Anda di halaman 1dari 12

Mozaik Hukum Tata Negara

Oleh

Mirza Satria Buana

A. Konsep Hukum Tata Negara


Sejatinya, hukum tata negara merupakan suatu pengaturan umum yang mencoba untuk
mencandrakan norma-norma hukum dalam konteks bernegara, mengatur tentang pranata
dalam bernegara dan mengkaji aspek-aspek hukum yang membentuk dan yang dibentuk oleh
suatu organisasi yang bernama negara. Negara merupakan obyek kajian par excellent dari
hukum tata negara, dimana negara dipandang sebagai subyek yang berkembang (dinamic) mulai
dari bentuknya yang paling sederhana sampai ke yang paling komplek pada masa sekarang 1.
Dalam deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa hukum tata negara merupakan ilmu yang
termasuk dalam satu cabang ilmu hukum, yaitu hukum kenegaraan yang berada dalam ranah
publik (public law), hukum tata negara juga tidak hanya mengkaji negara sebagai subyek secara
umum seperti organ negara, fungsi dan mekanisme hubungan antar organ negara namun juga
mengkaji secara khusus dan mendetail tentang persoalan-persoalan yang terkait dengan
mekanisme hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
Itu sebabnya dalam konteks kenegaraan, hukum tata negara memainkan peranan yang
sangat penting dalam bernegara, menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum tata negara merupakan
seperangkat norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum orang atau
bukan orang dengan sekelompok orang atau badan hukum yang berwujud negara atau bagian
dari negara2. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara menjadi
pusat perhatian bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia.
Sebagai konsekwensi logis dari dinamika bernegara, hukum tata negara menghadapi
tantangan besar ketika gelombang globalisasi mempengaruhi pola-pola kehidupan bernegara
dan aspek-aspek ketatanegaraan diberbagai negara, sehingga hukum tata negara sebagai
sebuah ilmu pengetahuan juga tidak lagi terkungkung dalam bingkai nasionalisme norma
konstitusi masing-masing negara. Hukum tata negara yang dulu bersifat internal mulai
terpengaruhi oleh bidang kajian hukum internasional publik, yang mau tidak mau memperluas
kajian tentang interaksi negara, sehingga ilmu hukum tata negara tidak hanya harus dikaji dalam
lingkup hukum tata negara positif semata (state term), namun harus dikaji pula dalam lingkup
ilmu hukum tata negara hukum (general term)3. Dalam bahasa yang sederhana, hukum tata
negara positif hanya mengkaji hal-hal yang berkisar pada norma-norma dasar yang berlaku
dalam suatu negara tertentu, sedangkan hukum tata negara umum mengkaji juga fenomena-
fenomena dan gejala-gejala ilmiah hukum tata negara yang berlaku secara umum. Dalam hukum
tata negara, norma yang tercandra dalam bentuk konkret (UUD atau UU) dipandang sebagai das
sein atau norma apa adanya, tidak sebagai das sollen atau norma yang seharusnya. Sehingga
norma hukum yang diutamakan adalah norma hukum yang mengikat atau ius contitutum, bukan
dalam norma yang dicita-citakan atau ius constituendum.

1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, Hlm.11
2
Menurut Widjono Prodjodikoro dalam Jimly Asshiddiqie, Ibid, Hlm.15
3
Jimly Asshiddiqie, Ibid, Hlm. 16
1
Hukum tata negara juga sering diidentik kan dengan ilmu yang mempelajari tentang
konstitusi (hukum konstitusi)4, karena dalam tradisi dan bahasa inggris diterjemahkan sebagai
Constitutional law dalam bahasa Perancis disebut Droit Constitution, atau
Verfassungrecht/Verfassunglehre dan Staatrecht/Staatlehre dalam kepustakaan Jerman dan
Belanda. Dalam penggunaan kata recht dan lehre dalam kedua pengertian diatas, Prof. Dr.
Djokosoetono lebih menyukai penggunaan lehre daripada recht, karena lehre lebih tepat
menggambarkan hukum tata negara sebagai ilmu5. Verfassunglehre/Staatlehre nantinya akan
menjadi dasar untuk mempelajari Verfassungrecht/Staatrecht, terutama mengenai hukum tata
negara secara sempit, yaitu hukum tata negara positif. Verfassunglehre/Staatrecht atau hukum
tata negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari negara dalam keadaan
diam (staat in rust) maupun yang mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staatrecht)
B. Sumber Hukum Tata Negara

Sumber hukum tata negara mencakup sumber hukum materi dan sumber hukum formil,
adapun sumber hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata Negara,
misalnya (1) dasar dan pandangan hidup bernegara, 2). Kekuatan-kekuatan politik yang
berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata Negara 3). Doktrin-doktrin
ketatanegaraan). Menurut Bagir Manan, sumber hukum dalam arti formal terdiri dari 6

a. Hukum dan Perundang-undangan ketatanegaraan


Hukum dan Perundang-undangan ketatanegaraan meliputi UUD, Undang-undang dan
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. UUD adalah sumber tertinggi hukum
tata Negara dengan beberapa pengecualian. Pertama, Negara-negara yang tidak
mengatur kaidah konstitusi dalam UUD seperti inggris dan Israel. Di Inggris, kaidah
konstitusi didapati dalam “common law” dan undang-undang (parliament act) atau
konvensi. Kedua, Pada Negara-negara Uni Eropa. Negara-negara anggota Uni eropa
menempatkan perjanjian Internasional (treaty, convention) diatas UUD.
Menempatkan UUD atau Konstitusi sebagai sumber tertinggi hokum tata Negara sejalan
dengan pengertian hokum tata Negara yaitu hokum tentang bentuk, susunan, dan isi
organisasi Negara atau secara singkat, hokum tentang organisasi Negara.
Undang-undang adalah sumber hokum tertulus kedua setelah UUD (UU No.10 Tahun
2004).
b. Hukum adat ketatanegaraan
Hukum adat ketatanegaraan adalah bagian dari Hukum adat yaitu hokum tidak tertulis
yang bersumber dari adat istiadat dan atau putusan penguasa adat.
c. Hukum kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan
d. Yurisprudensi ketatanegaraan
Kaidah-kaidah hokum tata Negara dapat lahir dan “dimatikan"oleh hokum yurisprudensi
ketatanegaraan.
Pada saat ini, Mahkamah Konstitusi berperan besar melahirkan dan mematikan suatu
kaidah hokum ketatanegaraan terutama yang berkaitan dengan wewenang

4
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm.5
5
Jimly Asshiddiqie, Op.cit, Hlm.20
6
Bagit Manan, Konvensi Ketatanegaraan, FH-UII Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 35
2
ketatanegaraan, hubungan alat anatar kelembagaan Negara, dan pengisian jabatan
ketatanegaraan.
e. Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan7
Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan dapat dilihat pada perjanjian yang
melahirkan misalnya Uni Eropa atau perikatan reginal lainnya. Hukum-hukum uni eropa
(EU-Law) mengikat Negara anggota termasuk dibidang hukum ketatanegaraan.

C. Corak Hukum Tata Negara

Yang menjadi corak pokok dalam kajian hukum tata negara adalah lingkup kajian hukum
yang berada pada ranah public (public law). Sehingga hukum tata negara memainkan posisi
yang sangat urgent dalam setiap dinamika negara. Selain itu yang menjadi corak khas dari
hukum tata negara adalah konstitusi atau hukum dasar, dalam artian mempelajari hukum tata
Negara maka yang utama harus dipelajari adalah konstitusi atau hukum dasar dari suatu negara.
Dalam teori klasik hukum tata negara, konstitusi terdiri 2 bagian, yaitu:
 Konstitusi tertulis (Droit Constitionnel)
 Konstitusi tidak tertulis (Loi Constitionnel)
Moh. Mahfud memberikan definisi tentang Konstitusi tertulis sebagai; konstitusi yang
diakui dalam sistem suatu negara sebagai aturan dasar yang ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang. Konstitusi dalam artian konvensi adalah konstitusi yang didasarkan pada kebiasaan
yang timbul dalam praktek penyelenggaraan Negara8.
Hal lain yang menjadi corak khusus hukum tata negara yakni terkait lingkup kajian
hukum tata negara yang lebih memberikan porsi lebih dalam membahas permasalahan-
permasalahan yang terjadi antara lembaga-lembaga negara, alat-alat perlengkapan negara, atau
organ-organ negara yang ada menurut undang-undang dasar negara yang bersangkutan, serta
hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing lembaga tersebut, untuk itu keseluruhan
ketentuan hukum dan aturan-aturan hukum mengenai hak, wewenang serta kewajiban
lembaga-lembaga ini disebut Hukum Tata Negara9.
Bisa juga disebutkan, karena hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan organisasi negara (bersifat abstrak) sehingga corak hukum
dalam hukum tata negara adalah kediktatoran dan demokrasi. dimana keyakinan hukum
sebagian besar rakyat yang dinyatakan melalui lembaga-lembaga kenegaraan yang berwenang
atau yang dapat disimpulkan dari sikap dan perbuatan jabatan-jabatn yang berwenang bahwa
sesuatu ketentuan sepatutnya menguasai bidang kehidupan tertentu. Setiap tipe kenegaraan
mengandung konsekuensi masing-masing dalam kehidupan hukum. Hukum yang mengatur
tingkah laku manusia dalam pergaulan mendapat pengaruh langsung dari jiwa dan semangat
yang terdapat dalam hukum tata negara. Tipe autokrasi melahirkan hukum yang berwatak
autokrasi, dan tipe demokrasi melahirkan hukum yang berwatak demokrasi. Hukum yang dalam
negara autokrasi mengandung watak memperkuat kedudukan penguasa, sedangkan dalam
negara demokrasi hukum akan berorientasi positif untuk menjamin kemerdekaan dan
menegakkan kedaulatan rakyat.
7
Ibid, Hlm.40
8
Dr. Moh. Mahfud, MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Pres, Thn 1993, Hal 74
9
Soehino, SH, Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia, Liberty, Hal 6 Dan 7
3
Sedangkan dalam Indonesia, demokrasi Pancasila yang merupakan bentuk
penyelenggaraan dan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam Pancasila hal
inilah yang menunjukan perbedaan demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal dan dengan
demokrasi komunisme

D. Subyek Hukum Tata Negara

Subyek hukum dalam bahasa Inggris disebut source of law merupakan sebuah norma
hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat
dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum 10. Dalam konteks Hukum Tata Negara,
subyek hukumnya adalah negara, dimana negara menurut “konstruksi hukum” pada dasarnya
merupakan badan hukum publik utama (prime public law body) yang mempunyai hak,
kewajiban dan tanggung jawab yang diatur menurut (kebiasaan) hukum tata negara, seperti
subyek hukum lainnya yakni orang (person) dan badan yang dipersonifikasikan sebagai manusia.
Namun selain sebagai pembawa hak, kewajiban dan tanggung jawab, negara memiliki
kekuuasaan (power), kewibawaan (gezag, authority) dan kedaulatan (souvereintetit;
sovereignty) yang tidak dimiliki oleh badan hukum manapun.
Sejalan dengan pandangan hukum, oleh para pakar dan teotitisi ilmu politik dan ilmu
pemerintahan, negara secara analogis dapat diabstrasikan seperti suatu organisme bahkan
negara merupakan suatu organ 11, dalam hal ini organ kekuasaan dan / atau organ kewibawaan
yang memiliki kedaulatan, Pringgodigdo (1994), tidak bermaksud secara rinci menguraikan
teori-teori tentang negara, namun sekedar menyimak mengenai negara Repubik Indonesia kita
sendiri yang oleh pendirinya tidak dimaksud untuk menjadikan sebagai negara yang
mengandalkan diri pada kekuasaan semata-mata (‘machsstaat”), namun suatu negara yang
berdasarkan atas hukum (“rechsstaat”).12
Salah satu tujuan mulia dari lahirnya asas negara hukum (rechsstaat) antara lain untuk
mencegah timbulnya konflik dari adanya kekuasaan dalam negara (how to reduce the power) .
Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945 sudah bercirikan negara
hukum, dapat dilihat pada Pancasila sebagai ideologi/falsafah negara atau jiwa dan pndangan
bangsa, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum atau hukum tertinggi (Graudnorm)
dari UUD 1945 sebagai sumber hukum (positif) utama. Selain itu, Republik Indonesia
berdasarkan asas persatuan dan kesatuan bangsa merupakan pula negara bangsa (nation state),
yaitu negara yang dimilki serta diselenggarakan oleh suatu bangsa (owned and ran by nation),
Nation adalah suatu bangsa negara, yang sadar budaya (kultur bewust) juga sadar politik (politik
bewust).13
Selain sebagai negara hukum dan negara bangsa/kebangsaaan, Republik Indonesia juga
merupakan negara territorial modern yang memiliki yurisdiksi hukum terhadap teritori/wilayah
negara dan mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas dan tegas dirumuskan menurut

10
Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm.151
11
Prinngodigdo, kebijakan Hirarki Perundang-undangan dan Kebijakan Dalam Konteks Pengembangan Hukum
administrasi Negara di Indoensia, Pidato pengukuhan Guru Besar, pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 16 Nopember
1994
12
Padmo Wahyin, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, 1983 hlm.5
13
Hans Kelsen, General Theory of Law and state, Russel dan Russel, New York, 1961
4
ketentuan hukum. Dalam perkembangannya, negara territorial modern menganut tiga asas
pokok yaitu :
1. Asas pemisahan secara organisatoris antara jabatan dan pribadi yang menjabat/mengisi
jabatan. pikiran, pandangan hisdup, perasan tidak boeh dicampuradukan dengan tugas,
fungsi dan kewajiban jabatan.
2. Asas persamaan tunduk kepada hukum, yang menyatakan bahwa pejabat penguasa negara
bilamana berbuat atau bertindak di luar batas tugas dan wewenang jabatan berrkedudukan
sama dalam/terhadap hukum seperti setiap warga masyarakat biasa.
3. Asas pemisahan kas, yang mengatakan bahwa kekayaan pribadi dipisah secara tegas dari
harta benda/kekayaan negara.14
Ketiga azas tersebut diatas serta batas-batas yang jelas dan tegas menurut ketentuan
hukum perlu diketahui, dipahami, dikuasai dan diterapkan bila kita menganggap Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara territorial modern, disamping sebagai negara
bangsa/kebangsaan yang wajib menyadarkan warga negara bahwa Republik Indonesia
merupakan milik mereka dan perlu melestarikan seni budaya bangsa dan sadar politik, dalam
arti ikut membela negara dan menjaga ketahanan RI dengan berlandaskan falsafah negara
Pancasila dan bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945.

E. Tujuan Hukum Tata Negara

Dalam tataran filsafati, hukum bertujuan untuk menegakkan moralitas, hal ini tergambar
pada pernyataan Plato yang menyatakan bahwa; law is merely about morality 15. Selain itu
hukum juga dipandang sebagai alat untuk mencerminkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang
kemudian akan ditransformasikan menjadi suatu hukum yang formal dalam bentuk undang-
undang. Perkembangan kehidupan manusia juga membawa pengaruh kepada tujuan hukum.
Hukum yang semula hanya bertujuan kepada pemenuhan keadilan dan menegakkan moralitas,
mulai bergeser kepada keinginan dari masyarakat untuk mendapatkan suatu kepastian
(certainly) dalam hukum. Hukumpun kemudian menjadi alat legalitas bagi suatu pemenuhan
akan nilai-nilai kepastian hukum. Von Savigny, seorang pelopor utilitarism, mengeluarkan
pendapat terkait fenomena hukum yang tergadaikan sebagai “tukang stempel” semata, beliau
menegaskan bahwa hukum haruslah memiliki nilai manfaat kepada masyarakat. Adalah hukum
yang zhalim, bila tidak bisa mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Dengan
perkembangan dalam bidang filsafat hukum diatas, juga berpengaruh terhadap kajian hukum
tata negara. Merupakan hal yang ideal bila hukum tata negara tidak hanya bertujuan untuk
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people); namun juga
dapat memberikan kepastian hukum (legal certainly) dan nilai kemanfaatan hukum bagi
masyarakat luas.
Selain tujuan substantif diatas, hukum tata negara sebagai bagian dari sub sistem dari
sistem hukum yang berlaku disebuah negara, juga memiliki tujuan praktis sendiri. Dapat
dikatakan bahwa tujuan hukum tata negara dalam kajian hukum adalah bermaksud mengatur
hak dan kewajiban dari negara terhadap warganya, diantara para warga masing-masing, dari
14
Soewoto Mulyosudarno, Pembaharuan Ketatanegaraan Melaluio Perubahan Konstitusi Cet. I. Asosiasi HTN-HAN
Jawa Timur dan In-trans, Malang 2004
15
Lili Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT.Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.79
5
warga terhadap negaranya dan diantara negara, dan berisi peraturan-peraturan yang harus
ditaati, sehingga pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan akibat hukum sebagai sangsi atau
hukuman16. Pada sisi yang lain hukum tata negara dalam membicarakan kontitusi memiliki
tujuan diantara: Mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenangnya,dan menjamin adanya
perlindungan atas hak-hak asasi manusia17.

F. Metode Penafsiran Hukum Tata Negara


Dalam ranah hukum tata negara, yang menjadi obyek dari metode penafsiran hukum
adalah perundang-undangan negara dan konstutusi suatu negara. Karena dalam produk hukum
itulah norma-norma hukum akan ditafsirkan, sesuai dengan metode yang akan digunakan.
Penafsiran dalam hal ini disebut judicial interpretation yang berfungsi sebagai metode
perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang
terdapat dalam suatu teks undang-undang. Menurut Ultrecht, metode penafsiran hukum tata
negara (undang-undang) adalah:
1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Metode penafsiran ini dapat diartikan sebagai penafsiran letterlijk atau harfiah (what
does the word mean?) yang memfokuskan pada arti atau makna kata (word). Ini merupakan
suatu kewajiban bagi hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara
membuka kamus bahasa atau meminta keterangan para ahli bahasa.
2. Penafsiran historis (historiche interpretative)
Metode penafsiran dengan sejarah hukum, menurut pendapat Ultrech, mencakup dua
pengertian, yaitu; (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang , dan (ii) penafsiran sejarah
hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang
dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau.
3. Penafsiran sistematis
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan
hukum itu sendiri (systenatiche interpretatie). Penafsiran ini dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan lain dalam naskah hukum yang bersangkutan (what is the theme of the
articles systematically according to the grouping of the formula). Penafsiran sistematis juga
dapat terjadi jik naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang lain, dimana keduannya
mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain.
4. Penafsiran sosiologis
Menurut Ultrecht, setiap penafsiran undang-undang harus diakhiri dengan penafsiran
sosiologis agar keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai dengan aspirasi dan
keadaan yang ada dimasyarakat luas. Penafsiran sosiologis merupakan jaminan kesungguhan
hakim dalam mebuat keputusan, oleh karena itu keputusannya harus dapat mewujudkan
hukum dalam suasana yang senyatanya dalam masyarakat.
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke interpretative)
Penafsiran otentik adalah penafsiran yang dilakukan sesuai dengan tafsir yang
dinyatakan resmi oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri.
Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin
16
Prof.Mr. Soenarko, Dasar-Dasar Umum Hukum Tata Negara, Jambatan, Thn 1961, Hal 17
17
Dr. Moh. Mahfud,MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII pres, thn 1993, hal 73
6
mengetahui apa yang dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama adalah lihat
penjelasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-undang selalu diterbitkan sendiri, yaitu
dalam Tambahan Lembaran Negara, sedangkan naskah undang-undangnya diterbitkan dalam
Lembaran Negara.
6. Penafsiran Evolutif-Dinamis
Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan pandangan masyarakat dan situasi
kemasyarakatan. Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat mendobrak perkembangan
setelah diberlakukannya hukum tertentu. Salah satu ciri penting penafsiran ini ialah pengabaian
maksud pembentuk undang-undang. Makna obyektif atau actual maupun subyektif dari suatu
norma sama sekali tidak berperan18.
G. Pelembagaan Hukum Tata Negara
Perkembangan hukum tata negara saat ini ditidak dapat dinafikan sebagai wujud
konsekwensi logis dari penerapan cita-cita negara hukum dan negara demokrasi. Sebab mampir
semua teori-teori tentang hukum tata negara bersendikan nilai-nilai negara hukum dan
demokrasi. Menurut teori hukum tata negara klasik, yang tokohnya sangat terkenal pada
zamannya,; Locke dan Montesque, memberikan pernyataan bahwa negara harus dapat
mensejahterakan rakyat dengan penuh rasa keadilan dan non-diskriminatif 19. Berdasarkan cita-
cita tersebut maka lahirlah teori Trias Politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga)
episentrum utama yaitu; kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan ini
dimaksudkan untuk mencegah absolutisme negara yang tumbuh subur di Eropa pada masa itu.
Teori ini sampai sekarang masih dipakai oleh beberapa negara, baik secara murni maupun
dengan berbagai modifikasi.
Dalam ranah hukum tata negara, Negara tidak hanya dipandang semata sebagai subyek
hukum, namun juga dipandang sebagai sebuah organisasi kekuasaan yang mempunyai susunan
yang dapat dibedakan antara susunan atas dan susunan bawah 20. Susunan atas atau supra-
struktur adalah kerangka organisasi kekuasaan formal negara yang meliputi seluruh jabatan
negara baik dalam lingkup pusat maupun daerah, organisasi negara inilah yang diejawantahkan
sesuai dengan teori Locke-Montesque, sebagai lembaga-lembaga tinggi negara, seperti presiden
sebagai kekuasaan eksekutif, parlemen sebagai kekuasaan legislatif, dan mahkamah agung
sebagai kekuasaan yudikatif. Dalam praktek ketatanegaraan, relasi antara ketiga lembaga negara
ini sering menjadi bahan diskursus yang menarik antar pakar-pakar hukum tata negara. Ada
yang berpendapat bahwa ketiganya dapat saling berinteraksi secara horizontal, dapat saling
membantu dan saling memberi masukan, pendapat inilah yang disebut teori pembagian
kekuasaan (distributive of power). Namun ada juga para pakar yang berpendapat seharusnya
ketiga lembaga tersebut harus independent dan netral dari intervensi lembaga-lembaga lain,
atau harus ada pemisahan kekuasaan dalam negara (separation of power).
Kedua pendapat tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, dalam relasi pertama;
yaitu pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi, sehingga akan meminimalkan arogansi satu lembaga (super body syndrome),
namun sisi negatifnya, dikarenakan hubungan yang “terlalu mesra” antara ketiga negara,
dikhawatirkan akan terjadi hubungan “selingkuh” yang kolusif antar ketiga lembaga tersebut.
18
Jimly Asshidiqie, Op.cit, hlm.285
19
H.F.Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.181
20
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 195
7
Relasi kedua; yaitu pemisahan kekuasaan, menempatkan masing-masing lembaga dalam
kewenangan yang terpisah, sehingga tidak akan ada intervensi satu lembaga dengan lembaga
lain, namun kelemahannya sistem ini dapat menimbulkan friksi yang tajam antara ketiga
lembaga, karena ketiganya merasa memiliki kewenangan dan derajat yang sama tinggi.
Pemikiran Locke-Montesquieu ini sebenarnya hanya bertujuan untuk membatasi kekuasaan
absolut melalui pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan lebih merupakan
doktrin hukum (legal doctrine) dari pada dalil politik (political postulate). Teori pemisahan
kekuasaan Montesquieu tidak menentukan siapa yang akan menjalankan kedaulatan, tetapi
hanya bagaimana kekuasaan diatur untuk mencapai tujuan tertentu. 21 Dari diskursus inilah,
maka lahir salah satu prinsip dasar dari teori pemisahan kekuasaan yang mencoba untuk
menutupi kelemahan arogansi lembaga negara; yaitu prinsip check and balance, yang dapat
diartikan sebagai berikut:

“The system of checks and balances is part of constitution,it guarantees that no part of the
goverment becomes too powerful. The legislative branch is in change of making law, The
executive branch can veto the law, thus making it harder for the legislative branch to pass the
law, The judicial branch may also say that the law is unconstitutional and thus make sure it is
not law”22.

Prinsip ini merupakan sintesa dari kedua doktrin hukum diatas, dimana suatu lembaga-
lembaga negara tetap diakui memiliki legitimasi, kemandirian, dan kemerdekaan dalam lingkup
kewenangannya, namun disatu sisi, lembaga-lembaga tersebut juga mengembab tugas untuk
saling mengawasi dan mengimbangi satu-sama lain. Dengan prinsip ini, diharapkan akan terjalin
hubungan yang harmonis antara lembaga-lembaga negara.
Dalam perkembangan hukum tata negara kontemporer, sedang terjadi pergeseran
paradigm, dari paradigma hukum tata negara klasik yang dipopulerkan oleh Locke-Montesque
dengan teori Trias Politica, menuju bentuk pemisahan kekuasaan yang lebih komplek yang
beralaskan prinsip check and balance. Menurut Bruce Ackerman, prinsip check and balance
tidak hanya bisa dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan, namun bisa lebih dari itu dengan
tambahan komisi-komisi independent23. Komisi-komisi independent tersebut mendapatkan
kewenangan berdasarkan amanah konstitusi, perkembangan tata negara inilah yang ditiru oleh
Indonesia dengan mendirikan banyak komisi-komisi independent. Revitalisasi komisi-komisi
independent ini harus diikuti dengan meningkatkan efektifitas fungsi komisi tersebut, sehingga
tidak hanya sebagai pemberi rekomendasi; namun dapat berperan strategis untuk menata
relasinya dengan lembaga negara lain untuk menegaskan cita negara hukum serta prinsip
modern separation of powers dan prinsip check and balances.
H. Peradilan/Pemutus Sengketa
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya
Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah

21
Lexy Atmajaya, Dekonstruksi kewenangan legislasi, dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) : Analisis Sosio-Legal,
Jurnal Konstitusi, Volume 5 No.2, November 2008,hlm 73-74
22
The American Issues Forum, Voice of America , 2nd Edition,1976 ,hlm.473
23
Denny Indrayana, Negara antara ada dan tiada, Kompas, 2008,Hlm.295
8
Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR
dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus
2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus
2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal
16 Agustus 2003.
Sebagai salah satu ujung tombak penegakan hukum dan keadilan dalam kajian hukum
tata negara adalah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini dalam praktek
tata negara di berbagai negara, bertugas sebagai penentu keadilan bagi masyarakat maupun
pihak lain yang merasa telah dilanggar hak konstitusinya oleh sebuah produk per-undang-
undangan. Yang mana hal tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradlian agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
Tidak hanya pembentukan Mahkamah Konstitusi yang perlu kita apresiasi, tapi juga
adalah kewenangan yang disematkan kepundak para hakim konstitusi tersebut. Amanah
tersebut berupa empat kewenangan disertai satu kewajiban. Hal ini seperti yang termuat dalam
Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Yang menyatakan sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undnag Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar”.
I. Perilaku Hukum Tata Negara

Perilaku hukum tata negara dalam konteks konkrit dapat dilihat dari perilaku aktor –
aktor yang menjalankan hukum tata negara tersebut dalam lingkup berbangsa dan bernegara.
Aktor-aktor tersebut memiliki peranan dalam hal law in action, sebagai sebuah sarana untuk
mengaplikasikan hukum dalam realitas, adapun aktor-aktor tersebut adalah: (1) Aktor pembuat
hukum/undang-undang (legislator),dan (2) Aktor penegak hukum/hakim (law enforcer).
Hal diatas kembali diperparah oleh orientasi para legislators ditubuh DPR yang lebih
mementingkan kepentingan politik/elitis ketimbang menegakkan kedaulatan rakyat (people
supremacy).
Para legislators di parlemen, yang merumuskan dan menggodok UU jangan sampai
terjebak dalam political dillema, dimana disatu pihak mereka masih tersandera oleh
kepentingan-kepentingan partai politik pengusung mereka (political hijacking in law process),
dengan disatu pihak kedudukan mereka sebagai wakil rakyat yang terhormat, (yang seharusnya)
hanya berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas dengan tetap berkaca pada “cermin
9
yuridis”. Hal tersebut sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Bryan A. Garner, yang
menyatakan:
“Legislator is making or giving laws; pertaining to the function of law making or to the process
of enactment of law with independent and neutral from any other influences ”24
Idealnya kesetiaan legislator pada partai politik akan berakhir ketika para legislator
tersebut duduk di kursi parlemen, karena yang mereka wakili bukanlah partai politik semata
namun rakyat Indonesia, Itulah esensi utama dari kedaulatan rakyat yang terejawantahkan
dalam prinsip kemerdekaan legislatif (Independence of legislative).
“The independence of legislative is not limited only to the executive pressure or influence, it is a
wider concept which takes within it is sweep independence from any other pressure and
prejudices, it includes party influences”25.
Sedangkan, perilaku seorang law enforcer dalam hal ini hakim baik itu hakim yang
berada di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, pada prinsipnya sama namun
tentunya memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana diatur oleh setiap undang-undang yang
mengatur tentang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perilaku hakim biasanya
memang tidak diatur secara menyatu dengan undang-undang melainkan lebih diatur dalam
bentuk peraturan internal yang pada umumnya berupa kode etik.
Kode etik sendiri adalah merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan
atau masyarakat profesi tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Misalnya profesi
dokter mempunyai KEP kedokteran yang dirumuskan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).26 Kode
etik hakim yang akan ditelaah pada tulisan kali ini adalah kode etik hakim di Mahkamah
Konstitusi sebagai badan peradilan yang menjadi fokus kajian dari hukum tata negara untuk
fokus kajian hukum dalam mahkamah.
Sebelum melihat lebih jauh bagaimana Pedoman Perilaku Hakim (PPH) di Mahkamah
Konstitusi, sebagai gambaran bahwa pada saat ini untuk pengaturan tentang PPH di Indonesia
ada tiga PPH yang dikeluarkan yaitu oleh Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Mahkamah Konstitusi
(MK) dan Mahkamah Agung (MA).27 Melihat hal tersebut tentunya akan sulit dalam hal
kewenangan, pedoman mana yang harus digunakan, apakah menggunakan pedoman dari Ikahi
atau pedoman dari masing-masing lembaga peradilannya.

24
Bryan A. Garner, Black Law Dictionary,8 th Edition, West Group,1999,United State of America,hlm.864
25
Justice L.P. Singh, Judicial Dictionary,2 nd edition, Orient Publishing Company, 2001,New Delhi,hlm.569
26
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15062&cl=Berita diakses pada 29 Januari 2009 pukul 22.27 WIB
27
ibid
10
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Amos, H.F.Abraham, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Raja Grafindo Persada, 2005.
Indrayana, Denny, Negara antara ada dan tiada, Kompas, 2008.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and state, Russel dan Russel, New York, 1961.
Manan, Bagir, Perkembangan UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004.
Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, FH-UII Press, Yogyakarta, 2006.
Mahfud, MD, Moh, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Pres, 1993.
Mulyosudarno, Soewoto, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi Cet. I.
Asosiasi HTN-HAN Jawa Timur dan In-trans, Malang 2004.

11
Prinngodigdo, kebijakan Hirarki Perundang-undangan dan Kebijakan Dalam Konteks
Pengembangan Hukum administrasi Negara di Indoensia, Pidato pengukuhan Guru
Besar, pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 16 Nopember 1994.
Rasjidi, Lili, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT.Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia, Ghalia Indonesia, 1982.
Soehino, Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia, Liberty,1997.
Soenarko, Dasar-Dasar Umum Hukum Tata Negara, Jambatan, Thn 1961.
Wahyin, Padmo, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, 1983.
JURNAL:
Atmajaya, Lexy, Dekonstruksi kewenangan legislasi, dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) :
Analisis Sosio-Legal, Jurnal Konstitusi, Volume 5 No.2, November 2008.
----------------------, The American Issues Forum, Voice of America , 2 nd Edition,1976.
KAMUS HUKUM:
Garner, Bryan A, Black Law Dictionary,8 th Edition, West Group,1999,United State of
America,hlm.864
Singh, Justice L.P, Judicial Dictionary,2 nd edition, Orient Publishing Company, 2001,New
Delhi,hlm.569
WEBSITE:
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15062&cl=Berita diakses pada 29 Januari 2009
pukul 22.27 WIB

12

Anda mungkin juga menyukai