Anda di halaman 1dari 104

HUKUM TATA NEGARA

Yunda Efendi, S.H., M.H.Li


Pengertian Hukum Tata Negara
 Semenjak pertama kali diajarkan dalam matakuliah Staatrecht di Negeri
Belanda, Verfassungsrecht di Jerman, State Law atau Constitutional Law
di Inggris, Droit Constitutional di Perancis, dan dalam berbagai istilah
lainnya diberbagai negara, materi perkuliahan Hukum Tata Negara
sebagai istilah yang lazim dipakai dalam Bahasa Indonesia telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sama dengan pengertian
atau definisi dari imu hukum, ternyata untuk memberikan pengertian
hukum tata negara juga demikian.
 Dalam ilmu hukum, bagaimanakah Hukum Tata Negara atau
Constitutional Law (Verfassungsrecht, Droit Constitutional) sebagai satu
ilmu pengetahuan didefinisikan oleh para sarjana. Di antara para ahli
hukum, dapat dikatakan tidak terdapat rumusan yang sama tentang
definisi hukum dan demikian pula dengan definisi Hukum Tata Negara
sebagai hukum dan sebagai cabang ilmu pengetahuan. Perbedaan-
perbedaan itu disebabkan oleh faktor-faktor perbedaan pandangan di
antara para ahli hukum itu sendiri, tetapi sebagian lagi dapat disebabkan
pula oleh perbedaan sistem yang dianut oleh negara yang diteliti oleh
masing-masing sarjana hukum itu. Misalnya, di negara-negara yang
menganut tradisi common law tentu berbeda dari apa yang dipraktikan
di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi civil law.
 Bahkan, dalam perkembangan praktik selama berabad-
abad, di antara negara-negara yang menganut tradisi
hukum yang sama pun dapat pula timbul perbedaan-
perbedaan, karena latar belakang sejarah antara satu
negara dengan negara lain yang juga berbeda-beda.
Misalnya, mekipun sama-sama menganut tradisi common
law, antara Inggris dan Amerika Serikat jelas mempunyai
sejarah hukum yang berbeda, sehingga konsep-konsep
hukum dan konstitusi yang dipraktekkan di kedua negara
ini juga banyak sekali yang tidak sama. Apa lagi, di Inggris
sendiri tidak terdapat naskah konstitusi yang bersifat
tertulis dalam satu naskah undang-undang dasar,
sedangkan Amerika Serikat memiliki naskah undang-
undang dasar tertulis yang dapat dikatakan sebagai negara
modern pertama yang memilikinya.
 Berbagai pandangan para ahli hukum tata negara
mengenai definisi Hukum Tata Negara itu, antara lain,
dapat dikemukakan sebagai berikut:
 A. Paul Scholten
Menurut Paul Scholten, Hukum Tata Negara itu tidak lain adalah
het recht dat regelt de staatsorganisatie, atau hukum yang
mengatur mengenai organisasi negara (staatsorganisatie).
Dengan rumusan demikian, Paul Scholten hanya menekankan
perbedaan antara organisasi negara dan organisasi non-negara,
seperti geraja dan lain-lain. Scholten sengaja membedakan
antara Hukum Tata Negara dalam arti sempit sebagai hukum
organisasi negara di satu pihak dengan hukum gereja dan
perkumpulan hukum perdata di pihak lain karena kenyataan
bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak memancarkan
otoritas yang berdiri sendiri, melainkan suatu otoritas yang
berasal dari negara. Jika yang diatur adalah organisasi negara,
maka hukum yang mengaturnyalah yang disebut sebagai Hukum
Tata Negara (Constitutional Law). Menurut Jimly Asshiddiqie,
pandangan Paul Scholten dapat dikatakan terlalu sempit, karena
sama sekali belum mempertimbangkan hubungan antara
organisasi negara dengan warga negara. Oleh Paul Scholten,
persoalan hak-hak asasi manusia, misalnya belum
dipertimbangan sama sekali sebagai salah satu materi yang
penting dalam ilmu Hukum Tata Negara.
 Christian van Vollenhoven
Menurut van Vollenhoven Hukum Tata negara adalah:
(Mengatur semua masyarakat hukum atasan dan
masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-
tingkatannya, yang menentukan wilayah atau
lingkungannya rakyatnya masing-masing, dan menentukan
badan-badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang
bersangkutan itu beserta fungsinya masing-masing, serta
menentukan pula susunan dan kewenangan badan-badan
yang dimaksud).
Sebagai murid Oppenheim, Van Vollenhoven juga mewarisi
pandangan gurunya yang membedakan antara Hukum
Negara dan Hukum Administrasi Negara. Perbedaan itu
digambarkannya dengan perumpaan bahwa dalam Hukum
Tata Negara, kita melihat negara dalam diam (in rust),
sedangkan dalam Hukum Administrasi Negara, kita melihat
negara dalam keadaan bergerak (in beweging).
 Van der Pot
Van der Pot mengemukakan pendapatnya:
(Serangkaian peraturan yang menetapkan
adanya alat-alat perlengkapan negara yang
diperlukan, apa tugas dan wewenangnya,
perhubungan kekuasaan antara alat-alat
pelengkap negara satu sama lain dan
perbuhubungan dengan oknum-oknum pribadi
negara).
Pandangan Van der Pot ini mencakup
pengertian, di samping mencakup soal-soal hak
asasi manusia, juga menjangkau pula berbagai
aspek kegiatan negara dan warga negara yang
dalam definisi sebelumnya dianggap sebagai
objek kajian Hukum Administrasi Negara.
 J.H.A. Logemann
Hukum Tata Negara adalah serangkaian kaidah huum mengenai pribadi hukum
dari jabatan atau kumpulan jabatan di dalam negara dan mengenai lingkungan
berlakunya (gebeid) hukum dari suatu negara. Pribadi hukum jabatan adalah
pengertian yang meliputi serangkaian persoalan mengenai subjek kewajiban,
subjek nilai (waardensubject), personifikasi, perwakilan timbul dan lenyapnya
kepribadian, serta pembatasan wewenang. Pengertian lingkungan berlakunya
ialah lingkungan kekuasaan atas daerah (wilayah), manusia dari suatu negara,
dan lingungan waktu. Dalam hukum tata usaha negara, dirumuskan sebagai
hukum mengenai perhubungan hukum yang dalam hal jabatan negara
menjalankan tugasnya.
Dalam bukunya College-aantekeningen over het Staatsrecht van Nederlans
Indie, Logeman mengatakan bahwa ilmu hukum tata negara mempelajari
sekumpulan kaidah hukum yang di dalamnya tersimpul kewajiban dari dan
wewenang kemasyarakatan dari organisasi negara, dari pejabat-pejabatnya
keluar, dan di samping itu kewajiban dan wewenang masing-masing pejabat
negara di dalam perhubungannya satu sama lain atau dengan kata lain kesatuan
(Samenhang) dari organisasi. Ilmu hukum tata negara dalam arti sempit
menyelidiki hal-hal antara lain:
a. Jabatan-jabatan apa yang terdapat di dalam susunan kenegaraan tertentu.
b. Siapa yang mengadakannya;
c. Bagaimana cara melengkapi mereka dengan pejabat-pejabat;
d. Apa yang menjadi tugasnya (lingkungan pekerjaannya);
e. Apa yang menjadi wewenangnya;
f. Perhubungan kekuasaan satu sama lain;
g. Di dalam batas-batas apa organisasi negara ( dan bagian-bagiannya) menjalankan
tugasnya.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Logemann tersebut di atas terlihat bahwa
Lgeman lebih mengedepankan aspek atau dimensi administrasi negaranya,
dalam istilah Van Vollenhoven negara dalam keadaan diam (in rust) dan negara
dalam keadaan bergerak (in beweging)
 Van Apeldoorn
Van Apeldoorn menyebut Hukum Tata Negara (verfassungsrecht)
sebagai staatsrecht dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti luas,
staatsrecht meliputi pula pengertian Hukum Administrasi Negara
(verwaltungsrecht atau adiministratiefsrecht). Sebenarnya, Van
Apeldoorn sendiri dalam karya-karyanya tidak banyak membahas
persoalan yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara
(verfassungsrecht) itu, kecuali mengenai tugas dan kewenangan atau
kewajiban dan hak-hak alat perlengkapan negara. Dalam berbagai
bukunya, Van Apeldorn malah tidak menyinggung sama sekali
mengenai pentingnya persolana kewarganegaraan dan hak asasi
manusia.
 E. Utercht
Menurut Utercht, Hukum Tata Negara itu mempelajari peraturan-
peraturan hukum yang mengakui kewajiban sosial dan kekuasaan
sesuatu organisasi negara. Oleh karena organisasi negara terdiri atas
jabatan-jabatan, yakni merupakan suatu pertambahan jabatan-jabatan,
maka dikatakanlah bahwa Hukum Tata Negara mempelajari kewajiban
sosial dan kekuasaan pejabat-pejabat negara.
 M. Solly Lubis
Menurut Solly Lubis, Hukum Tata Negara adalah seperangkat peraturan
mengenai struktur pemerintahan negara, yakni peraturan-peraturan
mengenai bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya,
tugas-tugas dan hubungan antara alat-alat perlengkapannya itu.
 Kusumadi Pudjosewojo
Kusumadi Pudjosewojo dalam bukunya Pedoman Pelajaran Tata
Hukum Indonesia, merumuskan definisi yang cukup panjang
tentang Hukum Tata Negara, yaitu bahwa Hukum Tata Negara itu
adalah hukum yang mengatur bentuk negara, dan bentuk
pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang
atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatannya yang
selanjutnya menegaskan bahwa wilayah dan lingkungan rakyat
dari masyarakat-masyarakat hukum itu, dan akhirnya
menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang
kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta
susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat
perlengkapan itu.
 Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Menurut Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam buku
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Hukum Tata Negara
dapat dirumuskan sebaga sekumpulan peraturan hukum yang
mengtur organisasi dari pada negara, hubungan antar alat
perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta
kedudukan warga negara dan hak asasinya. Dalam definisi kedua
sarjana ini, bidang kajian Hukum Tata Negara mencakup pula
soal kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya.
 Jimly Asshiddiqie
Menurut Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dapat dirumuskan
sebagai cabang ilmu hukum yang mempelajari prinsip-prinsip dan
norma-norma hukum yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup
dalam kenyataan praktik kenegaraan berkenaan dengan (i) konstitusi
yang berisi kesepakatan kolektif suatu komunitas rakyat mengenai cita-
cita untuk hidup bersama dalam suatu negara, (ii) institusi-institusi
kekuasaan negara berserta fungsinya, (iii) mekanisme hubungan antar
institusi itu, serta (iv) prinsip-prinsip hubungan antara institusi
kekuasaan negara dengan warga negara. Keempat unsur dalam definisi
Hukum Tata Negara tersebut diatas, pada pokoknya adalah merupakan
hakikat konstitusi itu sendiri sebagai objek utama kajian Hukum Tata
Negara (constitusiona law). Karena pada bersama dalam suatu
komunitas itu senditi berisi (i) konsensus antar rakyat untuk hidup
bersama dalam suatu komunitas bernegara dan komunitas kewargaan
(civic comunity), (ii) konsensus kolektif tentang format kelembagaan
organisasi negara tersebut; dan (iii) konsensus kolektif tentang pola dan
mekanisme hubungan antar organ atau lembaga-lembaga negara, serta
(iv) konsensus kolektif tentang prinsip-prinsip dan mekanisme
hubungan antara lembaga-lembaga negara tersebut dengan warga
negara.
Definisi yang dikemukakan Jimly tersebut diatas lebih komprehensif
dibandingkan dengan definisi-definisi yang ada sebelumnya yang terkait
dengan pengertian Hukum Tata Negara. Jilmy terlihat
mengombinasikan unsur-unsur yang ada dalam definisi yang ada
sebelumnya.
Ruang Lingkup Kajian Hukum Tata Negara serta Hubungannya
dengan Cabang Ilmu Lainnya.
1. Ruang Lingkup Kajian Hukum Tata Negara
Pada istilah Hukum Tata Negara (HTN), ada dua kata yang perlu mendapat
penjelasan lebih dahulu sebelum diuraikan ruang lingkup materi
pembahasannya, yaitu kata hukum dan negara.
Pada umumnya hukum itu diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai
tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa
dipaksakan. Hukum lahir untuk mengatur dan menyerasikan pelaksaan
kepentingan yang berbeda-beda di antara anggota-onggata masyarakat.
Sedangkan negara adalah organisasi tertinggi satu kelompok atau beberapa
kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di
dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintah yang berdaulat.
Secara sangat sederhana dapat dikatan Hukum Tata Negara itu adalah
peraturan tingkah laku mengenai hubungan antara individu dengan
negaranya. Tetapi pengertian ini masih terlalu luas. Terkait dengan pengertian
secara spesifik sudah dibahas pada slide sebelumnya.
Dalam kepustkaan Hukum Belanda, perkataan staatrecht (Hukum Tata
Negara) mempunyai dua macam arti: pertama, sebagai staatsrechtwetenschap
(Hukum Tata Negara); dan kedua, sebagai positief staatsrecht (Hukum Tata
Negara Positif). Menurut Jimly Asshiddiqie, jika ditambahkan kepada kedua
unsur bentuk (vorm) dan isi (inhoud), maka Hukum Tata Negara yang dibahas
dapat dibedakan dalam tiga aspek yaitu:
a. Hukum Tata Negara Umum yang berisi asas-asas hukum yang bersifat universal;
b. Hukum Tata Negara yang berisi asas-asas yang berkembang dalam teori dan praktik di suatu
negara tertentu, misalnya Indonesia.
c. Hukum Tata Negara Positif yang berlaku di Indonesia yang mengkaji mengenai hukum positif
di bidang ketatanegaraan di Indonesia.
Sebagai ilmu, hukum tata negara mempunyai objek penyelidikan dan
mempunyai metode untuk melakukan penyelidikan. Menurut Burkens,
objek penyelidikan ilmu hukum tata negara adalah sistem pengambilan
keputusan (dalam) negara, sebagaimana distruktur dalam hukum (tata)
positif. Dengan demikian, sistem pengambilan keputusan tersebut
dapat kita temukan dalam berbagai hukum (tata negara) positif, seperti
dalam UUD (Konstitusi), UU, Peraturan Tata Tertib berbagai lembaga
negara, dan Konvensi. Selain itu, Belinfante tidak membatasi hal
tersebut dalam hukum (tata negara) positif saja. Artinya, yang tidak
diatur dalam hukum positif pun merupakan objek penyelidikan ilmu
hukum tata negara. Sebagai contoh ialah pembentukan kabinet oleh
pembentuk kabinet. Setelah pembentuk kabinet (Kabinetsformateur)
diangkat oleh Kepala Negara (Presiden, Raja/Ratu, Kaisar, Yang Di
Pertuan Agung), badan tersebut melaksanakan tugasnya menjadi objek
penyelidikan hukum tata negara.
A.M. Donner berpendapat bahwa objek penyelidikan ilmu hukum tata
negara adalah penerobosan negara dengan hukum (de doordringing van
de staatmet het recht). Artinya, negara sebagai organisasi
(kekuasaan/jabatan/rakyat) diterobos oleh aneka ragam hukum.
Oleh karena itu, arti kedua ialah positief staatsrecht (hukum tata negara
positif), ada berbagai sumber hukum yang harus kita pelakari atau kaji.
Hukum tata negara positif mempunyai berbagai sumber hukum tertulis
seperti:
1. Hukum tertulis;
2. Hukum tidak tertulis;
3. Yurisprudensi; dan
4. Pendapat pakar yang berpengaruh.
2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Cabang Ilmu Lainnya.
Hukum Tata Negara sebagai bagian dari disiplin ilmu hukum
ternyata memiliki hubungan dengan ilmu lainnya. Adapun yang
paling erat kaitannya yakni dengan Ilmu Negara, Hukum
Admistrasi Negara, dan Ilmu Politik.
A. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
Istilah Ilmu Negara diambil dari istilah Bahasa Belanda
Staatsleer yang berasal dari istilah bahasa Jerman, Staatslehre.
Dalam bahasa Inggris disebut Theory of State atau The General
Theory of State atau Political Theory, sedangkan dalam bahasa
Perancis dinamakan Theorie d’etat.
Timbulnya istilah Ilmu Negara atau Staatsleer sebagai istilah
teknis adalah akibat penyelidikan dari seorang sarjana Jerman
bernama George Jellinek; ia dikenal sebagai Bapak Ilmu
Negara. Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok
tentang Negara dan HukumTata Negara.
Munculnya Ilmu Negara sebagai Ilmu Pengetahuan yang berdiri
sendiri adalah berkat jasa George Jellinek. Ia membagi ilmu
kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ilmu Negara dalam arti sempit (staatswissenschaften).
2. Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtwissenschaften).
Pengertian rechtwissenschaften menurut Jellinek adalah Hukum Publik
yang menyangkut soal kenegaraan, misalnya Hukum Tata Negara,
Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan sebagainya.
Menurutnya, hal penting dalam pembagian ilmu negara adalah bagian
pertama, yaitu ilmu kenegaraan dalam arti sempit. Ilmu kenegaraan
dalam arti sempit mempunyai tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Beschreibende Staatswissenschaft
Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya menggambarkan dan
menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan
negara.
2. Theoretische Staatswisswnschaft
Ilmu kenegaraan ini mengadakan penyelidikan lebih lanjut dari bahan-bahan
yang dikumpulkan oleh Beschreibende Staatswissenschaft dengan mengadakan
analisis-analisis dan memisahkan mana yang mempunyai ciri-ciri yang khusus.
Theoretische Staatswisswnschaft mengadakan penyusunan tentang hasil
penyelidikannya dalam satu kesatuan yang teratur dan sistematis. Inilah ilmu
kenegaraan yang merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
3. Praktische Staatswissenschaft
Ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari upaya bagaimana hasil penyelidikan
Praktische Staatswissenschaft dapat dilaksanakan di dalam praktik dan
pelajaran-pelajaran yang diberikan itu semata-mata mengenai hal-hal yang
berguna untuk tujuan praktik
Negara sebagai objek tidak hanya dikaji di dalam Ilmu Negara, tetapi
negara juga dijadikan objek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, negara sebagai objeknya yang menitikberatkan
pada pengertian yang konkret. Artinya, objek negara itu sudah dibatasi
oleh pada tempat, keadaan, waktu tertentu. Sementara dalam Ilmu
Negara masih bersifat abstrak dan universal.
B. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara
Pada mulanya Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
merupakan satu cabang ilmu yang bernama Staats en Administratief Recht. Hal
ini bisa dilihat pada Hager Onderwijs Ordonantie yang berasal dari Pasal 9
Reglement Rechtshogeschool tahun 1924. Kemudian sesudah tahun 1946
diadakan pemisahan antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara hal mana terlihat dalam Universcteits Reglement (S. 1947 No. 17o
Pasal 134).
Perntanyaan yang mungkin timbul adalah tentang apa perbedaan Hukum Tata
Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN). Pertanyaan ini wajar
saja muncul karena pengertian menata (tata) sulit dibedakan dengan
pengertian mengadministrasikan.
Di kalangan para sarjana hukum terdapat perbedaan pandangan tentang
masalah ini. Ada yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara itu berbeda secara prinsip, sebaliknya ada segolongan
sarjana lain yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak mempunyai perbedaan prinsip.
Prins di dalam bukunya Inleiding in het Administratiefrecht van Indonesia
mengemukakakn bahwa perbedaan atau penetuan batas antara Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara leh para sarjana dilakukan dengan
berbagai cara yang berbeda. Tetapi dari berbagai cara penentuan batas itu
menurut Prins ada konsepsi yang sama di antara mereka (para sarjana), yaitu:
1. Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang sifatnya fundamental yakni tentang dasar-
dasar dari negara dan menyangkut langsung setiap warga negara;
2. Hukum Administrasi Negara lebih menitikberatkan pada hal-hal yang teknis saja, yang
selama ini kita tidak berkepentingan karena hanya penting bagi para spesialisasi.
Prins sendiri berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu, sebab lahirnya Hukum
Administrasi Negara sebagai ilmu yang berdiri sendiri bukan karena perbedaan
isinya dengan Hukum Tata Negara, tetapi karena Hukum Administrasi Negara
sudah berkembang sedemikian rupa sehingga memerlukan perhatian sendiri.
Van Vollehoven menerangkan bahwa hukum tata usaha negara itu adalah semua
kaidah hukum yang bukan hukum tata negara material, bukan hukum perdata
material, dan bukan hukum pidana material. Van Vollenhoven membuat suatu
skema mengenai hukum tata usaha negara atas golongan-golongan antara lain:
1. Hukum pemerintahan (bestuursrecht);
2. Hukum peradilan (justitierecht). Ini dibagi lagi atas:
a. Peradilan ketatanegaraan;
b. Peradilan perdata;
c. Peradilan tata usaha;
d. Peradilan pidana.
3. Hukum kepolisian (politierecht);
4. Hukum perundang-undangan (regelaarsrecht).
Menurut Oppenheim, Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan hukum
yang membentuk alat-alat perlengkapan negara dan aturan-aturan yang
memberi wewenang kepada alat-alat perlengkapan negara itu serta membagi-
bagikan tugas pekerjaan pemerintah modern antara beberapa alat
perlengkapan negara di tingkat tinggi dan di tingkat rendah, artinya Hukum Tata
Negara itu mempersoalkan negara dalam keadaan diam (berhenti). Sedangkan
Hukum Administrasi Negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang
mengikat alat-alat perlengkapan yang tinggi dan rendah dalam rangka alat-alat
perlengkapan menggunakan wewenang yang telah disiapkan oleh Hukum Tata
Negara, dengan demikian Hukum Administrasi merupakan aturan-aturan
mengenai negara dalam keadaan bergerak.
Van Vollenhoven semula menentukan batas perbedaan antara Hukum Tata
Negara dengan Hukum Administrasi Negara itu dengan menggunakan ukuran
“bergerak” dan “tidak bergerak” seperti halnya Oppenheim. Hal itu terlihat
dalam bukunya yang berjudul Thorbecke en het Administratief recht, dimana
Van Vollenhoven mengatakan bahwa Hukum Tata Negara itu adalah hukum
mengenai negara dalam keadaan berhenti sedangkan Hukum Administrasi
Negara adalah hukum mengenai negara dalam keadaan bergerak. Akan tetapi
kemudian di dalam bukunya yang berjudul Omtrek van het Administratiefrecht,
Van Vollenhoven menggunakan ukuran lain yang terkenal dengan teori “Residu”
(sisa). Dikatakannya bahwa yang termasuk HAN adalah sisa dari semua
peraturan hukum nasional sesudah dikurangi Hukum Tata Negara materiil,
Hukum Perdata Materiil dan Hukum Pidana Materiil. Sebagai mana telah
dijelaskan di atas.
Logemann di dalam bukunya Staats recht van Nederlandschelndie juga
berpendapat bahwa ada perbedaan prinsip antara Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara, namun Logemann menggunakan ukuran yang
berlainan dengan Van Vollenhoven, sebab Logemann menyatakan secara lebih
tegas tentang garis perbedaan antara Hukum Tata Negara, dan Hukum
Administrasi Negara tersebut. Menurut Logemann, Hukum Tata Negara adalah
pelajaran tentang hubungan istimewa. Diuraikan oleh Logemann bahwa sebagai
pelajaran tentang kompetensi Hukum Tata Negara mempelajari sebagai berikut:
1. Jabatan-jabatan yang ada dalam susunan satu negara;
2. Siapakah yang mengadakan jabatan itu;
3. Dengan cara bagaimana jabatan itu ditempatui oleh pejabat;
4. Fungsi (lapangan kerja) jabatan-jabatan itu;
5. Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu;
6. Perhubungan antara masing-masing jabatan itu;
7. Dalam batas-batasan manakah organ-organ kenegaraan dapat melaksanakan tugasnya.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara yang merupakan pelajaran tentang
hubungan istimewa itu mempelajari sifat, bentuk, dan akibat hukum yang timbul
karena perbuatan-perbuatan hukum istimewa yang dilakukan oleh para pejabat
dalam menjalanan tugasnya.
C. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik
Ada yang menyatakan bahwa Hukum Tata Negara sebelah
kakinya berada pada wilayah Ilmu Politik, artinya Ilmu Politik
memberikan dampak yang sangat luar biasa terhadap
perkembangan Hukum Tata Negara, sepertinya misalnya ketika
terjadi gerakan reformasi yang berakhir dengan lengsernya
kekuasaan Orde Baru. Meskipun bagaimana cara-cara
melengserkan rezim yang berkuasa merupakan wilayah kajian
Ilmu Politik tetapi untuk mengukur apakah cara-cara yang
dilakukan itu sudah benar atau tidak merupakan kajian Hukum
Tata Negara; seperti misalnya apakah peralihan kekuasaan dari
Presiden Soeharto ke Wakil Presiden Habibie sudah
konstitusional atau tidak meruapakan wilayahnya Hukum Tata
Negara. Demikian dapat dilihat hubungan antara Hukum Tata
Negara dan Ilmu Politik secara praktis.
Secara teoritis, Hoetink mengatakan bahwa Ilmu Politik adalah
semacam sosiologi dari negara. Ilmu Negara dan Hukum Tata
Negara menyelidiki kerangka yuridis dari negara, sedangkan
Ilmu Politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka
itu. Barents menggambarkan hubungan antara Ilmu Politik dan
Hukum Tata Negara dengan suau perumpaan: Hukum Tata
Negara adalah kerangkanya, sedangkan Ilmu Politik merupakan
daging yang ada di sekitarnya.
Sumber-sumber Hukum Tata Negara.
Kata sumber-sumber berarti jamak, artinya sumber dari hukum tidaklah tunggal.
Sumber hukum berkaian erat dengan di manakah hukum itu dapat ditemukan?
Dalam kaitannya dengan hukum acara sebagai tempat bagi hakim dapat
mencari atau menemukan hukumnya yang dapat digunakan sebagai dasar
dalam menjatuhkan putusan (vonis) atau tempat bagaimana kita dapat
mengetahui nahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuasaan mengikat
atau berlaku? Pertanyaan-pertanyaan itu baru dapat dijawab dengan memahami
atau mengetahui ajaran tentang sumber hukum.
Kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:
a. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya
kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa (volksgeist) dan sebagainya;
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang
berlaku: hukum pancasila, hukum Romawi;
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum (penguasa, masyarakat);
d. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-
undang, batu tertulis, dan sebagainya;
e. Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum.
Menurut Bagir Manan, menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan
kehati-hatian. Karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian.
Tanpa kehati-hatian dan kecermatan yang mendalam mengenai apa yang
dimaksud dengan sumber hukum dapat menimbulkan kekeliruan, bahkan
menyesatkan. Dalam hubungan ini, Paton menyatakan:
“The term sources of law has many meanings and is a frequent couse of error unless
we scrutinize carefully the particular meaning given to it in many particular text.”
 Algra membagi sumber hukum menjadi sumber
hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber
hukum materiil ialah tempat dari mana materi
hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini
merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum, misalnya: hubungan sosial, hubungan
kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi
(pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian
ilmiah (kriminologi, lalu lintas), perkembangan
internasional, keadaan geografis. Ini semuanya
merupakan objek studi penting bagi sosiologi
hukum.
 Sumber hukum formil merupakan tempat atau
sumber dari mana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau
cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal
berlaku. Masuk ke dalam sumber hukum formil ini
adalah: Undang-Undang (dalam arti luas), Hukum
Adat, Hukum Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, dan
Doktrin.
 Bodenheimer membedakan sumber hukum dalam arti formal
dan nonformal. Sumber hukum dalam arti formal menurut
Bodenheimer adalah “Sources which are available in a articulated
textual formulation embod-ied in a authoritative legal document.”
Termasuk ke dalam sumber hukum dalam arti formal adalah UUD
dan Undang-Undang (legislation), peraturan pelaksanaan dan
peraturan tingkat daerah (delegated and autonomous legislation),
perjanjian dan persetujuan internasional (traties and certain other
agreements) dan yurisprudensi (judicial precedents). Sedangkan
yang diartikan dengan sumber hukum nonformal adalah: “Legally
significant materialis and considerations which have not received
and authoritative or at lest articulated and embodiment in a
formalized legal document.” Termasuk ke dalam sumber hukum
nonformal adalah: “Standard of justice, principle of reasons and
conciderations of the nature of the things (naturarerum), individual
equity, public policies, moral convictions, social trends, and
customany law.
 Hal-hal yang termasuk ke dalam sumber hukum nnformal
menurut Bodenheimer pada dasarnya sama dengan hal-hal yang
termasuk sumber-sumber hukum materiil menurut Algra-
Duyvendijk. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
sumber hukum nonformal tidak lain dari sumber hukum dalam
arti materiil. Sama dengan Paton, Bodenheimer memasukkan
hukum kebiasaan (customany law) ke dalam sumber hukum
nonformal atau dalam arti materiil.
 Sementara itu, Achmad Sanoesi, sebagai mana dikutip Sudikno
Mertokusumo, membagi sumber hukum menjadi dua kelompok,
yaitu:
1. Sumber hukum normal, yang dibaginya lebih lanjut menjadi:
a. Sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang,
yaitu:
 Undang-undang;
 Perjanjian antar negara;
 Kebiasaan.
b. Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-
undang, yaitu:
 Perjanjian;
 Doktrin;
 Yurisprudensi.
2. Sumber hukum abnormal, yaitu:
 Proklamasi.
 Revolusi.
 Coup d’etat (Kudeta).
 Ilmu hukum tata negara adalah salah satu cabang Ilmu Hukum.
Sudah dengan sendirinya sumber-sumber hukum tata negara
tidak terlepas dari pengertian sumber hukum menurut
pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata
negara juga mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan
sumber dalam arti formal.
 Sumber hukum materiil dari Hukum Tata Negara dapat ditinjau dari pelbagai
sudut:
1. Sumber Hukum Tata Negara dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat
menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Misalnya kita
ingin mengetahui bagaimana sejarah pembentukan UUD 1945 pada masa
lampau yang dibentuk oleh para The Founding Fathers.
2. Sumber Hukum Tata Negara dalam arti sosiologis merupakan faktor-faktor
yang menentukan isinya hukum positif, seperti misalnya keadaan agama,
pandangan agama, dan sebagainya. Sebagai contoh misalnya terkait dengan
ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Lahirnya
bunyi ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tersebut sesungguhnya
dilatarbelakangi oleh kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang memiliki
berbagai macam keyakinan dan pengakuan terhadap 5 (lima) agama resmi di
Indonesia, sehingga keadaan ini diadopsi ke dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2)
tersebut.
3. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi dua:
a. Sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan
yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yaitu:
 Pandangan theocratis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari Tuhan;
 Pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari akal manusia;
 Pandangan mazhab historis; menurut pandangan ini isi hukum beradal dari kesadaran hukum.
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum mempunyai kekuatan hukum
mengikat, mengapa kita tundauk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah hukum
bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan orang didorong oleh kesusilaan atau kepercayaan.
 Sedangkan sumber hukum formal dari Hukum Tata Negara, terdiri atas:
1. Peraturan Perundang-undangan Ketatanegaraan.
Peraturan perundang-undnagan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan
cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam
bentuk tertulis. Disebut peraturan perundang-undangan karena dibuat atau
dibentuk dan diterapkan oleh badan yang menjalankan fungsi perundang-
undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (Pasal 7 ayat
(1))
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Hukum Adat Ketatanegaraan
Hukum Adat Tata Negara adalah hukum asli bangsa Indonesia di bidang
ketatanegaraan adat. Hukum adat tata negara semakin berkurangnya
peranannya. Tetapi dalam beberapa hal masih nampak pada penyelenggaraan
pemerintahan desa seperti rembug desa (musyawarah desa). Seperti di Aceh
yang mengenal fungsi Mukim dalam penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan.
3. Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktik
penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan,
menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-
undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
Menurut Dicey, Hukum Tata Negara atau ketentuan-ketentuan
ketatanegaraan di Inggris, terdiri dari dua macam ketentuan, yaitu:
a. Ketentuan-ketentuan (rules) yang digolongkan sebagai kaidah-kaidah hukum
(law), yaitu kaidah-kaidah hukum tata negara (the law of the constitutions).
Termasuk ke dalam kaidah-kaidah hukum tata negara adalah semua ketentuan
yang penataannya dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
b. Ketentuan-ketentuan yang tidak termasuk sebagai kaida h hukum, yaitu konvensi
ketatanegaraan atau akhlak (moral) ketatanegaraan (convention of the
constitution atau constitusional morality).
Meskipun konvensi ketatanegaraan mengatur tentang cara-cara
pemegang kekuasaan negara menjalankan kekuasaan tetapi tidak
tergolong sebagai kaidah hukum. Karena penataan terhadap konvensi
ketatanegaraan tidak dipaksakan oleh (melalui) pengadilan. Ketaatan
terhadap konvensi ketatanegaraan semata-mata berdasarkan
kesukarelaan, atau karena dorongan etika atau akhlak. Karena itu,
konvensi ketatanegaraan disebut juga etika ketatanegaraan, akhlak
ketatanegaraan (constitutional ethics atau constitutional morality).
4. Yurisprudensi
Ialah keputusan hakim terdahulu yang dijadikan dasar
keputusan oleh hakim lain mengenai kasus tertentu. Maka
keputusan hakim yang terdahulu itu, menjadi sumber hukum.
Setelah Mahkamah Konstitusi terbentuk, maka yang paling
menonjol dijadikan sebagai sumber hukum dalam kaitannya
dengan sumber Hukum Tata Negara adalah keputusan hakim
konstitusi. Karena pada lingkup peradilan umum yang lebih
menonjol justru perkara-perkara yang terkait dengan peristiwa
hukum pidana dan hukum perdata.
5. Hukum Perjanjian Internasional
Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan meskipun
termasuk dalam Bidang Hukum Internasional sepanjang
perjanjian itu menentukan segi hukum ketatanegaraan yang
hidup bagi negara masing-masing terkait di dalamnya, dapat
menjadi sumber hukum formal dari hukum tata negara.
6. Doktrin
Doktrin adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata negara yang
ditemukan dan dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan
sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran seksama berdasarkan
logika formal yang berlaku.
Asas-asas Hukum Tata Negara
 Sebagai bagian dari ilmu hukum, Hukum Tata Negara memiliki beberapa
asas-asas yang dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Asas Pancasila
Setiap negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu
merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Oleh karena itu,
setiap negara mempunyai falsafah yang berbeda. Karena suatu
falsafah itu identik dengan keinginan dan watak rakyat dan
bangsanya, tidak mungkin untuk mengambil falsafah negara lain
untuk dijadikan falsafah bangsanya begitu saja. Karena falsafah itu
merupakan perwujudan dari watak dan keinginan dari suatu bangsa,
segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan
falsafahnya.
Pada waktu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dalam rapat-rapatnya mencari philosofische
grondslag untuk Indonesia yang akan merdeka, Pancasila diputuskan
sebagai dasar negara. Hal itu berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan
negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah
ditetapkan sebagai dasar negara.
Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan hukum sumber hukum
materiil. Oleh karena itu, setiap peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengannya. Jika hal itu terjadi, peraturan itu harus
segera dicabut.
2. Asas Negara Hukum
Sudah menjadi komitmen para founding father negara ini bahawa
Indonesia didirikan sebagai negara hukum (rechtstaat) dan bukan
hanya didasarkan pada kekuasaan belaka (machstaat). Dari berbagai
literatur yang ada mengenai negara hukum, umumnya mengartikan
sebagai negara di mana tindakan pemerintah maupun rakyatnya
didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-
wenang dari pihak pemerintah (penguasa) dan tindakan rakyat yang
dilakukan menurut kehendaknya sendiri.
Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku
kata, negara dan hukum. Secara etimologis, istilah negara berasal dari
bahasa Inggris (state), Belanda (staat), Italia (‘etat), Arab (daulah). Kata
staat berasal dari akar kata Latin, status dan statum yang berarti
menaruh dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, menempatkan
berdiri.
Ada beberapa istilah asing yang dipergunakan sebagai pengertian
negara hukum, yakni rechtsstat, rule of law, dan etat de droit. Sepintas
istilah ini mengandung makna sama, tetapi sebenarnya jika di kaji
lebih dalam terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan. Bahkan,
dalam perkembangan pemikiran konsep negara hukum, kedua istilah
tersebut juga berkembang, baik secara teoritis-konseptual maupun
dalam kerangka praktis-operasional.
Tahir Azhary, dalam bukunya Negara Hukum (Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini), mengatakan bahwa dengan berpegangan pada
asumsi bahwa istilah negara hukum merupakan genus
begrip, maka ditemukan dalam kepustakaan lima macam
konsep negara hukum, sebagai species begrip yaitu:
1. Negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah.
2. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang
dinamakan rechsstaat. Model negara hukum ini diterapkan
misalnya di Beanda, Jerman dan Perancis.
3. Konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo-
Saxon, antara lain Inggris, dan Amerika Serikat.
4. Suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan
antara lain di Uni Soviet sebagai negara komunis.
5. Konsep Negara Hukum Pancasila.
Adapun perbandingan konsep-konsep Negara Hukum
tersebut diatas menurut Muhammad Tahir Azhary dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Konsep Ciri-ciri Unsur-Unsur Utama
Nomokrasi Islam Bersumber dari Al-Qur’an, Sembilan prinsip:
Sunnah dan ra’yu nomokrasi- 1) Kekuasaan sebagai
bukan teokrasi- persaudaraan amanah;
dan humanisme teosentrik- 2) Musyawarah;
kebebasan dalam arti positif 3) Keadilan;
4) Persamaan;
5) Pengakuan dan
perlindungan terhadap hak
asasi manusia;
6) Peradilan bebas;
7) Perdamaian;
8) Kesejahteraan; dan
9) Ketataan rakyat.
Rechstaat Bersumber dari rasio manusia- Menurut Stahl:
liberalistik/individualistik- 1) Pengakuan atau
humanisme yang antroposntrik perlindungan hak asasi
(lebih dipusatkan pada manusia;
manusia)- pemisahan antara 2) Trias politika;
agama dan negara secara 3) Wetmating bestuur; dan
mutlak- -ateisme 4) Peradilan administrasi;

Menurut Scheltema:
1) Kepastian hukum;
2) Persamaan;
3) Demokrasi; dan
4) Pemerintahan yang
melayani kepentingan
umum.
Konsep Ciri-ciri Unsur-Unsur Utama
Rule of Law Bersumber dari rasio manusia- 1) Supremasi hukum;
liberalistik/individualistik- 2) Equality before tha law;
antroposentrik (lebih dipusatkan 3) Individual rights.
pada manusia)- pemisahan antara
agama dan negara secara rigid Tidak memerlukan peradilan
(mutlak)- freedom of religion administrasi negara, karena
dalam arti positif dan negatif- peradilan umum dianggap
ateisme dimungkinkan. berlaku untuk semua orang
baik warga negara biasa
maupun pejabat pemerintah.
Kalau rechstaat menekankan
pada peradilan administrasi,
maka rule of law menekankan
pada equality before the law
(unsur ke 2)
Socialist Legality Bersumber dari rasio manusia- 1) Perwujudan sosialisme;
komunis-ateis-totaliter-kebebasan 2) Hukum adalah alat di bawah
beragama yang semu- dan sosialisme;
kebebasan propaganda anti 3) Penekanan pada sosilisme.
agama. Realisasi sosialisem ketimbang
hak-hak perorangan.
Negara Hukum Pancasila Hubungan yang erat antara agama 1) Pancasila;
dan negara- bertumpu pada 2) MPR;
Ketuhanan Yang Maha Esa- 3) Sistem konstitusi;
kebebasan beragama dalam arti 4) Persamaan; dan
positif- ateisme tidak dibenarkan 5) Peradilan bebas.
dan komunisme dilarang asas
kekeluargaan dan kerukunan
 Dilihat dari perspektif historis pemikiran mengenai negara hukum sudah sangat
tua sekali, bahkan jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan.
Cita negara hukum itu untuk pertama kali ditemukan oleh Plato, yang sangat
prihatin ketika melihat keadaan negaranya Athena, yang mengalami
kemunduran akibat dipimpin oleh orang yang haus akan harta, kekuasaan dan
gila hormat. Pemerintahan yang sewenang-wenang yang tidak memperhatikan
penderitaan yang dialami oleh rakyat Athena telah menggugah daya pikir Plato
untuk menulis karya pertamanya Politeia (negara) atau sering juga disebut
dengan Republik, yang merupakan sebuah buku yang berisikan hal mengenai
suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang
bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung
tinggi.
 Menurut Plato, agar supaya negara menjadi baik, maka pemimpin negara harus
diserahkan kepada seorang filosof. Karena filosof adalah seorang manusia yang
arif dan bijaksana, yang menghargai kesusilaan, serta mempunyai pengetahuan
yang tinggi. Plato bahkan menambahkan bahwa filosoflah yang paling
mengetahui mengenai apa yang baik bagi semua orang, dan apa yang buruk
harus dihindari. Oleh karena itu, pemimpin negara harus dipercayakan kepada
seorang filosof. Sebab tidak akan ada kekhawatiran bahwa ia akan
menyalahgunakan kekuasaan yang telah dipercayakan kepadanya.
 Namun cita-cita negara yang ideal dari Plato ini dalam kenyataannya tidak
pernah dapat dilaksanakan. Penyebabnya adalah karena hamour tidak mungkin
mencari manusia yang sempurna, yang bebas dari hawa nafsu kekuasaan dan
kepentingan pribadi. Hal ini menyebabkan Plato kembali harus menuangkan
pemikirannya untuk memecahkan permasalahan mengenai kepemimpinan
negara ini. Hingga akhirnya Plaot menemukan jalan bahwa untuk
mengantisipasi hal itu semua, maka dalam pemerintahan suatu negara
dibutuhkan seperangkat aturan hukum, yang dapat mengatur warga negara,
sekali lahi hanya untuk warga negaranya saja, sebab hukum yang dibuat oleh
manusia tentu tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri.
 Hal ini oleh karena penguasa disamping memiliki pengetahuan untuk
memerintah juga termasuk didalamnya pengetahuan untuk membuat hukum.
Semuanya ini dibentangkan oleh Plato dalam bukunya yang kedua yang ia beri
judul Politicos atau “Ahli Negara”.
 Akan tetapi karena kembali merasa bahwa bukunya yang kedua ini berdasarkan
pengalaman tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka Plato dalam usia
yang sudah lanjut, tentunya dengan segudang pengalaman, kembali
menyempurnakan gagasan-gagasan terdahulunya dengan kembali
menghasilkan bukunya yang ketiga, yang ia beri judul Nomoi. Nomoi atau
Undang-Undang terdiri atas dua belas buku ini. Merupakan antitesa daari
keduanya Politicos, dimana Plato mengubah pendiriannya yang terdahulu
dengan mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah
penguasa negara yang di dalam menjalankan pemerintahan diatur oleh hukum.
Karena hukum dianggap oleh Plato sebagai sesuatu yang menangani segenap
segi kehidupan, termasuk segi-segi moral, malah sampai kepada adanya
peraturan mengenai penguburan orang mati. Hukum pun merupakan suatu cara
pendidikan pula yang pelaksanaannya lebih tergantung pada kesadaran dan
bukan pada hukuman. Masyarakatpun (termasuk negara) bertujuan kedamaian
berdasar harmoni antara pihak-pihak yang berbeda berpendapat.
 Pada zamannya sendiri, pikiran Plato itu hanya dianggap sebagai permainan
pemikiran saja daari kaum pengganggur yang sok, tetapi belakangan pemikiran
iru mempunyai nilai dan arti maha besar bagi kebudayaan dan pembangunan
peradapan Yunani-Romawi. Bahkan buah pemikiran dari Plato masih tetap
dipakai dan dijadikan acuan oleh masyarakat Eropa yang menganut agama
Nasrani pada abad pertengahan. Hal ini terjadi karena memang banyak
persamaan antara negara hukum yang dicita-citaan oleh Plato dan keinginan
Gereja Katholik pada abad pertengahan. Karena inti dari buah pikiran Plato
adalah bertujuan untuk mengangkat manusa ke tingkat penghidupan yang lebih
tinggi.
 Cita-cita Plato dalam Nomoi itu kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang
bernama Aristoteles. Karya ilmiahnya yang relevan dengan masalah negara
adalah yang berjudul Politica (Politik). Kitab ini terpelihara oleh universitas-
universitas Islam di Spayol pada saat Eropa diselubungi oleh keeglapan (The Dark
Age) di abad pertengehan, sebenarnya bukanlah sebuah kitab yang sudah selesai
ditulis. Malah ada kecenderungan bahwa kitab tersebut merupakan catatan-
catatan yang agaknya dipergunakan oleh Aristoteles untuk memberikan kuliah,
disekolahnya, yang bernama Lyceum.
 International Commision of Jurist sendiri dalam rumusannya mensyaratkan untu
dapat disebut sebagai negara hukum atau berada di bawah the rule of law,
antara lain:
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas oposisi;
6. Adanya pendidikan civic.
 Pada tahun 1961, kembali International Commision of Jurist (ICI) mengadakan
konferensi di Laos. Dalam konferensi itu dinyatakan bahwa hak-hak asasi
manusia, terutama kemerdekaan individu hendaknya dicantumkan dan dijamin
oleh Undang-Undang Dasar di semua negara. Dan pada masa damai, tidak
dibatasi tanpa putusan pengadilan.
 Tetapi keenam syarat tidak semua negara dapat melaksakannya, misalnya saja
kebebasan berserikat (berorganisasi) dan beroposisi. Jangankan untuk semua
negara, bagi negara-negara dengan sistem pemerintahan presidensiil dan
negara-negara dengan sistem parlementer kebebasan tersebut sudah berbeda
sistemnya.
 Menurut Wirjin Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu
negara yang di dalam wilayahnya adalah:
a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik
terhadap para warga negara maupun daam saling berhubungan
masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan
harus memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku.
b. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan
harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
 Dari segi moral politik, menurut Franz Magnis-Suseno, ada
empat alasan utama untuk menuntut agar negara
diselenggarakan dan dijalankan tugasnya berdasarkan: (1)
kepastian hukum; (2) tuntutan perlakuan yang sama, (3)
legitimasi demokratis; dan (4) tuntutan akal budi.
 Dilihat dari ilmu politik, Magnis mengambil empat ciri
negara yang secara etis relevan, yaitu: (1) kekuasaan
dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku; (2)
kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan
kehakiman yang efektif; (3) berdasarkan sebuah Undang-
Undang Dasar menjamin hak-hak asasi manusia; dan (4)
menurut pembagian kekuasaan.
3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Menurut Kamus Hukum, demokrasi (democracie) adalah bentuk
pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi di mana sumber
kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun
melalui suatu majelis yang dinamakan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis). Atau
menurut kamus Dictionory Webster yang mendefinisikan demokrasi
adalah, “Pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau
oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan umum
bebas.”
Munculnya konsep pemerintahan demokrasi telah melalui proses yang
cukup panjang. Dimulai dari perdebatan antar filsuf Yunani kuno
sampai para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti
Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, Polybius, dan Cicero.
Menurut Plato yang diilhami oleh pendapat Socrates, ada lima macam
pemerintahan, yaitu: Aristokrasi sebagai puncak dari bentuk
pemerintahan yang baik kemudian berubah menjadi Timokrasi.
Bentuk ini ternyata tak dapat bertahan lama sehingga berganti
dengan Oligarki. Dalam perjalanannya bentuk pemerintahan yang
demikian mendapat reaksi dari masyarakat miskin sehingga lahirlah
Demokrasi. Demokrasi juga tenyata mempunyai kelemahan karena
dapat memberikan peluang kepada masyarakat bertindak sebebas-
bebasnya tanpa batas akhirnya terjadi kekacauan atau anarkisme.
 Sampai saat ini tidak ada pengertian lengkap tentang demokrasi. Hal itu
tergambar dari pandangan Harold Laski sebagai berikut:
“Tidak ada definisi yang memadai untuk dijadikan sebagai konsep dalam
sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan sekaligus sebagai
pandangan hidup sosial. Esensinya dapat ditemukan dalam karakter pemilih,
hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga negara di
dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena
kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku dan kepercayaan.
 Menurut Addan Gafar, syarat-syarat dari suatu negara demokrasi antara lain:
1) Penyelenggaraan kekuasaan berasal dari rakyat;
2) Yang menyelenggarakan kekuasaan secara bertanggungjawab;
3) Diwujudkan secara langsung ataupun tidak langsung;
4) Rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok lainnya;
5) Adanya proses pemilu;
6) Adanya kekebasan bagi HAM.
 Asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi mengandung 2 (dua) arti:
Pertama, demokrasi yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau
bagaimana caranya rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan; dan yang kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi
keadaan kultural, historis, suatu bangsa sehingga muncul isitlah demokrasi
konstitusional, demokrasi rakyat dan demokrasi Pancasila. Namun pada
prinsipnya disetiap negara dan setiap pemerintahan modern pada akhirnya akan
berbicara tentang rakyat. Dalam proses bernegara rakyat sering dianggap hulu
dan sekaligus muara. Rakyat adalah titik sentral karena rakyat disuatu negara
pada hakikatnya adalah pemegang kedaulatan, artinya rakyat menjadi sumber
kekuasan.
 Selanjutnya Usep Ranawijaya, menyatakan pengaruh kedaulatan
rakyat dalam sistem demokrasi dilembagakan melalui kaidah
hukum:
1. Jaminan mengenai hak-hak asasi dan kebebasan manusia, syarat
dapat berfungsi kedaulatan rakyat.
2. Penentuan dan pembatasan wewenang pejabat negara.
3. Sistem pembagian tugas antarlembaga yang bersifat saling
membatasi dan mengimbangi (checks and balance).
4. Lembaga perwakilan sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat dengan
tugas pembuat perundang-undangan dan mengendalikan badan
eksekutif.
5. Pemilihan yang bebas dan rahasia.
6. Sistem kepartaian yang menjamin kemerdekaan politik rakyat (multi
atau dua partai)
7. Perlindungan dan jaminan bagi kelangsungan oposisi mereka sebagai
potensi alternatif pelaksanaan kedaulatan rakyat.
8. Desentralisasi teoritik kekuasaan negara untuk memperluas partisipasi
rakyat dalam pengelolaan negara.
9. Lembaga perwakilan yang bebas dari kekuasaan badan eksekutif.
 Rumusan diatas memberikan gambaran pada hakikatnya negara
tidak lain adalah suatu organisasi dalam bentuk pemerintahan
sebagai alat untuk mencapai tujuan yang melindungi dan
menjaga kepentingan rakyat.
 Adapun ajaran kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam
negara berada di tangan rakyat. Teori kedaulatan rakyat dipelopori oleh J.J.
Rousseau, salah seorang pemikir besar tentang negara dan hukum pada abad
ke-18 berpendapat bahwa asal mula terbentuknya negara adalah karena
perjanjian masyarakat.
 Menurut Rousseau, yang merupakan hal pokok dari perjanjan masyarakat
tersebut adalah menemukan bentuk kesatuan, yang membela dan melindungi
kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik setiap orang,
sehingga karena itu semua bisa bersatu, akan tetapi meskipun demikian masing-
masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka
dan bebas seperti sedia kala.
 Oleh karena itu menurut Rousseau, rakyat tidak menyerahkan kekuasaan
kepada pihak penguasa, karena pada perjanjian masyarakat individu-individu itu
menyerahkan haknya kepada rakyat sendiri sabagai satu keseluruhan. Penguasa
menjalankan kekuasaannya tidak karena haknya sendiri, melaikan sebagai
mandat dari rakyat. Sewaktu-waktu rakyat bisa mengubah atau menarik
kembali mandat itu.
 Dengan demikian adanya perjanjian masyarakat tidak menjadikan hilangnya
kekuasaan rakyat karena telah diserahkan kepada penguasa, rakyat tetap
berdaulat dan penguasa mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan kehendak
umum sebagai penjelmaan kemauan rakyat yang diserahkan kepada penguasa.
 Oleh karena itu, kata rakyat tidak bisa diklaim oleh individu tanpa kaitannya
dengan seluruhnya. Tidaklah benar kiranya kalau seorang individu mengatakan
bahwa. “saya adalah rakyat, saya mempunyai kedaulatan,” yang dimaksud
rakyat oleh Rousseau bukanlah penjumlahan dari individu-individu dalam negara
itu, melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu itu, dan yang
mempunyai kehendak. Kehendak yang diperolehnya dari individu-individu
tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang disebut kehendak umum atau
volonte generale, yang dianggap mencerminkan kemauan atau kehendak umum.
 Jadi dengan perjanjian masyarakat terbentuklah dua
hal, yaitu:
a. Terciptanya kemauan umum/volonte generale, yaitu
kesatuan dan kemauan orang-orang yang telah
menyelenggarakan perjanjian masyarakat, inilah yang
merupakan kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.
b. Terbentuknya masyarakat gemeinschaft, yaitu kesatuan
dari kemauan orang-orang yang telah menyelenggarakan
perjanjian masyarakat tersebut. Masyarakat inilah
memiliki kemauan umum, yaitu dengan kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan yang tidak dapat dilepaskan.
 Oleh karena itulah kekuasaan yang tertingi atau
kedaulatan itu yang disebut dengan kedaulatan
rakyat. Kedaulatan itu pula yang tidak dapat
dipisahkan dan tidak dapat diserahkan, tetap ada
dan dimiliki masyarakat atau rakyat. Namun seperti
yang dikemukakan di atas bukan rakyat yang secara
individu/perorangan, melainkan rakyat yang sudah
menjadi suatu kesatuan.
4. Asas Negara Kesatuan
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dengan istilah
negara kesatuan itu dimaksud, bahwa susunan negaranya
hanya terdiri atau satu negara saja dan tidak dikenal adanya
negara-negara seperti halnya pada satu negara federal.
Kemudian Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih mengatakan,
disebut negara kesatuan apabila pemerintah dan pemerintahan
daerah tidak sama dan sederajat. Kekuasaan Pemerintah
merupakan kekuasan yang menonjol dalam negara dan tidak
ada saingan dari badan legislatif pusat dalam bentuk undang-
undang.
Sedangkan Miriam Budiardjo menyatakan, “...Hakikat negara
kesatuan ialah...kedaulatannya tidak terbagim atau dengan
perkataan lain kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain,
selain dari badan legislatif pusat. Jadinya, adanya kewenangan
untuk membuat peraturan daerahnya sendiri itu tidaklah
berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab
penguasaan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di
tangan pemerintah pusat.
Senada dengan Miriam Budiardjo, Fred Isjwara menyatakan,
“Negara kesatuan (unitary state) ialah bentuk negara di mana
wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada satu badan
legislatif nasional/pusat.”
 Indonesia secara tegas menganut paham Negara Kesatuan hal ini diatur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan, “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Dengan penempatan pada Bab I
Pasal 1 ayat (1) berarti ketentuan mengenai hal ini dianggap sangat penting dan
utama, sehingga perumusannya mendahului rumusan ketentuan-ketentuan
yang lain, yaitu Pasal 37 ayat (5) Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang
Dasar. Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 ini berbunyi: “Khusus mengenai bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
 Artinya ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat diubah menurut prosedur
verfassunganderung, yaitu yang diatur sendiri oleh UUD 1945.
 Kalaupun ketentuan mengenai NKRI itu akan diubah, maka sebelum gagasan
perubahan semacam itu dapat dijadikan agenda ketatanegaraan yang resmi,
Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 itu harus diubah terlebih dahulu, baru usul untuk
adanya perubahan mengenai hal itu dapat dianggap sah. Status hukum materi
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 itu menjadi relatif lebih mutlak dan lebih sulit diubah
atau bahkan dapat dikatakan tidak dapat diubah dengan cara-cara yang biasa.
Artinya ketentuan mengena bentuk NKRI itu dikehendaki oleh The Founding
Leaders Indonesia dan para perumus Undang-Undang Dasar sebagai ketentuan
yang bersifat final dan tidak dapat ditawar-tawar. Di dalam ketentuan mengenai
NKRI terkandung pilihan yang ridak semata-mata rasional, tetapi juga pilihan
yang bersifat ideologis. Oleh karena itu, setiap gangguan atau ancaman
terhadap prinsip NKRI itu selalu mengundang emosi kecemasan, ketakutan,
ataupun kemarahan di kalangan rakyat yang memiliki patriotrisme untuk
membela prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Asas Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan
Membicarakan mengenai sejarah pemikiran konsep pemisahan kekuasaan
(Trias Politika) tidaklah dileaskan dari Jhon Locke (1632-1704) dan Montesquie
(1689-1755) serta Rousseau (1712-1778). Ketiga pemikir inilah yang merupakan
badan bagi negara hukum modern.
Latar belakang lahirnya gagasan pemikir tersebut tentang konsep Trias
Politika, adalah terjadinya kondisi-kondisi yang sangat buruk pada saat
kekuasaan absolut mencengkram masyarakat Eropa abad XVII dan XVIII,
terutama pada 2 (dua) negara besar di Eropa, yakni Perancis dan Inggris, yang
merupakan tanah air dari pemikir-pemikir besar yang dengan karyanya
masing-masing melahirkan gagasan pemisahan kekuasaan.
Pada kedua negara Eropa yang besar ini telah terjadi tindakan kesewenang-
wenangan yang sangat kuat hingga mematikan kreativitas dalam hal
megekpresikan nilai-nilai hak kodrati yang seharusnya dimiliki oleh manusia
seperti, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, padahal nilai kodrati
tersebut dalam seluruh aspek kehidupan merupakan syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh seluruh rakyat di Benua Eropa, dalam rangka menyongsong dan
mengisi Renaiscence dan humanisme yang melanda Eropa, setelah di tinggal
pergi oleh zaman Skolastik (The Dark Age).
Agar supaya penggambaran mengenai keadaan di Perancis dan Inggris
memadai untuk dijadikan latar belakang dari timbulnya. Pemikiran pemisahan
kekuasaan (Trias Politika). Abad ke XVII merupakan abad yang stabil dan penuh
kegemilangan ini terlihat dari majunya Perancis dalam bidang politik,
ekonomi, seni dan budaya. Di bandingkan degan negara-negara Eropa yang
lain, keluarga Inggris. Lous XIV yang terkenal dengan sebutan Le Roi Soleil
(Raja Matahari) memerintah dengan sistem absolutisme yang tak kenal
toleransi. Bahkan begitu besarnya kekuasaan yag dimiliki oleh Louis XIV ini,
sehingga ia pernah mengatakan “L’etat’ Esr Moi” (Negara adalah saya).
Semboyan mana masih tetap diingat dan diucapkan orang di seluruh dunia
ketika menggambarkan sebuah pemerintahan yang obsolut.
 Namun walaupun memerintah dengan sangat absolut, Louis XIV sangat pandai memilih tokoh-
tokoh yang berkuaitas untuk dijadikan pembantunya, misalnya arsitek Vaiban, ahli ekonomi
Colbert, dan lain-lain. Disamping itu pun memberikan perlindungan bagi para pengarang yang
menghasilkan nama Perancis seperti Racine, Moleram La Fontaine, dan lain-lain. Perkembangan
ekonomi pada saat itu di Perancis menunjang kehidupan kegiatan seni budaya. Sehingga tidak
heran jika Perancis di jadikan model cita rasa yang baik dan budaya yang tinggi bagi negara-
negara Eropa.
 Revolusi Perancis ini memberikan dampak di seluruh Eropa yang dapat di lihat dari dua sisi yang
berbeda. Pertama, dari sisi dampaknya pada bangsa atau rakyat di negara-negara lain; Kedua, dari
sisi dampaknya pada pemerintahan di negeri-negeri lain. Karena perjuangan rakyat Perancis
adalah perjuanan seluruh rakyat Eropa, atau bahkan seluruh dunia. Walaupun perjuangan itu tidak
di dukung oleh pemerintahan di negeri-negeri lain, terutama yang berbentuk monarki, terlebih
lagi monarki yang absolut. Perbedaan ini penting untuk kita ingat. Sebab rakyat jangan di campur
adukkan dengan pemerintah. Dan teristimewa rakyat Inggris, jangan dicampur adukkan dengan
pemerintah Inggris.
 Harus dicatat bahwa pemerintah Inggris bukan sahabat Revolusi Perancis. Dalam hal ini banyak
bukti yang dapat ditemukan. Misalnya ucapan terimakasih Elektor Of Hanover (Pangeran Jerman
yang mempunyai hak memilih raja Jerman). Seseorang yang berbadan layu dan tidak berotak,
yang kadang-kadang disebut raja Inggris itu, kepada Burke, penulis buku yang penuh hinaan
kepada Revolusi Perancis, dan ulasan-ulasan berniat buruk mengenai revolusi itu yang
dikemukakan menteri Inggris, di depan parlemen.
 Sebaliknya, rakyat Inggris mendukung Revolusi Perancis dan perjuangan kemerdekaan di seluruh
dunia. Dukungan ini akan bertambah luas jika persekongkolan (conspiracy) dan tipu muslihat
pemerintahan Inggris makin terungkap dan asas-asas Revolusi semakin di pahami. Agaknya
penting untuk diketahui bahwa sebagian besar surat kabar di Inggris mendapat dana langsung
dari pemerintahan Inggris, sedangkan bagi surat kabar di Inggris mendapat dana langsung dari
pemerintahan Inggris, sedangkan bagi surat kabar yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan pemerintahan, tetap harus mengikuti kehendaknya. Oleh sebab itu tidak heran jika semua
surat kabar di Inggris menyiarkan berita-berita yang menyesatkan dan menyerang Revolusi
Perancis, demi untuk mengelabui rakyat Inggris. Akan tetapi, karena mustahil menutup-nutupi
kebenaran untuk jangka waktu yang lama, maka dusta yang di tebaran oleh semua surat kabar
tersebut, semakin hari semakin tidak di percaya lagi oleh pembacanya.
 Dukungan yang diberikan oleh segenap rakyat Inggris ini kepada Revolusi
Perancis, disebabkan oleh tidak tahannya lagi rakyat Inggris terhadap
kesewenang-wenangan dan ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintahan
Inggris. Seperti, selalunya pemerintah Inggris menaikkan pajak yang harus
dibayar oleh rakyat. Dengan alasan bahwa pemerintah membutuhkan biaya
yang sangat besar untuk menghadapi musuh-musuh bangsa Inggris. Padahal
musuh tersebut sengaja dicari-cari sehingga ada alasan bagi pemerintah untuk
menaikkan pajak. Karena kalau tida berhasil menemukan musuh. Di mana pun,
maka tidak ada dalih banginya untuk menaikkan pajak dan pendapatan secara
besar-besaran modus yang dipakai oleh pemerintah Inggris untuk menyulut
perang tersebut, adalah dengan jalan selalu melibatkan diri dalam setiap
persekongkolan di Eropa, agar dapat memuaskan nafsu gilanya dan menutupi
pengeluaran yang boros.
 Dari catatan sejarah, tindakan sewenang-wenang yang parah sudah terjadi di
Inggris masa rezom raja-raja Tudor dan Stuart (1485-1603) berkuasa. Pada masa
pemerintahan ini, sering terjadi pertikaian-pertikaian antara raja-raja keturunan
Tudoe dan Stuart dengan pihak parlemen, disebabkan tindakan sewenang-
wenang dari raja. Bahkan raja pernah membubarkan parlemen. Pada tahun
1628, sewaktu King Charles I membebani rakyat dengan berbagai pajak, terasa
bai rakyat pengingkaran yang dilakukan raja terhadap Magna Charta Libertatum
yang ditetapkan pada tahun 1215. Sebagai reaksi terhadap raja, parlemen
menyodorkan Petition of Rights untuk disahkan oleh raja, yang menentukan
bahwa raja tidak boleh memungut pajak tanpa persetujuan parlemen, dan tidak
boleh menahan seorang jika tidak atas perintah hakim. Dalam babak inilah,
terjadi peristiwa penting, Lord Stafford selaku menteri dibebani
pertanggungjawaban atas keteledoran-keteledoran raja. Lord Stafford dihukum
mati melalui Guillotine, dan mulailah tumbuh sistem menteri bertanggung jawab
kepada parlemen, dna bahwa raja dianggap tidak pernah berbuat kesalahan
(asas the King can do no wrong). Asas itu berkembang keberbagai negara di dunia
hingga sekarang.
 Kekuasaan yang sewenang-wenang yang selalu diingat oleh rakyat Inggris hingga saat ini adalah
tindakan yang sering dilakukan oleh raja James II. Berkuasa pada saat berkuasa, di mana bagi
perkara-perkara tertentu hukumnya adalah hukum gantung, menenggelamkan, membelah tubuh
menjadi empat bagian.
 Dari uraian di atas sangat jelas bahwa filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep Trias Politika
merupakan kritk atas kekuasaan absolut raja-raja tersebut untuk membenarkan revolusi gemilang
tahun 1688 (The Glorius Revolutin of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut
Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu: Kekuasaan Legislatif, kekuasaan
Eksekutif, dan Kekuasaan Federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan
Legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang; Kekuasan Eksekutif ialah
kekuasaan melaksakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili (Locke
memandang mengadili itu sebagai yang termasuk dalam pelaksanaan undang-undang), dan
Kekuasaan Federatif ialah kekuasaan meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara
dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini
disebut hubungan luar negeri).
 Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748 Montesquie memperkembangkan lebih lanjut
pemikiran Jhon Locke ini di dalam bukunya L’esprit Des Lois (The Spirit of Laws). Karena melihat sifat
despotis dari raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga
negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam uraiannya ia membagi kekuasaan pemerintahan
dalam tiga cabang, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan legislatif.
Menurutnya ketiga jenis kekuasaan tersebut haruslah terpisah antara satu dengan yang lainnya,
baik mengenai tugas, fungsi maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh
Montesquieu, oleh karena itu di sinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu
dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat
undan-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (tetapi oleh
Montesquieu diutamakan tindakan dalam bidang politik luar negeri), sedangkan kekuasaan
yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
 Jadi, berbeda dengan Jhon Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan
eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang
berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pengerjaan sehari-hari sebagai seorang hakim,
Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan.
Sebaliknya oleh Montesquie kekuasaan hubungan luar negeri yang disebutkan oleh Jhon Locke
sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
 Oleh dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika, ketiga fungsi
tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan. Tetapi oleh tiga orang atau
badan yang terpisah. Dikatakan olehnya, “Kalau kekuasaan legislatif dan
eksekutif disatukan dalam satu orang/badan penguasa, maka tak akan ada yang
namanya kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya
orang/satu bdan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata
diserahi untuk melaksanakan ketiga kekuasaan itu. Kekuasaan membuat
undang-undnag, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili
persoalan-persoalan antara individu.” Pkoknya Montesquieu dengan teorinya itu
menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan
sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal itu, menurut pandangannya hanya
mungkin terjadi jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan
tersebut.
 Adanya perkembangan dan perluasan fungsi-fungsi negara dimaksud
mengakibatkan Ivor Jenings membedakan pemisahan kekuasaan atas dua jenis,
yaitu: pemisahan kekuasan dalam arti materil dan pemisahan kekuasaan dalam
arti formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materil adalah pemisahan
kekuasaan yang tegas di antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan
fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan pemisahan kekuasaan
dalam arti formil adalah pemisahan kekuasan yang tidak dipertahankan secara
tegas di antara ketiga lembaga tersebut, sehingga dimungkinkan adanya
kerjasama di antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Atau dalam
terminologi dikenal dengan pemisahan kekuasan (separation of power) dan
pembagian kekuasaan (division of power).
 Menurut Miriam Budiardjo, membagi kekuasaan kedalam dua cara: Pertama,
secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal
ini yang dimaksud pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan
pemerintahan. Kedua, secara horizontal yaitu pembagian kekuasan menurut
fungsinya. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutiF, dan yudikatif.
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
A. Pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Istilah konstitusi merupakan suatu istilah yang sudah sangat tua.
Karena konstitusi sudah dikenal pada zaman Yunani Purba. Hanya saja
konstitusi pada saat itu masih diartikan secara materiil saja, artinya
konstitusi belum diletakkan dalam satu naskah yang tertulis. Tentang
telah ada konstitusi ini pada zaman Yunani Purba dapat dibuktikan
pada paham Aristoteles yang membedakan istilah Politea dan Nomoi.
Jika Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan Nomoi adalah
Undang-Undang biasa. Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada
masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta
ada kebiasaan semata-mata.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahawa perkataan “konstitusi”
berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja “constituer” (Perancis)
yang berarti “membentuk”. Kini yang dibentuk ialah suatu negara,
maka “konstitusi” mengandung permulaan dari segala peraturan
mengenai suatu negara. Dalam bahasa Belanda disebut Grondwet,
yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Undang-
Undang Dasar. Terjemahan kata constitution dengan kata undang-
undang dasar memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan
Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet
(Grond= dasar; wet= undang-undang) dan Grundgesetz (Grund= dasar;
gesetz= undang-undang).
Sementara itu menurut K.C. Wheare dalam bukunya Modern
Constitutions menyimpulkan bahwa konstitusi merupakan aturan
dasar dan menjadi penyangga utam tegak kokohnya suatu negara.
 Persoalannya adalah samakah antara konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar. Untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut mari kita lihat
beberapa pandangan para ahli berikut ini:
1. G.J. Wolhoff berpendapat bahwa kebanyakan negara-
negara modern berdasarkan atas suatu UUD (Konstitusi).
2. Sri Soemantri dalam disertasinya mengartikan konstitusi
sama dengan UUD. Penyaman arti dari keduanya ini
sesuai dengan praktik ketatanegaraan di sebagaian besar
negara-negara dunia termasuk Indonesia.
3. Van Apeldorn berpendapat bahwa UUD adalah bagian
tertulis dari konstitusi. Konstitusi memuat baik peraturan
tertulis maupun tidak tertulis.
 Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan
UUD, sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver
Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660)
yang menemukan UUD itu sebagai Instrumen of
Government, yaitu bahwa UUD dibuat sebagai
pegangan untuk memerintah dan di sinilah timbul
identifikasi dari pengertian konstitusi dan UUD.
 Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan
pengertian dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan
beberapa sarjana mengenai konstitusi dapat dikatakan berlainan
saru sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya
Uber Verfassungswessen (1862) membagi konstitusi dalam dua
pengertian, yaitu:
i. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip).
Konstitusi dilihat sebagai sintetis antara faktor-faktor kekuatan politik
yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu
misalnya raja, parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan
(preassure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan
di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa
yang dipahami sebagai konstitusi;
ii. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu
naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan
negara dan sendi-sendi pemerintah negara.
 Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh pikiran kodifikasi,
sehingga menekankan pentingnya pengertian yuridis mengenai
konstitusi. Di samping sebagai cermin hubungan antar-aneka
kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele
machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang
tertulis di atas kertas UUD mengenai lembaga-lembaga negara,
prinsip-prinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan negara.
 Ahli lain yaitu Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi yaitu:
i. Die politische versfassung als gesellschaft wirklichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis
dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial-politik yang nyata dalam masyarakat;
ii. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti yuridis sebagai suatu
kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
iii. Die geschreibn verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah undang-undang
dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
 Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah
yang bersifat politis, sosiologis, dan bakan bersifat yuridis, hanyalah merupakan
salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas,
yaitu konstitusi yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping
konstitusi yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam
kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang
luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya Verssungslehre, Hermann Heller
membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1) Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada tingkat pertama konstitusi tumbuh dalam
pengertian sosial-politik. Ide-inde konstitusional dikembangkan karena memang
mencerminan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu.
Konstitusi pada tahap ini digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang
belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan dalam perilaku
nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat.
2) Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi sudah diberi bentuk
hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menurut pemberlakuan yang dapat
dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosial-politik yang dilihat sebagai kenyataan
tersebut di atas, dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap
pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3) Konstitusi dalam pengertian Peraturan Tertulis. Pengertian yang terakhir ini meruapakan
tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian rechtsverfassung yang
muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang mengkehendaki agar berbaga
norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk
maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid), keserhanaan
hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).
B. Amandemen UUD 1945 sebagai Upaya Reformasi dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.
Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak keluarnya
Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali UUD 1945 belum pernah diubah
untuk disempurnakan. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya bukannya
menjunjung tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat tetapi yang dijunjung tinggi adalah
kekuasaan pemimpin, itulah yang sangat dominan. Era ini melahirkan sistem
diktator dalam pemimpin negara. Presiden Soekarno telah gagal keluar dari pilihan
dilematisnya antara mengembangkan demokrasi lewat sistem multipartai dengan
keinginan untuk menguasai seluruh partai dalam ranggka mempertahankan
kekuasaannya. Pengangkatan Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS,
merupakan salah satu perwujudan penyelewengan UUD 1945. Begitupun ketika
Soeharto naik ke panggung politik menggantikan Soekarno menjadikan Presiden,
penyelewengan terhadap UUD 1945 kembali berulang. UUD 1945 tidak boleh
di”sentuh” oleh siapapun – istilah yang populer “disakralkan’ dengan berbagai
macam stigma Subversif yang dituduhkan bagi yang akan menyentuhnya. Bahkan
hanya pemerintahan Orde Baru (Soeharto) yang boleh menafsirkan makna yang
terkandung dalam UUD 1945. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Majelis
Permusyawaratan dengan suara terbanyak, direduksi menjadi Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh majelis dengan suara mufakat, dan calnnya harus tunggal, jadi
tidak ada pemungatan suara (voting). Disamping itu, tidak ada pembatasan masa
jabaran bagi Presiden dan Wakil Presiden, asal masih dipilih MPR beberapa kali
pun tidak menjadi masalah. Hasilnya Soeharto berhasil menduduki kursi Presiden
±32 tahum, sementara Wakil Presiden selalu berganti setiap 5 tahun.
 Bahkan tidak sedikit dari anggota tim Penatar Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (P4) kala itu (Orde Baru), yang melakukan kampaye
“pembodohan” pada masyarakat dengan mengatakan kalau UUD 1945 di
ubah Negara akan “kacau atau hancur”, bahkan gagasan perubahan UUD
1945 dianggap sebagai tindakan subversif, musuh utama bukannya di
sempurkan tetapi “ditutupi” dengan bingkai yuridis berupa ketetapan
MPR No. 1/MPR/1978 tentang peraturan tata tertib MPR, yang berisi
kebulatan tekad anggota majelis yang akan mempertahankan UUD 1945,
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya
serta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen.
 Sejak terjadinya Reformasi UUD 1945 yang “disakralkan” mengalamai
desakralisasi. Gagasan UUD 1945 menjadi tuntutan yang tidak bisa
dielakkan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan perubahan? Berbagai
alasan dapat dikemukakan mengapa perubahan itu penting dan harus
dilakukan.
 Sejak filosofos, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah: Pertama, karena
UUD 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan
ekonomi yang dominant pada saat dirumuskan konstitusi itu. Setelah 54
tahun kemudian, tentu terdapat berbagai perubahan baik ditinggak
nasional maupun glbal. Hal ini tentu saja belum tercakup di dalam UUD
1945 karena saat itu belum nampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945
disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai
pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap
memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
 Dari aspek historis, sedari semula pembuatannya UUD 1945
oleh Ir. Soekarno (ketua PPKI) dalam rapat pertama tanggal
18 Agustus 1945, yang menyatakan: “...Tuan-tuan semuanya
tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat
sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau
boleh saya memakai perkataan ‘ini adalah Undang-Undang
Dasar Kilat,’ nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana
yang lebih tentram, kita tentu akan memngumpulkan
kembali MPR yang dapat membuat Undang-Undang Dasar
yang lebih lengkap dan lebih sempurna....”
 Dari ungkapan Soerkarno di atas dapatlah disimpulkan
bahwa UUD 1945 dibuat secara tergesa-gesa, karena
akansegera dipakai untuk melengkapi kebutuhan berdirinya
negara baru Indonesia yang diproklamasikan sehari
sebelumnya, yakni 17 Agustus 1945 statusnya adalah
sementara. Di samping itu, para perumus UUD 1945 belum
memunyai pengalaman mengurus negara. Sehingga masih
mencari-cari pola dan bentuk negara macam apa yang akan
didirikan serta bagaimana menjalankan roda pemerintahan
sehingga wajar kalau UUD 1945 belum lengkap dan tidak
sempurna. Untuk itu, perlu disempurnakan dan dilengkapi.
 Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukkan
kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945
disusun tentu akan berbeda kondisinya di masa yang akan
darang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan.
Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk
hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang
ada pada saat itu, UUD akan aus dimakan masa apabila tidak
diadakan pembaharuan sesuai dengan dinamika kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara di bidang politik,
ekonomi, sosial maupun budaya. Sebagai yang diutarakan
oleh Wheare berikut:
“Constitutions, when they are framed and adopted, tend to
reflect the dominant believe and interest, or some compromise
between conflicting beliefs and interest, which are
characteristic of the society at that time. More over they do not
necessarily reflect political or legal beliefs and internest only.
Thay may embody conclusions or compromises upon economic
and social matters which the framers of the constitutions have
wished to guarantee or to proclaim, a constitution is indeed the
resultant of a parallelogram of forces political, economic, and
social – which operate at the time it’s adoption.”
 Untuk itu, mereka (perumus UUD 1945) membuat pasal perubahan di dalam UUD
1945, yaitu Pasal 37, tetapi ketentuan dalam Pasal 37 sangat simpel, karena hanya
mengatur segi pengambilan putusan belaka, sehingga sulit untuk diterapkan
karena tidak dijelaskan bagian mana saja yang boleh dan tidak boleh untuk
diubah, bagaimana cara merubahnya dan seterusnya. Tidak ada ketentuan lain
menyangkut perubahan UUD 1945. tambahan baru muncul kemudian, yaitu
melalui interpretasi historis dan filosofis oleh ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966,
bahwa pembukaan UUD 1945 dorongan memperbaharui atau mengubah UUD
1945 ditambah pula dengan kenyataan, UUD 1945 sebagai subsistem tatanan
konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan Staatsidee
mewujudkan negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi,
negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia,
kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Yang terjadi adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang
menggunakan UUD 1945 sebagai sadaran.
 Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat
diketahui antara lain: Pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai
prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut
executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan
presiden. Menurut istilah Soepomo. “Concentration of power and responbility upon
the president.” Kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat
sederhana, umum, bahkan tidak jelas (value), sehingga banyak pasal yang
menimbulkan multitafsir. Ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi
secara memadai dalam UUD 1945. Keempat, UUD 1945 terlalu menekankan pada
semangat si pembuatnya (Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu
sama lain. Kelima, banyak materi muatan yang penting justru diatur di dalam
penjelasan UUD. Keenam, status penjelasan UUD 1945. perseoalan ini sering
menjadi obyek perdebatan tentang status penjelasan, karena banyak materi
penjelasan yang tidak diatur dalam pasal-pasal UUD 1945, misalnya materi Negara
Hukum, istilah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, istilah mandataris MPR,
pertanggungjawaban Presiden, dan seterusnya.
 Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara
Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada hari Rabu tanggal 18 Agustus 1945, yakni
sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Istilah
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
memaknai angka 1945 dibelakang UUD, barulah
timbul kemudian yaitu pada tahun awal 1959,
ketika tanggal 19 Februari 1959 kabinet karya
mengambil kesimpulan dengan suara bulat
mengenai “Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
dalam rangka kembali ke UUD 1945”. Kemudian
keputusan pemerintah itu disampaikan ke pihak
konstituante pada tanggal 22 April 1959. Peristiwa
ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
dikenal dengan nama “Ajakan Pemerintah yang
berbunyi cetak kaos untuk kembali ke UUD 1945”.
1. Pemberlakuan UUD 1945
 Pada saat disahkan dan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus
1945, ia hanya bernama “Oendang-Oendang Dasar.” Demikian pula ketika
UUD diundangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal
15 Februari 1949. Istilah yang digunakan masih “Oendang-Ondeng Dasar”
tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam Denkrit Presiden 1959 memakai
UUD 1945 sebagaimana yang diundangkan dalam Lembaran Negara No.
75 tahun 1959. Hal ini perlu dikembangkan, mengingat tidak fokus
pembahasan masalah ini pada dinamika dan perkembangan.
 Berbicara tentang Undang-Undang Dasar suatu Negara, menarik sekali
untuk diketahui, dalam kondisi Negara bagaimana konstitusi itu lahir, siapa
yang mempunyai konstibusi besar atas kelahiran suatu konstitusi,
hendaknya di bawa kemana oleh para Perumus atau Pendiri Negara (The
Founding Fathers) cita-cita Negara itu disamakan. Di samping itu dengan
Undang-Undang Dasar akan diketahi tentang negara itu, baik bentuk,
susunan negara maupun sistem pemerintahannya.
 A.A.H. Struyken berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
1. Hasil perjuangan politik diwaktu yang lampau.
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu
sekarang maupun masa yang akan datang.
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin.
 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi juga dituangkan
dalam sebuah dokumen, dimana dokumen tersebut telah
dipersiapkan sebelum Indonesia merdeka, dan baru dirancang
oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) , dengan dua masa sidang yaitu tanggal 29
Mei-Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juni 1945. Sebagai dokumen
formal, UUD 1945 ditetapkan dan disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
 Pasca Indonesia merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 pernah
berlaku dua kali dalam sususnan ketatanegaraan dan kurun waktu
yang berbeda. Bagaimana kronologis pemberlakuannya, akan
diuraikan berikut ini.
 Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa
pernah berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (konstitusi),
yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia serikat 1949, yang berlaku antara 27
Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3. Undang-Undang Dasar sementara 1950, yang berlaku antara 17 Agustus
1950 sampai 5 Juli 1959.
4. Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkan dekrit
presiden 5 Juli 1959.
 Dalam keempat periode berlakunya ketiga macam Undang-Undang Dasar
itu, UUD 1945 yang berlau dua kurun waktu. Kurun waktu pertama, berlaku
UUD 1945 sebagaimana yang diundangkan dalam berita republik
Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua, UUD 1945 berlaku lagi
sebagai, akibat gagalnya konstituante Republik Indonesia menetapkan
UUD yang baru untuk menggantikan UUDS 1950. Tepat tanggal 5 Juli 1959
Presiden RI mengeluarkan sebuah dekrit yang diantara isinya menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945, kemudian Dekrit Presiden beserta
lampirannya berupa UUD 1945 di undangkan dalam lembaran Negara
Republik Indonesia No. 75 tahun 1959.
 Tindakan pendekritan kembali UUD 1945, pada sementara kalangan yang
mempertanyakan keabsahan dari segi hukumnya. Menurut ketua MA
dalam suatu wawancara khas dengan ketua dewan redaksi seluruh
Indonesia pada tanggal 11 Juli 1959, beliau mengatakan, “Didasarkan pada
suatu hakikat hukum yang tidak tertulis (dalam bahasa Belanda
dinamakan “Staatnoodrecht”) bahwa dalam hal ketatanegaraan tertentu
kita dapat terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dri
peraturan-peraturan ketatanegaraan yang ada, berdasarkan kondisi gawat
itulah Presiden sebagai Panglima tertinggi angakatan perang
mengeluarkan dekritnya.” Pertimbangan ini telah dimuat dalam
konsideran dalam alinea ketiga dan keempat yang berbunyi:”
“Bahwa hal yang demikitan menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa.
Serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur, dan bahwa dengan dukungan sebagian besar rakyat
Indonesia dan didorong oleh kayakinan kami sendiri, kami terpaksa
menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara proklamasi.”
2. Dinamika UUD 1945
 Dalam kaitan dengan berlakunya UUD 1945 pada dua kurun waktu diatas
muncul pertanyaan: Apakah rumusan UUD 1945 yang terdapat dalam
dekrit Presiden sama dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang (yaitu UUD
1945 yang menggunakan sebagai bahan pentaran P4)? Apakah UUD 1945
yang berlaku sekarang ini berlaku sama degan yang tercantum berita
Republik Indonesia. Untuk memperjelas tentang hal ini, paling tidak
penulis akan membandingkan proses terjadinya dua masa pemberlakuan
UUD 1945 itu dan sedikit melihat dari sisi materinya, adakah perbedaan
yang prinsipil?
 Pada tanggal 28 Mei 1945, pemerintah bala tentara Jepang melantik
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang dengan diketahui oleh Radjiman
Wedya Diningrat, yang oleh panitia ini sebagai Committee of 62.
 Tugas pokok badan ini sebenarnya menyusun rancangan UUD. Namun
dalam praktik persidangan-persidangan (Sidang I) berjalan
berkepanjangam, khususnya pada saar membahas masalah dasar negara.
Singkatnya di akhir sidang I BPUPKI ini berhasil membentuk panitia kecil
yang serius disebut dengan Panitia Sembilam. Panitia pada tanggal 22 Juni
1945 berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah
“Mukaddimah” UUD yang kemudian disebut/dikenal Piagam Jakarta (The
Jakarta Charter).
 Hasil kesepaatan sembilan ini kemudian dinyatakan diterima dalam
sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu Soekarno
membentuk panitia kecil lagi yang diketuai oleh Soepomo dengan
tugas menyusun rancangan Undang-Undang Dasar. Empat hari
berikutnya sidang ini berhasil juga menyetujui rancangan UUD
yang kelak akan dijadikan konstitusi tertulis di Indonesia (Tanggal
16 Juli 1945). Dengan demikan tugas BPUPKI sudah selesai, adapun
tugas berikutnya untuk mempersiapkan kemerdeaan diserahkan
pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
 Keanggotan PPKI berjumlah 21 orang dengan seorang ketua
Soekarno dan Moh. Hatta sebagai wakilnya. Menurut rencana
panitia ini akan mulai bekerja tanggal 9 Agustus 1945, dan
diharapkan pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil kerja panitia dapat
disahkan oleh pemerintahan Jepang di Tokyo. Rencana tersebut
tidak dapat berjalan, karena pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945
Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh sekutu, yang menyebabkan
Jepang menyerah kepada sekutu.
 Akibat hal tersebut di atas, maka PPKI yang berjumlah 21 orang
kemudian di tambah 5 orang menjadi 26 orang, di mana sehari
setelah kemerdekaan RI mereka berhasil mengesahkan UUD 1945.
 Mengenai keabsahan tindakan yang dilakukan oleh PPKI dalam mengesahkan UUD,
pada awalna bukan konstituente atau bukan seperti MPR hasil pemilu sebagaimana
yang diatur dalam UUD 1945 sendiri, menurut Ismail Suny bahwa keabsahan UUD
1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk kepada keberhasilan Revolusi
Indonesia. Jadi karena Revolusi, maka UUD 1945 yang diberhasilkan oleh Revolusi
itu adalah sah.
 Sebagaimana telah disebutkan bahwa di antara penyebab berlakunya kembali UUD
1945 adalah karena kegagalan konstituante untuk membicarakan dan menetapkan
UUD yang tetap, untuk itu lahirlah atau ditetapkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
dengan jalan ini kata Prawoto Mangjusasmito, Dekrit Presiden menjadi sumber
bagi berlakunya kembali UUD 1945. demikan juga menurut Moh. Yamin, justifikasi
(dasar pembenaran) Dekrit Presiden ini ialah ketentuanyang bersumber kepada
hukum darurat kenegaraan yang dinamai “Das Notrecht Des Staats Atau Das Staats
Notrecht”, suatu prinsip yang dikenal dan diakui oleh ilmu hukum nasional dan
internasional.
 Jika dibandingkan antara UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 dengan naskah yang diundangkan dalam berita Republik Indonesia
tahun II No. 7 dan dibandingkan juga dengan naskah yang diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 75 tahun 1959, sebetulnya tidak ada perbedaan prinsipil.
Kecuali hanya pada hak-hak tertentu diantaranya, UUD 1945 yang disahkan oleh
PPKI tersebut tidak ada bagian penjelasannya, dan baru dimuat dalam Berita
Republik Indonesia No. 7 Tahun II tetapi tidak secara berurutan seperti sekarang ini.
Penjelasan UUD 1945 itu secara lengkap dan turut serta merupakan satu kesatuan
dengan batang tubuh dan pembukannya yaitu yan dimuat dalam Lembaran Negara
RI No. 75 Tahun 1959.
 Undang-Undang Dasar (Grond Wet) sebagai konstitusi tertulis
merupaan dokumen formal yang antara lain berisi pandangan tokoh-
tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang
maupun masa -yang akan datang. Dalam kaitan ini menurut
Soekarno (salah seorang dari The Founding Fathers) UUD 1945
adalah, “Sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-
Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah
Revolutie Grond Wet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar
yang lebih sempurna dan lengkap.”
 Pada masa pemerintahan Orde Lama, sifat kesementaraan UUD
1945 waktu itu dibuktikan dengan pemberlakuan konstitusi RIS 1949
dan UUD sementara 1950, meskipun akhirnya kembali lahi kepada
UUD 1945. Begitu seterusnya oleh pemerintahan Orde Baru UUD
1945 menjadi disakralkan, dan ini adalah kesalahan sejarah
ketatanegaraan yang paling tragis.
 Letak kesalahan sejarah ketatanegaraan yang paling tragis yaitu:
sejak Orde Baru, sudah disepakati dan diikrarkan untuk
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, demikian
pula MPR sebagai satu-satunya lembaga tertinggi negara, sebagai
penjelmaan rakyat Indonesia, telah beberapa kali menyatakan
pendiriannya, bahwa MPR berketetapan mempertahankan UUD
1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan
terhadapnya, serta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen.
 Mencermati cita-cita yang ingin dicapai oleh para tokoh bangsa atau para
penyusun UUD 1945, masih relevan untuk diperjuangkan kini dan akan
datang.
 Sehingga tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
harus terus diperjuangkan.
 Era sekarang tidaklah sama dengan tahun 1945. Maka dari itu perjuangan
mewujudkan cita-cita UUD 1945 serta pelaksanaannya secara murni dan
konsekuen, bagi pemerintah khususnya harus mampu menyesuaikan dengan
tuntutan zaman, kemajuan teknologi di satu pihak dan di pihak lain tetap
mempertahankan UUD 1945 sebagaimana aslinya.
 Kalau kita menjamin statemen penyusun UUD 1945, bahwa yang penting
dalam pemerintahan dan dalam hidupnya negara (berdasarkan UUD 1945)
ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para
pemimpin pemerintahan. Perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur,
materiil, spiritual sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 belum berarti
selesai. Jalan masih panjang, perubahan UUD 1945 selalu menarik untuk dikaji
secara ilmiah. Dan justru itu tentang perlunya pasal 37 dalam UUD 1945 ini,
adalah merupakan pemikiran para tokoh bangsa atau perumus UUD yang
dilakukan dengan perdebatan dan perjuangan degan sungguh-sungguh
dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI waktu itu. Tentunya lontaran
permasalahan ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian dan penelitian
lebih mendalam di masa datang.
3. UUD 1945 Pasca Amandemen
 Setelah ±32 tahun UUD 1945 disakralkan akhirnya paca
runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dan bangsa
Indonesia memasuk i era baru yakni era Reformasi,
yang salah satu agenda reformasi tersebut amandemen
terhadap UUD 1945, akhirnya dalam sidang umum MPR
1999, UUD 1945 dapat diubah dengan perubahan
pertama tahun 1999, perubahan kedua pada tahun
2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan
perubahan keempat pada tahun 2002. Akan tetapi,
bentuk perubahan UUD 1945 yang menggunakan pola
seperti Amerika Serikat ini sungguh terasa agak ganjil
karena masih banyak kalangan yang menilai belum
sempurna. Meskipun demikian dengan adanya empat
kali amandemen terhadap UUD 1945 ini telah banyak
membawa perubahan yang mendasar dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan penataan kelembagaan negara.
C. Hasil Kajian Komisi Konstitusi Indonesia
terhadap Amandemen UUD 1945
Hasil kerja MPR dalam Perubahan UUD 1945 dikaji ulang oleh Komisi
Konstitusi Indonesia yang dibentuk berdasarkan Keputusan Pimpinan
MPR RI No. 22/pimp/2003 tanggal 7 Oktober 2003. Adapun hasil kajian
Komisi Konstitusi diuraikan berikut ini:
1. Ruang Lingkup Kewenangan Komisi Konstitusi
i. Maksud dan tujuan
Pengkajian secara komprehensif terhadap perubahan perubahan UUD
1945 mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
Pertama, agar perubahan UUD dilakukan melalui pembahasan yang
mendalam, cermat dan menyeluruh. Kedua, agar perubahan UUD
didasarkan pada kajian teoritis mengenai eksistensi pembentukan dan
perubahan UUD (yang meliputi kedudukan, sifat, dan fungsi, materi
muatan dan prosedur UUD (yang meliputi kedudukan, sifat, fungsi,
materi muatan dan prosedur perubahan UUD). Ketiga, secara analitis
mencermati berbagai ketentuan yang dihasilkan oleh MPR, dan menilai
apakah metode dan prosedur perubahan yang dilakukan memenuhi
penilaian berdasarkan teori dan konsep ketatanegaraan yang dianut.
Keempat, kajian komprehensif ini diharapkan dapat menyempurnakan
hasil-hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR. Kelima,
mentransformasikan aspirasi masyarakat untuk menyempurnakan
perubahan UUD 1945.
ii. Ruang Lingkup Kajian
Kajian komprehensif terhadap perubahan UUD 1945 meliputi beberapa hal:
Pertama, kajian terhadap teori-teori konstitusi termasuk teori-teori tentang
perubahan konstitusi. Kedua, kajian terhadap konsep dan prinsip-prinsip dasar
yang dianut dalam kehidupan bernegara secara umum dan khusus yang dianut
oleh negara Indonesia harus tercermin dalam UUD seperti konstitualisme, negara
hukum, dan demokrasi. Ketiga, aspek-aspek ketata negaraan yang harus
ditetapkan dalam UUD. Keempat, substansi yang ditetapkan dalam pasal-pasal
hasil perubahan UUD 1945. Kelima, prosedur perubahan yang dilaksanakan oleh
MPR meliputi usul perubahan, pembahasan, dan penetapan.
iii. Metode Pengkajian
Metode pengkajian yang dilakukan oleh Komisi Konstitusi adalah metode
komprehensif dalam arti pengkajian menyeluruh, terpadu, dengan
memperhatikan hubungan satu sama lain, baik antar bab, antar pasal, dan antar
ayat.
iv. Pendekatan
Dalam melakukan pengkajian komprehensif terhadap perubahan UUD 1945 ini
digunakan pendekaran filosofis, historis, sosiologis, politis, yuridis, dan
komparatif.
v. Tahap Pengkajian
1) Mempelajari teori-teori mengenai konstitusi dan melakukan studi perbandingan mengenai
perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi berbagai negara;
2) Melakukan penyerapan aspirasi masyarakat untuk mengetahui bagaimana perndapat masyarakat
tentang hasil perubahan UUD 1945 serta substansi yang diusulkan;
3) Berdasarkan kajian teoritis dan aspirasi masyarakat tersebut dilakukan penyempurnaan terhadap
hasil perubahan UUD 1945.
vi. Mekanisme Kerja Komisi Konstitusi
1) Pandangan Umum. Seluruh anggota Komisi mengajukan pandangan umum
dalam pleno Komisi Konstitusi terhadap hasil perubahan yang dilakukan oleh
MPR. Dari pandangan umum tersebut diperoleh benang merah yang dapat
diambil sebagai kerangka acuan bersama dalam melakukan pengkajian
secara komprehensif.
2) Penyerapan Aspirasi Masyarakat. Penyerapan aspirasi masyarakat dilakukan
dengan mengundang dan membuka kesempatan bagi organisasi sosial,
keagamaan, dan LSM untuk menyampaikan pemikirannya di depan anggota
Komisi Konstitusi. Di samping itu Komisi Konstitusi mengadakan seminat di
beberapa tempat seperti di Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan
Makasar.
3) Pembentukan Sub Komisi. Komisi Konstitusi membentuk Sub Komisi A dan
Sub Komisi B. Sub Komisi A bertugas menyiapkan teoritis tentang konstitusi
dan prinsip-prinsip dasar yang harus ditetapkan dalam konstitusi. Sub Komisi
B bertugas melakukan kajian terhadap pasal-pasal hasil perubahan UUD 1945
dan mengusulkan perubahan, disertai dengan argumentasinya.
4) Membentuk Tim Perumus dan Tim Penyelaras. Tim Perumus bekerja
merumuskan hasil kerja Sub Komisi A dan Sub Komisi B. Hasil dari tim
Perumus disampaikan dalam rapat pleno Komisi Konstitusi, dan kemudian
dibentuk Tim Penyelaras.
5) Uji Sahih kajian Komisi Konstitusi. Hasil kajian Komisi Konstitusi disampaikan
lagi ke masyarakat untuk memperoleh tanggapan.
6) Perumusan Akhir Naskah Kajian Akademik komprehensif dan rumusan
perubahan pasal-pasal UUD 1945 yang diusulkan oleh Komisi Konstitusi.
2. Restrukturasi Naskah UUD 1945 daari Angota Komisi
Konstitusi

 Selain konse-konsep tersebut di atas Anggota


Komisi Konstitusi yang tergabung dalam Tim
Tiga juga menghasilkan restrukturasi terhadap
perubahan UUD 1945 yang selengkap dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
 Kerangka Restrukturasi dari Tim Tiga
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Pembukaan Pembukaan Pembukaan
Bab I Bentuk Negara Bab I Bentuk dan Bab I Bentuk,
(dari Bab I Pasal I) Kedaulatan Pasal I (1) Kedaulatan dan
Asli, (2), (3) Wilayah Negara Pasal
1-2 (ex-25 A)
Bab II Dasar dan Tujuan
Negara Pasal 2
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Bab II Kedaulatan Rakyat Bab III Pemilu Pasal 3 Bab II MPR Pasal 3-4
(termasuk Pemilu) Dari
Bab I Pasal I (2) dan Bab
VIIB Pasal (22E)
Bab III Warga Negara dan Bab IV MPR Pasal 4 Bab III (ex-VII) DPR Pasal 5
Penduduk (dari Bab X (ex-19), 6 (ex-20), 7 (ex-
Pasal 26-27) 20A), 8 (ex-21), 9 (ex-22),
10 (ex-22A), 11 (ex-22B)
Bab IV HAM (dari Bab X Bab V HAM Pasal 5 Bab IV (ex-VIIA) DPR Pasal
Pasal 28 dan Bab XA Pasal 12 (ex-22C), 13 (ex-22D)
28A-28B)
Bab V Wilayah Negara Bab VI Warga Negara dan Bab V Kekuasaan
(dari Bab IX A Pasal 25 A) Penduduk Pasal 6-7 Pemerintahan Negara
Pasal 14-30 (ex- 4-6, 6A, 7-
7B, 8-17)
Bab VI MPR (dari Bab II Bab VII Kekuasaan Bab VI Kekuasaan
Pasal 3 dan Bab IV Pasal 8 Pemerintahan Negara Kehakiman Pasal 31-35
(2-3) Pasal 8-15 (ex-24-24C, 25)
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Bab VII DPR (dari Bab VII Bab VII DPR Bab VII Pemerintahan
Pasal 19-20, 20 A, 22-24) Daerah Pasal 36-38 (ex 18-
18B)
Bab VIII Dewan Perwakilan Bab IX DPD Bab VIII Pemilu Pasal 39
Daerah (dari Bab VIIA Pasal (ex-22E)
22C-22D)
Bab IX Presiden (dari Pasal Bab X Kekuasaan Bab IX.... Pasal 40-42 (ex-
6 dan 6A, 9, 4 ayat (1), 7, 4 Kehakiman 23E-G)
ayat (2) dan 17, 16, 5 ayat
(1), 22, 10, 11, 13, 15, 12,
17C))
Bab X Kekosongan Bab XI Kementerian Bab X Keuangan Negara
Jabaran dan Negara Pasal 43-48 (eks- 22E, 23-
Pemberhentian Jabatan 23D)
Kepresidenan (dari Pasal
8-7A-7B)
Bab XI Keuangan Negara Bab XII Hal Keuangan Bab X Keuangan Negara
(dari Bab VIII Pasal 23, 23A- Pasal 43-48 (eks-22E, 23-23
23D) D)
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Bab XII BPK (dari Bab VIIIA Bab XIII BPK Bab XII HAM Pasal 51-60
Pasal 23E-23G) (ex-28A-28J;28
dihilangkan)
Bab XIV Komisi
Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara
Bab XV Komisi
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Bab XIII Kekuasaan Bab XVI Wilayah Negara Bab XIII Agama Pasal 61
Kehakiman (dari Bab IX (ex-29)
Pasal 24, 24C)
Bab XIV Pemerintahan Bab XVII Pertahanan dan Bab XIV Pertahanan dan
Daerah (dari Bab VI Pasal Keamanan Negara Keamaan Negara Pasal 62
18, 18A-18B) (ex-30)
Bab XV Agama (dari Bab XI Bab XVIII Agama dan Bab XV Pendidikan dan
Pasal 29) Kepercayaan Kebudayaan Pasal 63-64 9
( ex-31-32)
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Bab XVI Pendidikan dan Bab XIX Pendidikan dan Bab XVI Perekonomian
Kebudayaan (dari Bab XIII Kebudayaan Nasional dan
Pasal 31-32) Kesejahteraan Sosial Pasal
65-66 (ex- 33-34)
Bab XVII Kesejahteraan Bab XX Perekonomian Bab XVI Bendera, Bahasa,
Rakyat dan Perekonomian Nasional dan Lambang Negara dan Lagu
(dari Bab XIV Pasal 33-34) Kesejahteraan Sosial Kebangsaan pasal 67-71
(ex- 35-36C)
Bab XVIII Pertahanan dan Bab XXI Bendera, Bahasa, Bab XVIII Perubahan UUD
Keamanan (dari Bab XII dan Lambang Negara serta Pasal 72 (ex- 37; ayat (5)
Pasal 30) Lagu Kebangsaan dihilangkan)
Bab XIX Bahasa Negara, Bab XXII Perubahan UUD Aturan Peralihan
Lagu Kebangsaan,
Semboyan dan Atribut
Negara (dari Bab XV Pasal
36, 36B, 36A, 35, 36A, 36C)
Bab XX Perubagan UUD C. Aturan Utama Aturan Peralihan
(dari Bab XVI Pasal 37)
Fajrul Fa laakh (1) John Pieris (2) Andi M. Asrun (3)
Aturan Peralihan Aturan Peralihan
Aturan Peralihan Aturan Peralihan

 Catatan: Cetal tebal sebagai penanda atas


perbedaan-perbedaan utama.
 Sumber: Sekretariat Jenderal MPR-RI (Komisi
Konstitusi Sub Komisi Naskah Akademik 1
Desember 2003)
 (1) Masukan tanggal 2/12/2003, Sub Komisi Naskah
Akademik
 (2) Masukan tanggal 2/12/2003, Sub Komisi Naskah
Akademik
 (3) Masukan tanggal 9/12/2003, Sub Komisi Naskah
Akademik
 Di lihat dari tabel kerangka restrukturasi dari tim
tiga di aas maka terdapat beberapa perbedaan,
yaitu dari jumlah bab kerangka restrukturasi
yang diajukan Fajrul Falaakh berjumlah 20) bab,
John Pieris 22 bab, sedangkan Andi M. Asrun
hanya 18 bab. Di lihat dari materi restrukturasi
yang diajukan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan tetapi hanya berkaitan dengan
sistematika dari masing-masing bab dan letak
dari masing-masing dari tiap-tiap bab.
 Sebenarnya struktur isi UUD pasca Amandemen
tahun 1999-2002 telah berbeda jauh dari versi
pra-amandemen hal tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
 Perbandingan Struktur UUD RI Pasca dan Pra Amandemen
Struktur UUD RI versi MPR 2002 UUD 1945 pra-amandemen
Pembukaan (Preambule) Pembukaan (Preambule)
Bab I Bentuk dan Kedaulatan (Pasal I) Bab I Bentuk dan Kedaulatan (Pasal I)

Bab II MPR (Pasal 2-3) Bab II MPR (Pasal 2-3)


Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara
(Pasal 4-6, 6A, 7A, 7C, 8-16) (Pasal 4-15)

Bab IV Dewan Pertimbangan Agung Bab IV Dewam Pertimbangan Agung


(dihapus) (Pasal 16)
Bab V Kementerian Negara (Pasal 17) Bab V Kementerian Negara (Pasal 17)
Bab VI Pemerintahan Daerah (Pasal 18, Bab VI Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
18A-18B)
Bab VII DPR (Pasal 19-20, 20A, 21-22, Bab VII DPR (Pasal 18)
22A-22B)
Struktur UUD RI versi MPR 2002 UUD 1945 pra-amandemen
Pembukaan (Preambule) Pembukaan (Preambule)
Bab VIIA DPD (Pasal 22C-22D) Tidak Ada
Bab VIIB Pemilihan Umum (Pasal 22E dg Tidak Ada
KPU Independen)
Bab VIIIA BPK (Pasal 23E-23D) Tercakup dalam Bab VIII
Bab IX Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24, Bab IX Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24-
24A-24C (MK&KY), 25) 25 tanpa MK&KY)
Bab IXA Wilayah Negara (Pasal 25A) Tidak Ada

Bab X Warga Negara dan Penduduk Bab X Warga Negara (Pasal 26-28)
(Pasal 26-28)
Bab XA HAM (Pasal 28A-28J) Tidak ada bab tersendiri. Beberapa pasal
dalam (Bab X-XIV)
Bab XI Agama (Pasal 29) Bab XI Agama (Pasal 29)

Bab XII Pertahanan dan Keamanan Bab XII Pertahanan Negara (Pasal 30)
Negara (Pasal 30)
Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Bab XIII Pendidikan (Pasal 31-32)
(Pasa l31-32)
Struktur UUD RI versi MPR 2002 UUD 1945 pra-amandemen
Pembukaan (Preambule) Pembukaan (Preambule)
Bab XIV Perekonomian Nasional dan Bab XIV Kesejahteraan Sosial (Pasal 33-
Kesejahteraan Sosial (Pasal 33-34) 34)
Bab XV Bendera, Bahasa, dan Lambang Bab XV Bendera dan Bahasa (Pasal 35-36)
negara, serta Lagu Kebangsaan (Pasal tanpa lambang dan lagu
35-36, 36A-36C)

Bab XVI Perubahan UUD (Pasal 37) Bab XVI Perubahan UUD (Pasal 37)
Aturan Peralihan (Pasal I-III) Aturan Peralihan (Pasal I-IV)
Aturan Tambahan (Pasal I-II) Aturan Tambahan Ayat (1) dan (2)
Sebagian besar isi penjelasan UUD Penjelasan UUD
diadopsi dalam amandemen

Sumber: Fajrul Falaakh (6 Januari 2004) Makalah masukan (entry paper) kepada
Komisi Konstitusi (Sub Komisi Naskah Akademik).
Catatan: Cetak tebal menandai perbedaan-perbedaan utama.
3. Persandingan UUD 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi
Konstitusi
 Setelah melakukan pengkajian selama 7 tahun akhirnya komisi konstitusi merampungkan tugas-
tugasnya dalam melakukan pengkajian komprehensif terhadap perubahan UUD 1945.
 Meskipun dalam rumusan tugas komisi konstitusi hanya terbatas pada pengkajian komprehensif
terhadap UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya, rasanya sulit dihindari bagi komisi konstitusi untuk
tidak melakukan perubahan redaksi ataupyn sistematika perubahan UUD 1945, bahkan malah
mengubah substansinya.
 Dengan demikian, yang menjadi persoalan adalah apakah dalam pengkajian komprehensif atas UUD itu,
komisi konstitusi dapat dibenarkan melakukan perubahan atas redaksi dan sistematikanya, bahkan
mungkin menambah atau mengurangi substansinya, karena hal ini nampaknya sulit dihindari?
 Apabila pertanyaan diatas jawabannya adalah dapat, maka berarti bahwa komisi konstitusi dapat dinilai
telah melakukan suatu perbuatan di luar wewenangnya, karena hal itu tidak ditentukan dalam
keputusan majelis. Jika demikian, apakah berarti komisi konstitusi telah melakukan penyalahgunaan
wewenang? Penyalahgunaan wewenang menurut, Joeniarto, dalam bukunya Sumber-sumber Hukum
Tata Negara Indonesia seperti di kutip Taufiqurrohman Syahuri, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Pertama, penyalahgunaan wewenang sendiri; kedua, penyalahgunaan wewenang dari kewenangan
orang lain atau badan lain; ketiga, penyalahgunaan wewenang yang sebenarnya tidak ada kewenangan
semacam itu. Jika pengertian melakukan perbuatan diluar kewenangannya yang dilakukan oleh komisi
konstitusi seperti dimaksud di atas dihubungkan dengan pengertian 3 macam penyalahgunaan
wewenang tersebut, maka dapt disimpulkan bahwa perbuatan di luar wewenang tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa perbuatan di luar wewenangnya itu tergolng ke dalam pengertian ketiga.
 Dalam kenyataannya memang terbuktu bahwa kajian komprehensif dari anggota komisi konstitusi juga
menyangkut masalah redaksi dan sistematikanya seperti yang telah digambarkan pada tabel
sebelumnya.
 Namun demikian, jika ditinjau darui segi pasal 37 UUD 1945 dan perubahan-perubahannya, perbuatan
komisi knstitusi itu masih dapat dibenarkan, karena pada akhirnya yang berwenang mengesahkan
perubahan UUD Dasar 1945 adalah bukuan komisi konstitusi. Ternyata hasil kajian dari komisi ini
dilaporkan kepada MPR hasil pemilihan umum tahun 2004.
 Dari hasil persandingan UUD 1945 hasil amandemen dengan hasil kerja komisi
konstitusi dapat diinventarisir pasal-pasal yang berbeda dan dianalisis sebagai berikut:
1. Tentang MPR
2. Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara
3. Tentang kementerian Negara
4. Tentang Pemda
5. Tentang DPR dan DPD
6. Tentang Pemilu
7. Tentang Hal Keuangan
8. Tentang BPK
9. Tentang Kekuasaan Kehakiman
10. Tentang Wilayah Negara
11. Tentang Warga Negara dan Penduduk
12. Tentang HAM
13. Tentang Agama
14. Tentang Pertahanan Negara
15. Tentang Pendidikan dan Kebudayaan
16. Tentang Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial
17. Tentang Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan
18. Tentang Perubahan UUD
19. Disenting Opinion dari Anggota Komisi Konsitusi
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia.
Dilihat dalam sejarah perkembangannya setidaknya ada 4 jenis produk
hukum yang pernah berlaku di Indonesia yang dijadikan dasar hukum
sebagai hierarkhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, yang akan diuraikan berikut ini:
A. Dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
Dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia, tidak disinggung hal-hal
mengenai garis-garis besar tentang kebijakan Hukum Nasional, tetapi
TAP ini menentukan antara lain mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia, yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai Sumber
dari segala Sumber Hukum, dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia.
Dalam TAP MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Lampiran I
bahwa perwujudan sumber dari segala sumber Hukum Republik
Indonesia adalah:
1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
3. Undang-Undang Dasar;
4. Surat Perintah 11 Maret 1966
 Sedangkan dalam lampiran II tentang “Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945”, dalam huruf A
disebutkan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:
• UUD RI 1945;
• Ketetapan MPR;
• UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PerPu);
• Peraturan Pemerintah;
• Keputusan Presiden (Kepres);
• Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
 Peraturan Menteri;
 Instruksi Menteri;
 Dan lain-lainnya.
2. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam
Penjelasan autentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan
perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan-peraturan bawahan dalam negara.
3. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peratuan
perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada
peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi
tingkatannya.
 Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juga mengakui
adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-
lapis dan berjenjang-jenjang, di mana suatu norma
itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi dan diakui pula adanya norma
tertinggi yang menjadi dasar dan sumber-sumber
dibawahnya seperti dalam teori Hans Kelsen dan
Hans Nawiasky, sedangkan norma-norma hukum
yang termasuk dalam sistem norma menurut TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut
UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/PerPu, Kepres dan
Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Permen,
Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
 Berkaitan dengan TAP MPRS No. XX/MPR/1966 ini ada beberapa kritikan dari Maria
Farida antara lain sebagai berikut:
1. UUD 1945 tidak tepat kalau dikatakan sebagai peraturan perundang-undnagan oleh
karena UUD 1945 itu terdiri dari atas dua kelompok norma hukum: (1) Pembukaan
UUD 1945 merupakan Staats fundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara.
Norma Fundamental Negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat
pre-supposed dan merupakan landasan Filosofis yang mengandung kaidah-kaidah
dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara
garis besar dan merupakan nrma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh
norma hukum sekunder. (2) Selanjutnya, Batang Tubuh UUD 1945 merupakan
Staatgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara untuk
menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang-undangan yang mengikat
umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok dan
merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati oleh norma hukum sekunder.
2. Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesertz atau Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara. Seperti halnya Batang Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR ini juga berisi
Garis-garis Besar atau Pokok-pokok kebijaksanaan negara, sifat norma hukumnya
masih secara garis besar, dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati
oleh norma hukum sekunder.
Jadi, baik UUD 1945 yang terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuhnya maupun
Ketetapan MPR tidak termasuk dalam Peraturan Perundang-Undangan, tetapi
termasuk dalam staatsfundamentalnorm dan staatsgrundgesetz sehingga
menempatkan keduanya kedalam jenis Peraturan Perundang-undangan adalah
sama dengan menempatkannya terlalu rendah.
 “UUD dan Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan kedalam peraturan perundang-
undangan karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda dari pada norma yang
terdapat pada Undang-Undang. Para ahli menyebut norma semacam itu dengan staatsgrundgesetz,
diterjemahkan dengan Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara. Sifat-sifatnya sebagai norma
konstitusi ia mengatur lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi dalam negara tata cara pembentukannya
tata hubungan sesamanya dan lingkup tugas masing-masing, serta mengatur secara dasar tata
hubungan antara warga negara dan negara secara timbal balik. Hal itu membedakannya dari norma UU
yang selain mengarut warga negara dan penduduk secara langsung juga dapat melengkapkan sanksi
pidana dan sanksi pemaksa terhadap pelanggaran norma-normanya para ahli menyebut UU dengan
Formell Gesetz.
 Sebagai catatan perlu dikemukakan norma-norma hukum yang terdapat dalam Pembukaan dan Norma
yang terdapat dalam batang tubuh. Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan: Pokok pikiran yang
terdapat dalam pembukaan yang tidak lain melainkan Pancasila itu di satu pihak merupakan Cita Hukum
(Rechtsidee) dan dilain pihak merupakan Norma Tertinggi dalam negara oleh Hans Nawiasky disebut
Staatsfundamentalnorm (Diterjemahkan oleh Prof. Noto Nagoro dengan Pokok Kaidah Fundamental
Negara). Norma yang terdaat dalam Batang Tubuh Uud 1945 merupakan aturan dasar negara atau
aturan pokok negara. Norma-norma yang terdapat dalam TAP MPR juga merupakan aturan dasar
negara atau aturan pokok negara meskipun kedudukannya setingkat lebih rendah daripada norma-
norma dalam batang tubuh dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini melaksanakan
kewenangan selalu Konstituante yang berkedudukan “di atas” dalam arti lebih tinggi dari pada UUD
sedangkan norma-norma dalam TAP MPR dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini
melaksanakan kewenangan selaku Lemabga Penetap Garis-Garis Haluan Negara dan Selaku Lembaga
Pemilih (Electoral) Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan ketentuan-ketentuan UUD dan oleh
karena itu berkedudukan “di bawah” dalam arti lebih rendah dari pada UUD. Namun, sifat-sifat Norma
dalam baang tubuh UUD dan dalam TAP MPR sama jenisnya, itu sebabnya pula norma TAP MPR dapat
‘mengisi’ atau ‘melengkapi’ norma UUD.
3. Keputusan Presiden. Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini ditentukan bahwa
Keputusan Presiden yang termasuk dalam Peraturan Perundang-Undangan adalah yang bersifat
einmahlig. Penyebutan Keptusan Presiden itu dapat juga daurhaftig. Suatu Kepres yang bersifat
einmahlig adalah yang bersifat “penetapan” (beschikking), dimana sifat normanya individual,
konkret dan sekali selesai (einmahlig), sedangkan Norma dari suatu Peraturan Perundang-undangan
selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Dengan demikian,
sebenarnya yang termasuk Peraturan Perundang-Undangan adalah justru Keputusan Presiden yang
bersifat dauerhaftig (berlaku terus-menerus).
4. Peraturan Menteri sebaiknya diganti menjadi Keputusan Menteri oleh karena dengan penyebutan
Keputusan Menteri disini dapar berarti secara luas, yaitu baik yang berarti peraturan (regeling)
maupun yang berisi penetapan (beschikking). Selain itu, penyebutan Keputusan Menteri ini
dirasakan lebih konsisten dengan Keputusan Presiden.
TAP XX/MPRS/1966 Menyebutkan Peraturan Perundang-Undangan untuk presiden dengan
‘Keputusan Presiden’ dan untuk Menteri ‘Peraturan Menteri’ dan bagian lain menyebutkan bahwa
keputusan Presiden berisi Keputusan yang bersifat khusus (einmahlig). Apakah hal itu berarti secara
normatif terdapat perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dan ditetapkan oleh seorang Menteri? Apabila ya, dalam hal apa?
Apabila kata ‘keputusan’ diartikan bersifat einmahlig (sebaliknya diterjemahkan dengan ‘sekali
selesai’), maka Presiden tidak mengeluarkan Perturan karena peraturan tdak bersifat einmahlig
melainkan dauerhavtig, terus menerus obyek norma dapat berulang-ulang tidak tertentu
bilangannya. Dan apabila demikian, maka hal itu mengingatkan kita kepada UUD 1950 yang
menempatkan Presiden dalam kedudukan tidak dapat diganggu gugat atau can do wrong, padahal
menurut UUD 1945 presiden adalah Penyelenggara tertinggi Pemerintah Negara. Tetapi apabila
yang dimaksud dengan ‘keputusan’ ialah peraturan perundang-undangan, maka sebaiknya
digunakan istilah yang sama bagi peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden dan yang dikeluarkan
oleh Menteri, yakni Keputusan Presiden dna Keputusan Menteri dan Peraturan Presiden dan
Peraturan Menteri, meskipun alternatif terakhir ini dapat mengingatkan kita kepada Peraturan
Presiden yang lahir ketika Presiden masih menetapkan Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.
5. Penyebutan Instruksi Menteri sebagai Peraturan Perundang-Undangan adalah
tidak tepat oleh karena suatu instruksi itu bersifat individual dan konkret serta
harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat
dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum
abstrak, dan berlaku terus-menerus. Menurut Ruiter, sebuah norma (termasuk
norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut: (a) Cara keharusan berperilaku
(modusvanbehoren), disebut operator norma; (b) Seorang atau sekelompok orang
adresat (normdressat), disebut subjek norma; (c) perilaku yang dirumuskan
(normgederag), disebut obyek norma; dan (d) syarat-syaratnya (normconditis),
disebut kondisi norma. Dalam suatu instruksi adresat atau subyek norma ialah
orang atau orang-orang tertentu, dan perilaku yang dirumuskan atau obyek
norma bersifat sekali atau beberapa kali namun tertentu bilangannya. Oleh
karena itu, dalam suatu instruksi adresat yang terkandung di dalamnya bersifat
individual. Selain itu, dalam suatu instruksi terdapat hubungan organisasi antara
yang memberikan/mengeluarkan instruksi dan yang menerima instruksi, yaitu
hubungan atasan dan bawahan, sedangkan dalam Peraturan perundang-
undangan adresat atau subyek norma bersifat umum. Dengan kata lain, dalam
peraturan adresat atau subyek norma tidak tertentu dan perilaku yang
diatur/dirumuskan atau obyek norma dapat berulang-ulang/tidak tertentu
‘bilangannya’. Berdasarkan pertimbangan di atas, suatu instruksi (baik instruksi
Presiden maupun Instruksi Menteri) tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan
perundang-undangan.
6. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini tidak dimaksudkan Peraturan
Daerah sebagai Peraturan Perundang-undangan, padahal Peraturan Daerah juga
termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-undangan dan tidak selalu merupakan
peraturan pelaksanaan saja.
 Selain yang tersebut di atas, ada hal-hal yang harus diperbaiki, yaitu:
a. Istilah ‘tata urutan’ sebaiknya diganti dengan istilah “tata susunan’ oleh karena
istilah ‘tata susunan’ lebih mencerminkan suatu “hierarkhi” yang merupakan
adanya suatu tingkatan atau jenjang dari peraturan perundang-undangan yang
mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda.
b. Istilah “bentuk’ peraturan perundang-undnagan sebaiknya diganti dengan istilah
“bentuk” lebih menunjuk pada ciri-ciri lahiriah, sedangkan “jenis” berarti “macam”
dari peraturan perundang-undangan.
c. Istilah “perundangan” adalah tidak tepat. Sebaliknya digunakan istilah
“perundang-undangan” oleh karena UUD kita menyebutkan kata UU ntuk
peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sedangkan kalau
kata wet kita persamakan dengan “UU”, maka kita dapat menerjemahkan
wettelijke regeling dengan peraturan-peraturan berdasarkan UU atau peraturan
yang bersifat perundang-undangan. Istilah ‘perundang-undangan” yang digunakan
ialah terjemahan istilah belanda wettelijke regeling. Kata wettelijke berarti sesuai
dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wer pada umumnya diterjemahkan dengan
“uu” dan bukan dengan “undang”. Sehubungan dengan kata dasar “uu”, maka
terjemahan wettelijke regeling ialah peraturan perundang-undangan. Keberatan
terhadap istilah “peraturan perundang-undangan” sebagai terjemahan istilah
wettelijke regeling ialah karena arti kata “undang” dewasa ini tidak mempunyai
kaitan lagi dengan pengertian hukum kecuali kata “perundangan” dalam arti
pengumuman suatu peraturan negara dalam suatu terbitan khusus untuk itu
dilakukan dengan cara yang khusus pula, yang apabila tidak demikian peraturan itu
kehilangan kekuatan mengikatnya (afkondiging, romulgation).
d. Perkataan “dan lain-lainnya” adalah tidak tepat oleh karena disini
dapat diartikan secara luas atau apakah yang dimaksud disini
termasuk juga Keputusan Badan Negara atau Peraturan Perundang-
Undangan Tingkat Daerah?
“Dalam rumusannya mengenai jenis peraturan perundang-
undangan TAP XX/MPRS/1966 tidak menyebut secara limitatif apa
saja yang tergolong di dalamnya. Ia hanya mengatakan “dan lain-
lainnya” sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tidak terbatas
jumlahnya dan peraturan-peraturan lain pun disamakan dengan
peraturan perundang-undangan”.
Kiranya perlu diperhatikan, peraturan perundang-undangan hanya
dapat dibentuk oleh lembaga-lembaga yang memperoleh
kewenangan perundang-undangan (wetgevingbevoegheid), yaitu
kekuasaan untuk membentuk hukum (rehtsvorming). Dan mengenai
itu tidak semua lembaga memperolehnya. Pembentukan hukum
tidak tertulis memang dilakukan oleh Kepala-Kepala Adar melalui
putusan-putusan (beslissingen), tetapi pembentukan hukum tertulis
dilakukan melalui keputusan-keputusan (besluiten) yang terikat oleh
suasana kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang dan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
B. Dalam TAP MPR No. III/MPR/2000
Apabila didasarkan dan mengacu pada
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undanga ditegaskan dan
disebutkan beberapa jenis peraturan
perundang-undangan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu);
5. Peratun Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
 Selanjutnya dalam Pasal 3 Ketetapan MPR RI dimaksud, dijelaskan arti, fungsi, dan
kedudukan dari masing-masing bentuk produk hukum, sebagai berikut:
1) UUD 1945 merupakan hukumd asar tertulis Negara RI, memuat dasat dan garis besar
hukum dalam penyelenggaraan negara.
2) Ketetapan MPR RI merupakan putusan MPR sebagai pengemban kedaulatan rakyat
yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3) UU dibuat oleh DPR bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta
ketetapan MPR RI.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibuat oleh Presiden dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang
berikut.
b. DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan ridak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak DPR , Perpu tersebut harus dicabut.
5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah
undang-undang.
6) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi
negara dan administrasi pemerintahan.
7) Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum
diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat,
sedangkan tata cara membuat peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
 TAP MPR No. III/MPR/2000 secara materiil, materi muatannya memang lebih luas namun belum tentu
lebih baik dari sebelumnya. Sebagai suatu contoh: tentang pengertian sumber hukum adalah: sumber
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1). Apabila
ketentuan ayat (1) ini dikaitkan dengan ayat (2)-nya, nyata benar bahwa sumber hukum disini adalah
pengertian yuridis. Padahal dalam pengertian yuridis, sumber hukum itu tidak hanya sebagai bahan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Tetapi meliputi juga bersumber yang menjadi daya ikat
hukum atau mengapa orang mentaati hukum.
 Secara yuridis pengertian sumber hukum adalah hukum itu sendiri (tertulis dan tidak tertulis). Sumber
hukum adalah aneka ragam bentuk peraturan (tertulis dan tidak tertulis) sebagai tempat memuaskan
aturan hukum. Sebagai aturan hukum, sumber hukum tidak hanya bertalian dengan pembentukan
hukum, tetapi bertalian juga dengan pengakan dan pelaksanaan hukum (bahkan yang terlebih penting).
Hemat penulis ketetapan MPR ini juga belum memberikan pencerahan dari pengertian sumber hukum
itu sendiri. Jadi pengertian sumber hukum disini masih sama-sama kaburnya deng pengertian sumber
hukum yang diberikan ketetapan MPRS sebelumbya. Bahkan Proklamasi kemerdekaan RI (dalam arti
nilainya) tidak lagi disebut-sebut secara eksplisit sebagai salah satu perwujudan dari contoh sumber
hukum dalam arti materiil.
 Lebih-lebih pada Pasal 1 ayat (3) ketetapan MPR ini menggunakan terminologi yang mengkaburkan
membingungkan yaitu “sumber hukum dasar nasional”, yang dimaksudkan adalah Pancasila yag
terkandung dalam Pembukaan, dan Batang Tubuh UUD 1945. Percontohan Pancasila dalam kategori
hukum dasar, jelas-jelas salah. Sebab Pancasila itu bukan hukum dasar, karena pancasila itu bukan
norma hukum. Apabila jika dikaitkan dengan terminologi “hukum dasar” atau “norma dasar”
(Grundnorm) dalam pengertian Hans Kelsen, menjadi lebih salah lagi. Demikian halnya dnegan
percontohan UUD 1945, karena UUD 1945 bukanlah sumber hukum dasar. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) –
nya dijelaskan UUD 1945 itu mer upakan hukum dasarnya sendiri. Dalam hal ini kalaulah UUD 1945
akan dikategorikan sebagai hukum dasar, ia termasuk hukum dasar dalam pengertian sebagai konstitusi
yang di dalamny terdapat baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.
Dalam kapasitas pengertian yang terakhir ini, maka UUD 1945 leih tepat dikategorikan sebagai sumber
hukum formal yang menempati jenjang penormaan yang tertinggi dalam sistem ketatanegaraan RI.
C. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai
berikut:
1. UUD Negara RI Tahun 1945;
2. UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan
gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau
nama lainnya.
Undang-undang No. 10 Tahun 2004, terdapat beberapa
kelemahan atau kekurangan yang terkait dengan problematika
sumber hukum dan sumber tertib hukum yang mungkin muncul
atau ada.
 Pertama, pada bagian konsideran. Menurut ilmu pengetahuan
perundang-undangan, konsideran sebuah uu yang baik adalah paling
tidak menggambarkan adanya dasar pertimbangan filosofis mengapa
suatu uu itu dibuat dan untuk melindungi kepentingan siapa, dasar
pertimbangan sosiologis bahwa secara faktual masyarakat
menghendaki atau memerlukan bahwa masalah ini perlu diatur atau
mungkin ketentuan yang ada selama ini sudah tidak sesuai dengan
pertimbangan masyarakatnya. Perimbangan yuridis dengan
memperhatikan sumber hukum dan hierarki yang memadai. Juga
pertimbangan ekologis, ekonomis atau karena pertimbangan
kemajuan teknologi, dan/atau pertimbangan yang lain disesuaikan
dengan substansi yang diatur dalam suatu undang-undang yang akan
diatur.
 Pada bagian konsideran ‘menimbang’, UU No. 10 Tahun 2004 ini sama
sekali tidak menyinggung dasar pertimbangan filosofis mengapa uu ini
dibuat. Padahal pertimbangan masalh ini sangat penting, karena akan
dapat diketahui visi-misi tujuan (paradigma) uu ini dibuat. Demikian
halnya pada konsideran ‘mengingat’ dasar pertimbangan hukum yang
digunakannya tidak lengkap. Pembuat uu ini mungkin lupa, bahwa uu
ini diperlukan adanya karena sebuah amanat dari ketentuan Pasal 4
ayat (4) Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS RI Tahun 1960 s/d
tahun 2002.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003, jelas sekali dinyatakan bahwa Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-
undangan masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya uu.
Dalam hal ini ketetapan MPR No. I/MPR/2003 inilah yang menjadi
dasar pembentukan UU No. 10 tahun 2004, sebab ia telah
mengamanatkan atau mengatribusikan pembentukan uu ini.
Meskipun degan secara otomatis, setelah disahkan dan
diberlakukannya lagi dan kebetulan untuk era kedepan produk hukum
berupa Ketetapan MPR sudah tidak dikenal lagi (tetapi masalah yang
terkahir ii, masih debatable pada tataran konsep).
 Kalaulah pembentuk uu ini berpandangan bahwa UU No. 10 Tahun
2004 itu tidak mengatur masalah ‘sumber hukum dan tata urutan
perundang-undangan’ (tetapi mengatur masalah ‘pembentukan
peraturan perundangan-undangan’), alasan ini tidak berdasar.
Mengapa karena secara tegas pada batang tubuhnya yaitu Pasal 2
menyebutkan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum negara. Kemudian Pasal 7 ayat (1-4) disana mengatur masalah
hierarkhi peraturan perundang-undangan. Itu artinya, sebetulnya uu
ini juga mengatur maslah sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan (yaitu sebagai pengganti dari Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000).
 Kedua, pada batang tubuh khususnya Bab I Pasal I mengenai ketentuan umum.
Sebagaimana telah lazim dipahami bahwa Bab atau pasal tentang ketentuan umum
itu berisi tentang pengertian dan/atau penjelasan masalah-masalah mendasar atau
pokok yang diatur dalam suatu uu. Dalam Pasal 1 yaitu mulai dari ayat (1-12) UU No. 10
Tahun 2004 ini, tidak menjelaskan apa itu pengertian “Sumber Hukum” atau “Sumber
dari Segala Sumber Hukum Negara” dan juga pengertian “Hierarkhi Peraturan
Perundang-undangan’. Padahal nyata pada bagian batang tubuhnya mengatur
masalah ini (lihat Pasal 2 dan Pasal 7). Dengan kata lain problematika mengenai
sumber hukum dan tertb hukum yang dialami di era rezim Ketetapan MPR/MPRS
sebagaimana telah diilustrasikan di atas, akan cenderung terulang kembali diera ezim
uu yang baru ini.
 Ketiga, ketentuan mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara (lihat Pasal 2-nya). Menyebut istilah “sumber dari segala sumber hukum
negara”, disamping ‘berlebihan’ karena sebenarnya cukup dengan penyebutan
Pancasila sebagai sumber hukum materiil. Sebab sumber hukum materiil dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia itu seharusnya dimulai dari naskah Proklamasi baru
kemudian Pancasila (yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945) dalam knteks
sumber hukum materiil yang tertulis. Dan di luar itu masih ada sumber hukum tertulis
yang berupa; hukum adat, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, nilai-nilai
hukum yang riil hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan/atau yang lainnya.
 Demikian juga dengan penyebutan UUD 1945 merupakan “hukum dasar” dalam
peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 3-nya), adalah membingungkan sekaligus
mendangkalkan pengertian sebuah konstitusi atau UUD 1945 itu sendiri. Sebab, disatu
sisi dalambab satu ketentuan umum Pasal 1, tidak menjelaskan apa itu pengertian
‘hukum dasar’. Pada sisi lain pendefinisian UUD 1945 (dalam Pasal 3) tersebut adalah
salah tempat dan tidak benar. Kalaulah yang dimaksud oleh pembuat uu, ‘hukum
dasar’ itu adalah konstitusi atau UUD 1945. Itu pun belum sepenuhnya benar, karena
konstitusi itu terdiri dari hukum dasar tertulis dan hukum dasar yang tidak tertulis.
 Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) pernah mendiskripsikan dengan
baik bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. UUD ialah hukum dasar hukum tertulis, sedang di sampingnya
UUD itu berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun
tidak tertulis. Dari penjelasan tersebut maka ada beberapa macam kaidah
yang tercakup dalam pengertian dan sumber hukum ketatanegaraan yaitu
UUD, peraturan tertulis lain di luar UUD, dan hukum tidak tertulis.
 Jadi tepatlah apa yang disinyalir dalam teori konstitusi bahwa konstitusi itu
ada yang dikategorikan ke dalam ‘Documentary Constitution” dan ‘Non
documentary constitution’. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, jenis
konstitusi yang terdokumentasikan dalam dokumen resmi negara itu bukan
saja beruapa UUD 1945, tetapi termasuk juga ‘Naskah Proklamasi’, ‘Piagam
jakarta’, atau masih ada dokumen resmi negara yang lain. Saran konstruktif,
seharusnya pengertian ‘hukum dasar’, ‘konstitusi, dan UUD’ itu perlu
dimasukkan dalam bab dan pasal tentang ketentuan umum. Sebab istilah
‘hukum dasar’ seperti itu adalah berbeda jauh dengan “Hukum Dasar” atau
“Norma Dasar” (Grundnorm)-nya Hans Kelsen. Oleh karena itu, dalam
berbagai kesempatan menyebutkan grundnorm adalah grundnorm (tanpa
diterjemahkan secara leksikal). Hal ini dilakukan, semata-mata untuk
menghindari terjadinya kerancuan dalam istilah “hukum dasar” seperti yang
digunakan dalam uu ini, atau dalam berbagai literatur tata negara yang lain.
 Keempat, mengenai hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1-5) UU No. 10 Tahun 2004. Dalam uu ini,
Ketetapan MPR secara tegas tidak dimasukkan dari hierarkhi peraturan
perundang-undangan, hal ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan atau
keputusan MPR sendiri yang menghilangkan ketetapan MPR sebagai sebuah
produk hukum. Meskipun masalah ini, secara konsepsional masaih
menimbulkan pro-kontra, yaitu apakah mungkin sebuah lembaga yang
bersifat mengatur (regelingen) atau secara diam-diam masih mengeluarkan
produk hukum yang mengatur, lalu namanya apa atau disebut apa?
 Sedangkan pada Pasal 7 ayat (4)-nya dinyatakan bahwa jenis-jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan ayat ini sungguh mengaburkan makna dan menimbulkan multi tafsir
dikemudian hari. Sebab akan memungkinkan muncul penafsiran baru bahwa
Keppres yang bersifat mengatur dan ketetapan MPR yang bersifat mengatur,
atau mungkin peraturan menteri, keputusan menteri yang dahulu pernah
dikategorikan kedalam hierarkhi atau sebagai peraturan perundang-undangan
akan terjadi lagi. Ketentuan pasal maupun ayat yang meragukan dan multi
tafsir semacam ini seharusnya ditiadakan, karena hal ini akan mengurangi nilai
kepastian hukum itu sendiri. Meskipun Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 ini telah
menginstruksikan bahwa semua Keppres, Kepmen, Kepgub, Kepbup/Kebwali,
atau Keputusan pejabat lain yang bersifat ‘mengatur’ dan sudah ada sebelum
uu ini berlaku, harus dibacara ‘peraturan’ sepanjang tidak bertentangn dengan
uu ini.
 Kelima, mengenai dasar hukum atau sumber hukum yang menjadi rujukan dalam
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 44 ayat (2 dan 3)
UU. No. 10 tahun 2004 dijelaskan bahwa ketentuan mengenai penyusunan peraturan
perundang-undangan dan perubahannya akan ditentukan kemudian dengan
Peraturan Presiden. Persoalannya ‘Peraturan Presiden’ yang dimaksud uu ini belum
dikeluarkan oleh Presiden. Padahal menurut Pasal 54, teknik penyusunan dan/atau
bentuk Keppres, Kep. Pimpinan MPR dan DPR, Kep. MA, Kep. MK, Kep. Kepala BPK,
Kep. Gubernur BI, Kepmen, Kep. Kepala Badan atau yang setingkat harus
berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam uu ini.
Dalam uu ini, contoh mengenai teknik dan/atau bentuk penyusunan berbagai
ketentuan peraturan dimaksud sudah dilampirkan bersamaan degan diundangkannya
UU ini.
 Kalau tidak salah mencermati, Pasal 57 uu ini belum dan/atau tidak mencabut
keberlakuan berbagai ketentuan yang selama ini telah mengatur tentang teknik dan
penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat, seperti RUU, RPP dan
rancangan Keppres (yaitu berdasarkan Keppres No. 44 Tahum 1999), juga terhadap
beberapa ketentuan tentang tehnik, bentuk dan prosedur penyusuna produk-produk
hukum daerah (yang selama ini mengacu pada Kepmendagri No. 21-22-23-24 Tahun
2001).
 Dalam menghadapi dualisme ketentuan yang berlaku semacam ini bahkan yang
sempat menimbulkan antinomi hukum, maka hukum yang berlaku adalah yang
mengacu kepada ketiga asas pokok dalam peraturan perundang-undangan yaitu:
“Lex posterior derogat legi priori, lex spesialis derogat legi generalis, dan
lexsuperior derogat legi inferior.” Setelah mengacu pada ketiga asas ini, maka dasar
hukum yang digunakan dalam teknik dan bentuk penyusunan peraturan perundang-
undangan (baik ditingkat pusat atau di daerah) adalah mengacu pada ketentuan UU
No. 10 tahun 2004 beserta lampiran yang telah menjadi satu kesatuan dengan uu ini.
Tentu sambil menunggu dikeluarkannya Peraturan Presiden yang
dijanjikan/diamanatkan oleh Pasal 44 ayat (3) uu ini.
 Keenam, pada bagian penutup dimana pasal 57-nya
menyebutkan bahwa pada saat undang-undang ini
mulai berlaku, maka UU No. 1 Tahun 1950 tentang
jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat (butir a), UU No. 2 Tahun 1950
tentang menetapkan uu darurat tentang Penerbitan
Lembaga Negara RIS dan berita negara RIS dan
tentang UU Federal dan PP sebagai UU Federal
(lembaga Negara Tahun 1950 Nomor 1 butir b)
peraturan perundang-undangan lain (butir c) adalah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Padahal
Keppres dan Kepmendagri yang mengatur tentang
teknik, bentuk dan prosedur penyusunan peraturan
perundang-undangan (baik di tingkat pusat maupun
daerah) sebagaimana penulis jelaskan pada bagian
kelima di atas tidak disebut dengan tegas dan/atau
belum dicabut.
D. Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
Hierarkhi atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan terdapat dalam Pasal 7 yang terdiri atas:
a. UUD Negara RI 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Adapun di dalam konsideran bagian mengingat dari uu ini pada butir c
dinyatakan bahwa UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan
belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat
mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik sehingga perlu diganti. Dan dalam Pasal 102 uu ini menyatakan
bahwa, “bahwa saat uu ini mulai berlaku, UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
E. Menurut UU No. 15 Tahun 2019
Menurut UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di dalam
konsideran bagian menimbang butir c menyatakan,
“bahwa UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
masih terdapat kekurangan dan belum
menampung perkembangan kebutuhan
masyarakat sehingga perlu dirubah, namun untuk
tata urutan peraturan perundang-undangan
(hierarkhi) tetap mengikut pada Pasal 7 uu No. 12
Tahun 2011, hal ini dikarenakan UU.No. 15 Tahun
2019 tidak mencabut uu No. 12 Tahun 2011
melainkan melakukan perubahan, sehingga pasal
yang tidak dirubah oleh UU No. 15 ahun 2019 masih
tetap berlaku.
Referensi:
 Arifin, Firmansyah dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara Cet.1, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
Jakarta Pusat
 Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945 Cet.II, FH UII,Yogyakarta.
 ................................2006, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara Cet.II,
Konstitusi Press, Jakarta Pusat.
 ................................2012, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cet.II, Sinar
Grafika, Jakarta Timur.
 ................................2014, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia Cet.III, Sinar
Grafika, Jakarta Timur.
 Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia cetakan kesatu,
Refika Aditama, Bandung.
 Martosoewignjo, Sri Soematri, 2016, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sistem
Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan Cetakan Pertama,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
 Tauda, Gunawan A., 2012, Komisi Negara Independen Eksistensi Independent
Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta
Press,Yogyakarta.
 2015, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pustaka Baru
Press,Yogyakarta.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).

Anda mungkin juga menyukai