Anda di halaman 1dari 8

JAWABAN

Nomor 1A
a. Christian Van Vollenhoven
Hukum tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum
bawahan menurut tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau
lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan
masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta menentukan
pula susunan dan kewenangan badan-badan yang dimaksud.
b. Paul Scholten
Menurut Paul Scholten, hukum tata Negara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de
staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur mengenai tata organisasi Negara. Dengan
rumusan demikian, Scholten hanya menekankan perbedaan antara organisasi Negara dari
organisasi nonnegara, seperti gereja dan lain-lain.
c. J.H.A Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi Negara. Negara adalah
organisasi jabatan-jabatan. Jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan
fungsi merupakan pengertian yang bersifat sosiologis. Hukum tata Negara meliputi baik
persoonsleer maupun gebiedsleer, dan merupakan suatu kategori historis, bukan kategori
sistematis.
d. A.V. Dicey
Hukum Tata Negara mencakup semua peraturan yang secara langsung memengaruhi
distribusi atau pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat dalam Negara.
e. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan aturan hukum yang mengatur
organisasi daripada Negara, hubungan antar alat perlengkapan Negara dalam garis vertical
dan horizontal, serta kedudukan warga Negara dan Hak asasinya.
Nomor 1B
Hukum Tata Negara adalah segala prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang tertuang secara
tertulis ataupun yang tidak tertulis ataupun yang hidup dalam kenyataan praktik kenegaraan, yang
mengatur tentang nilai-nilai luhuru dan cita-cita kolektif rakyat suatu Negara, format kelembagaan
organisasi Negara, mekanisme hubungan antar lembaga Negara dan mekanisme hubungan antara
lembaga Negara dengan warga negaranya.
Nomor 1C
Perbedaan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dikaitkan dengan perbedaan
antara objek Negara yang dikaji, yaitu Negara dalam keadaan diam (staat in rust) atau dalam
keadaan bergerak (staat in beweging). Hukum tata negara memberikan tugas dan wewenang,
fungsi, jabatan, badan-badan lembaga pemerintahan, sedangkan hukum administrasi negaa bekerja
ketika badan atau lembaga pemerintahan tersebut akan menjalankan tugas dan wewenangnya.
Hukum tata negara memiliki hubungan yang sangat erat dengan hukum administrasi negara. Hukum
tata negara memberi tugas dan wewenang, jabatan pada badan pemerintahan ketika di jalankan.
Tugas dan wewenang secara ornanisatoris yang diperbolehkan dari hukum tata negara akan
dijalankan, oleh hukum administrasi negara mengaturnya. Hukum administrasi negara merupakan
tindak lanjut dari hukum tata negara, artinya tugas dan wewenang, fungsi, jabatan badan
administrasi di jalankan diatur dalam hukum administrasi negara.
Perbedaan Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara ialah Ilmu Negara membehasa teori-teori yang
umum mengesampingkan sifat-sifat khusus negara sedangkan Hukum Tata Negara (positif)
menyelidiki /membehas suatu system Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata Negara Inggris,
Hukum Tata Negara Belanda dsb, dengan memperhatikan sifat-sitfat khusus dari negara-negara
tersebut. Hukum Tata Negara Menguraikan pertumbuhan, Perkembangan dan susunan suatu system
alat-alat perlengkapan negara tertentu sedangkan Ilmu Negara mencurahkan perhatiannya pada hal-
hal yang bersifat menyeluruh yaitu berupa pengertian pokok atau sendi pokok. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Ilmu Negara memberikan dasar-dasar teoritis kepada Hukum Tata Negara
Positif dan Hukum Tata Negara merupakan kongkretisasi dari teori-teori Ilmu negara atau dengan
kata lain Hukum Tata Negara lebih bersifat praktis, sedangkan Ilmu Negara lebih bersifat teoritis.
Perbedaan dan hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik adalah ibarat tubuh manusia, ilmu
hukum tata Negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tulang belulangnya, sedangkan
ilmu politik ibarat daging-daging yang melekat di sekitarnya (het vlees er omheen beziet). Oleh
sebab itu, untuk mempelajari hukum tata Negara, terlebih dulu kita memerlukan ilmu politik,
sebagai pengantar untuk mengetahui apa yang di balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh
manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini, Negara sebagai objek studi hukum tata Negara dan
ilmu politik juga dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia yang terdiri atas daging dan tulang.
Bagaimanapun juga, organisasi Negara itu sendiri merupakan hasil konstruksi sosial tentang peri
kehidupan bersama dalam suatu komunitas hidup bermasyarakat.
Nomor 2A
a. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah.
Sedangkan konstitusi tidak tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu
pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur
dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa.
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (kaku)
Konstitusi fleksibel mempunyai ciri-ciri adalah: sifatnya elastis, artinya dapat disesuaikan
dengan mudah; dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah
undang-undang. Sedangkan konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok yaitu: memiliki
tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang; hanya dapat diubah dengan tata
cara khusus/ istimewa.
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (supreme and not supreme
constitution)
Konstitusi derajat tinggi, merupakan konstitusi yang mempunyai kedudukan sebagai yang
tertinggi dalam hierarki perundang-undangan, konstitusi derajat tidak tinggi adalah
sebaliknya bukan merupakan yang tertinggi dalam hierarki kedudukan perundang-undangan
Nomor 2B
Pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu Keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan. Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan
tujuan yang tertinggi. Tujuan yang tertinggi itu adalah keadilan, ketertiban dan perwujudan nilai-
nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama,
sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri Negara (the founding fathers
and mothers). Seperti halnya Indonesia, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang
termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu (i) melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) memajukan kesejahteraan umum; (iii) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia (berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial).
Nomor 2C
Memuat dokumen Nasional yang mengandung kesepakatan bersama, tentang politik, hukum,
pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan, dan aspek-aspek fungamental yang menjadi
tujuan bernegara; Merupakan sumber hukum Negara; terdapat identitas Nasional dan lambang
persatuan Negara, Pelindung HAM dan kebebasan warga Negara; Pengatur hubungan kekuasaan
antar organ Negara; Pemgatur Hubungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara;
pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan
kekuasaan Negara; Penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli kepada
organ Negara; Pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan kebangsaan, serta sebagai
center of ceremony; pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di
bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi; sarana perekayasa
dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform).
Nomor 2D
Konstitusi tentu saja dapat dirubah, karena sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara
sistematis mulai dari prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan
prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Dengan
kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam Undang-
Undang, mengingat agar dapat menampung dinamika perkembangan zaman, sehinga konstitusi
tidak lekas ketinggalan zaman (verounderd).
Ada tiga tradisi yang berbeda antara Negara satu dan Negara lainnya berkenaan dengan prosedur
perubahan konstitusi atau Undang-Undang Dasar, pertama, kelompok Negara yang mempunyai
kebiasaan mengubah materi Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan (insert) materi
perubahan itu ke dalam naskah Undang-Undang Dasar seperti Perancis, Jerman, Belanda. Kedua,
Kelompok Negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah Undang-
Undang Dasar, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman
Indonesia dengan konstitusi RIS, UUDS. Kemudian yang ketiga, perubahan konstitusi melalui
naskah yang terpisah dari konstitusi asilnya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua,
ketiga, keempat dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap
utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang
dijadikan addendum tambahan terhadap naskah asli tersebut, Amerika Serikat adalah Negara yang
mencontohkannya, lalu Indonesia mengikuti prosedur tersebut.
Prosedur perubahan UUD 1945 di Indonesia berdasarkan pasal 37 UUD 1945 adalah:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Nomor 3A
Pada dasarnya pemisahan kekuasaan Negara (separation of power) adalah kekuasaan Negara
terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun mengenai fungsinya yang
secara tidak langsung berjalan dalam suatu sistem tersetruktur. Sedangkan pembagian kekuasaan
(distribution of power) adalah kekuasaan Negara yang dibagi dalam beberapa bagian (legislative,
eksekutif, dan yudikatif) walau dalam pelaksanaannya dewasa ini sangat sulit membagi kekuasaan
tersebut secara murni dan konsekuen. Meskipun Jimli Asshiddiqie mengatakan bahwa saat ini kita
menganut system separation of power yang menganut prinsip checks and balance. Juga pada
kenyataannya kita tetap menganut antara separation of power dengan distribution of power. Dengan
berpatokan pada pembagian-pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Arthur
Mass. Di tingkat horizontal hubungan antara eksekutif, legislative dan judikatif tetap terjadi
pemisahan dari segi kewenangan masing-masing. Sedangkan istilah pembagian kekuasaan berlaku
dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah merupakan konteks pengertian
yang bersifat vertical sebagimana yang ditegaskan dalam pasal 18 UUD NRI tahun 1945.
Nomor 3B
Macam-macam kekuasaan negara di Indonesia diatur oleh UUD 1945 sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Berdasarkan UUD 1945, pembagian kekuasaan pasca amandemen secara horizontal
terdapat setidaknya enam kekuasaan lembaga Negara yang sejajar, antara lain ialah kekuasaan
Legislatif yaitu DPR (DPD belum sempurna), Kekuasaan konstitutif yaitu MPR, kekuasaan
Eksekutif yaitu Presiden, Kekuasaan Yudikatif yaitu MA, MK, dan Komisi Yudisial, Kekuasaan
eksaminatif/ inspektif yaitu BPK, Kekuasaan Moneter yaitu Bank Indonesia. Sedangkan dalam
kekuasaan vertical dapat dilihat adanya pembagian pemerintahan pusat dan daerah berdasarkan
pasal 18 UUD 1945.
Nomor 4A
Berkaitan berita yang disampaikan tersebut tidak sepenuhnya benar, bahwa Presiden Jokowi
merupakan potret dari representasi masyarakat sipil asli yang tidak memiliki keterkaitan apapun
dengan militer yang terpilih sebagai Presiden selama kurun waktu 2 (dua) periode ini di Indonesia.
Krisis kepercayaan yang terjadi di Indonesia, bukanlah berkaitan dengan kasus yang menyangkut
Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, atau tekanan dari kelompok fundamentalis kanan yang
merongrong kekuasaan, namun berkaitan dengan kebijakan perekonomian Nasional yang belum
kunjung membaik. Formula kebijakan PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan yang
semakin menyusahkan kelas buruh, dan kebijakan reforma agraria yang hanya menyasar pada
sertifikasi tanah saja, tidak menyasar untuk menyelesaikan ketimpangan tanah yang terjadi terhadap
kaum tani. Begitu juga mengenai soal-soal demokrasi, produk Undang-Undang KPK, RKUHP,
RUU PKS, RUU Pertanahan merupakan diskursus yang massif terjadi menolak segala bentuk
kebijakan tersebut. Adapun reformasi birokrasi masih terus ditingkatkan hingga saat ini, bahwa
untuk menciptakan budaya pemerintahan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik,
merupakan syarat mutlak untuk memangkas atau meminimalisir terjadinya praktik KKN di
Indonesia.
Nomor 4B
Sistem politik otoritarian maupun totalitarianism tidak akan mungkin bisa hidup dan tinggal di
bawah alam demokrasi. Sebab sistem politik otoriter, menghendaki kekuasaan di tangan satu orang,
menggunakan kekuasaan secara ororiter untuk mewujudkan keinginan individu tersebut, dan
memakasakan kehendak tersebut secara represif. Struktur kekuasaan yang terpusat, di mana
kekuasaan politik yang dihasilkan dan dikelola oleh sebuah sistem represif yang menentang
kebebasan demokratis. Sedangkan sistem totaliter adalah sistem politik di mana Negara biasanya di
bawah kendali orang politik tunggal, fraksi, atau kelas, tidak mengenal batas dengan
kewenangannya dan berusaha untuk mengatur setiap aspek kehidupan umum maupun pribadi.
Kedua kekuasaan tersebut cenderung akan menjadi kekuasaan yang Fasis.
Nomor 4C
Demokrasi langsung tidak hanya dimanifestasikan dalam praktik pemilihan umum secara langsung
saja, namun lebih dari itu demokrasi langsung harus memberi akses yang luas terhadap seluruh
rakyat agar dapat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan suatu Negara, ruang-ruang diskursus
dalam rangka mengakomodir setiap aspirasi masyarakat harus terus dibangun secara terus menerus,
salah satunya ialah memberi hak yang sama atas jaminan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapat. Eksekutif dan Legislatif sebagai perwakilan dan Rakyat, harus mampu
mentransformasikan kehendak rakyat atau konstituennya untuk diterjemahkan dalam setiap public
policy yang sejatinya memiliki keberpihakan terahadap masyarakat. Selain itu, demokrasi langsung
dapat diinterpretasikan juga bagaimana hak-hak dari setiap warga Negara dapat diakomodir secara
luas, hak atas pendidikan, pekerjaan yang layak serta ha katas kesehatan merupakan hal yang
mutlak harus dapat diwujudkan dalam konsep bernegara yang menganut paham Demokrasi.
Nomor 5A
Warga negara merupakan salah satu unsur dari negara yang harus dipenuhi untuk bisa disebut
sebagai sebuah negara. Pengaturan tentang kewarganegaraan merupakan suatu cara untuk
membedakan warga negara suatu negara tertentu dengan negara yang lain. Prinsip yang umum
dipakai untuk pengaturan kewarganegaraan sampai saat ini adalah prinsip “ius soli” yaitu prinsip
yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, dan prinsip “ius
sanguinis” yaitu prinsip yang mendasarkan diri pada hubungan darah. Bahwa proses
kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran
atau citizenship by birth, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau citizenship by
naturalization, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau citizenship by registration.
Nomor 5B
Masalah kewarganegaraan (citizenship) merupakan masalah yang nyata bagi seseorang dalam suatu
negara, karena hak dan kewajiban bayi baru lahir itu terkait dengan status kewarganegaraan.
Namun, perlu diingat bahwa negaralah yang pada akhirnya memberi batasan dan persyaratan
kewarganegaraan tersebut. Timbulnya dwi-kewarganegaraan adakalanya tidak selalu oleh
perbedaan antara peraturan kewarganegaraan masing-masing negara yang menganut asas perolehan
kewarganegaraan yang berbeda, namun dapat juga timbul apabila peraturan kewarganegaraan di
setiap negara seluruhnya sama.
Sehubungan dengan masalah dwi-kewarganegaraan, maka Konperensi Den Haag tahun 1930
tentang Konflik Undang-undang Nationaltitet berusaha mencari jalan keluar agar dapat mengatasi
masalah dwi-kewarganegaraan dengan dikeluarkannya beberapa ketentuan antara lain yang
menyatakan bahwa orang yang mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan dapat dianggap oleh
masing-masing Negara yang bersangkutan sebagai warganegaranya, tetapi negara yang satu tidak
dapat memberikan perlindungan diplomatik kepada orang tersebut, terhadap negara lainnya yang
mengakuinya sebagai warganaranya.
Sebagai asas (prinsipe, grondbeginsel) yang paling mendasar dan menjadi hukum positif, yang
berlaku sekarang, dan mendasari wewenang pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan , maka UUD 45 merupakan hukum
positif yang pertama dijadikan acuan dalam kaitannya dengan hal kewarganegaraan. Dalam rangka
penentuan nasionalisme warga Negara, ada beberapa hal dalam UUD 1945 yang perlu dikemukakan
sebagai berikut:
1. Dalam Pembukaan UUD-45 pada alinea ke empat ditegaskan bahwa kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila dimana salah satu silanya adalah
Persatuan Indonesia.
2. Sila Persatuan Indonesia dilatar belakang oleh sejarah rakyat yang panjang untuk
memperoleh kemerdekaan nasional. Sejarah perjuangan yang panjang dan berhasil,
berbarengan dengan cita-cita untuk membangun Indonesia yang berkepribadian, menjadi
landasan lahirnya semangat Kebangsaan. Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia
Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan
Negara diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Semangat Kebangsaan dan Persatuan
akan menyuburkan rasa cinta kepada tanah air, yang akan membangkitkan kemauan untuk
membela dan mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Dasar Kebangsaan
(nasionalisme) yang menjiwai sila Persatuan Indonesia dimaksudkan bahwa bangsa
Indonesia seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warganegara, tanpa
membeda-bedakan suku atau golongan serta berazaskan satu tekad yang bulat dan satu cita-
cita bersama. Semangat Kebangsaan dan persatuan dan persatuan yang membangkitkan
kemauan untuk membela dan mempertahankan negara tersebut diatur dalam pasal 30 ayat
(1) UUD 45.
Bab X UUD-45, dalam pasal 26 menyebutkan bahwa yang menjadi Warganegara ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
Warganegara. UUD-45 tidak mengatur warganegara-nya untuk mengatur dwi-kewarganegaraan,
karena sudah jelas-jelas sudah bertentangan dengan semangat kebangsaan dalam sila persatuan
Indonesia, yang menolak kosmopolitisme dan bertentangan dengan semangat jiwa patriotisme
untuk menempatkan kepentingan Negara dan Bangsa di atas kepentingan pribadi. Dwi
kewarganegaraan dapat berakibat melemahnya jiwa patrotisme kebangsaan, tidak setia dan tidak
sanggup/tidak rela berkoban untuk kepentingan negara dan bangsa. Rakyat Indonesia asli/pribumi
sejak jaman raja-raja yang menguasai wilayah nusantara tidak mengenal kosmopolitisme. Sultan
Agung Hanyokrokusumo sebagai raja Mataram, Sultan Agung Tirtayasa sebagai raja Banten, Sultan
Hasanudin sebagai raja Bugis, memimpin rakyatnya berdasarkan “Le Desir d‟etre ensemble” teori
Ernest Renan, dan teori Otto Bauer “Eine nation ist eine aus schiksalsgemeinscraft erwachsene
charactergemeneinscraft” , bahwa raja-raja itu memimpin takyatnya berdasarkan kesamaan
karakter, persamaan nasib dan persamaan perasaan. Apalagi di jaman Sriwijaya dan Majapahit yang
telah mengenal bentuk “Nationale staat”/kebangsaan berdasarkan Geo-Politik, persatuan antara
manusia dengan tempatnya kedua kerajaan itu justru bergerak kearah terbentuknya semagat
kebangsaan.
Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UUD 45, menyebutkan “Orang-orang bangsa lain, misalnya orang
peranakan Belanda, Peranakan Tionghoa, dan Peranakan Arab yang bertempat kedudukan di
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik
Indonesia dapat menjadi warga negara”. Sudah jelas dan menjadi ketentuan / syarat yang utama
bagi rakyat Indonesia keturunan asing, bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi
warga negara adalah bersikap setia. Sikap Bipatrit (memiliki kewarganegaraan rangkap) sudah pasti
bertentangan dengan azas kesetiaan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa UUD 45 tidak menghendaki adanya Bipatrid/Dwi
kewarganegaraan bagi rakyat Indonesia. Pemberian ijin untuk memiliki dwi kewarganegaraan sama
artinya memerintahkan rakyat Indonesia melalui MPR untuk merubah UUD-45.
Nomor 5C
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang kewarganegaraan, mengenai kewarganegaraan
pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang- Undang ini
merupakan suatu pengecualian. Karena itu, dalam memperhatikan ketentuan HAM, Undang-
Undang tersebut mengenal beberapa asas yang mencerminkan pelaksanaan dari UU 12 2006 yaitu:
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan
mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya
sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun
baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap
Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat
administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat di
pertanggungjawabkan kebenarannya.
5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal
yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin
dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan
memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.

Nomor 6A
Terminologi mengenai Demokrasi sudah menggema hampir semua Negara di penjuru dunia, bukan
hanya menjadi icon suatu Negara, melainkan juga sebagai simbol perjuangan setiap bangsa yang
berusaha mengakhiri tirani otoriterisme, termasuk Indonesia. Semangat perjuangan yang demikian
dapat dilihat dengan banyaknya Partai Politik atau organisasi kemasyarakatan yang menggadang
Demokrasi sebagai platform atau ideologinya. Disadari atau tidak, kondisi tersebut semakin
menempatkan Partai Politik di posisi penting dalam proses Demokasi di suatu Negara. Di Negara
Republik dengan sistem Demokrasi keterwakilan seperti Indonesia, Partai Politik memiliki peran
penting dalam upaya Negara mencapai tujuannya yaitu mensejahterakan Rakyat. Partai Politik
menjadi sangat fundamental bagi masyarakat di era Demokrasi saat ini, mereka menjadi perantara
antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai organisasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat,
Partai Politik menyerap, merumuskan dan menindaklanjuti apa yang menjadi kepentingan
masyarakat. Sedangkan sebagai organisasi yang kader-kadernya di lembaga legislatif dan eksekutif,
Partai Politik wajib menyampaikan dan bahkan mendesak kepentingan masyarakat tersebut, untuk
dibuat menjadi kebijakan pemerintah.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), demoralisasi, tindakan asusila, money politic,
diskriminasi, pengekangan kebebasan berekspresi, kemiskinan, upah rendah, gizi buruk,
pengangguran, pendidikan mahal, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), eksploitasi Sumber
Daya Alam (SDA), hutang luar negeri, dan sederetan persoalan lainnya, seolah-olah
menerjemahkan keberadaan Partai Politik mengalami inkonsistensi. Alih-alih sebagai pilar penegak
demokrasi, sebaliknya Partai Politik sudah jatuh dalam putaran lingkaran kekuasaan, cenderung
memihak kepentingan pribadi, korporasi dan oligarki kekuasaan.
Nomor 6B
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik.
Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi
politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political
recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andre
Knapp, fungsi partai politik itu menckup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan
pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv)
sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Mengenai tugas partai politik berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2011 ialah:
1. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mengembangkan kehidupan Demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
kedaulatan Rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
4. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Adapun tujuan khusus partai politik pada ayat (2) ialah:
1. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan politik dan pemerintahan;
2. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; dan
3. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Peran Partai politik hingga hari ini belum optimal disebabkan secara luas dari mulai instrumen
pemilihan sistem pemilu yang memaksa para peserta pemilu untuk mengeluarkan biaya yang begitu
besar, masih dipertahankannya sistem pemilu proporsional terbuka memberikan dampak yang
signifikan terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Kaderisasi dan pendidikan politik yang masih
bersifat ceremonial, tidak adanya platform atau ideologi yang jelas menyebabkan salah satu partai
politik tersebut tidak dapat maksimal mewujudkan tugas dan fungsinya. Adapun bantuan keuangan
yang belum dialokasikan sebagaimana mestinya menjadi salah satu alasan juga mengapa partai
politik tidak optimal, dan sebagainya.
Nomor 6C
Pemilihan umum di tingkat nasional dan pemilihan kepala daerah kerap kali menjadi sumber
korupsi di Indonesia. Hal itu disebabkan adanya korelasi atau hubungan saling ketergantungan di
antara politisi, penguasa, dan pengusaha yang melanggengkan perbuatan korupsi itu pada setiap
pemilu. korupsi merupakan salah satu dampak nyata bobroknya pelaksanaan sistem partai yang
dianut, terlebih dalam hal fungsi-fungsi partai. Fungsi yang hanya dijadikan sebatas formalitas,
menjadikan output yang dihasilkan pun hanya sebatas formalitas untuk mencapai elektabilitas.
Sehingga, setiap partai politik hanya mementingkan elektabilitas ketimbang kualitas dari partai itu
sendiri. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa adanya sebuah hubungan kausalitas antara
korupsi dengan proses kepartaian. Semakin lemah fungsi pengawasan dan pembinaan partai
terhadap kadernya, maka akan semakin tinggi pula kerugian negara yang dihasilkan dari aktor
korup yang berasal dari partai. Sederhananya, kerugian negara semakin banyak, kepercayaan
masyarakat pun akan semakin berkurang.
Permasalahan ini berpangkal pada syarat pendirian partai dan pemenuhan syarat formal dalam
kepersertaan partai dalam pemilu yang mahaberat. Akibatnya, setiap calon terpilih dalam pilpres
dan pilkada akan berlomba mendapatkan sumber penghasilan dari pengusaha ataupun dari birokrasi
agar bisa mengembalikan modal secara cepat. Kemudian rendahnya transparansi dan akuntabilitas
pembiayaan parpol. Hal ini mengakibatkan adanya persekongkolan antara pemberi dana dan para
politisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk balas budi yang sering kali
menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara. lemahnya integritas dan moralitas
pejabat partai. Terahir, proses pendidikan politik dan ideologisasi kader parpol yang tak selesai atau
tak matang mengakibatkan kader yang mudah terjebak pada gemerlap jabatan dan kekuasaan.
Selain itu, gaya hidup yang telanjur sangat tinggi, tuntutan tinggi untuk kontribusi bagi parpol, dan
budaya patronase dalam birokrasi turut membentuk karakter seorang pejabat publik dapat terjebak
dalam penyalahgunaan wewenang.

Anda mungkin juga menyukai