disahkan oleh

kedua belah pihak agar mengikat negara peserta traktat.

Perjanjian ini dapat dilakukan antara dua negara atau lebih. Jika dilihat berdasarkan jumlah

negara yang melakukan perjanjian tersebut, traktat terdiri dari :


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

a. Traktat bilateral, yakni bila traktat dilakukan oleh dua negara. Misalnya perjanjian

internasional yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina

tentang pembatasan penyelundupan dan bajak laut.

b. Traktat multirateral, yakni jika menjadi pihak dalam perjanjian tersebut dilakukan oleh

lebih dari dua negara.

c. Traktat korektif, yakni traktat yang memberikan keterbukaan kepada negara-negara untuk

turut serta dalam perjanjian tersebut. Misalnya piagam PBB, konvensi-konvensi Genewa

1949 tentang perlindungan korban perang dan protokol-protokol tambahan.

5.) Doktrin

Doktrin merupakan pendapat atau bajaran ahli hukum yang terkemuka dan mendapat

pengakuan dari masyarakat. Misalnya pemeriksa perkara atau dalam pertimbangan putusannya

menyebutkan ahli hukum tertentu. Dengan demikian, hakim dianggap telah menemukannya

dalam doktrin, sehingga doktrin yang demikian telah menjadi sumber hukum formal.

2. Yurisprudensi pengadilan

Yurisprudensi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu hukum di Indonesia.

Yurisprudensi sudah sangat akrab dalam dunia peradilan. Peranan yurisprudensi di Indonesia

sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber hukum yurisprudensi menjadi guidelines

bagi para hakim dalam memutus perkara. Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga

yudikatif.

Fungsi yurisprudensi sendiri dalam hal hakim membuat putusan adalah mengisi kekosongan

hukum karena menurut AB, hakim tidak boleh menolak perkara karena tidak ada hukum yang

mengatur. Kekosongan hukum hanya bisa teratasi dan ditutupi melalui “judge made law” yang
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

akan dijadikan pedoman sebagai yurisprudensi sampai terciptanya kodifikasi hukum yang

lengkap dan baku.

Yurisprudensi, selain terkait dengan pembentukan hukum, terkait juga dengan akuntabilitas

dan pengawasan hakim. Yurisprudensi dapat menunjang pembaharuan dan pembinaan hukum.

Semakin konsisten para hakim dalam memutus perkara yang sama maka akan semakin baik

sistem peradilan secara keseluruhan, dimana dengan yurisprudensi dalam fungsinya sebagai

guidelines tadi, hakim dapat menekan angka disparitas. Dengan kekonsistenan dalam

memandang suatu fakta hukum, maka akan mudah melihat adanya “ketidakberesan” para hakim

dalam mengadili suatu perkara. Hal ini terkait fungsi Mahkamah Agung (MA) salah satunya

adalah pengawasan terhadap hakim-hakim.

Dalam sebuah penelitian, Yurisprudensi diterima sebagai suatu sumber hukum dikarenakan

hal-hal berikut:

a. Adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan

kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya;

b. Salah satu fungsi Pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah

menciptakan sumber hukum baru;

Hal yang baik dalam mencari dan menegakkan keadilan. Dari segi teori dan praktek,

yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil

law maupun common law. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para hakim

dalam sistem hukum civil law, memang berbeda dengan sistem hukum common law. Walaupun

harus diakui bahwa dalam kenyataan dan perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut

tidak lagi terlalu mutlak untuk secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan

sudah saling memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis.


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Perbedaan preseden dalam common law (stare decicis) dan yurisprudensi telah kehilangan

ketajamannya selama abad kedua puluh. Jika putusan pengadilan Anglo-Amerika mempunyai

“kekuatan mengikat”, putusan pengadilan civil law memperoleh “kekuatan persuasif” yang

sebetulnya tidak kalah kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan hierarkis,

kekuatan mengikat ini lebih melekat pada putusan Mahkamah Agung ketimbang putusan

pengadilan tingkat bawah.

Otoritas putusan civil law nyaris mendekati kekuatan preseden yang mengikat dalam sistem

Anglo-Amerika. Hal ini terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang identik

dalam serangkaian perkara. Demikianlah, apabila dalam sistem civil law sebuah putusan yang

dianggap sebagai yurisprudensi dapat mempunyai otoritas persuasif yang besar, maka

serangkaian putusan yang konsisten mengenai suatu permasalahan hukum tertentu dapat

dipandang mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh fakta bahwa pengadilan tertinggi di berbagai

negara yang menganut sistem civil law telah mengacu pada putusan mereka sendiri dan demikian

telah menciptakan “yurisprudensi tetap”. Hal mana dapat dikatakan bertentangan dengan doktrin

dan praktik awal civil law. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan di kebanyakan negara civil

law mempunyai dampak pembuatan hukum yang menjangkau di luar pihak yang berperkara.

Dengan demikian perbedaan antara stare decicis Anglo-Amerika dan yurisprudensi civil law

harus dilihat, dengan memperhatikan nuansa-nuansa yang subtil, sebagai area abu-abu dan bukan

sekedar hitam dan putih.

Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap

menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik dari sudut ilmu hukum, atau suatu penafsiran

atau penalaran hukum baru terhadap suatu norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau

badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Badan Pembinaan Hukum Nasonal (BPHN) berdasarkan penelitian pada tahun 1994/1995

merumuskan bahwa sebuah putusan dapat dikatakan sebagai yurisprudensi apabila sekurang-

kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu:

a. Keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;

b. Keputusan itu merupakan keputusan tetap;

c. Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dan dalam kasus yang sama;

d. Memiliki rasa keadilan;

e. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Namun terkait dengan unsur pokok putusan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi

tetap, Paulus Effendi Lotulung tidak sepakat terkait masalah putusan tersebut harus berulang

kali. Lotulung mengatakan:

“Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah yurisprudensi itu merupakan yurisprudensi

tetap ataukah tidak tetap, tidaklah didasarkan pada hitungan matematis yaitu berapa kali sudah

diputuskan yang sama mengenai kasus yang sama, tetapi ukurannya lebih ditekankan pada

muatannya yang secara prinsipiil berbeda.”

Namun mengenai pemisahan yurisprudensi tetap dan tidak tetap ini, sejauh penelusuran

penulis tidak menemukan adanya hal yang sama di negara-negara lain, baik itu negara yang

menganut civil law maupun negara yang menganut common law.

a. Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim

Hakim tidak hanya merdeka secara institusional namun hakim juga merdeka secara personal,

sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang menyatakan bahwa

kekuasaan kehakiman dijalankan secara merdeka dalam menyelenggarakan peradilan yang adil.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Artinya, hakim bebas dan merdeka serta tidak dapat dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya dalam

mengadili suatu perkara, bahkan termasuk oleh sesama hakim yang tidak memutus perkara

tersebut atau hakim yang pernah menangani kasus serupa terdahulu. Konsep ini lah yang

menjadikan adanya perdebatan dalam kedudukan yurisprudensi, karena yurisprudensi tetap

dianggap sebagai pencederaan terhadap kemerdekaan seorang hakim dari intervensi hakim

lainnya.

Banyak ahli hukum menegaskan bahwa putusan pengadilan telah menyempurnakan undang-

undang, tetapi tidak punya kapasitas membuat undang-undang. Bahkan doktrin civil law kadang-

kadang mampu mengakomodasi peningkatan otoritas yurisprudensi dalam praktik, kalau bukan

dalam teori, sekalipun jika diperlukan harus dengan upaya khusus. Dengan demikian, walaupun

doktrin civil law tidak akan mengakui kekuatan ”yurisprudensi tetap” sebagai sumber hukum

tersendiri, namun doktrin ini memberikan otoritas mengikat lewat pintu kebiasaan. Misalnya,

walaupun menganggap bahwa tidak ada rangkaian putusan pengadilan yang bisa dikatakan

mengikat, tetapi pada kenyataannya terdapat garis konsisten yang memunculkan “kebiasaan”,

yang oleh sistem ini diakui sebagai sumber hukum.

Dalam beberapa perkara, kesenjangan antara doktrin dan realitas memang tidak bisa

dijembatani. Hal ini terlihat jelas ketika berusaha mempertemukan pembuatan hukum oleh

preseden dengan pengertian yang berlaku tentang kebebasan yudisial. Dalam sistem Anglo-

Amerika, doktrin tentang preseden yang mengikat tidak dipandang sebagai sesuatu

mempengaruhi kebebasan yudisial. Namun tidak menyangkal realitas bahwa preseden mengikat,

seperti halnya undang-undang, adalah sebuah instrumen untuk memastikan kepatuhan para

hakim. Bagaimanapun juga kualitas doktrinalnya, telah menghalangi perdebatan tentang apa

yang sesungguhnya merupakan pembatas bagi kebebasan para hakim untuk memutus menurut
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

nurani mereka, meskipun kebebasan tersebut dibenarkan. Civil law tidak memiliki doktrin

demikian, yuris civil law sudah terbiasa dengan pandangan bahwa para hakim bisa dibatasi dan

diarahkan oleh undang-undang dan kebiasaan. Konsep civil law tentang kebebasan yudisial jelas

menutup kemungkinan para hakim di bawah dibimbing oleh hakim senior. Akibatnya profesi

hukum dan para hakim harus melakukan lompatan mental untuk mengakomodasi ide tentang

preseden mengikat, dan ini mengundang banyak penolakan, sistem civil law tidak benar-benar

membutuhkan preseden mengikat untuk mewujudkan kepatuhan di tubuh pengadilan.

Memang benar bahwa hakim tidak dapat di intervensi oleh hakim yang lebih tinggi dalam

memutus sebuah perkara, dalam perkara mengenai yurisprudensi ini harusnya tidak diartikan

sebagai sebuah intervensi dari hakim lebih tinggi kepada hakim dalam tingkatan yang lebih

rendah. Shetreet, dalam pembahasan mengenai sentencing guidelines yang diberikan oleh chief

judge memberikan sebuah analogi bagaimana ketika para hakim berkumpul dalam sebuah

ruangan dan saling bercerita dan saling berkonsultasi mengenai kasus masing-masing, apakah

dapat dikatakan melanggar individual judicial independence? orang dapat berpendapat bahwa

dengan kondisi demikian maka para pihak kehilangan haknya untuk mengajukan argumentasi.

Akan tetapi, disini sama saja dengan hakim pergi ke perpustakaan dan berkonsultasi dengan

orang lain terkait perkaranya. Apakah berpengaruh terhadap individual judicial independence?

Menurut Shetreet hal ini tidak dapat dengan mudah dijawab.

Terkait dengan hakim yang menerima putusan hakim lain melanggar prinsip kemerdekaan

hakim, Utrech menyatakan pendapat bahwa tentang seorang hakim membuat peraturan umum

apabila memberi suatu keputusan yang kemudian diturut oleh seorang hakim lain adalah suatu

kesalahpahaman. Seorang hakim yang menuruti suatu keputusan seorang hakim lain, tidak

berarti bahwa hakim yang disebut pertama secara tegas mendapat suatu perintah dari hakim yang
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

lain itu supaya menurut keputusannya. Karena menurut Utrecht, sesuai Pasal 1917 KUHPerdata

keputusan hakim hanya berlaku terhadap kedua belah fihak yang perkaranya diselesaikan oleh

keputusan itu. Menurut ketentuan ini, maka keputusan hakim tidak berlaku umum, namun tidak

menutup untuk diikuti.

Sepanjang yurisprudensi tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan hakim dan hakim

menjadi berat sebelah, dalam arti hakim memihak, baru dapat dikatakan ada pelanggaran

terhadap kemerdekaan hakim, seperti didalam kasus perkara yurisprudensi tancho yang

digunakan dalam perkara nike II yang menekankan perlunya unsur “itikad baik” dalam

pendaftaran merek. Putusan tancho oleh Presiden Soeharto saat itu sengaja dipaksa dijadikan

yurisprudensi agar hakim tidak merdeka dalam memberi putusan. Hakim terikat dengan

yurisprudensi sepanjang memang sejalan dengan rasio hukum dari sebuah yurisprudensi, dengan

maksud yaitu wajib dipertimbangkan. Ketika tidak sesuai hakim tetap dapat menolak

menerapkan norma dalam yurisprudensi tersebut, namun wajib memberikan alasannya, demi

tercapainya keadilan. Jadi tetap konsep keterikatannya adalah persuasive, namun wajib

dipertimbangkan.

b. Yurisprudensi dan Konsistensi Putusan

Persamaan persepsi di dalam penerapan hukum akan mewujudkan kepastian hukum.

Terwujudnya kepastian hukum akan mencegah atau menghindarkan disparitas dan inkonsistensi

putusan disebabkan hakim telah menerapkan standar hukum yang sama terhadap kasus atau

perkara yang sama atau serupa dengan perkara yang telah putus atau diadili oleh hakim

sebelumnya, sehingga putusan terhadap perkaranya dapat diprediksikan oleh pencari

keadilan.[20] Dengan adanya putusan yang konsisten tersebut maka rasa keadilan dan kepastian

hukum dapat terwujud.[21]


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Kepastian hukum akan memudahkan proses penegakan hukum, disebabkan dengan telah

terwujud konsistensi penerapan hukum maka putusan akan mudah dilaksanakan tugasnya.

Konsistensi penerapan hukum juga dapat menumbuh kembangkan yurisprudensi sebagai sumber

hukum dan pengembangan hukum, sebab undang-undang tidak selalu lengkap dan tuntas

mengatur segalanya. Peranan hakim dalam hal ini menjadi pengisi kekosongan hukum ketika

undang-undang tidak mengatur dengan cara menciptakan hukum baik hukum formil maupun

hukum materiil.

Pada hakekatnya yurisprudensi mempunyai berbagai fungsi yaitu:

a. Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat

ditegakkan adanya standar hukum yang sama

b. Dengan adanya standar hukum yang sama, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum

di masyarakat

c. Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang

sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan dan ada transparansi

d. Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan

timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang

sama. Andai kata timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya

dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya

bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus).

e. Dengan adanya pedoman atau pegangan yang ada dalam yurisprudensi tersebut, maka

akan timbul konsistensi dalam sikap peradilan dan menghindari putusan-putusan yang

kontroversial, hal mana pada gilirannya akan memberikan jaminan kepastian hukum serta
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

kepercayaan terhadap peradilan dan penegakan hukumnya, baik di forum nasional dan

terutama tingkat internasional.

Selain memberikan jaminan hukum dan kepercayaan terhadap peradilan, dengan adanya

konsistensi putusan dapat mengakibatkan berkurangnya arus perkara yang masuk ke Mahkamah

Agung. Dimana berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan

Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 93,16% perkara di tingkat banding masuk ke

Mahkamah Agung dan salah satu faktor dominan tingginya arus perkara tersebut adalah

inkonsistensi putusan atau ketidakjelasan sikap Mahkamah Agung atas suatu permasalahan

hukum. Perlu diketahui bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung saat ini

sudah melakukan tahap awal untuk membentuk suatu kesatuan hukum demi konsistensi putusan

dengan diterapkannya sistem kamar sejak September tahun 2011.

3. Konvensi Ketatanegaraan

Conventon atau lebih dikenal dengan istlah consttutonal conventon, yang diteliti lebih dalam

oleh Dicey seorang sarjana Inggris sebagaimana dikutp oleh Dahlan Thaib berarti rules for

determining the mode in which the discretonary powers of the crown (or of the ministers as

servants of the crown) ought to be exercise. Suatu konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciri-

ciri sebagai berikut; Konvensi ketatanegaraan itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang

ketatanegaraan; Kemudian konvensi ketatanegaraan tumbuh, berlaku, diikut dan dihormat dalam

praktk penyelenggaraan negara; serta Konvensi sebagai bagian dari konsttusi, apabila ada

pelanggaraan terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan.

Sejak era kemerdekaan Indonesia, konvensi menjadi hal lumrah yang terjadi dalam sistem

ketatatanegaraan Indonesia. Hal itu disebabkan belum adanya tradisi untuk mencantumkan

segala sesuatu dalam peraturan perundangundangan. Menurut Ismail Sunny hal ini disebabkan
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

adanya Express agreement (persetujuan yang dinyatakan) antara sejumlah elit, bak itu eksekutif

maupun legislatf sehingga konvensi tersebut merasa tdak perlu dinormakan dalam bentuk

peraturan perundang-undangan. Untuk dianggap sebagai konvensi, suatu norma tidak tertulis

harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang jelas. Apabila syarat terciptanya kebiasaan itu

diberlakukan pada kebiasaan ketatanegaraan, maka konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan

akan terbentuk melalui proses yang relatif lama.

Sebagai kebiasaan, konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan antara

lain, (1) harus ada preseden yang tmbul berkalikali; (2) preseden yang tmbul karena adanya

sebab secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima; dan (3) preseden itu karena adanya

kondisi politk yang ada. Syarat pertama, merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri, sebab tdak ada

kebiasaan yang tdak dilakukan secara berulang-ulang. Syarat kedua, sama dengan “opinion

necessitats” atau keyakinan akan kewajiban (hukum) yang berlaku di Eropa Kontnental.

Keyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya tdak hanya dirasakan oleh seseorang atau

golongan tertentu, tetapi oleh sebagian terbesar warga negara. Syarat ketga, dibutuhkan karena

tuntutan kondisi politk dalam skala yang luas.

Karena kehidupan politk menuntut dibentuknya tndakan baru sebagai awal terciptanya

konvensi ketatanegaraan atau tetap mempertahankan tradisi ketatanegaraan lama yang dianggap

selama ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan. Konvensi di Indonesia Berkenaan dengan

pengertian konvensi ketatanegaraan menurut sistem di Indonesia, Bagir Manan menjelaskan

Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktik

penyelenggaraan negara, melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi),

kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan. Hal ini disepakati

pula oleh Donald A. Rumokoy, yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa konvensi
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

ketatanegaraan adalah segenap kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar,

yang dilakukan dalam menyelenggarakan aktvitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara,

dan belum diatur dalam konsttusi serta peraturan ketatanegaraan lainnya, dengan maksud untuk

melengkapi ketentuan-ketentuan ketatanegaraan atau sebagai faktor pendinamisasi pelaksanaan

konstitusi.

Sebelum dan sesudah era reformasi, terdapat beberapa konvensi ketatanegaraan di Indonesia

yang dapat diinventarisasi oleh penulis:

a. Upacara Bendera Setap Tanggal 17 Agustus;

b. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus;

c. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu oleh Presiden;

d. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan;

e. Pemberian Grasi, Amnest, Abolisi, atau Rehabilitasi;

f. Program 100 Hari Kerja;

g. Menteri Non Departemen;

h. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara)

Kepada DPR;

i. Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Semua praktek

ketatanegaraan di atas tdak diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan mengacu pada asas

legalitas apabila tndakan tersebut dilanggar maka tdak akan ada juga konsekuensi hukum yang

terjadi.

Dalam negara yang menganut asas common law, praktek yang didasarkan pada tradisi adalah

sesuatu yang lumrah dalam kehidupan bernegara. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut

asas civil law, tradisi ketatanegaraan masih ada meskipun sebagian besar sudah dinormakan
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan inventarisasi konvensi

ketatanegaraan yang sudah ada sejak era reformasi, dapat dilihat bahwa tradisi yang sebelumnya

berbentuk hukum tidak tertulis perlahan-lahan mulai diformalkan dalam norma tertulis.

Pelaksanaan Upacara Bendera setiap tanggal 17 Agustus merupakan agenda rutin ketatanegaraan

di seluruh wilayah Indonesia. Pada awalnya tradisi ini dilandasi oleh konvensi atau kebiasaan

ketatanegaraan di seluruh Indonesia. Namun, sejalan dengan waktu, tradisi ini diformalkan

dalam sejumlah peraturan perundangundangan. Formalisasi itu dimulai dari munculnya pasal

terkait kewajiban pengibaran bendera merah puth dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2009. Padahal apabila kita melihat ke belakang, di era orde baru tdak ada undang-

undang yang mengatur praktek tersebut, akan tetapi hanya mendasarkan pada instruksi semata.

Praktek pengibaran bendera merah-puth pada tanggal 17 Agustus berjalan serentak dan

sangat sedikit ada pihak yang tdak tunduk dan taat pada instruksi tersebut. Bandingkan dengan

kondisi saat ini, meskipun dinarasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, masih

banyak pihak yang tdak tunduk serta taat pada ketentuan tersebut. Selain kewajiban pengibaran

bendera merah puth, terdapat pula undang-undang yang mengatur terkait upacara kemerdekaan,

yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan yang berbunyi:

Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:

a. Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia;

b. hari besar nasional;

c. hari ulang tahun lahirnya lembaga negara;

d. hari ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan

e. hari ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan di atas, memberikan

legitmasi yang kuat bagi pemerintah untuk menyelenggarakan upacara setap tanggal 17 Agustus.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan bersifat komplementer dengan

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera. Oleh karena itulah meskipun sejak era

orde baru sudah ada pelaksanaan upacara bendera setap tanggal 17 Agustus, saat ini hal ini

menjadi tradisi rutn yang dinormakan serta dilaksanakan disetap kantor atau instansi

pemerintahan diseluruh wilayah Indonesia. Tidak cukup hanya di instansi pemerintahan,

penormaan kebiasaan ketatanegaraan ini di lembaga pendidikan juga diatur dalam peraturan

perundangan-undangan, yaitu Permendiknas Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan

kesiswaan. Dengan tujuan untuk pembinaan kesiswaaan yang sasarannya meliput siswa

TK/TKLB, SD/SDLB dan SMA/ SMK/SMALB yang dilaksanakan melalui kegiatan

ekstrakurikuler dan kokurikuler, maka dibentuk 10 materi pembinaan yang butr nomor 3 adalah

membentuk kepribadian unggul, wawasan kebangsaan dan bela negara (pasal 3 butir 2c).

Pada lampiran yang menjelaskan jenis kegiatan pembinaan kesiswaan butr nomor 3

dijelaskan Pembinaan kepribadian unggul, wawasan kebangsaan dan bela negara antara lain

dilakukan dengan melaksakan upacara bendera pada hari senin dan/atau sabtu, serta hari-hari

besar nasional. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus Sejak era orde baru, Presiden Soeharto

merupakan pelopor tradisi kenegaraan dimana Presiden menyampaikan pidatonya di depan

seluruh anggota MPR setap tanggal 16 Agustus. Pidato kenegaraan ini pada dasarnya tdak

relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensiil,

yaitu Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat bukan kepada parlemen. Akan tetapi

tradisi itu berjalan secara rutn meskipun tdak ada dasar hukumnya. Akan tetapi sejak tahun 2010,

tradisi ketatanegaraan ini diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu

terdapat pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

(MD3).17 Merujuk pada Undang-Undang tersebut, Presiden melakukan 2 (dua) kali pidato

dalam satu hari tanggal 16 Agustus. Pidato pertama adalah Pidato Kenegaraan menyambut Hari

Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dan pidato kedua adalah Pidato Penyampaian RUU

tentang APBN. Pidato Penyampaian RUU APBN dilakukan di hadapan DPR, sedangkan Pidato

Kenegaraan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan dalam Sidang Bersama

(joint session) antara DPR dengan DPD.

Sidang bersama DPR-DPD diatur dalam Peraturan Bersama DPR dan DPD yang disahkan

pada tanggal 3 Agustus 2010, dan penyelenggaranya bergantan antara DPR dan DPD. Di Pasal

228 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, praktek diatur lebih tegas dan mendetail. Adanya

Undang-Undang MD3 yang meformalkan ketentuan terkait tradisi ketatanegaran yang dilakukan

oleh Presiden setap tanggal 16 Agustus, secara otomats mengubah konvensi ketatanegaraan sejak

era orde baru ini menjadi hukum tertulis. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu oleh Presiden

dalam sistem pemerintahan presidensiil kewenangan Presiden untuk mengangkat Menteri dan

jabatan lain setngkat Menteri mutlak menjadi kewenangan Presiden. Meskipun mempunyai

kewenangan mutlak dalam hal pengangkatan, namun dalam prakteknya Presiden kerap kali

melibatkan lembaga lain sepert KPK atau Kejaksaan atau membentuk Tim Seleksi yang dibentuk

untuk melakukan seleksi dalam memilih pejabat tertentu yang mempunyai kelayakan dan

kecakapan sebagai contoh pengangkatan hakim Mahkamah Konsttusi. Preseden itu sempat tidak

diikuti oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pengangkatan Patrialis Akbar

dan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konsttusi. Presiden SBY pada waktu itu

mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar

dan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konsttusi (MK) tanpa melalui proses uji kompetsi

dan kelayakan (ft and proper test).19 Pada akhirnya Kepres itu digugat ke PTUN, dan sempat
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

dicabut oleh Putusan PTUN. Akan tetapi, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Keputusan

Presiden SBY yang mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida tanpa melalui uji kompetsi dan

kompetensi tdak melanggar undang-undang. Meskipun sudah menjadi tradisi pengangkatan

Hakim MK melalui tm ahli, ketka Presiden SBY melanggar tradisi itu, Pembuat undang-undang

kemudian menormakan itu di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 18 A Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggant Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsttusi Menjadi Undang-Undang. Sejak adanya ketentuan

ini, tradisi ketatanegaraan yang mana pengangkatan Hakim MK melalui Tim Seleksi yang

sempat dilanggar di era Pemerintahan SBY menjadi norma terikat yang harus ditaat oleh setap

Presiden RI. Begitu pula dalam hal pengangkatan Menteri, tradisi yang muncul saat ini adalah

ketka Presiden hendak mengangkat Menteri maka dia akan melibatkan KPK dan PPATK untuk

melihat bagaimana profl calon menteri tersebut. Akan tetapi tradisi ini baru berjalan beberapa

waktu, sehingga saat ini tradisi ini masih berjalan sebagai salah satu konvensi dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. d. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan Apabila

mengacu pada Pasal 51 jo. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,

Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang wajib dipasang di Gedung dan/atau

Kantor Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah adalah Lambang Negara yaitu Garuda

Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun apabila kita melihat pasal 55 undang-undang tersebut, secara implisit terdapat

perintah untuk pemasangan gambar wakil Presiden di antara lambang negara. Undang-undang ini

tdak mengatur secara tegas terkait kewajiban pemasangan foto presiden dan wakil presiden di

setap instansi pemerintahan. Hanya saja sebagai sebuah konvensi, praktk ini sudah dilakukan
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

sejak lama sehingga saat tdak ada dasar hukum yang mengaturnya, tdak ada seorangpun yang

mempermasalahkanya. Apalagi saat ini ada aturan yang mengatur hal tersebut secara implisit,

oleh karena itu sebagai sebuah praktek hal ini sudah dinormakan dalam aturan perundang-

undangan. Pemberian Grasi, Amnest, Abolisi, atau Rehabilitasi Pemberian grasi, amnest, abolisi

atau rehabilitasi sejak era orde baru merupakan kewenangan mutlak Presiden sebagai kepala

negara meskipun dalam prakteknya Presiden selalu meminta pertimbangan kepada DPR atau

Mahkamah Agung. Sebelum era amandemen UUD 1945, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14

UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan absolut terhadap pemberian grasi, rehabilitasi,

amnest dan abolisi. Selain keberadaan konsttusi sebagai dasar hukum, pada era sebelum

amandemen konsttusi juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1947, Peraturan

Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang

Permohonan Grasi. Ketga peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur terkait tata

cara mengajukan permohonan grasi serta siapa saja yang berhak mengajukan grasi, begitupula

dengan rehabilitasi, amnest dan abolisi ketgatganya pada era sebelum amandemen UUD 1945

mutlak menjadi kewenangan Presiden dan tdak ada kewajiban untuk mendapatkan pertmbangan

ataukah persetujuan dari Mahkamah Agung ataupun DPR. Pada tahun 1973, berdasarkan TAP

MPR No.VI/MPR/1973 pasal 11 ayat 3, MPR kemudian menormalkan kewenangan Mahkamah

Agung terkait dengan pemberian nasehat hukum kepada Presiden untuk pemberian/penolakan

grasi, meskipun sebelum ada norma tersebut pada prakteknya Presiden selalu meminta

pertmbangan kepada Mahkamah Agung.

Tradisi itu kemudian di normalkan lebih tegas dalam Pasal 14 UUD NRI 1945 setelah

amandemen, apabila Presiden ingin memberikan grasi, rehabilitasi, amnest ataupun abolisi, maka

Presiden wajib meminta pertmbangan DPR atau Mahkamah Agung. Program 100 Hari Kerja
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Program 100 hari kerja merupakan tradisi ketatanegaraan yang kita bangun sejak era reformasi.

Sebenarnya hal ini pada awalnya adalah upaya masyarakat untuk mengukur indikator

keberhasilan Presiden baru, yaitu Presiden BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawat

Soekarnoputri. Namun sejak Pilpres 2004, Presiden SBY pertama kali memperkenalkan program

100 hari kerja yaitu Pemberantasan mafia hukum, Revitalisasi industri pertanian,

Penangggulangan terorisme, Kesediaan listrik, Peningkatan produksi dan ketahanan pangan,

Revitalisasi pabrik pupuk dan gula, Penataan tanah dan tata ruang, Peningkatan infrastruktur,

Peningkatan pinjaman usaha mikro usaha kecil dan usaha menengah, Pendanaan,

Penanggulangan perubahan iklim dan lingkungan, Reformasi kesehatan, Reformasi pendidikan,

Kesiagaan dalam penanggulangan bencana, dan Koordinasi erat pemerintah pusat dan daerah.

Setelah tahun 2004, Setap calon presiden pasti punya tradisi untuk melakukan pencapaian

tertentu selama 100 hari kerja. Hingga saat ini, kebiasaan ini masih berjalan dan belum

dinormakan dalam peraturan perundang-undangan. Menteri Non Departemen Pengangkatan

Menteri non departemen bersamaan dengan pengangkatan Menteri merupakan tradisi

ketatanegaraan yang sudah berlangsung sejak era orde baru. Biasanya jabatan yang diangkat

secara bersamaan dengan Menteri adalah Jaksa Agung dan Gubernur BI.

Pelaksanaan tradisi ketatanegaraan ini berhenti di era kepemimpinan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono. Presiden SBY pada waktu itu memutuskan untuk tdak mengangkat lagi

Jaksa Agung pada periode II kepemimpinannya sebagai Presiden. Presiden SBY tetap

membiarkan Jaksa Agung Hendarman Supandji menduduki jabatannya sebagai Hakim Agung

tanpa melantiknya kembali. Pada pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara

sehingga diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga Jaksa Agung merupakan bagian
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

dari Kabinet yang usia jabatannya sama dengan usia jabatan Presiden yang memilihnya, yaitu

lima tahun.

Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa pasal terkait ketentuan ini adalah

konstitusional bersyarat (Conditonally Consttutonal). Akan tetapi sebagai sebuah tradisi

ketatanegaraan sejak era orde baru, tindakan Presiden SBY yang memutuskan untuk tidak

melantik lagi Jaksa Agung untuk periode kedua karena tidak ada ketentuannya merupakan

kesalahan politk. Saat ini tradisi ini masih tetap berjalan namun sudah dinormalkan secara

tertulis dalam peraturan perundang-undangan, jabatan Jaksa Agung selalu diangkat dan dilantik

setap 5 tahun sekali pada pergantian pemerintahan. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN

(Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Kepada DPR Salah satu tradisi

ketatanegaraan di Indonesia adalah setap tanggal 16 Agustus Presiden menyampaikan tentang

RUU APBN, baik perubahannya atau untuk ke depannya. Penyampaian penjelasan itu dilakukan

di depan anggota DPR dalam bentuk sidang paripurna bersamaan dengan pidato kenegaraan.

Pada awalnya hal ini tdak diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan.

Hingga saat ini pun yang diatur terkait pidato tangal 16 Agustus adalah pidato kenegaraan, dan

tdak mengatur terkait detail hal yang dibicarakan dalam pidato kenegaraan tersebut. Akan tetapi

penjelasan Presiden terkait UU APBN dan APBN-Perubahan selalu dilakukan pada tanggal 16

Agustus dan menjadi tradisi ketatanegaraan Indonesia hingga saat ini. Pengambilan Keputusan

oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Proses pengambilan keputusan MPR yang

dilakukan secara musyawarah merupakan tradisi kenegaraan Indonesia sejak era orde baru.

Padahal apabila mengacu pada UUD NRI 1945 sebelum amandemen, di dalamnya tidak ada

satupun kata pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat. Akan tetapi karena pada
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

waktu itu sudah menjadi tradisi ketatanegaraan yang sudah ada sejak era orde baru, tradisi ini

masih berjalan.

Satu-satunya dasar hukum yang pernah mengatur terkait konsep musyawarah mufakat

adalah. TAP MPR No. II/MPR/1999 yang pada pasal 83 mengatur terkait syarat sahnya

pengambilan keputusan melalui musyawarah, yaitu apabila diambil dalam suatu rapat yang

daftar hadirnya telah ditandatangani lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang mencerminkan

setap fraksi kecuali dalam penetapan GBHN. Konvensi dalam Sistem Hukum Nasional Dari

paparan sebelumnya, dapat terlihat bahwa konvensi sebagai salah satu sumber hukum

ketatanegaraan jumlahnya semakin berkurang. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan

mengformalkan semua tradisi ketatanegaraan dalam bentuk hukum tertulis. Keberadaan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

didalamnya terdapat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menciptakan

kompleksitas persoalan terkait posisi konvensi, karena dalam penjelasannya terdapat semangat

untuk memformalkan semua peraturan perundang-undangan menjadi norma tertulis agar sesuai

dengan sistem hukum nasional.

Adanya Undang-Undang inilah yang menjadi salah satu dasar formalisasi konvensi dalam

bentuk hukum tertulis. Sebagai sebuah sumber hukum, keberadaan konvensi yang tidak jelas

pengaturannya menjadi persoalan dalam ketatanegaraan Indonesia. Konvensi. Sebagai salah satu

sumber hukum yang mempunyai karakteristk tdak tertulis, konvensi yang sudah diformalkan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara otomats tdak termasuk dalam konvensi

ketatanegaraan. Padahal sebagai salah satu sumber hukum, konvensi merupakan tradisi

ketatanegaraan yang sudah ada dan disepakat bersama sehingga tdak perlu lagi dinormakan

dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini bisa menciptakan perspektf bahwa hukum
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

tidak akan berlaku kalau tidak ada norma tertulis yang mengaturnya, dan secara tidak langsung

serta perlahan demi perlahan akan menegasikan konvensi sebagai salah satu sumber hukum

bangsa Indonesia.

Perkembangan konvensi di negara lain misalnya Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu

negara yang menganut sistem hukum common law menunjukkan perbedaan yang menarik.

Negara AS merupakan salah satu negara demokrasi yang mana justru dalam tradisi

ketatanegaraannya dipenuhi oleh konvensikonvensi (kebiasaan). Secara sederhana, hampir

semua proses ketatanegaraan di Amerika Serikat tdak ada norma kongkret yang mengaturnya.

Mulai dari proses pemilu pendahuluan (primary electon), lalu ajang debat kandidat calon

presiden, pidato kemenangan (victory speech), pidato pengakuan kekalahan (concession speech),

hingga Presiden berbicara di depan seluruh kekuasaan legislatif dan yudikatif yang dikenal

dengan state of the union. Semua tradisi itu tidak terdapat aturan yang tertulis, akan tetapi sampai

saat ini praktek itu masih berjalan dan tidak tmbul persoalan. Hal ini pun terjadi di negara

lainnya yang mana menempatkan sistem common law sebagai sistem hukumnya, seperti Inggris

ataupun Australia. Begitupula di negara dengan sistem hukum civil law sepert Belanda, masih

terdapat banyak tradisi ketatanegaraan yang sampai sekarang masih dipertahankan

keberadaannya dan tdak diatur dalam norma tertulis, seperti jabatan Perdana Menteri yang secara

otomatis akan dijabat oleh Pimpinan tertnggi dari Partai yang memperoleh suara terbesar dalam

pemilihan umum.

Melihat pelaksanaan konvensi di Amerika Serikat dan Belanda terlihat bahwa eksistensi

konvensi sejatinya tidak dibatasi oleh sistem hukum. Di negara yang terbangun dengan tradisi

common law sepert Amerika Serikat, hampir semua praktk ketatanegaraan tidak dinormalkan

dalam peraturan yang tertulis dan dibiarkan tetap ada sebagai bagian dari tradisi ketatanegaraan,
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

namun ketika ada pelanggaran terhadap tradisi tersebut memang ada kecenderungan untuk

menormakan tradisi tersebut dalam peraturan yang tertulis. Hal itu pernah terjadi dalam kasus

terpilihnya Presiden Franklin D.Rosevelt untuk ketga kalinya pada tahun 1940. Padahal tradisi

ketatanegaraan di Amerika Serikat Presiden hanya menjabat sekali dan dapat dipilih kembali

untuk satu masa jabatan. Pada tahun 1947, Kongres kemudian melakukan amandemen dan

menormakan tradisi ketatanegaraan tersebut dalam konstitusi. Sementara itu Belanda yang

menganut sistem civil law, tradisi ketatanegaraan yang sudah ada juga tidak pernah dipersoalkan,

dan hingga saat ini praktik itu tdak dinormakan dalam aturan tertulis. Saat ini ada beberapa

konvensi ketatanegaraan Indonesia yang masih bertahan salah satunya adalah pengangkatan

pejabat setngkat Menteri setap 5 tahun sekali.

Khusus untuk pengangkatan pejabat setingkat Menteri bahkan sudah diuji

konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi dengan putusan MK adalah Konsttusional

bersyarat. Hal ini mengindikasikan bahwa MK sejatinya juga melihat bahwa posisi konvensi

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih simpang siur, apakah konstitusional ataukah

inkonstitusional. Oleh karena itulah tindakan pemerintah untuk menormakan segala tradisi

ketatanegaraan dalam norma tertulis sejatnya merupakan upaya untuk menghapus konvensi

sebagai salah satu sumber hukum tata negara Indonesia. Dengan merujuk praktik konvensi yang

ada di Amerika Serikat dan Belanda, sejatnya konvensi tidak mengenal batas terkait negara

dengan sistem hukum civil law ataukah common law. Keberadaan konvensi yang disepakati

bersama sebagai tradisi ketatanegaraan akan membuat Indonesia tdak terjebak dalam

problematka banjirnya aturan di masyarakat (Over regulated society). Ketika segala sesuatu

harus diatur dengan norma tertulis, maka ketka ada dinamika masyarakat yang berubah,

Pemerintah terlihat dalam posisi yang dilemats. Sebagai contoh aturan yang sangat mendetail
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

dalam Pasal 344 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur

jumlah kertas suara yang dicetak sama dengan jumlah DPT ditambah 2% dari jumlah DPT

sebagai cadangan. Ketentuan ini sangat detail, yang akhirnya ketika ada potensi penumpukan

suara di beberapa TPS, KPU tdak berani menambah kertas suara karena takut melanggar UU.

Oleh karena itulah keberadaan konvensi masih diperlukan di Indonesia, agar tdak semua hal

harus diatur dengan norma tertulis. Untuk memberikan kepastan hukum terkait dengan posisi

konvensi, Pembuat undang-undang harus menempatkan konvensi sebagai salah satu sumber

hukum yang diakui dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dengan memberikan kepastan hukum bagi keberadaan konvensi sebagai norma tidak

tertulis, maka untuk kedepannya tidak semua praktik ketatanegaraan harus diatur dengan norma

tertulis.

4. Doktrin Ilmu Hukum (communis opinio docturum)

Communis opinio doctorum adalah istilah latin yang menurut Mr. Mahadi dalam bukunya

Sumber-Sumber Hukum (1958) berarti pendapat umum para guru. Dahulu di zaman Romawi,

doktrin para guru disebut juga dengan Jus prodentibus constitutum yang berarti hukum yang

diciptakan orang-orang cerdik pandai. Prudentes di zaman Romawi adalah golongan ahli hukum

yang: membuat komentar tentang hukum yang berlaku dimasanya, berusaha mencari hakekat-

hakekat hukum (les raisons profondes), dan berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah

yang hangat.

Di dalam komentar dan fatwa-fatwa mereka sering melampau batas-batas khusus dan

menginjak masalah-masalah umum dengan membawakan soal-soal khusus kepada dasar-dasar

umum. Lama kelamaan terciptalah dasar-dasar umum (un reseau de principes). Kalau terdapat
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

kata sepakat diantara prudentes itu tentang sesuatu masalah, maka menurut Mahadi orang

memakai istilah communis opinio doctorum.

Tentang doktrin ilmu hukum yang diakui sebagai communis opinio doctorum apakah sebagai

sumber hukum terdapat beda pendapat. Namun, dalam ilmu hukum tata negara umumnya

menganggap doktrin ilmu hukum yang telah diakui sebagai communis opinio doctorum

dikalangan para ahli yang memiliki otoritas yang diakui oleh umum menurut Jimly Asshiddiqie

(2006) diakui sebagai salah satu sumber hukum yang dapat dijadikan referensi dalam membuat

keputusan hukum. Namun, sumber hukum yang dianggap penting dalam ilmu hukum tata negara

pada umumnya adalah: UUD dan peraturan perundangan tertulis, Jurisprudensi peradilan,

kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) dan Hukum Internasional tertentu.

Tidak dapat dipungkiri seorang hakim termasuk hakim konstitusi dalam memutus perkara

seringkali mendasarkan pendapatnya pada ahli yang sudah umum diakui memiliki otoritas ilmiah

dan netral. Dalam menilai konstitusionalitas norma hukum kadangkala rujukannya tidak dapat

ditemukan dalam hukum yang tertulis dan disitulah peran doktrin dalam ilmu pengetahuan

hukum sangat membantu dalam mengambil putusan dan nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis

dapat digunakan sebagai sandaran dengan tetap tergantung dengan keyakinan hakim.

Sebagai perbandingan, dalam hukum Internasional pendapat ahli sangat berpengaruh besar.

Bahkan Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of The

International Criminal Court of Justice) Pasal 38 Ayat (1) mengakui bahwa dalam menimbang

dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan pedoman yang salah satunya adalah

pemdapat-pendapat sarjana hukum.


PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

D. Penutup

Sumber hukum tata negara tidak dapat dipisahkan dari pengertian sumber hukum menurut

pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata negara mencakup sumber hukum

dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Beberapa sumber hukum tata negara

berdasarkan sumber hukum formil adalah yurisprudensi, konvensi ketatanegaraan,doktrin ilmu

hukum, peranan yurisprudensi di Indonesia sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber

hukum yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara.

Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif, hal yang baik dalam mencari

dan menegakkan keadilan. Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah

satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law maupun common law. Sebagai tradisi

ketatanegaraan di Indonesia, konvensi selayaknya tetap dipertahankan keberadaannya. Selain

masih dipertanyakan terkait dengan konstitusionalitasnya, praktik ini juga mencegah Indonesia

terjebak ke dalam kondisi overregulated society, dimana segala sesuatu harus diatur dengan

hukum tertulis secara mendetail. Dalam ilmu hukum tata negara umumnya menganggap doktrin

ilmu hukum yang telah diakui sebagai communis opinio doctorum dikalangan para ahli yang

memiliki otoritas yang diakui oleh umum menurut Jimly Asshiddiqie (2006) diakui sebagai salah

satu sumber hukum yang dapat dijadikan referensi dalam membuat keputusan hukum. Namun,

sumber hukum yang dianggap penting dalam ilmu hukum tata negara pada umumnya adalah:

UUD dan peraturan perundangan tertulis, Jurisprudensi peradilan, kebiasaan ketatanegaraan

(konvensi) dan Hukum Internasional tertentu.

UNTUK DAFTAR PUSTAKA TIDAK USAH DIRUBAH, BIARKAN SAJA

Daftar Pustaka
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Andrew Shandy Utama, Independensi Pengawasan Terhadap Bank Badan Usaha Milik Negara
(Bumn) Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume
1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3312.
Annisa Arifka, Sanksi Administrasi Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan Orang Pribadi Di Kota
Padang, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3745.
Ade Sarmini, Kualitas Pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) Pada Kantor Satuan Lalu Lintas
Polres Karimun, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.4231.
Bram Mohammad Yasser, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Pada Peradilan Tata
Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi, Soumatera Law
Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3558.
Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana
Internasional, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i1.3398.
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak
Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.
https://doi.org/10.14710/mmh.47.1.2018.10-21.
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Kota Layak
Anak di Indonesia, Ius Quia Iustum Law Journal, Volume 25, Nomor 1, 2018,
https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10.
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam
Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa, Padjadjaran Journal of Law,
Volume 4, Nomor 3, 2017. https://doi.org/10.15408/jch.v4i2.3433.
Debora Angelia Pardosi, Peran Jabatan Fungsional Auditor Terhadap Peningkatan Kinerja
Birokrat Di Lingkungan Inspektorat Provinsi Jawa Tengah, Soumatera Law Review,
Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3718.
Dewi Fiska Simbolon, Kurangnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab
Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak, Soumatera Law Review, Voume 1, Nomor 1,
2017, http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3310.
Dian Bakti Setiawan, Keberadaan Dan Penerapan Peraturan Daerah Syari’ah Sebagai
Perundang-Undangan Pada Tingkat Daerah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor
1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3327.
Dila Andika Azhar, Analisis Yuridis Terhadap Penyimpanan Sertifikat Hak Atas Tanah Oleh
Notaris Pada Proses Pengikatan Jual Beli (Pjb) (Analisis Putusan Nomor
53/Pid.B/2017/Pn.Bkt), Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i1.3557.
Dola Riza, Hakikat KTUN Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Vs Undang-
undang Admnistrasi Pemerintahan, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.3566.
Fadlan, Perkembangan Kebijakan Daerah Sebagai Paradigma Dasar Untuk Penentuan
Kebijakan Mengelola Potensi Keberagaman, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor
1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3347.
Ferdian, Lelang Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Dirampas Oleh Negara Berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Padang, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019,


10.22216/soumlaw.v2i1.3564.
Hasnati, Tanggung Jawab Direksi Terhadap Terjadinya Kredit Macet Pada Perbankan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Soumatera Law Review, Volume
2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3319.
Hendra Sudrajat, Beggy Tamara, Peran Naskah Akademik Dan Daftar Inventarisasi Masalah
Dalam Mewujudkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan
Anak Yang Aspiratif Di Kota Tangerang, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2,
2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3713.
Idham, Pendaftaran Tanah Dan Penerbitan Sertipikat Dalam Perspektif Free Trade Zone (FTZ)
Di Kampung Tua, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Soumatera Law Review,
Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3908.
Jasmir, Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha, Soumatera Law
Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3384.
Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara (Di Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945), Deepublish, Yogyakarta, 2016.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak (Dari Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Wacana Kebiri Dan Bahaya LGBT Bagi
Regenarasi Bangsa), Deepublish, Yogyakarta, 2016.
Laurensius Arliman S, Gokma Toni Parlindunga S, Politik Hukum Perlindungan Anak,
Deepublish, Yogyakarta, 2017.
Laurensius Arliman S, Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Deepublish, Yogyakarta, 2019.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan - Tantangan Warga Negara Milineal
Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Yogyakarta, 2019.
Laurensius Arliman S, Protection of Girls from the Dangers of Sexual Violence in Indonesia to
Design Suistanable Child Protection, Proceedings 1st Bicoshs (Prophetic Role of Sharia
Knowledge in Developing Social Justice), 2017.
Laurensius Arliman S, Debora Angelina Carissa Pardosi, Peran Badan Pengawas Pemilu untuk
Mengisi Kekosongan Hukum Eksploitasi Anak dalam Pelaksanaan Kampanye, Seminar
Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 4, Nomor 2, 2018,
https://doi.org/10.15294/snh.v4i02.25600.
Laurensius Arliman S, Danel Situngkir, Rianda Putri, Rahmat Fauzi, Hariyadi, Gokma Toni
Parlindungan S, Cyber Bullying Against Children In Indonesia, International Conference
on Social Sciences, Humanities, Economics and Law; Padang, 2018. DOI:10.4108/eai.5-
9-2018.2281372.
Laurensius Arliman S, Penelantaran Perlindungan Anak Oleh Orangtua Akibat Gaya Hidup
Modernisasi Yang Salah Arah, Konferensi Nasional Sosiologi V, Asosiasi Program Studi
Sosiologi Indonesia, Volume 5, Padang 18-19 Mei 2017.
Laurensius Arliman S, Penegakan Hukum Bisnis Ditinjau Dari Undang-Undang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lex Jurnalica, Volume 16,
Nomor 3, 2019.
Laurensius Arliman S, Analisis Dari Perspektif Politik Hukum Terhadap Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana,
Lex Jurnalica, Volume 15, Nomor 3, 2018.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Industri Di Indonesia, Lex
Jurnalica, Volume 15, Nomor 2, 2018.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hak Anak Di Dalam Memperoleh Pelayanan Kesehatan Di
Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 15, Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hak Anak Yang Berhadap Dengan Hukum Di Wilayah
Hukum Polisi Resort Kota Sawahlunto, Lex Jurnalica, Volume 14, Nomor 2, 2018.
Laurensius Arliman S, Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Terhadap
Perlindungan Hak Anak Yang Bekelanjutan Di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 14,
Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum UMKM Dari Eksploitasi Ekonomi Dalam Rangka
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal RechtsVinding, Volume 6, Nomor 3,
2017.
Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Di Dalam Perlindungan Anak Yang
Berkelanjutan Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum, Padjadjaran Journal of Law, Volume
3, Nomor 2, 2016. https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a5.
Laurensius Arliman S, Penanaman Modal Asing Di Sumatera Barat Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Supremasi Hukum, Volume
1, Nomor 1, 2018. http://dx.doi.org/10.36441/hukum.v1i01.102.
Laurensius Arliman S, Kodifikasi RUU KUHP Melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi,
UIR Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2018
https://doi.org/10.25299/uirlrev.2018.2.01.1437.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Tereksploitasi Secara
Ekonomi Di Kota Padang, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2016,
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00901.5
Laurensius Arliman S dan Hariyadi, Peran Orangtua Dalam Mengawasi Anak Dalam
Mengakses Media Internet Untuk Mewujudkan Perlindungan Hak Anak, Soumatera Law
Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i2.3716.
Laurensius Arliman S, Peran Investasi dalam Kebijakan Pembangunan Ekonomi Bidang
Pariwisata di Provinsi Sumatera Barat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Volume 20, Nomor
2, 2018, https://doi.org/10.24815/kanun.v20i2.10081.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Bagi Anak Dalam Perspektif Pancasila Dan Bela
Negara, Jurnal Ilmu Hukum Unifikasi, Volume 5, Nomor 1, 2018,
https://doi.org/10.25134/unifikasi.v5i1.754.
Laurensius Arliman S, Hukum Adat Di Indonesia Dalam Pandangan Para Ahli Dan Konsep
Pemberlakuannya di Indonesia, Jurnal Selat, Volume 5, Nomor 2, 2018,
https://doi.org/10.31629/selat.v5i2.320.
Laurensius Arliman S, Perkembangan Dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia,
Jurnal Selat, Volume 5, Nomor 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Anak Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Jurnal Yustisia,
Volume 22, Nomor 1, 2015.
Laurensius Arliman S, Eksistensi Hukum Lingkungan dalam Membangun Lingkungan Sehat Di
Indonesia, Jurnal Lex Librum, Volume 5, Nomor 1, 2018,
http://doi.org/10.5281/zenodo.1683714.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak Oleh Masyarakat Ditinjau Dari Mazhab Sejarah Di
Dalam Penerapan Prinsip The Best Interest Of The Child Pada Kehidupan Anak Di
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Indonesia, Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 1, 2017,
http://dx.doi.org/10.24912/era%20hukum.v15i1.668.
Laurensius Arliman S, Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai
Bentuk Perlindungan Anak Berkelanjutan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Volume 19,
Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Tinjauan Kedudukan Pengguna Anggaran Dan Kuasa Pengguna
Anggaran, Volume 8, Nomor 2, 2015,
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00802.1
Laurensius Arliman S, Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada Komnas HAM
Perwakilan Sumatera Barat), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 2015,
Laurensius Arliman S, Imelda Tamba, Maria Florida Bunga Makin, Kualitas Pelayanan Sdm
Mempengaruhi Kepuasan Anggota Koperasi Simpan Pinjam Credit Union Jembatan
Kasih Kp Tanjung Uncang Di Kota Batam, Jurnal Marketing, Volume 1, Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Fungsi Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Padang, Jurnal Ilmiah Hukum De’Jure, Volume 1, Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Urgensi Notaris Syari’ah Dalam Bisnis Syari’ah Di Indonesia,
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume 24, Nomor 1, Mei 2016, DOI:
http://dx.doi.org/10.21580/ws.2016.24.1.676.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Paralegal Kepada Masyarakat Sebagai Bentuk Perlindungan
Anak Yang Berkelanjutan, UIR Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2017,
https://doi.org/10.25299/ulr.2017.1.01.153
Laurensius Arliman S, Peran Lembaga Catatan Sipil Terhadap Perkawinan Campuran
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Cendekia Hukum, Volume 4, Nomor 2,
2019, http://doi.org/10.33760/jch.v4i2.40.
Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat di Daerah Perbatasan NKRI untuk Mencegah
Anak Sebagai Objek Human Trafficking, Wawasan Yuridika, Volume 2, Nomor 1, 2018,
http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v2i1.162.
Laurensius Arliman S, Memperkuat Kearifan Lokal Untuk Menangkal Intoleransi Umat
Beragama Di Indonesia, Ensiklopedia of Journal, Volume 1, Nomor 1, 2018,
https://doi.org/10.33559/eoj.v1i1.18.
Laurensius Arliman S, Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata
Internasional, Kertha Patrika, Volume 39, Nomor 3, 2017,
https://doi.org/10.24843/KP.2017.v39.i03.p03.
Laurensius Arliman S, Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai State Auxialiary Bodies Yang
Menjamin Siaran Yang Layak Bagi Anak, Veritas et Justitia, Volume 3, Nomor 1, 2017,
https://doi.org/10.25123/vej.2528.
Laurensius Arliman S, Partispasi Pemerintah Daerah Di Dalam Perlindungan Anak Yang
Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7, Nomor 2, 2016.
Laurensius Arliman S, Sumbangsih Werda Notaris Dalam Organisasi Ikatan Notaris Indonesia,
Jurnal Yuridika, Volume 30, Nomor 3, 2015, https://doi.org/10.20473/ydk.v30i3.1770.
Laurensius Arliman S, Peran Dewan Pers Sebagai Lembaga Negara Independen Yang
Menjamin Berita Yang Layak Bagi Perlindungan Anak, Mahkamah: Jurnal Kajian
Hukum Islam, Volume 4, Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.24235/mahkamah.v4i2.4972.
Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang Milik Orang Lain
Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial Kajian Putusan Nomor 267/Pid.
B/2015/PN. Blg, Jurnal Gagasan Hukum, Volume 01, Nomor 1, 2019,
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Di Dalam Pengelolaan Uang Desa Pasca


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Jurnal Arena Hukum, Volume 12,
Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2019.01202.5.
Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Penyidikian Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Agama
Melalui Konten Video Melalui Media Sosial, Ensiklopedia Sosial Review, Volume 01,
Nomor 1, 2019.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak dalam Proses Penyidikan di Polresta Padang, Jurnal
Ijtihad, Volume 31, Nomor 2, 2015, http://dx.doi.org/10.15548/ijt.v31i2.63,
Laurensius Arliman S, Yulfasni, Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Dihubungkan dengan
Good Corporate Governance dalam Rangka Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan
Pemegang Saham, Pagaruyuang Law Journal, Volume 3, Nomor 1, 2019.
Laurensius Arliman S, Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana Sebagai Bentuk Mendukung
Penegakan Hukum di Indonesia, Kosmik Hukum, Volume 19, Nomor 1, 2019,
https://doi.org//10.30595/kosmikhukum.v19i1.4081.
Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum Indonesia,
Dialogica Jurnalica, Volume 11, Nomor 1, 2019, https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1831.
Laurensius Arliman S, Politik Hukum Kenotariatan Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan
Notaris Bagi Notaris Dalam Menjalankan Jabatannya, Dialogica Jurnalica, Volume 9,
Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.28932/di.v9i2.976.
Laurensius Arliman S, Mediasi Melalui Pendekatan Mufakat Sebagai Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional, UIR Law
Review, Volume 2, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.25299/uirlrev.2018.vol2(02).1587.
Laurensius Arliman S, Jaksa Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-undang Kejaksaaan,
Jendela Hukum dan Keadilan, Volume 5, Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Pemakzulan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia, Justicia et Pax,
Volume 34, Nomor 1, 2018, https://doi.org/10.24002/jep.v34i1.1652.
Laurensius Arliman S, Implementasi Keterbukaan Informasi Pubik Untuk Mendukung Kinerja
Aparatur Sipil Negara Yang Profesional, Cendikia Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2018,
http://doi.org/10.33760/jch.v3i2.18.
Laurensius Arliman S, Peranan Pers Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Berkelanjutan Di
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, Volume 2, Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Kedudukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sebagai State Auxiliary
Bodies Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Justitia et Pax, Volume 32,
Nomor 2, 2016, https://doi.org/10.24002/jep.v32i2.1151.
Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Penanganan Tindak Pidana Narkotika Oleh Sudbit
Keamanan Dengan Subdit Narkotika Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Journal of
Islamic and Law Studies, Volume 3, Nomor 2, 2019,
https://doi.org/10.18592/jils.v3i2.3237.
Laurensius Arliman S, Konsep dan Gagasan Pengenalan Pendidikan Antikorupsi Bagi Anak
dalam Rangka Mewujudkan Generasi yang Bebas Korupsi, Nurani: Jurnal Kajian
Syari’ah dan Masyarakat, Volume 17, Nomor 1, 2017,
https://doi.org/10.19109/nurani.v17i1.1348.
Laurensius Arliman S, Dinamika Dan Gagasan Mencegah Eksploitasi Anak Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah, Jurnal Jentera, Volume 1, Nomor 1, 2017.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Laurensius Arliman S, Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Salah Satu Wujud Tujuan Bela
Negara, Respublica, Volume 17, Nomor 1, 2017,
https://doi.org/10.31849/respublica.v17i1.1453.
Laurensius Arliman S, Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Dalam Penegakan
Ham Perempuan Indonesia, Justicia Islamica, Volume 14, Nomor 2, 2017,
https://doi.org/10.21154/justicia.v14i2.1228.
Laurensius Arliman S, Hukum Pidana Sebagai Landasan Penegakan Hukum Oleh Penegak
Hukum Di Indonesia, Jurnal Jendela Hukum dan Keadilan, Volume 4, Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak Untuk
Mewujudkan Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan, Syiar Hukum, Volume 15, Nomor
2, 2017, https://doi.org/10.29313/sh.v15i2.2857.
Laurensius Arliman S, Undang-undang 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perppu 1 Tahun
2016 Sebagai Wujud Perlindungan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Tata Negara,
Jurnal Hukum Positum, Volume 1, Nomor 2, 2017,
http://dx.doi.org/10.35706/positum.v1i2.846.
Laurensius Arliman S, Hak Atas Pengadaan Dan Standar Rumah Bagi Mantan Presiden
Dan/Atau Wakil Presiden Republik Indonesia, Jurnal Yuridis, Volume 4, Nomor 1, 2017,
http://dx.doi.org/10.35586/.v4i1.131.
Laurensius Arliman S, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Penyelesaian Kasus
Dan Kelemahannya, Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, Volume 2, Nomor 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Pemanggilan Notaris Dalam Rangka Penegakan Hukum Paska
Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, Justicia et Pax, Volume 32, Nomor 1,
2016, https://doi.org/10.24002/jep.v32i1.758.
Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Tereksploitasi Secara
Ekonomi Di Kota Padang, Arena Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2016,
https://doi.org/10.25123/vej.2076.
Laurensius Arliman S, Tinjauan Kedudukan Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna
Anggaran, Volume 8, Nomor 2, 2015,
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00802.1.
Laurensius Arliman S, Bolehkan Notaris Melakukan Penyuluhan Hukum Pasar Modal Melalui
Media Internet? Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik), Volume 2, Nomor 1, 2016,
https://doi.org/10.35814/selisik.v2i1.638.
Laurensius Arliman S, Hak Ingkar (Verschoningsplicht) Atau Kewajiban Ingkar (Verschoning
Splicht) Notaris Didalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Doctrinal, Volume 1, Nomor
1, 2016.
Laurensius Arliman S, Peranan Filsafat Hukum Dalam Perlindungan Hak Anak Yang
Berkelanjutan Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia, Doctrinal, Volume 1, Nomor 2,
2016.
Laurensius Arliman S, Partisipasi Aktif dan Pasif Publik dalam Pembentukan Peraturan Daerah
di Kota Payakumbuh, Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2015.
Laurensius Arliman S, Wakil Menteri dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Manajemen
Sumber Daya Manusia, Volume 2, Nomor 2, 2015.
Laurensius Arliman S, Dispensasi Perkawinan Bagi Anak Di Bawah Umur Di Pengadilan
Agama Padang Sidempuan, Jurnal Al Adalah, Volume 12, Nomor 4, 2015.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Laurensius Arliman S, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Perubahan Undang


Undang Jabatan Notaris Terhadap Pengawasan Notaris, Jurnal Respublica, Volume 16,
Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.31849/respublica.v16i1.1427.
Laurensius Arliman S, Wacana Program Pembangunan Nasional Semesta Berencana atau
GBHN sebagai Landasan Pembangunan Negara Berkelanjutan, Jurnal Manajemen
Pembangunan, Volume 3, Nomor 3, 2016.
Laurensius Arliman S, Gagalnya Perlindungan Anak Sebagai Salah Satu Bagian Dari Hak Asasi
Manusia Oleh Orang Tua Ditinjau Dari Mazhab Utilitarianisme, Jurnal Yuridis, Volume
3, Nomor 2, 2016, http://dx.doi.org/10.35586/.v3i2.180.
Laurensius Arliman S, Mewujudukan Harmonisasi Lembaga Negara Independen Terhadap
Konsep Perlindungan Hak Anak Yang Berkelanjutan, Jendela Hukum dan Keadilan,
Volume 3, Nomor 2, 2016.
Laurensius Arliman S, Prostitusi Anak Laki-Laki Sebagai Kegagalan Perlindungan Anak,
Istinbath, Volume 3, Nomor 2, 2016.
Laurensius Arliman S, Penyelenggaraan Sistem Presidensil Berdasarkan Konstitusi Yang
Pernah Berlaku Di Indonesia, Jurnal Muhakamah, Volume 4, Nomor 2, 2019.
Melki, Hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah Dalam Penetapan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i1.3385.
Muhammad Afif, Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Kasus Carok Akibat Sengketa Tanah
Dalam Masyarakat Madura, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3714.
Miszuarty Putri, Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai
Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2017, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3567.
Muhamad Rasyad, Pembuatan Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
Melalui Notaris Di Kabupaten Agam, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1,
2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3569.
Muhammad Taufiqurrahman, Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan Produk Hukum Daerah Melalui
Executive Preview, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.4341.
Mardalena Hanifah, Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2,
10.22216/soumlaw.v2i2.4420.
Oky Nasrul, Pemanfaatan Tanah Aset PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional II
Sumatera Barat Oleh Pihak Ketiga, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i1.3554.
Rahmat Fauzi, Perkawinan Campuran Dan Dampak Terhadap Kewarganegaraan Dan Status
Anak Menurut Undang-Undang Di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1,
Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3395.
Rahmat Fauzi, Faisal, Efektifitas Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian (Study Di
Pengadilan Agama Bukittinggi Dan Pengadilan Agama Payakumbuh Tahun 2015-2017),
Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3722.
PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH

Rahmat Riardo, Konversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik Melalui Program
Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap di Kota Solok, Soumatera Law Review, Volume
2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.3566.
Rianda Prima Putri, Pemeriksaan Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Dalam Perkara
Pidana Di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi, Soumatera Law Review, Volume 1,
Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3348.
Ridwan Putra, Prospek Pembentukan Daerah Istimewa Sumatera Barat Dalam Koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3529.
Rustan Sinaga, Peran Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Padang Kelas
IA Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan
Kerja, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3528.
Ratih Agustin Wulandari, Tata Kelola Perusahaan Oleh Direksi PT BPR Dharma Nagari
Menerapakan Prinsip Good Corporate Governance, Soumatera Law Review, Volume 2,
Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.3568.
Rusmilawati Windari, Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
Berdasarkan Global - Local Based Approach (Glocalization), Soumatera Law Review,
Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4369.
Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum dalam Perspektif Hukum Islam, Soumatera Law Review,
Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4136.
Sandra Dewi, Mengenal Doktrin Dan Prinsip Piercing The Corporate Veil Dalam Hukum
Perusahaan, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3744.
Tommy Busnarma, Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di Pengadilan Negeri Padang,
Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3559.
Wahyudi, Tanggungjawab Hukum Apoteker dalam Pemusnahan Obat Narkotika di Rumah Sakit,
Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 10.22216/soumlaw.v2i2.4484.
Yasmirah Mandasari, Sanksi Pidana Terhadap Kandungan Non Halal Terhadap Produk
Makanan Bersertifikat Halal Yang Dilakukan Korporasi, Soumatera Law Review,
Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4339.
Yohanis, Perkawinan Poligami Di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Kota Padang
(Mekanisime Pemberian Izin, Dasar Hukum, Syarat-Syarat Poligami Dan
Pelaksanaanya), Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i1.3403.

Anda mungkin juga menyukai