Anda di halaman 1dari 28

Nama : Lutfiyah Asnur

Nim : 742352020055
Prodi : hukum tata negara-2
TUGAS RESUME HUKUM TATA NEGARA

BAGIAN PERTAMA
Perspektif Keilmuan Hukum Tata Negara
A. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara
Istilah Hukum Tata Negara (HTN) merupakan padanan dari istilah dalam Bahasa
Belanda Staatsrecht, dalam Bahasa Inggris Constitutional Law, dalam Bahasa Jerman
Verfassungsrecht, atau dalam Bahasa Perancis Droit Constitutionel.
Mengenai pengertian Hukum Tata Negara, E.C.S Wade dan G. Godfrey Phillips
(selanjutnya disebut Wade dan Phillips) mengatakan bahwa:
“There is no hard and fast definition of constitutional law. According to one very
wide definition, constitutional law is that part of the law which relates to the system of
government of the country.”
Dalam hal ini, Hukum Tata Negara yang dimaksudkan adalah Hukum Tata Negara
dalam arti sempit, sebab Hukum Administrasi Negara, sebagai salah satu bidang Hukum Tata
Negara, sudah merupakan satu mata kuliah tersendiri.
B. Obyek dan Ruang Lingkup Hukum Tata Negara
Berdasarkan pada pengertian Hukum Tata Negara seperti tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa obyek Hukum Tata Negara adalah negara, yaitu negara dalam arti konkret
negara tertentu atau negara yang terikat oleh kurun waktu dan tempat.
Dalam kaitan dengan ruang lingkup kajian Hukum Tata Negara, Logemann dalam
bukunya Het Staatsrecht van Indonesie,seperti dikutip oleh Usep Ranawidjaja, mengatakan
bahwa Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai organisasi (tata susunan) negara yang
mencakup dua bidang pokok, yaitu: hukum mengenai kepribadian hukum dari jabatan-
jabatan; dan hukum mengenai lingkungan kekuasaan negara yaitu lingkungan manusia
tertentu, lingkungan wilayah tertentu dan lingkungan waktu tertentu.
menurut Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara mengatur persoalan-persoalan
ketatanegaraan, yaitu:
1) Struktur umum dari organisasi negara yang terdiri dari bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem pemerintahan, corak pemerintahan (diktator atau demokrasi), sistem
pemencaran kekuasaan negara (desentralisasi), garis-garis besar tentang organisasi pelaksana
(perundang-undangan, pemerintahan, peradilan), wilayah negara, hubungan antara negara
dengan rakyat, cara rakyat menjalankan hak-hak ketatanegaraan (hak politiknya), dasar
negara, ciri-ciri lahir dari kepribadian negara Republik Indonesia (lagu kebangsaan, bahasa
nasional, lambang, bendera dan sebagainya)
2) Badan-badan ketatanegaraan yang memunyai kedudukan di dalam organisasi
negara. Mengenai hal ini, penyelidikan mencakup cara pembentukan, susunannya, tugas dan
wewenangnya, cara bekerjanya masing-masing, hubungannya satu dengan yang lain, dan
masa jabatannya.
Oleh karena itu, diidentifikasi ada 16 masalah pokok ketatanegaraan sebagai ruang
lingkup kajian Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam UUD 1945, yaitu: pembentukan
lembaga negara, pembentukan UUD dan GBHN, kepemimpinan nasional, fungsi legislatif,
fungsi eksekutif, fungsi yudikatif, fungsi kepenasehatan, fungsi pengaturan keuangan negara,
fungsi pemeriksaan keuangan negara, fungsi kepolisian, fungsi hubungan luar negeri,
masalah hak asasi, kewarganegaraan, otonomi daerah, kelembagaan negara dan wawasan
nusantara.
Hukum Tata Negara memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu kenegaraan lainnya seperti
Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Tata Negara
Perbandingan, dan Hukum Internasional (HI).
Ilmu Negara memberikan dasar-dasar teoritis kepada Hukum Tata Negara positif,
sedangkan Hukum Tata Negara merupakan konkretisasi dari teori-teori Ilmu Negara.13 Ilmu
Negara sebagai ilmu yang bersifat teoritis memberikan pengetahuan dasar mengenai
pengertian-pengertian pokok dan asas-asas pokok tentang negara pada umumnya. Misalnya,
Ilmu Negara menyediakan teori-teori mengenai bentuk negara dan pemerintah: pengertian,
jenis-jenis, kualifikasi, dan sebagainya untuk lebih mudah memahami mengenai bentuk
negara dan bentuk pemerintahan suatu negara tertentu yang dipelajari oleh Hukum Tata
Negara.
Hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik pertama kali dikemukakan oleh J.
Barent dalam bukunya De Wetenschap der Politiek. Hubungan antara kedua cabang ilmu
kenegaraan itu diungkapkan dengan suatu perumpamaan, het vices omhet geraamte van de
staat. Maksudnya adalah bahwa Hukum Tata Negara sebagai kerangka manusia, sedangkan
Ilmu Politik sebagai daging yang melekat di sekitarnya.
Dengan demikian, menurut pandangan di atas, walaupun antara Hukum Internasional
dan Hukum Tata Negara berlaku dalam level yang berbeda, namun keduanya memiliki
hubungan. Urusan hubungan antarnegara menjadi bidang pengaturan Hukum Internasional,
namun kapasitas pemerintah untuk dapat mengadakan hubungan antarnegara itu ditentukan di
dalam Hukum Tata Negara. Oleh karena itu, pandangan tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam paham dualisme mengenai hubungan antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Internasional.
C. Metode dan Penafsiran dalam Hukum Tata Negara
1. Metode dalam Hukum Tata Negara
Djokosoetono mengatakan bahwa metode memunyai empat arti yaitu metode dalam
arti ilmu pengetahuan, dalam arti sebagai cara bekerja, dalam arti pendekatan dan dalam arti
tujuan. Dikatakan bahwa Hukum Tata Negara tidak dapat dimengerti dengan hanya semata-
mata melihat dan mempelajari bentuk-bentuk perumusan kaidah hukum yang dapat diketahui
dari hasil perundangundangan, kebiasaan, yurisprudensi dan penemuan ilmu pengetahuan,
melainkan juga harus mendekati persoalan Hukum Tata Negara dari segi sejarah, kenyataan-
kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan perbandingan dengan tertib hukum negara-
negara lainnya.
Kelemahan metode yuridis dogmatis juga ditunjukkan oleh Thoma dari aliran
Sociological Jurisprudence dalam bukunya “Handbuch des Deutzen Staatsrecht.25Menurut
Thoma, dengan metode historis yuridis pemahaman terhadap masalah Hukum Tata Negara
tidak cukup dengan memahami lembaga-lembaga ketatanegaraan yang terdapat di dalam
peraturan-peraturan ketatanegaraan melainkan juga harus memahami aspek sosiologis dan
politis yang menjadi latar belakang perkembangan lembaga-lembaga ketatanegaraan tersebut.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada awalnya kajian-kajian dalam
Hukum Tata Negara dilakukan secara dogmatis yakni dilakukan hanya terhadap ketentuan-
ketentuan konstitusi secara tekstual. Kemudian, kajian secara dogmatis tersebut ditinggalkan,
melainkan dilakukan eksplanasi analisis mengenai studi Hukum Tata Negara dengan
menggunakan pendekatan historis, sosial, politik, komparatif, filosofis, dan bahkan
pendekatan ekonomi.
2. Penafsiran dalam Hukum Tata Negara
Penafsiran (interpretasi) merupakan salah satu langkah dalam penerapan hukum yang
dimaksudkan untuk menentukan makna yang tepat bagi suatu peraturan perundang-undangan
Di samping itu, juga karena ide dan semangat yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan ketika peraturan perundang-undangan itu dibentuk dapat mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan waktu dan situasi sebagai akibat dari tuntutan perkembangan
masyarakat.
Dalam Hukum Tata Negara, selain menggunakan metode penafsiran yang sudah
umum dikenal di dalam Ilmu Hukum, dalam penafsiran konstitusi digunakan metode
penafsiran kontemporer yang digandengkan dengan metode penafsiran historis. Hal itu
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hak hukum dan hak politik rakyat.
Menurut Robert A. Burt, ada empat mazhab yang memberikan pandangan berbeda
dalam menentukan titik tolak hakim menafsirkan konstitusi. Mazhab Originalis (The
Originalists) yang berpendapat bahwa maksud yang sesungguhnya dari pembentuk konstitusi
yang dapat dibenarkan sebagai dasar melakukan penafsiran terhadap konstitusi.
Berbeda dengan pendapat ketiga mazhab tersebut, Mazhab Teori Hukum Kritis (The
Critical Legal Theory School) mengatakan bahwa pertanyaan “What gives legitimacy to the
Supreme Court’s interpretation of constitutional issues?” merupakan pertanyaan yang tidak
perlu diindahkan.
Pandangan yang cenderung merujuk secara ketat kepada suasana kebatinan ketika
konstitusi itu dirumuskan oleh para perancangnya, menurut Jimly Asshidiqie dikatakan cukup
berpengaruh di kalangan ahli Hukum Tata Negara di Amerika Serikat.
Uji yudisial merupakan suatu cara untuk melakukan pengujian yang dilakukan oleh
pengadilan (hakim) terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Itu merupakan penerapan prinsip checks and balances
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara. Di dalam UUD 1945, ditentukan ada dua
badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang itu, yakni Mahkamah
Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), namun dengan kewenangan yang berbeda.
Makhamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang (UU) terhadap Undang-undang (UU). Pengaturan kewenangan Makhamah
Agung itu terdapat pula di dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UndangUndang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Uji legislatif merupakan pengujian peraturan perundangundangan yang dilakukan
oleh parlemen (legislatif), bukan oleh hakim. Dalam UUD 1945, wewenang itu dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perpu). Setiap Perpu yang ditetapkan oleh Presiden harus diajukan ke DPR untuk
dilakukan uji legislatif, sehingga DPR akan memutuskan disetujui atau ditolak terhadap
Perpu itu.40 Di samping itu, ada pula uji legislatif yang dilakukan oleh MPR. Namun,
wewenang itu tidak ditentukan di dalam UUD 1945, melainkan di dalam pasal 5 ayat (1) Tap.
MPR Nomor III/MPR/2000 bahwa, MPR berwenang menguji Undang-Undang terhadap
UUD dan Tap MPR.

BAGIAN KEDUA
DASAR DASAR HUKUM TATA NEGAR
A. Sumber-sumber Hukum Hukum Tata Negara
1. Pengertian dan Istilah Sumber Hukum
Dalam hubungan ini, Paton, menyatakan bahwa sumber hukum menurut tinjauan
sejarah, berbeda dengan pengertian sumber hukum menurut tinjauan filsafat, sumber hukum
menurut tinjauan agama berbeda dengan pengertian menurut tinjauan ilmu hukum.
I. Sumber hukum menurut tinjauan sejarah: Pertama, stelsel hukum apakah yang memainkan
peranan pada waktu hukum yang sedang berlaku sekarang. Kedua, kitab-kitab hukum
manakah yang telah diperhatikan pembuat undang-undang pada waktu menetapkan hukum
yang berlaku sekarang.
II. Sumber hukum menurut tinjauan filsafat: Pertama, sumber untuk atau menentukan isi
hukum. Kedua, sumber untuk menentukan kekuatan mengikat suatu kaidah hukum.
III. Sumber hukum menurut tinjauan agama adalah ketentuan Allah yang diwahyukan kepada
manusia melalui Rasulnya.
Bagi seorang ahli hukum, sumber hukum dapat dibagi dalam dua pengertian yaitu:
1) Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang dikenal dari segi bentuknya,
karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati selama
hukum itu belum mem[unyai bentuk, mungkin hukum itu baru merupakan perasaan hukum
dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, dan oleh karena itu belum
memunyai kekuatan mengikat.
2) Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum
sumber hukum dalam arti materiil ini diberlakukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum,
dan menentukan isi hukum.
Menurut Usep Ranawijay, perkataan sumber hukum sebenarnya memunyai dua arti
yakni:
1.)Sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum adalah tidak lain dari pada keyakinan
hukum dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus jadi
hukum dalam negara.
2.) Sumber hukum dalam arti bentuk atau dalam arti formil dalam bahasa Belanda dikenal
dengan nama “kenborn”, sumber hukum dalam arti inilah yang perlu diketahui dan diselidiki
bagi hukum tatanegara Indonesia.
2. Sumber Hukum Tata Negara
Pengertian sumber Hukum Tata Negara secara etimologis berasal dari istilah
“sumber” dan “Hukum Tata Negara”. Sumber berarti tempat/sumber asal usul hukum positif
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sumber hukum
terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Hukum Tata Negara, menurut
Logemann adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Jadi, sumber Hukum Tata Negara
adalah sumber/asal-usul dari mana Hukum Tata Negara itu berasal, apakah dari hukum
tertulis dan/atau tidak tertulis.
Sumber Hukum Tata Negara menurut Bagir Manan terdiri atas dua yaitu:
1. Sumber hukum dalam arti materiil. Adalah sumber hukum yang menentukan
sisi hukum HTN, yang termasuk misalnya: Dasar dan pandangan hidup.
kKekuatan politik yang berpengaruh pada saat perumusan Hukum Tata
Negara.
2. Sumber hukum Tata Negara Formal adalah sumber hukum yang dilihat dari
segi bentuknya terdiri atas:
a) Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
b) Traktat
c) Doktrin
d) Konvensi
e) Hukum Adat Ketatanegaraan
3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia
Sumber hukum dalam Hukum Tata Negara terbagi atas sumber hukum materiil dan
sumber hukum formil.
A. Sumber Hukum Materii
Dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, dikenal istilah “Sumber dari segala
Sumber Hukum”, yang merupakan sumber hukum dari segala sumber hukum adalah
Pancasila, yang menjadi pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum dan cita-
cita moral, kejiwaan serta watak dari rakyat negara yang bersangkutan.
Pancasila merupakan Sumber Hukum Materiil dalam Hukum Tata Negara Indonesia
di mana perwujudannya sebagai sumber segala sumber hukum yakni melalui :
1) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
3) UUD 1945.
4) Surat Perintah Sebelas Maret.
B. Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Tata Negara formal menurut Bagir Manan yakni:
1) Hukum Perundang-undangan Ketatanegaraan.
2) Hukum Adat Ketatanegaraan.
3) Kebiasaan.
4) Yurisprudensi.
5) Hukum Perjanjian Internasional.
6) Doktrin Ketatanegaraan.
Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang mengubah Ketetapan MPRS
Nomor XX/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973, maka sumber
hukum formal HTN sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat RI;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden;
7) Peraturan Daerah.
B. Asas-Asas Hukum Tata Negara
1. Asas Kekeluargaan
Menurut H.M. Koesnoe, dalam bahasa Jawa asas ini disebut asas kerakyatan atau asas
kebersamaan, kebrayatan dalam bahasa Indonesia menjadi kerakyatan. Ide asas kekeluargaan
kemudian diusulkan dalam perencanaan UUD RI oleh Prof. Mr. Soepomo dalam sidang
BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Ide tersebut kemudian berhasil dituangkan dalam UUD 1945.
Perumusan asas kekeluargaan dapat dilihat baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang
Tubuh UUD 1945. Dalam Pembukaan:
Alenia Pertama : “... kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa ...”.
Alenia Kedua : “...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan ...”.
Alenia Ketiga : “... dengan didorong oleh keinginan luhur ...”.
Alenia Keempat : “... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi ...”.
Dalam pelaksanaannya, semangat kekeluargaan itu dapat diketahui pula pada hal-hal
seperti berikut: (1) Cara pengambilan keputusan yang dilakukan dalam lembaga Majelis-
Permusyawaratan rakyat (MPR), kDewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga-lembaga
lainnya.(2)Hubungan kerja sama antara Presiden dan DPR dalam rangka penyusunan
Undang-undang. Penjelasannya sebagai berikut:
1) Cara Pengambilan keputusan
Cara pengambilan keputusan bersumber pada sila ke-4 Pancasila yang tertuang pada
pembukaan alenia keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Cara seperti ini disebut musyawarah mufakat yang berarti
kepuasan yang diambil adalah hasil kesepakatan bersama. Atau dengan kata lain, mufakat
berarti persetujuan bulat atau kesepakatan bersama.
Menyadari bahwa kemungkinan mufakat akan mengalami kesukaran karena
heterogennya masyarakat Indonesia, maka alternatif lain untuk megambil keputusan seperti
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 37, yaitu bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan dengan suara terbanyak.
2) Hubungan Kerja Sama antara Presiden dan DPR
Dalam pembentukan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo.
Pasal 20 UUD NRI 1945 (Hubungan kerja sama itu tampak di mana wakil pemerintah akan
selalu bermusyawarah dengan DPR dalam proses pembicaraan penyusunan Undang-
Undang).
2. Asas Kedaulatan Rakyat
Pengertian kedaulatan adalah wewenang yang tertinggi yang menentukan segala
wewenang yang ada dalam suatu negara. Kata ini merupakan terjemahan dari Sovereignty
(Inggris), Souvereiniteit (Belanda), souvereinete (Prancis), suvranus (Italia) dan dalam bahasa
Latin dikenal dengan istilah Supranus yang berarti “yang tertinggi”.
Tak terbatas artinya tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi
kekuasaan tersebut permanen berarti abadi tetap sepanjang negara itu ada. Konsep itu disebut
juga konsep negara monistis.
3. Asas Pembagian Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan terpisah tanpa ada hubungan antara satu
dengan yang lainnya. Setelah amandemen UUD 1945, Indonesia memiliki kecenderungan
menganut “pemisahan kekuasaan” dengan diintroduksikannya asas checks and balances
system. Amerika Serikat menganut asas pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif, namun pemisahan kekuasaan ini hanya berlaku pada situasi khusus, yakni jika Veto
Presiden ditolak oleh Kongres. Namun secara konstitusional, Kongres dapat membuat
Undang-Undang tanpa persetujuan Presiden. Akan tetapi, dalam keadaan biasa, Presiden
dapat mencampuri urusan Kongres.
4. Asas Negara Hukum
Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup
bagai warga negaranya. Dalam sejarah ketatanegaraan, selanjutnya dikenal negara hukum
sempit sebagai ajaran dari Immanuel Kant dan Fichte.
C. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat dilakukan berdasarkan beberapa
cara, antara lain; berdasarkan periode berlakunya UUD (Konstitusi), pergantian Orde,
pergantian pemerintahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini, sejarah ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada periode
berlakunya UUD, yaitu; Periode Tahun l945 - Tahun 1949 (UUD 1945), Tahun 1949 - Tahun
1950 (KRIS), Tahun 1950 - Tahun 1959 (UUDS), Tahun 1959 - sekarang (berlakunya
kembali UUD 1945, yang terbagi menjadi 3 masa yakni Tahun 1959 - Tahun 1966, Tahun
1966 - Tahun 1999 dan Tahun 1999 - sekarang. Pembagian dalam 3 masa ini adalah berkaitan
dengan pergantian pemerintahan dan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945).

BAGIAN KETIGA
LEMBAGA LEMBAGA NEGARA
A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara
Sebagaimana telah diuraikan dalam kajian mata kuliah Ilmu Negara1 terkait dengan
pokok bahasan bentuk Negara, bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan di dunia, serta
berdasarkan penelusuran bahan hukum dibidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan
sistem pemerintahan dan lembaga negara, maka dapat ditemukan konsep dan pengertian
mendasar dari sistem pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.
sebagai rujukan mendasar membahas dimensi sistem pemerintahan di Indonesia pada
masa sebelum amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang meliputi hal-hal berikut
ini:
1) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
3) ekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die
gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis), sebagaimana dirumuskan pada
Penjelasan Undang-undang Dasar, disebutkan maknanya ialah kedaulatan rakyat
dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des
Staatsvolkes).
4) Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan negara yang tertinggi di bawah
Majelis.
5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, di
samping Presiden ada Dewan Perwakilan Rakyat.
6) Menteri negara ialah pembantu Presiden.
7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas bermakna meskipun Kepala Negara
tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Negara bukan
“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas
Kemudian, dibentuklah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lembaga-lembaga
negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga
negara yang lainnya. Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen,
dipandang dari kedudukannya, terdapat lembaga tertinggi negara yakni Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan lembaga tinggi negara yakni meliputi Dewan Perwakilan
Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Pertimbangan
Agung.
adapun ketentuan Pasal 16 sebelum amandemen mengalami perubahan menjadi
rumusan perbandingan sebagai berikut:
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Pasal 16
1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.
2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak
memajukan usul kepada pemerintah.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ****) (Dihapuskan)

Pasal 16
Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.
BAB VIIA***)
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C
1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum. ***)
2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. ***)
4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-
undang. ***)

Pasal 22D
1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***)
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama. ***)
3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)
4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. ***)

BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. ***)
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)
3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dan tiga orang oleh Presiden. ***)
4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. ***)
5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)
6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang. ***
Masalah pokok yang dibahas dalam bab ini yakni mengenai lembaga-lembaga negara
menurut Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194537. Penataan kekuasaan Negara di
Indonesia baik sebelum maupun pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “sarat
akan diskusi dan pembahasan” dan “menjadi wacana baru”.
Dikatakan “menjadi wacana baru” akibat dari adanya lembaga negara yang dihapus
dan terdapat pembentukan lembaga negara yang baru40. Sehingga, sangat tepat pembahasan
mengenai lembagalembaga negara ini diangkat, khususnya dalam konteks sebagai bahan
perkuliahan.
B. Mengidentifikasi Lembaga-lembaga Negara pada UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam rangka melakukan identifikasi terhadap lembaga-lembaga negara pasca
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat dilakukan pendekatan melalui beberapa
sudut pandang berikut ini:
1. Teori Pemisahan dan Teori Pembagian Kekuasaan
Teori yang berkaitan dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan adalah “teori
pemisahan kekuasaan” yang dipopulerkan oleh Montesquieu dan “teori pembagian
kekuasaan” yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen.
Di Indonesia, ketiga kategori lembaga negara tersebut dikenal dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terdapat Bab III mengenai kekuasaan Pemerintahan
Negara, yang lazim disebut sebagai kekuasaan eksekutif, Bab VII mengenai Dewan
Perwakilan Rakyat, yang lazim disebut sebagai kekuasaan legislatif, serta Bab IX mengenai
Kekuasaan Kehakiman yang lazim dikenal sebagai kekuasaan yudikatif.
2. Penamaan dan Dasar Hukum Atribusi Wewenang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945
Berdasarkan penamaan dan atribusi wewenang mengenai lembaga-lembaga negara
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 3 Ayat (1) dan (2),
Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (7), dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
b) Presiden, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), dan (2), Pasal
10, Pasal 11 Ayat (1), Pasal 12, Pasal 13 Ayat (1), pasal 14 Ayat (1), dan (2), Pasal
15, Pasal 16, Pasal 17 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (2), dan (4), Pasal 22 Ayat (1), Pasal 23
Ayat (2), Pasal 23F Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24B Ayat (3), dan Pasal 24C
Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
c) Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 20 Ayat (1) dan (2),
Pasal 22 Ayat (2), Pasal 22D Ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1)
dan Pasal 22D Ayat (3), Pasal 22F Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2) dan (3), Pasal 24B
Ayat (3), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24C Ayat (3), Pasal 13 Ayat (3) dan (4), Pasal 14
Ayat (2), dan Pasal 11 Ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945.
d) Dewan Perwakilan Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 22D Ayat (1), (2), (3)
dan Pasal 22F Ayat (l) UndangUndang Dasar Tahun 1945
e) Mahkamah Agung, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24 A Ayat (1),
dan Pasal 24 C Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
f) Mahkamah Konstitusi, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
g) Komisi Yudisial, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
kUndang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24A Ayat (3), dan Pasal 24B Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
hk) Badan Pemeriksa Keuangan, dengan dasar hukum Atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23E Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
i) Pemerintah Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
j) Komisi Pemilihan Umum, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 22E ayat (l), (2), dan (5)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
k) Bank Sentral, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23 D Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
l) Tentara Nasional Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
m) Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
n) Dewan Pertimbangan, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
Bila dikaji lebih mendalam, maka dalam Perubahan UndangUndang Dasar Tahun
1945 terdapat lembaga yang menggunakan nomenklatur atau nama komisi, yaitu Komisi
Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum. Adapun diluar ketentuan Undang-Undang Dasar.
C. Tata Cara Pembentukan, Susunan, dan Kedudukan LembagaLembaga Negara
Pasca Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan dasar hukumnya yakni
pada Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 dan Pasal 3 Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni dikaitkan
beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen atas Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut,
yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, kemudian diubah
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan terakhir dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) dari ketiga
peraturan perundang-undangan tersebut yakni,”...Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
selanjutnya disingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945...” yang dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang
Adapun susunan dan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat dikaji dari
rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan Undang-undang58, demikian pula dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik
Indoneksia Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum, selanjutnya dalam Pasal 3 dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat
diresmikan dengan Keputusan Presiden.
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya Bab VII tentang Dewan Perwakilan
Rakyat Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B pada
Perubahan Undang-UndangDasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 yang kemudian diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 200966, dan terakhir dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 yang telah diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2014, dinyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum
dan susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang.
Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dapat dikaji dari
rumusan Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 16
dan Pasal 17 Undangundang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 67 dan Pasal
74 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 67, Pasal 68 dan
Pasal 76 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota partai politik
peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum, yang berjumlah
lima ratus lima puluh orang pada Undangundang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003
dan menjadi lima ratus enam puluh dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, yang kemudian
diresmikan keanggotaannya dengan Keputusan Presiden, serta berdomisili di ibukota negara
Republik Indonesia.
3. Dewan Perwakilan Daerah
Tata cara pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan salah satu
Lembaga Negara baru pasca Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 , dapat dillihat pada Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal
22C dan Pasal 22D Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di samping itu, terdapat
peraturan perundangundangan nasional terkait dengan Dewan Perwakilan Daerah, yakni
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, yang kemudian diubah
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan terakhir dalam
Undangundang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.
Disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga Negara yang
terdiri atas wakil-wakil daerah Provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum, dimana
Anggota Dewan Perwakilan Daerah tersebut berasal dari setiap Provinsi ditetapkan sebanyak
empat orang, dimana jumlah seluruh Anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak melebihi dari
1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian
keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden, berdomisili di daerah pemilihannya
dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia, dan dengan
masa jabatan 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
baru mengucapkan sumpah/janji.
4. Lembaga Kepresidenan dan Wakil Presiden
Dari awal kemerdekaan, lembaga kepresidenan di Indonesia menjadi satu-satunya
lembaga Negara yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-undang tertentu dan
hanya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar sebelum terjadinya Amandemen terhadap
Undang-undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, lembaga kepresiden lazim disebut
sebagai masa “executive heavy”.
Setelah amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945, mulai terjadi perubahan
yang sangat mendasar terkait dengan lembaga kepresidenan, yang lazim disebut sebagai
pergeseran kekuasaan eksekutif yang “executive heavy” menjadi “legislative heavy.
Pertama, dalam Amandemen Pertama atas Undang-undang Dasar Tahun 1945,
disebutkan terjadi perubahan atas pasal-pasal dengan fokus pada lembaga kepresidenan yakni
melalui perubahan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal
15, maupun Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 194590, yang berfokus pada pergeseran “executive heavy” menjadi “legislative
heavy” dan mulai diadopsinya konsep “checks and balances systems” dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Kemudian, dalam Amandemen Ketiga atas Undang-undang Dasar Tahun 194592,
disebutkan pula perihal perubahan pasal-pasal terkait lembaga kepresidenan, diantaranya
Pasal 6 Ayat (1) dan (2), Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5), Pasal
7A, Pasal 7B Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7), Pasal
7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 17 Ayat (4) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman99 di Indonesia, terdapat dua kekuasaan kehakiman
yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berikut akan dipaparkan lebih lanjut
terkait kedua lembaga Negara tersebut.
a. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undangundang. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman junto Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung103, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004104 dan terakhir,
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009105, Mahkamah Agung
tidak hanya melaksanakan fungsi Peradilan saja, namun berbagai fungsi lainnya yakni fungsi
peradilan, fungsi mengatur, fungsi penasihat, fungsi pengawasan dan fungsi administratif.106
Dalam konteks “negara hukum”, memang diperlukan adanya Mahkamah Agung sebagai
badan atau lembaga yangmempunyai tugas menegakkan tertib hukum, di samping sebagai
peradilan kasasi, mengawasi kegiatan-kegiatan peradilan bawahan dan melakukan hak uji
material peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang.
b) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang baru dimunculkan pasca
terjadinya Amandemen atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara eksplisit, disebutkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia dan secara jelas disebutkan pada Pasal 24 Ayat (2) serta Pasal 24C
Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur secara tegas dalam Pasal
24C Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945110 yakni
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran
Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, serta wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.
6. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
Berbicara terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan memiliki Kekuasaan
Eksaminatif yang telah diamanatkan dalam Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan
pada Pasal 23E sampai dengan Pasal 23G Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Adapun tujuan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yakni untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang diadakan melalui satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Dalam hal ini, hasil pemeriksaan keuangan
negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan Undang-undang. Kemudian, hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-
undang.
D. Hubungan Antar Lembaga Negara
1. Hubungan antara MPR – Presiden
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam
menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya
menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh
MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan
negara.
2. Hubungan antara MPR – DPR
Melalui wewenang DPR, MPR mengemudikan pembuatan undang-undang serta
peraturanperaturan lainnya agar undang-undang dan peraturan-peraturan itu sesuai dengan
UUD.
3. Hubungan DPR – Presiden
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam
pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah.
4. Hubungan antara DPR - Menteri-menteri
Menteri tidak dapat dijatuhkan dan diberhentikan oleh DPR, tapi konsekuensi dari
tugas dan kedudukannya, Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, para
Menteri juga dari pada keberatan-keberatan DPR yang dapat mengakibatkan
diberhentikannya Menteri.
5. Hubungan antara Presiden - Menteri-menter
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap
Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya.
6. Hubungan antara MA - Lembaga Negara lainnya
Dalam Penjelasan UUD 45 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun kekuasaan atau kekuatan
lainnya.
7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan
antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan terdapat dalam konteks
hasil pemeriksaan keuangan negara yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan Undang-
Undang, dimana hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/
atau badan sesuai dengan Undang-Undang.
Kemudian, menurut Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, dalam bukunya
Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, dikemukakan
bahwa hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan meliputi perihal
mengikuti dan memeriksa penggunaan anggaran belanja oleh pemerintah, memberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai hasil pemeriksaannya sebelum pemerintah
memberikan nota keuangan beserta rancangan anggaran belanja tahun berikutnya, serta
berdasarkan penilaian tersebut Dewan Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan-
pertimbangan penetapan rancangan anggaran belanja negara tahun berikutnya, dan
memberikan penjelasan tambahan tentang laporan penilaian tersebut serta memberikan
nasihat-nasihat teknis kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

BAGIAN KEEMPAT
WILAYAH NEGARA DAN OTONOMI DAERAH
A. Wilayah Negara
Dalam UUD 1945, tidak ada satu pasal pun menyinggung soal luas wilayah Negara
proklamasi. Dalam sidang-sidang BPUPKI pernah ada pembahasan tentang wilayah Negara
dan ditentukan ada tiga pilihan yang diajukan, yaitu:
1. Wilayah Hindia Belanda;
2. Wialyah Majapahit dahulu Hindia Belanda + Malaysia, Kalimantan Utara, Papua,
dan Timor Portugis; dan
3. Hindia Belanda + Malaysia dikurangi Papua.
Dalam pembahasan ini bahkan sempat diadakan pemungutan suara, dimana yang
menyetujui usul I 19 orang, usul II 39 orangdan usul III, 6 orang. Sejarah kemudian
menunjukan lain.
Pada rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, ditentukan mengenai pembagian wilayah
Negara RI atas delapan (8) Provinsi, yaitu:
1) Provinsi Jawa Barat
2) Provinsi Jawa Tengah
3) Provinsi Jawa Timur
4) Provinsi Sumatera
5) Provinsi Borneo (Kalimantan)
6) Provinsi Sulawesi
7) Provinsi Maluku
8) Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara).
Perjalanan Proklamasi Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
mengalami banyak rintangan dan tantangan, dengan masuknya kembali Belanda
(membonceng Tentara Sekutu) menancapkan pengaruhnya, sehingga sampai terbentuknya
Negara Repulik Indonesia Serikat melalui Konprensi Meja Bundar, maka wilayah negara RIS
belum meliputi wilayah Irian Barat. Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah
Indonesia, yaitu daerah bersama:
A. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut statusquo seperti dalam
perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948; Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta; Negara Jawa Timur; Negara
Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa statusquo Asahan
Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Sumatera Timur tetap
berlaku; Negara Sumatera Selatan.
B. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri: Jawa Tengah, Bangka Belitung,
Riau, Kalimantan Barat ( Daerah Istimewa), Dayak Besar, Daerah Banjar,
Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. A dab b ialah daerah-daerah
bagian dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan
federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan Konstitusi
ini dan lagi,
C. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian.
Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno dengan pidatonya “Penemuan
Kembali Revolusi kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia), mengingatkan kembali
tujuan revolusi bangsa Indonesia. Tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta
dikumandangkan “Tri Komando Rakyat (Trikora)”, yang isinya:
1. Gagalkan Negara Papua;
2. Kibarkan Bendera Merah Putih , di Irian Barat
3. Bersiap-siaplah untuk mobilisasi Umum.
Dengan adanya Tri Komando Rakyat dan adanya bukti-bukti kesungguhan serta
kesanggupan bangsa Indonesia mempertahankan Irian Barat, maka Belanda bersedia untuk
mengadakan perjanjian, yang dikenal dengan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962.
Bila ingin melihat batas-batas wilayah secara jelas, maka harus melihat dahulu
perjanjian-perjanjian yang diadakan antara Kerajaan Belanda dengan Inggris dan Kerajaan
Portugis yang masih berlaku, berdasarkan Pasal 5 Persetujuan Perpindahan Kekuasaan
sebagai berikut: “Segala hak dan kewajiban Kerajaan Belanda yang disebabkan karena
perjanjian–perjanjian dan persetujuan internasional menjadi kewajiban Negara Republik
Indonesia Serikat sekedar perjanjian-perjanjian dan perjnjian-perjanjian itu berlaku atas
daerah hukum RIS”.
B. Otonomi Daerah
Dalam Pembahasan mengenai Otonomi Daerah, akan dibagi dalam sub-sub bahasan
sebagai berikut: 1. Prinsip Negara Kesatuan, 2.Asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di
Daerah, 3. Otonomi Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004.
1. Prinsip Negara Kesatuan
Pasal 1(1) UUD NRI 1945 menentukan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik.”
Di Indonesia, dalam UUD yang pernah berlaku apakah bentuk negara itu ditujukan
pada bentuk republik/monarkhi atau pada kesatuan/ federasi, memang ada kerancuan, tetapi
menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen menentukan bentuk negara ditujukan
pada republik. Sementara untuk kesatuan atau serikat/ federasi ditujukan pada bentuk susunan
negara. Joeniartho menggunakan istilah “bentuk susunan negara” untuk menunjukkan negara
kesatuan/ federasi.
Ciri-ciri khusus yang merupakan bagian pelengkap dari kedaulatan menurut Jean
Bodin adalah:
1) Membuat undang-undang/hukum untuk warga negara tanpa dibatasi oleh sesuatu
kekuasaan lain yang sederajat atau yang lebih rendah
2) Wewenang membuat uang, memaklumkan perang, menentukan badan-badan
peradilan, wewenang pengawasan dan lain-lain.
Prinsip Negara Kesatuan dalam UUD 1945 sebelu di amandemen ditentukan dengan
regas dalam Pasal 1 ayat (1) dan dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 18 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Oleh karena Negara Indonesia itu suatu”eenheidstaat”, maka Indonesia tidak akan
mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat” staat”juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi akan
bi bagi-bagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil.
Daerah ini bersifat otonum (streek dan locale rechtgemeenschaps) atau bersifat
administrative belaka, semua menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang”.
Prinsip ini tetap dipegang dalam UUD NRI 1945, dimana Penjelasan UUD 1945
dihapus dan substansinya dituangkan dalam Batang Tubuh UUD BAB VI PEMERINTAH
DAERAH sebagai berikut.
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.

2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah


Kata otonomi berasal dari kata Latin auto = sendiri, nomoi = undang-undang,
sehingga otonomi daerah berarti membuat undang-undang sendiri. Pengertian ini terlalu
sempit, karena dalam kenyataanya pemerintah daerah tidak hanya membuat undangundang
atau menjalankan fungsi legislative saja, melainkan menjalankan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan (eksekutip) daerah.
Asas desentralisasi adalah: lawan dari asas sentralisasi. Asas sentralisasi suatu asas
yang memusatkan seluruh kebijakan negara atau kewenangan mengatur ada pada pemerintah
pusat sampai pada masalah sekecil-kecilnya. Desentralisasi berarti ada penyerahan wewenang
kepada aparat daerah daerah otonum, yang intinya adalah pembagian kekuasaan. Daerah
otonom (Gemeente) merupakan suatu persekutuan penduduk yang disatukan oleh hubungan
setempat atau sedaerah, yang memiliki ciri-ciri:
1) Adanya wilayah atau lingkungan yang lebih kecil dari pada negara.
2) Adanya penduduk yang mencukupi
3) Adanya kepentingan-kepentingan yang coraknya sukar dibedakan dengan
kepentingan negara
4) Adanya organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan kepentingan-
kepentingan itu Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang
diperlukan
Asas dekonsentrasi adalah lawan dari asas konsentrasi. Asas konsentrasi berarti
seluruh penyelenggaraan administrasi pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat
yang berkedudukan di ibukota negara. Inti dari dekonsentrasi adalah pelimpahan tugas
penyelenggaraan atau administrasi saja, bukan penyerahan wewenang.
Asas medebewind atau tugas pembantuan adalah suatu asas yang memungkinkan
pemerintah pusat untuk meminta bantuan aparat pemerintah daerah otonom untuk mengurus
atau melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah
otonom hanya bertugas melaksanakan sesuai dengan perintah atau petunjuk pemerintah
pusat. Untuk lebih jelas dapat membedakan antara asas desentralisasi dengan dekonsentrasi
dan medebewind, dapat dilihat dari perbedaan ciri-ciri masing-masing sebagai berikut:
Ciri-ciri asas desentralisasi:
1) Adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri (hak otonomi).
2) Aparatur yang diserahi wewenang itu adalah aparatur pemerintah daerah
otonom.
3) Penyelenggaraan urusan-urusan otonom itu dilakukan atas dasar inisiatif sendiri
atau kebijakan pemerintah daerah otonom.
4) Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom adalah hubungan
pengawasan.
5) Sumber pembiayaan urusan otonom itu adalah keuangan daerah otonom itu
sendiri yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Ciri-ciri asas Dekonsentrasi:
1) Urusan yang diselenggarakan adalah urusan pemerintah pusat di daerah.
2) Aparat yang menyelenggarakan urusan itu adalah pejabat pemerintah pusat yang
adka di daerah.
3) Sifat penyelenggaraan itu hanya menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusat,
inisiatip ada pada pemerintah pusat. Aparat di daerah hanya bersifat
administrative belaka.
4) Hubungan antara pemerintah pusat dengan aparat di daerah adalah hubungan
menjalankan perintah.
5) Sumber pembiayaanya adalah dari pemerintah pusat (APBN)
Ajaran Otonomi Materiil
Ajaran ini pada pokoknya bertitik tolak pada pandangan bahwa ada perbedaan
kakekat yang prinsipil antara tugas yang dilakukaoleh pemerintah pusat dengan apa
yang dilakukan oleh pemerintah daerah otonom. Urusan yang dapat dilaksanakan oleh
pemerintah pusat dan yang dapat dikerjakan oleh daerah otonom secara materiil
sangat berbeda. Urusan-urusan yang diserahkan pada daerah otonom harus dirinci
dengan tegas dalam undang-undang pembentukan daerah otonom tersebut, sehingga
tidak mungkin untuk ditambah atau dikurangi.
Ajaran Otonomi Formil
Ajaran ini adalah kebalikan dari ajaran otonomi materiil yang didasarkan pada
pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara urusan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah pusat dengan urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dareah
otonum, Jadi, pertimbangan utama ditekankan pada efisiensi dan efektivitas
pemerintahan, kemungkinan untuk menambah atau mengurangi urusan yang
diserahkan kepada daerah otonom tetap ada berdasarkan pertimbangan efisiensi dan
efektivitasnya.
Ajaran Otonomi Riil atau Otonomi Nyata
Ajaran ini menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian otonomi kepada daerah
otonum didasarkan atas pertimbangan kondisi nyata, kebutuhan serta kemampuan
daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan tertentu, di samping pertimbangan
efisiensi dan efektivitas. Penerapan ajaran ini ditempuh dengan cara pemberian urusan
pangkal pada saat terbentuknya daerah otonum tersebut, kemudian berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan keadaan dan kebutuhan nyata, urusan itu dapat ditambah
atau ditarik kembali oleh pemerintah pusat .

BAGIAN KELIMA
WARGA NEGARA DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Warga Negara dan Orang Asing
Setiap Negara pasti memiliki warga negara, atau rakyat, di samping wilayah dan
pemerintahan. Warga Negara adalah istilah yuridis sementara rakyat adalah istilah politik,
baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Ada juga istilah penduduk yang
mengandung arti lebih luas yaitu meliputi warganegara dan orang asing. Penduduk Indonesia
meliputi warga Negara Indonesia maupun orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Kewajiban warga negara berbeda dengan orang asing di Indonesia antara lain:
Warga Negara:
a. memiliki hak dan kewajiban membela negara
b. memiliki hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan umum
c. hak di bidang hukum publik tertentu, seperti hak menjadi Pegawai negeri
sipil/militer, anggota partai politik dan sebagainya.
d. Bebas mencari pekerjaan di Indonesia.
Orang Asing:
a. hak untuk memperoleh perlindungan terhadap keamanan diri selama di
Indonesia kebebasan beribadah dan memeluk agama
b. kewajiban mentaati hukum yang berlaku di Indonesia
c. Wajib memiliki ijin masuk/dan tinggal di Indonesia
d. Wajib melaporkan diri dan memiliki surat-surat keimigrasian
e. Bila bekerja di Indonesia harus memiliki ijin kerja dengan prosedur khusus.
B. Asas-asas Kewarganegaraan
Cara untuk menentukan seseorang menjadi warga negara suatu Negara bisa
berdasarkan atas asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius Soli adalah cara memperoleh
kewargaannegaraan berdasarkan tempat di mana ia dilahirkan, sedangkan Ius Sanguinis
adalah dalam menentukan kewarganegaraan berdasarkan keturunan darah, bila orang tuanya
warganegara Indonesia, maka ia juga akan menjadi warga negara Indonesia. Sementara hak
seseorang untuk menentukan kewarganegaraan ada dua macam yaitu Hak Opsi: hak untuk
memilih menjadi warganegara suatu negara dan Hak Repudiasi: hak untuk menolak menjadi
warga negara suatu negara. Bila seseorang menjadi warga negara dua negara atau lebih
disebut Bipatride, sedangkan seseorang tanpa kewarganegaraan suatu negara disebut
Apatride.
C. Sejarah Perkembangan Peraturan Perundang-undangan tentang Kewarganegaraan
di Indonesia
1. Pada Awal Kemerdekaan Indonesia
Tgl 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 dan Pasal 26 menentukan sebagai berikut:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa-
bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan diatur dengan undang-undang
Untuk mengaturnya lebih lanjut, maka dikeluarkan UU No. 3 Tahun 1946, tgl 10 April
1946 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 dan 8 Tahun 1947). UU ini menganut asas
ius soli, yang dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1:
a. Warga Negara Indonesia ialah orang yang asli dalam daerah Indonesia;
b. Orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit untuk 5
tahun terakhir dan berturut-turut serta berumur 21 tahun adalah warganegara
Indonesia kecuali kalau ia berkeberatan menjadi warga Negara Indonesia.
2. Dalam Konferensi Meja Bundar
Ada persetujuan mengenai pembagian kewarganegaraan antara Negara RIS dan Kerajaan
Belanda. Tiga hal yang penting yaitu:
1) Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda, bagi
keturunannya yang lahir atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya
enam bulan sebelum tanggal 27 Desember 1949, dalam waktu dua tahun setelah
penyerahan kedaulatan dapat menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia. Di
sini, keturunan Belanda itu diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraan
Indonesia (hak opsi).
2) Orang-orang yang tergolong sebagai kawula Belanda dari golongan Indonesia asli,
yang berada di Indonesia kecuali mereka yang berada di Suriname atau Antillen
Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian dapat
memilih kewarganegaraan Indonesia.
3) Orang-orang yang menurut sistem hukum Hindia Belanda dulu termasuk golongan
Timur Asing, kawulanegara Belanda keturunan asing yang bukan berstatus orang
Belanda (Golongan Arab dan China), maka terhadap mereka terdapat dua
kemungkinan, yaitu jika bertempat tinggal di Belanda mereka tetap
berkewarganegaraan Belanda, sedangkan a. Untuk orang asing yang ingin menjadi
WNI dengan jalan naturalisasi, ia benar-benar harus melepaskan kewarganegaraan
asalnya. b. Seorang anak yang lahir dari ibu WNI dengan orang asing, kemudian
bercerai atau dilahirkan di luar nikah mengikuti kewarganegaraan ayahnya, setelah
berusia 18 tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi dengan syarat
setelah menjadi WNI yang bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan
lainnya. c. Bagi wanita WNI yang kawin dengan WNA baru dapat meninggalkan
kewarganegaraan Indonesia apabila jelas bahwa Negara suaminya memungkinkan
baginya untuk mendapat kewarganegaraan. yang tinggal di Indonesia menjadi
warga Negara Indonesia. Mereka yang dinyatakan sebagai warga Negara Indonesia
dapat menyatakan penolakannya dalam jangka waktu dua tahun. Jadi bagi mereka,
ada pilihan untuk menolak kewarganegaraan (hak Repudiasi).
3. Di Bawah UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
UU No. 62 Tahun 1958 ini diundangkan tanggal 1 Agustus 1958 sebagai pelaksanaan
dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUDS 1950. Ada beberapa hal pokok yang diatur sebagai
berikut.
1) Mengenai asas kewarganegaraan, menitikberatkan pada asas Ius Sanguinis. Dasar
pertimbangannya adalah: keturunan dipakai suatu dasar adalah lazim, sudah sewajarnya suatu
negara menganggap anak-anak dari warganegaranya adalah sebagaiwarga negara di manapun
ia dilahirkan. Pasal 1 hurup b, c, d dan e: seorang anak adalah warga Negara Indonesia karena
orangtuanya atau salah satu orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia. Di samping itu, Ius
Soli juga digunakan sebagai kekecualian, yaitu khusus untuk anak-anak yang lahir di wilayah
Indonesia yang orang tuanya tidak diketahui, atau orang tuanya Apatride (tanpa
kewarganegaraan) atau yang belum mendapat kewarganegaraan dari Negara orangtuanya.
(Pasal 1 huruf f,g,h,dan i.)
2) Mencegah adanya Apatride dan Bipatride.
a. Untuk orang asing yang ingin menjadi WNI dengan jalan naturalisasi, ia
benar-benar harus melepaskan kewarganegaraan asalnya.
b. Seorang anak yang lahir dari ibu WNI dengan orang asing, kemudian bercerai
atau dilahirkan di luar nikah mengikuti kewarganegaraan ayahnya, setelah
berusia 18 tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi dengan syarat
setelah menjadi WNI yang bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan
lainnya.
c. Bagi wanita WNI yang kawin dengan WNA baru dapat meninggalkan
kewarganegaraan Indonesia apabila jelas bahwa Negara suaminya
memungkinkan baginya untuk mendapat kewarganegaraan.
3) Penyebab kehilangan kewarganegaraan RI:
a. karena mendapat kewarganegaraan negara lain;
b. menjadi pegawai atau tentara negara lain tanpa ijin dari presiden;
c. perempuan Indonesia karena kawin dengan laki-laki warga negara lain (catatan
periksa UU No. 62 Tahun 1958).
BAGIAN KEENAM
PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
A. Konsep Kekuasaan Negara dan Pembagian Kekuasaan Negara dalam Tinjauan
Ketatanegaraan
Negara dilihat dari sudut kekuasaan atau politik merupakan suatu sistem kekuasaan.
Pengertian kekuasaan adalah suatu kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok orang lain sedemikian rupa sehingga
tingkah laku seseorang atau kelompok orang tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang memiliki kemampuan itu.
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
(pemerintah), baik dalam proses terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri. Adapun sumber-sumber kekuasaan bisa
didasarkan pada kekuasaan fisik, kedudukan atau jabatan, kekayaan, kepercayaan, sementara
bentuk lain kekuasaan sering dikenal istilah-istilah tertentu diantaranya pengaruh, dominasi,
hubungan atau relasi, kontrol dan lain-lain yang mirip dengan itu.
B. Partai Politik
1) Definisi Partai Politik
Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terorganisir, dimana
para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, dengan tujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik dengan merebut jabatan-jabatan politik secara konstitusional
lewat pemilihan umum .
Menurut Carl J. Friederich, partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Sedangkan, Sigmund Newmann memberikan definisi partai politik sebagai organisasi
dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuaaan pemerintahan serta
merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau
golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
2) Perbedaan Parpol dengan Gerakan dan Kelompok Kepentingan atau Kelompok
Penekan
Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik. Terkadang bahkan ingin menciptakan
suatu tatanan masyarakat yang baru sama sekali dengan memakai cara-cara politik.
Dibandingkan partai politik, gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan bersifat
fundamental, dan kadang-kadang bersifat ideologis. Gerakan dalam memperjuangkan
tujuannya biasanya tidak melalui pemilihan umum.
Perbedaan Kelompok Kepentingan dengan Partai Politik adalah dalam melancarkan
pengaruhnya, kelompok kepentingan tidak berusaha merebut jabatan-jabatan politik bagi
anggotanya, melainkan cukup hanya mempengaruhi beberapa partai politik, pejabat
pemerintah, menteri-menteri agar kepentingannya mendapat perhatian.
3) Fungsi Partai Politik
Adapun 4 (empat) fungsi utama partai politik dalam negara yakni sebagai berikut:
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik
2) Partai Politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (Instrument of political
socialization).
3) Partai Politik sebagai sarana recruitment politik.
4) Partai Politik sebagai sarana manajemen konflik..
M. Ostrogorsky, James Bryce, Robert Crowley, dan Puffet, tidak setuju pada
eksistensi partai politik dengan alasan sebagai berikut:
1) Kata “partai” berarti sebagian (part), sehingga adanya partai politik cenderung
menjurus ke arah separatisme, artinya daerah pemilihan masyarakat
(electorate) dipisah-pisahkan, dan loyalitas rakyat terhadap negara menjadi
terbelah.
2) Partai Politik sebagai organisasi cenderung bersifat hirarkhis, birokratis dan
berdisiplin sempit.
3) Partai politik dalam merealisasi ideologi politiknya memerlukan dana yang
biasanya diperoleh dari donatur (investor) sebagai imbalannya partai
memberikan komitmen-komitmen (janji-janji) tetentu, sehingga sering
menimbulkan manipulasi dan korupsi.
4) Partai politik dalam mengurus dan mengendalikan partainya memerlukan
tenaga dan pegawai-pegawai tetap (full timer). Apabila partainya menang
dalam pemilihan umum, maka tenaga tetap itu biasanya melakukan transaksi
politik (politic transaction).
4. Sejarah Pengaturan Kepartaian di Indonesia
a) Masa Penjajahan
Partai politik dibentuk berdasarkan adanya gerakan ethische politiek dengan
memberikan kesempatan di wilayah jajahan membentuk dewan perwakilan rakyat
(Volksraad) Tahun 1939. Massa penjajahan Jepang, partai politik dilarang, hanya
golongangolongan Islam diberi kebebasan membentuk Partai Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia). Namun, secara keseluruhan pada masa ini, ditandai dengan adanya
sistem kepartaian yang menganut pola sistem Multi Partai.
b) Masa Kemerdekaan Indonesia, yang dapat diklasifikasi menjadi bagian berikut ini:
Masa Maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 3 Nopember 1945
Masa ini merupakan cikal-bakal Partai Politik di Indonesia sesudah kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang diwarnai oleh dua pemikiran pendiri negara (founding
fathers), yakni pertama, pemikiran Bung Karno, yang mengajukan gagasan pola “partai
tunggal” (mono party system) yakni “partai pelopor”, dengan ditetapkannya Partai Nasional
Indonesia sebagai satusatunya partai politik yang berperan menggerakkan potensi rakyat,
memperkukuh persatuan, dan pelopor menegakkan kemerdekaan, serta kedua, Sutan Sjahrir
(Bung Sjahrir), gagasannya yakni adanya pola “banyak partai” (multiparty systems), dengan
argumentasi, bahwa partai politik yang ideal untuk menggerakkan rakyat dalam relevansi
demokrasi adalah partai politik revolusioner, berideologi, rapi terorganisasi secara modern,
dan efisien. Dengan demikian, bagi Bung Sjahrir, yang dibutuhkan Indonesia adalah “partai
kader” bukan “partai massa”.
Masa Pemilihan Umum Tahun 1971
Dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966, Letjen. (TNI) Soeharto
sebagai pelaksana presidium kabinet mengeluarkan Keputusan Tanggal 12 Maret 1966 yakni
dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia beserta ormasormasnya, yang kemudian,
pembubaran ini diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nomor XXV/MPRS/196645 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Ormas-
Ormasnya, serta larangan penyebarluasan ajaran Marxisme–Leninisme, sehingga muncul
semboyan di masa Orde Baru yakni”melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen”.
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1971 kemudian
melakukan fusi/penggabungan dalam fraksi-fraksi, yakni adanya Fraksi Persatuan
Pembangunan yang terdiri atas Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat
Islam Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah; Fraksi Demokrasi Indonesia
yang terdiri Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Republik
Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia;
serta Fraksi Karya Pembangunan yakni Golongan Karya, dan adanya dua Fraksi Fungsional
yang mkelalui pengangkatan yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Fraksi Utusan Daerah.
Masa Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya pada Tahun 1975-
1998.
Fusi ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undangundang Nomor 3 Tahun
197549, yang menyederhanakan jumlah partai (organisasi sosial politik) menjadi tiga, yakni
Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan Golongan Karya. Ketiga
Organisasi Sosial Politik ini selain harus menerima Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 sebagai asas, juga masih diakui asas ciri partai politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan berasaskan Islam, Partai Demokrasi Indonesia berasaskan Nasionalisme serta
Keadilan Sosial, dan Golongan Karya yang berasaskan Kerakyatan untuk kesejahteraan
bangsa dan keadilan sosial. Namun, asas ciri ini dihapus dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1985, serta dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1985 , yang hanya mengenal asas Pancasila sebagai satu-satunya asas partai politik
dan organisasi kemasyarakatan, dan partai diarahkan menjadi partai program, sehingga
dengan kondisi demikian, telah berhasil diadakan pemilihan umum legislatif setiap lima
tahun sekali secara periodik, yaitu tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987 , tahun
1992, dan terakhir pada tahun 1997 dengan hasil pemilihan umum yang senantiasa
didominasi oleh Golongan Karya, hingga pada masa Orde Baru runtuh pada pertengahan Mei
1998.
Masa Reformasi pada Tahun 1998 sampai saat ini
Diawali oleh krisis moneter, Indonesia dilanda krisis kepercayaan (moral) terhadap
pemerintahan dalam arti luas bersamaan dengan isu penegakan hak asasi manusia dan
penegakan hukum. Khusus terhadap kehidupan partai politik, dikeluarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 199956 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1999.
Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, terjadi perubahan atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, sehingga menghasilkan peserta Pemilihan Umum
Legislatif Tahun 2014 menjadi hanya 12 partai politik dan 4 partai lokal di Nangroe Aceh
Darussalam.
Perlu dicatat, bahwa kondisi sistem multi partai di masa Reformasi tersebut muncul
karena masyarakat Indonesia sangat heterogen, mereka cenderung melakukan ikatan-ikatan
terbatas/primordial, baik berdasarkan kelompok/golongan, agama, ras maupun kedaerahan.
C. Pemilihan Umum
1) Masalah Perwakilan
Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya “Du Contract Social” adalah suatu
demokrasi langsung di mana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan kehendak umum
(volonte generale) atau sebagian besar dari warga negara. Dalam praktik, ajaran Rousseau ini
sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya penduduk dengan kepentingan
yang beragam, sangat menyulitkan untuk penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan
demokrasi langsung tersebut, dan jalan keluarnya adalah melalui sistem perwakilan. Negara
Swiss mencoba menerapkan ajaran Rousseaudengan sistem referendum. Pada umumnya,
negara-negara di seluruh dunia menganut sistem perwakilan.
Adapun syarat-syarat Pemerintahan dengan sistem perwakilan tersebut harus
mencakup perihal berikut ini:
1) Proteksi Konstitusional.
2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.
4) Kebebasan menyatakan pendapat.
5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.
6) Harus ada pendidikan civics.
Berikut adalah uraian mengenai hubungan antara “si wakil” dengan “yang diwakili”
dengan beberapa teori di bawah ini:
1) Teori Mandat
Menurut teori mandat, si wakil dianggap duduk di lembaga perwakilan karena
mendapat mandat dari rakyat, sehingga disebut mandataris, seperti yang diajarkan oleh
Rousseau. Teori mandat berkembang menjadi tiga, yakni:
a) Mandat Imperatif, dimana si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan
sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakili, si wakil tidak boleh
bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari
yang diwakilinya, sehingga ia baru dapat melaksanakannya. Kelamahan mandat
jenis ini yakni dapat menghambat tugas lembaga perwakilan.
b) Mandat Bebas. Ajaran ini dianut oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black Stone
(Inggris). Dalam hal ini, si wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung dari
instruksi yang diwakilinya. Si Wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih
serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil
dapat bertindak atas nama yang diwakilinya.
c) Mandat Representatif, dimana si wakil dianggap bergabung dengan badan
perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan, sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan
pemilihnya, apalagpertangungjawabannya. Lembaga perwakilan inilah yang
bertanggung jawab kepada rakyat.
2) Teori Organ
Ini dianut oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband. Menurut teori ini,
negara merupakan organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan dengan fungsinya
masing-masing dan saling tergantung satu dengan lainnya. Setelah rakyat memilih lembaga
perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri lembaga tersebut, dan lembaga itu
bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan Undang-Undang Dasar. Masalah
hubungan wakil dengan yang diwakili tidak perlu dipersoalkan dari segi hukum.
3) Teori Sosiologis dari Rieker
Rieker menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis,
tetapi merupakan bangunan sosial (masyarakat). Si pemilih akan memilih wakilnya yang
benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar mewakili kepentingan
si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang ada
dalam masyarakat. Lembaga perwakilan akan mencerminkan lapisan-lapisan kepentingan
dalam masyarakat.
4) Teori Hukum Objektif dari Leon Duguit .
Menurut teori ini, dasar dari pada hubungan antara rakyat dengan parlemen adalah
solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya atas nama rakyat,
sedangkan rakyat tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung
wakilnya dalam menentukan kewenangan pemerintahan. Jadi, terdapat pembagian kerja.
Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas merupakan dasar hukum objektif yang
timbul. Hukum objektif inilah yang membentuk lembaga perwakilan sebagai suatu bangunan
hukum.

2) Sistem Pemilihan Umum


Pemilihan umum merupakan satu cara untuk menentukan wakilwakil rakyat yang
duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh cara
pandang terhadap individu atau masyarakat dalam negara. Atas kriteria ini, maka dikenal dua
sistem pemilihan yakni sebagai berikut:
1) Sistem pemilihan Mekanis
2) Sistem pemilihan Organis
3. Sejarah Perkembangan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Untuk memahami sistem pemilihan umum di Indonesia, maka dapat dikaji dari segi
perjalanan sejarah perkembangan Pemilihan Umum di Indonesia dalam tinjauan sejarah
ketatanegaraan Indonesia, dengan mempelajari lebih mendalam undang-undang pemilihan
umum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan umum. Berikut adalah uraian
perjalanan sejarah perkembangan sistem pemilihan umum dari masa ke masa.
a) Masa Awal Kemerdekaan, Demokrasi Liberal hingga Orde Lama
Pada masa ini, Pemilihan Umum pertama diadakan pada Tahun 1955 dengan dasar
hukum yakni pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 juncto
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956, dengan sumber konstitusinya
yakni pada Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 3587 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950,
dimana Pemilihan umum tersebut diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Badan Konstituante dengan menggunakan sistem pemilihan umum sistem
Proporsional.
b. Masa Orde Baru
Pada masa ini, Pemilihan Umum yang Kedua dilaksanakan pada Tahun 1971. Namun
bila ditelusuri lebih lanjut dalam Undangundang Dasar yang berlaku yakni Undang-undang
Dasar Tahun 1945 yang bersifat singkat, sehingga soal pemilihan umum tidak diatur
dalamnya.
Demikian berlangsung sampai Pemilihan Umum Keempat pada Tahun 198297.
Setelah itu, sempat diadakan perubahan terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 1975 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1975 dengan
mengeluarkan lima paket Undang-undang di bidang Politik Tahun 1985, terutama berkaitan
dengan asas partai politik hanya mengenal asas Pancasila dan asas ciri dihapuskan, dimana
hal tersebut berlaku untuk Pemilihan Umum kelima pada Tahun 1987 sampai Pemilu
keempat pada Tahun 1992 dan terakhir dalam Pemilihan Umum ketujuh pada Tahun 1997
hingga berakhirnya masa Orde Baru, dimana dengan asas pemilihan umum adalah langsung,
umum, bebas dan rahasia, dengan sistem perwakilan proporsional dan sistem pengangkatan
(perwakilan fungsional).
c. Masa Reformasi
Pada masa ini, Pemilihan Umum Pertama di masa ini dan kedelapan sejak pertama
kalinya, diadakan pada Tahun 1999 sebagai kelanjutan dari perjuangan reformasi di
Indonesia sejak tahun 1997. Dan dalam rangka tuntutan reformasi kemudian disusun tiga
paket undang-undang di bidang politik1, yakni melalui Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1999.
Kemudian melalui Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pelaksanaan Pemilihan Umum kesembilan yakni pada Tahun 2004 memiliki
keistimewaan tersendiri, dimana dalam pemilihan umum Tahun 2004 tersebut, terdapat
pengaturan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
Pemilihan Umum dalam Bab VII B pada Pasal 22 E Ayat (1) sampai Ayat (6).
Dari keseluruhan pemilihan umum tersebut di Indonesia, tidak terdapat perbedaan
substansial berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, hanya terdapat perbedaan dalam
hal jumlah partai politik, maupun pihak yang dipilih, serta pelaksana Pemilihan Umum dari
masa ke masa dalam tinjauan ketatanegaraan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai