Anda di halaman 1dari 39

PERBANDINGAN KONSTITUSI

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN


DARI MASA KLASIK
SAMPAI MASA MODERN

Dr. HERMAN KADIR


A. Pengertian, Kedudukan dan Ruang Lingkup Konstitusi
Bahwa keberadaan konstitusi dari setiap negara merupakan fondasi
atau dasar dari keberadaan suatu negara yang diatur dalam setiap
ketatanegaraannya. Konstitusi merupakan haluan atau jati diri dari
keberadaan suatu negara yang terdapat dalam setiap sistem
ketatanegaraan di dunia ini. Hal terpenting dalam perbandingan hukum
tata negara adalah keberadaan suatu konstitusi yang digunakan oleh
suatu negara di dunia. Karena negara dipahami sebagai tatanan
hukum, konstitusi secara umum harus dibahas dari sudut pandang teori
politik dalam ketatanegaraan setiap negara. Konstitusi yang berlaku
pada setiap negara di dunia memang tidak sama. Hal ini disebabkan
konstitusi merupakan tatanan hukum nasional sehingga keberadaan
disesuaikan dengan norma, budaya, dan hukum dari suatu bangsa.
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Latin, yaitu constitutio yang artinya
undang-undang dasar. Dalam bahasa Prancis, istilah ini disebut
"constiture" yang berarti membentuk, dalam bahasa Inggris disebut
constitution yang berarti norma sistem politik yang dibentuk oleh
pemerintah negara, dalam bahasa Belanda disebut constitue, dalam
bahasa Jerman disebut vertassung, dan di Indonesia disebut dengan
undang-undang dasar.
Dikotomi (perbedaan) antara istilah konstitusi dan UUD, menurut Van
Apeldoorn, yaitu UUD adalah bagian tertulis, sedangkan konstitusi
memuat yang tertulis ataupun tidak tertulis. Sri Soemantri menyamakan
kedua istilah tersebut sesuai dengan praktik ketatanegaraannya,
termasuk Indonesia. Adapun menurut E.CS. Wade, UUD adalah
naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-
badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya
dan cara kerja badan-badan tersebut, Konstitusi merupakan sesuatu
yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik negara yang
sudah merdeka maupun bagi negara yang baru merdeka. Banyak
pengertian mengenai konstitusi yang dikemukakan oleh para ahli.
Untuk lebih jelasnya, pengertian konstitusi adalah sebagai berikut:
1. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga, yaitu: (a)
konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat
sebagai suatu kenyataan (Die Polische vervassung als
gessellshaftlich wirklichkeit), pengertian ini mengandung politis dan
sosiologis; (b) konstitusi merupakan kesatuan kaidah yang hidup
dalam masyarakat (die verselbstandigte rechtsvervassung),
pengertian ini telah mengandung pengertian yuridis; (e) konstitusi
yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang tertinggi
2. K.C Wheare mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu
negara.
3. CF. Strong memberikan konstitusi sebagai kumpulan asas yang
menyelenggarakan: (a) kekuasaan pemerintahan dalam arti luas; (b)
hak-hak dari yang diperintah; (c) hubungan antara pemerintah dan
yang diperintah.
4. Menurut Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaan yang
terdapat dalam masyarakat, seperti golongan yang memiliki
kedudukan nyata dalam masyarakat, misalnya kepala negara,
angkatan perang, dan partai politik.
5. Menurut Apeldoorn, konstitusi adalah norrna hukum yang memuat
peraturan tertulis dan tidak tertulis.
6. K.C. Wheare menjelaskan konstitusi secara garis besar dibedakan
dalam dua pengertian, yaitu: (a) istilah konstitusi dipergunakan untuk
menunjuk seluruh aturan mengenai sistem ketatanegaraan; (b) istilah
konstitusi menunjuk pada suatu dokumen atau beberapa dokumen
yang memuat aturan dan ketentuan tertentu yang bersifat pokok atau
dasar mengenai ketatanegaraan suatu negara.
7. Carl Schmitt membagi pengertian konstitusi dalam empat bagian
berikut.
a. CF. Strong memberikan konstitusi sebagai kumpulan asas
yang menyelenggarakan: (a) kekuasaan pemerintahan
dalam arti luas; (b) hak-hak dari yang diperintah; (c)
hubungan antara pemerintah dan yang diperintah.
b. Konstitusi dalam arti leratif, yaitu konstitusi yang
dihubungkan dengan kepentingan golongan tertentu.
Pengertian ini mencakup dua hal, yaitu: (1) konstitusi
sebagai tuntutan dari golonqan borjuis liberal agar hak-
haknya dijamin dan tidak dilanggar oleh penguasa; (2)
konstitusi dalam arti formal atau konstitusi tertulis.
c. Konstitusi dalam arti positif, yaitu keputusan politik yang
tertinggi tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik yang
disepakati oleh suatu negara.
d. Konstitusi dalam arti ideal karena ia merupakan idaman atau
cita-cita (golongan borjuis liberal) agar pihak penguasa tidak
berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.
J.G. Steenbeek sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam
disertasinya menggambarkan isi konstitusi adalah:
1. jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
negaranya;
2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara
yang bersifat fundamental;
3. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.

Jika membandingkan pendapat Steenbeek dengan


pendapat para pakar politik Inggris dan pakar hukum tata
negara, jelas bahwa pada dasarnya keberadaan konstitusi
untuk mengatur pembatasan kekuasaan pemerintah
dalam suatu negara agar tidak berbuat sewenang-wenang

terhadap rakyatnya.
Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar, sebagai
konstitusi, memuat ketentuan mengenai beberapa hal yaitu:
1. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah, dan
sebagainya;
2. hak asasi manusia;
3. prosedur mengubah undang-undang dasar;
4. larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang
dasar suatu negara.
Menurut A.A.H. Struycken, undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis merupakan dokumen formal yang berisi sebagai berikut:
1. hasil perjuangan politik bangsa pada waktu lampau;
2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak mewujudkan, baik
untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. keinginan yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin;

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian


konstitusi dan undang-undang dapat merujuk pada pengertian hukum
dasar suatu negara, yang dapat mengatur susunan organisasi
ketatanegaraan dalam pemerintahan suatu negara, menetapkan badan
negara dan cara kerja badan tersebut, menetapkan hubungan antara
pemerintah dan warga negaranya, dan mengawasi pelaksanaan
pemerintahan dari negara tersebut.
Konstitusi dan undang-undang dasar memiliki batasan yang berbeda walaupun
keduanya sarna-sama merujuk pada pengertian hukum dasar. Secara umum,
konstitusi merujuk pada pengertian hukum dasar tidak tertulis dan dapat diartikan
juga sebagai dokumen tertulis yang secara garis besar mengatur kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta lembaga negara penting lainnya,
sedangkan undang-undang dasar menunjuk pada pengertian hukum dasar tertulis.

Konstitusi lahir sebagai tuntutan dan harapan dari seluruh masyarakat untuk
mencapai suatu keadilan. Dengan didirikannya negara dan konstitusi, masyarakat
menyerahkan hak-hak tertentu kepada penyelenggara negara. Akan tetapi, setiap
masyarakat dalam negara tetap mempertahankan hak-haknya sebagai pribadi.

Negara dan konstitusi didirikan untuk dapat menjamin hak asasi manusia dari
masing-masing negara sehingga hak-hak itu menjadi titik tolak dari pembentukan
negara dan konstitusi. Konstitusi dari setiap negara memiliki kedudukan, fungsi,
dan tujuan masing-masing.

Keberadaan konstitusi ini berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari
negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa kepada
nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara
rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi
sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.
Dalam sejarahnya, peranan dan kedudukan konstitusi bergeser dari sekadar
penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan
penguasa menjadi senjata pamungkas bagi rakyat untuk mengakhiri kekuasaan
sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki. Kemudian, kedudukan
dan fungsi konstitusi ditentukan oleh
ideologi yang melandasi negara tertentu.

Dari perkembangan sejarah dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk


menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur
jalannya pemerintahan.lnggris yang tidak rnernpunyal UUD, tetapi mempunyai
konstitusi, konstitusi memuat aturan-aturan keorganisasian negara. Aturan
tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang dan dokumen negara lainnya,
seperti hukum hukum adat dan konvensi.

Pada negara yang bersifat demokrasi konstitusional, UUD memiliki fungsi yang
khas, yaitu untuk membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan hak-hak warga negara akan
terlindungi. Misalnya, di negara-negara komunis, UUD mempunyai fungsi ganda,
yaitu pada satu pihak mencerminkan kemenangan yang telah dicapai dalam
perjuangan ke arah tercapainya masyarakat komunis dan pericatatan formal dan
legal dari kemajuan yang telah dicapai. Pada pihak lain, UUD memberikan rangka
dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dalam tahap
perkembangan berikutnya.
Secara spesifik, C.F. Strong memberikan batasan tentang tujuan keberadaan
suatu konstitusi dalam suatu negara, yaitu rnernbatasi kesewenangan tindakan
dari pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Secara umum, setiap konstitusi
senantiasa mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. memberikan pembatasan dan penqawasan terhadap kekuasaan politik;
2. membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa serta menetapkan
bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.

Secara umum, materi konstitusi atau undang-undang dasar dari setiap negara
mencakup tiga hal yang fundamental, yaitu:
3. jaminan terhadap hak asasi manusia dan warganya;
4. ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
5. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.'

Dengan adanya pembatasan tersebut, pembatasan dan pembagian kekuasaan


dibagi menjadi tiga lembaga, yaitu:
6. lembaga legislatif, yaitu pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang;
7. lembaga yudikatif, yaitu pemegang kekuasaan di bidang kehakiman;
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konstitusi memiliki fungsi
untuk mengorganisasikan kekuasaan agar tidak dapat digunakan
secara paksa dan sewenang-wenang. Hal ini disebabkan konstitusi
dalam pengertiannya memuat nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip
klasik pemisahan kekuasaan, seperti yang dikemukakan oleh
Montesquieu. Selanjutnya, fungsi konstitusi dalam masyarakat itu
adalah menentukan batas-batas kekuasaan politik terhadap kebebasan
anggota masyarakat. Fungsi konstitusi dalam suatu masyarakat yang
bebas adalah menentukan prosedur serta alat-alatnya untuk
menyalurkan dan rnenyesuaikan pertentangan politik serta
pertentangan kepentingan yang terdapat dalam tubuh rnasyarakat.
C.F. Strong menyebutkan bahwa konstitusi terdiri atas beberapa macam, yaitu sebagai
berikut.
1. Konstitusi tertulis (documentary constitution atau written constitution), yaitu aturan
pokok dasar negara, bangunan negara dan tata negara, serta aturan dasar lain
yang mengatur perikehidupan suatu bangsa dalam persekutuan hukum suatu
negara.
2. Konstitusi tidak tertulis atau disebut juga konvensi (nondocumentary constitution),
yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul. Suatu konvensi dapat dlterirna
apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. diakui dan dilakukan berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara;
b. tidak bertentangan dengan UUD;
c. memerhatikan pelaksanaanUUD.

Secara teoretis, konstitusi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai
berikut.
3. Konstitusi politik, yaitu konstitusi yang berisi norma-norma dalam
penyelenggaraan, negara, hubungan rakyat dengan pemerintah dan hubungan
antar lembaga negara.
4. Konstitusi sosial, yaitu konstitusi yang mengandung cita-cita sosial bangsa,
rumusan filsufis negara, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang ingin
dikembangkan oleh suatu bangsa.
5. Konstitusi yang berdasarkan sifatnya, terbagi menjadi: (a) fleksibel atau luwes
apabila konstitusi atau undang-undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai
dengan perkembangannya; (b) rigid atau kaku apabila konstitusi dan undang-
Pada dasarnya semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian
karena kekuasaan pada intinya perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya.
Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi
dan berlakunya suatu konstitusi adalah sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara.

Setiap negara memiliki konstitusi, tetapi konstitusi yang dimiliki tidaklah sama. Sebagian
konstitusi dibuat dalam bentuk tertulis dan sebagian lagi tidak tertulis, sebagian terdiri atas
satu dokumen tunggal, dan sebagian lagi terdiri atas sejumlah dokumen yang terpisah,
sebagian mudah diubah dan sebagian lagi sulit diubah, sebagian terdiri atas sedikit pasal
(singkat) dan sebagian lagi terdiri atas banyak pasal (panjang), sebagian dibuat pada awal
kemerdekaan dan sebagian lagi dibuat beberapa kali dan sebagian menganut paham
konstitusionalisme dan sebagian lagi tidak menganut paham konstitusionalisme.

Konstitusi juga dapat dibedakan menjadi dua tipe apabila dilihat dari aspek pembatasan
kekuasaan pemerintahan, yaitu UUD yang mengadopsi paham konstitusionalisme dan UUD
yang tidak menganut paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme merupakan
pengendalian sistematik atas kekuasaan negara. Dalam pengertian klasik Aristoteles, istilah
konstitusi merujuk pada hukum, institusi, dan praktik nyata yang mengorganisasi dan
mengarahkan suatu pemerintah dan sistem politik.
Dalam pengertian ini setiap sistem politik memiliki konstitusi. Gagasan
konstitusionalisme selanjutnya dirangkai sebagai upaya membatasi kekuasan
agar tidak berperilaku sewenang-wenang dan korup. Lord Action
mengungkapkan, manusia mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan
tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tidak terbatas pula.
Berdasarkan hal tersebut, kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi the limited
state. Konstitusi menjamin hak-hak warga negara dan mengatur
penyelenggaraan negara dengan pembagian sedemikian rupa sehingga
kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan legislatif dan lembaga-
Iembaga yudikatif.

Carl J. Friedrich memberikan tafsiran pada konstitusionalisme sebagai


gagasan pemerintahan yang di dalamnya merefleksikan: “a set of activities
organized by and operated on behalf of the people, but subject to a series of
restraints which attempt to ensure that the power which is needed for such
governance is not abused bay those who ora called upon to do the governing”
(kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin
bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalah gunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah).
Menurut Annen Junji, konstitusionalisme adalah bentuk pembatasan terhadap
kekuasaan politik melalui suatu konstitusi. Senada dengan Junji, Lane
mendefinisikan konstitusionalisme sebagai doktrin politik, yang secara tegas
menyatakan bahwa otoritas politik harus dibatasi oleh lembaga yang
membatasi pelaksanaan kekuasaan. Scott Gordon menganggap
konstitusionalisrne sebagai sistem politik yang memberlakukan pembatasan
terhadap pelaksanaan kekuasaan politik. Walter M. Murphy mengemukakan
bahwa inti lainnya dari konstitusionalisme adalah perlindungan terhadap hak
asasi manusia. Menurut Charles Howard Mcilwain, seperti dikutip Denny
Indrayana, dikatakan:" ... in all its successive phases, constitutionalisme has
one essential quality: it is a teqal ttmttation on government; it is the antithesis
of arbitrary rule; its opposite is despotic government, the government of will
instead of law ... the most persistent and the most lasting essentials of true
constitutionalism still remains what it has been almost from the beginning, the
limitation of government by law." ("Kualitas penting dari konstitusionalisme
bahwa ia adalah pembatasan legal terhadap pemerintahan, ia adalah antitesis
dari kekuasaan yang sewenang-wenang, ia adalah kebalikan dari
pemerintahan yang despotis, pemerintahan yang dikehendaki bukan oleh
hukum. Esensi konstitusionalisme masih tetap sama sejak dahulu, yaitu
pembatasan pemerintahan oleh hukum").
Andrew Heywood memaknai konstitusionalisme dalam dua sudut pandang.
Dalam ruang lingkup yang sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan
sebatas penyelenggaraan negara yang dibatasi oleh undang-undang dasar.
Artinya, suatu negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme
jika lembaga-Iembaga negara dan proses politik dalam negara tersebut
secara efektif dibatasi oleh konstitusi. Dalam pengertian yang luas,
konstitusionalisme adalah perangkat nilai dan manifestasi dari aspirasi
politik warga negara, yang merupakan cerminan dari keinginan untuk
melindungi kebebasan, melalui sebuah mekanisme pengawasan, baik
internal maupun eksternal terhadap kekuasaan pernerintahan

Daniel S. Lev dalam studinya mengenai konstitusionalisme Indonesia dan


Malaysia memaknai konstitusionalisme sebagai proses politik, baik dengan
maupun tanpa konstitusi tertulis, yang berorientasi pada turan dan institusi
publik, yang dimaksudkan untuk menentukan batas penggunaan kekuasaan
politik. leblh lanjut, dikatakan konstitusionalisme, yang memiliki kedudukan
diatas rule of law dan rechtstaat, adalah paham “negara terbatas”, bahwa
kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang akan mengubah
kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum. Pada intinya
konstitusionalisme adalah suatu proses hukum yang mengatur masalah
pembagian kekuasaan dan wewenanq."
B. Konstitusi dan Konstitusionalisme Klasik

Pengertian konstitusi, konstitusional dan konstitusionalisme, inti maknanya


sama, tetapi penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala
ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau undang-undang dasar
suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang
ataupun penguasa yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi adalah
tidak konstitusional. Berbeda dengan konstitusionalisme, yaitu paham mengenai
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.

Konstitusi yang dipahami pada masa Yunani hanyalah merupakan kumpulan


peraturan dan adat kebiasaan. Pada masa kekaisaran Roma, pengertian
konstitusionalisme memperoleh tambahan arti sebagai kumpulan ketentuan
serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau
preator, termasuk pernyataan pendapat para ahli hukum atau negarawan, adat
kebiasaan setempat, dan undang-undang. Pemahaman ini mempunyai
pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Pada abad pertengahan,
corak konstitusionalismenya bergeser ke arah feodalisme. Dalam sistem feodal
ini, konstitusi mengandung pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan
tanah sehingga orang lebih tunduk kepada tuan tanah daripada raja yang
seharusnya memiliki status lebih tinggi.
Gagasan konstitusi klasik dimulai dari beberapa hal yang akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Politeia dan Constitutio
Gagasan kontitusionalisme klasik, yaitu politeia dan constitutio. Sejarah
klasik mencatat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
konsitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan
Latin constitutio yang berkaitan dengan katajus. Dalam kedua perkataan
itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat
manusia beserta hubungan antara kedua istilah tersebut dibandingkan.
Jika dibandingkan, istilah yang paling tua usianya adalah kata politeia
yang berasal dari kebudayaan Yunani.
Kemudian, seiring dengan banyaknya aspek dari hukum Romawi yang
dipinjam dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, istilah
teknis konstitusi juga dipinjam untuk menyebutkan peraturan eklesiastik
yang berlaku di seluruh gereja atau peraturan eklesiastik yang berlaku
digereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh sebab itu, kitab-
kitab hukum Romawi dan hukum gereja (karonik) sering dianggap
sebagai sumber rujukan atau referensi paling awal mengenai
penggunaan konstitusi dalam sejarah pada masa klasik tersebut.
2. Warisan Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles)

Pada masa ini, karya yang sangat terkenal yang berhubungan dengan
istilah konstitusi adalah karya Plato seperti Republic dan Nomoi, serta
dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang
memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan
konstitusionalisme.

Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi bergantung pada beberapa hal,


yaitu tujuan negara dan cara pernimpin menjalankan pemerintahannya.
Tujuan tertinggi dari negara adalah kehidupan yang baik dan hal ini
merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh
karena itu, Aristoteles membedakan antara konstitusi yang benar dan
konstitusi yang salah dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika
konstitusi itu diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama,
konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya
adalah konstitusi yang salah.
Konstitusionalisme merupakan mekanisme sentral untuk mengendalikan
kekuasaan politik dan menjamin kebebasan warga negara.
Konstitusionalisme adalah respons politik terhadap hasil pengamatan.

Konstitusionalisme mengakui adanya hukum yang lebih tinggi daripada


tindakan negara dan tindakan negara akan dinilai berdasarkan hukum
yang lebih superior tersebut. Konstitusionalisme bersifat unik dan
mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan dokumen tertulis
berdasarkan persetujuan publik yang tidak hanya secara jelas terlihat,
tetapi juga secara hukum dapat ditegakkan terhadap penyelenggara
negara. Konstitusionalisme memberikan status hukum pada sejumlah
prinsip pemerintahan yang adil.
Konstitusionalisme tidak bertujuan mernperlernah pemerintah, tetapi
mengendalikan dan menyalurkan kegiatan untuk mencapai kebaikan
bersama (public good). Konstitusionalisme merupakan lawan dari
kekuasaan politik yang absolut dan sewenang-wenang, terlepas dari
apakah kekuasaan itu diperoleh secara demokratik ataukah tidak.
Konstitusionalisme menegaskan sejumlah batasan terhadap hal-hal
yang dapat dikerjakan oleh pemerintah dan menciptakan sejumlah
institusi untuk mencegah pemerintah bertindak melanggar batasan
tersebut. Walaupun belum terinstitusi secara apik dan tegas yang
disebut sebagai konstitusionalisme, dalam sejarahnya, paham
konstitusionalisme pada dasarnya sudah hadir sejak tumbuhnya
demokrasi klasik Athena. Politeia yang menjadi bagian dari kebudayaan
Yunani merupakan embrio awal lahirnya gagasan konstitusionalisme,
yang dalam istilah politeia mengandung makna berikut:
“AII the innumerable characteristic which determine that state's peculiar
nature, and these include its whole economic and social texture as well
as matters governmental in our narrower modern sense. It is a purely
descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the
world constitution when we speak generally of man's constitution or of
the constitution of matter”
Hukum pada periode Yunani Kuno, seperti yang dikemukakan oleh Plato, Socrates,
dan Aristoteles pun mengakui hadirnya semangat konstitusionalisme dalam praktik
ketatanegaraan polis Athena. Aristoteles, dalam bukunya Politics, menyatakan, ("A
constitution (or polity) may be defined as the organization of a polis, in respect of its
offices generally, but especially in respect of that particular office which is souverign
in all issues”).

Sekalipun demikian, belum tegasnya pemisahan antara negara dan masyarakat


dalam model pemerintahan negara kota Athena, yang berarti warga negara sekaligus
menjadi pelaku kekuasaan politik yang memegang peran dalam fungsi legislatif dan
pengadilan mengakibatkan paham konstitusionalisme Yunani Kuno menjadi tidak
jelas. Kekaburan antara negara dan masyarakat dalam demokrasi murni, yang
menghendaki partisipasi secara langsung inilah, yang memicu penolakan Plato dan
Aristoteles terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, suatu negara yang menerapkan
demokrasi murni, dengan kekuasaan tertinggi berada ditangan suara terbanyak dan
kekuasaan menggantikan hukum, telah berpotensi melahirkan para pemimpin
penghasut rakyat yang menyebabkan demokrasi tergelincir menjadi despotisme."
Berawal dari kritik itulah, Aristoteles, pada masa Romawi Kuno, melahirkan gagasan
tentang arti penting sebuah konstitusi. Konstitusi diharapkan dapat mencerminkan
dan menyeimbangkan kepentingan dari semua golongan politik menjadi suatu
harapan. Pada periode Romawi Kuno, konstitusi mulai dipahami sebagai kekuatan di
atas negara dan aturan yang menjadi pedoman bagi bangunan kenegaraan, yang
hendak didirikan berdasarkan prinsip the higher law konstitusi.
3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)

Warisan Cicero (Romawi Kuno), Cicero mengembangkan karyanya, yaitu de


re publica dan de legibus adalah pemikiran tentang hukum yang berbeda
sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh para
filsuf Yunani. Selain itu, pada masa ini konstitusi juga dipahami sebagai
sesuatu yang berada di luar, bahkan di atas negara, tidak seperti
pada masa sebelumnya, yang memahami konstitusi sebagai lex yang
menentukan cara bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan
prinsip the higher law. Prinsip hierarki hukum juga semakin dipahami secara
tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.

Cicero juga menegaskan adanya "one common master and ruler of men,
namely god, who is the author of this law, its interpreter, and tis sponsor':
Tuhan bagi Cicero tidak ubahnya bagaikan tuan dan penguasa semua
manusia, serta pengarang atau penulis, penafsir dan sponsor hukum. Oleh
karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hukum dalam
pemahamannya tentang persamaan antarumat man usia. baginya konsepsi
tentang manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai political animal atau
insan politik, tetapi lebih utama adalah kedudukannya sebagai legal animal
atau insan hukum.
Jika disimpulkan, sejarah konstitusionalisme Romawi Kuno
sebagai berikut: (a) memahami konsepsi yang sebenarnya tentang
the spirit of our constitutional antecedents dalam sejarah, ilmu
hukum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya
sama pentingnya dibandingkan dengan sekadar perbincangan
mengenai materi hukum; (b) ilmu pengetahuan hukum yang
dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula
pertumbuhannya; (c) pusat perhatian dan prinsip pokok yang
dikembangkan dalam ilmu hukum Romawi bukanlah the
absolutisme of a prince sebagaimana sering dibayangkan oleh
banyak ahli, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu
bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi
kewenangan politik dalam satu negara. Dengan demikian,
rakyatlah dalam perkembangan pemikiran Romawi yang dianggap
sebagai sumber yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan.
C. Konstitusionalisme dan Piagam Madinah

Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat dilacak pada


peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan
kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan
berkembang pesat peradaban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas
pengaruh Nabi Muhammad SAW. banyak sekali inovasi baru dalam kehidupan
umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban.
Salah satunya adalah penyusunan dan penandatanganan persetujuan atau
perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk Kota Madinah untuk
bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang pada kemudian
hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern
sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai
Piagam Madinah (Madinah Charter). "Piaqam Madinah" dikenal dengan istilah
konstitusi tertulis pertama di dunia dan sangat luar biasa. Para ahli menyebutkan
Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt
menyebutnya dengan "the constitution of Medina': Nicholson menyebutnya
"charter". Majid Khadduri menggunakan perkataan "treaty': Zainal Abidin Ahmad
memakai perkataan Piagam, sebagai terjemahan kata "ash-shahifah“ yang
merupakan nama yang disebut dalam piagam itu sendiri.
Konstitusi Madinah merupakan terjemahan dari kata shahifah al- madinah, yaitu pasal-
pasal tertulis yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. untuk mengikat dan mengatur
masyarakat Madinah secara keseluruhan tanpa membedakan agama, suku, ataupun
ras.

Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa
klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam ini adalah piagam tertulis pertama.
Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW. dan wakil-
wakil penduduk Kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekah ke Yatsrib.
Yatsrib adalah nama Kota Madinah sebelumnya pada tahun 622 M. Nabi Muhammad
SAW. telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan
segenap warga Yatsrib (Madinah). Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW.
mengikat seluruh penduduk yang terdiri atas berbagai kabilah (kaum) yang menjadi
penduduk Madinah.

Penilaian Piagam Madinah sebagai konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton


Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University,
bahwa Piagam Madinah adalah hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi
Muhammad SAW. dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat
diubah dan diamandemen. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. adalah seorang
pemimpin yang mempunyai perhatian yang sangat besar untuk menstabilkan
masyarakat Madinah yang multietnis dengan mencetuskan konstitusi. Konstitusi yang
dimaksud adalah Piagam Madinah.
Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi Muhammad SAW. melalui Piagam
Madinah, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan
runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, tegaknya suatu konstitusi
mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW. mulai diakui sebagai
pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.

Banyak di antara penulis Muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah


merupakan konstitusi negara Islam pertama. Satu hal yang perlu dicatat
bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara.
Persoalan penting yang memerlukan pemecahan yang mendesak adalah
terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang
heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal
dari berbagai suku merupakan satu Komunitas (ummah). Hubungan
antara sesama warga yang Muslim dan yang non-Muslim didasarkan atas
prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam
menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama.
Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi,
yaitu ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada
konstitusi lnilah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan yang
pertama kali mencetuskan ide konstitusi.
Jika dilihat dalam teks konstitusi Madinah, isinya mengatur sistem
ketatanegaraan dari negara Madinah. Aturan tersebut mengikat dan
terdapat sanksi bagi pihak yang melanggarnya tersebut. Para pihak yang
mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi
perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 Mini ada tiga
belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks
Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (1) kaum Mukminin dan
Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (2) Kaum Mukminin dan
Muslimin dari Yatsrib, (3) Kaum Yahudi dari Banu 'Awf, (4) Kaum Yahudi
dari Banu Sa'idah, (5) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (6) Banu Jusyam,
(7) Kaum Yahudi dari Banu AI-Najjar, (8) Kaum Yahudi dari Banu 'Amr ibn
'Awf, (9) Banu al-Nabit, (10) Banu al-'Aws, (11) Kaum Yahudi dari Banu
Sa'labah, (12) Suku Jafnah dari Banu Sa'labah, dan (13) Banu
Syuthaybah. Mereka setia dan patuh untuk menggunakan landasan dan
hukum dari konstitusi Madinah tersebut.
D. Konstitusi dan Konstitusionalisme Modern
Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan
dalam bentuk UUD yang tertulis, yaitu UUD Amerika Serikat
(1787) dan deklarasi Prancis tentang hak-hak asasi manusia
dan warga negara (1789). Kedua naskah tersebut
memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-
negara lainnya. Diundangkannya UUD tertulis banyak
memengaruhi dan memberikan wawasan tentang perlunya
UUD sebagai konstitusi yang harus dimiliki oleh setiap negara
didunia. Akan tetapi, ada sebagian kecil negara yang tidak
memiliki UUD secara tertulis, seperti Inggris. Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa Inggris tidak memiliki konstitusi
karena sesuai dengan zaman modern konstitusi biasa lahir
dari adanya kebiasaan yang timbul dari praktik
ketatanegaraan.
Secara luas, konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat penyelenggaraan
ketatanegaraan dalam suatu negara. Pada dasarnya konstitusi modern
menganut pokok-pokok berikut:
1. jaminan hak-hak asasi manusia;
2. susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
3. pembagian pada pembatasan kekuasaan. Konstitusi dibuat oleh lembaga
khusus dan tinggi kekuasaannya.

Konstitusi juga sebagai sumber hukum tertinggi sehingga dijadikan patokan


untuk menentukan undang-undang, membuat kebijakan, serta membatasi
kewenangan penguasa dalam suatu negara. Dari sifat konstitusi yang flexible
dan rigid (kaku), konstitusi pada perkembangan modern dapat menyesuaikan
keadaan dalam suatu negara yang berhubungan dengan masyarakat
sehingga lebih menjamin hak-hak asasi masyarakat suatu negara.
Ketatanegaraan dituangkan sebagai bentuk kaidah hukum yang dapat
digunakan untuk membatasi kekuasaan yang di dalamnya mengandung
prinsip negara hukurn, pembatasan kekuasaan, demokrasi, dan jaminan hak-
hak asasi manusia dalam bentuk konstitusi. Pembatasan kekuasaan dapat
dilakukan melalui suprastruktur politik ataupun infrastruktur politik.
Dengan keberadaan konstitusi, rakyat dapat mengontrol kekuasaan penguasa dan
lebih berperan dalam keikutsertaannya dalam suatu lembaga negara. Secara
ringkas, konstitusi merupakan tujuan dan cita-cita suatu negara sampai saat ini.

Menurut William G. Andrews, tiga konsensus yang menjamin prinsip dasar


tegaknya konstitusionalisme pada zaman modern adalah sebagai berikut:
1. the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama);
2. the basis of government (kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara);
3. the form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk institusi-
institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan).

Dalam konteks Indonesia, Soedjatmoko, salah seorang anggota dewan


konstituante mengemukakan bahwa ciri-ciri dasar negara konstitusional adalah
sebagai berikut: "Fungsi konstitusi dalam masyarakat adalah menentukan batas-
batas daripada kekuasaan politik terhadap kebebasan anggota masyarakat itu.
Fungsi konstitusi dalam suatu masyarakat yang bebas adalah menentukan
prosedur serta alat-alatnya untuk menyalurkan dan menyesuaikan pertentangan
politik serta pertentangan kepentingan yang terdapat dalam tubuh rnasyarakat.
Jimly Ashiddiqie menguraikan bahwa di Indonesia konsensus
yang menjaga tegaknya konstitusionalisme adalah lima
prinsip dasar Pancasila, yang berfungsi sebagai landasan
filosofis-ideologis dalam mencapai dan mewujudkan empat
tujuan negara. Kelima prinsip dasar tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Perrnusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keempat tujuan negara yang harus dicapai meliputi:

1. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah


Indonesia;
2. meningkatkan kesejahteraan umum;
3. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dari konsensus yang berfungsi sebagai landasan filosofis-


ideologis itulah, selanjutnya disusun konstitusi Indonesia,
yang materi muatannya merupakan cerminan dari paham
konstitusionalisme yang dianut Indonesia.
E. Supremasi Konstitusi

Supremasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki


arti kekuasaan tertinggi. Jadi, supremasi konstitusi
merupakan kekuasaan tertinggi yang dlrniliki oleh sebuah
konstitusi. Tingginya kedudukan konstitusi dalam suatu
negara dapat dilihat dari dua aspek berikut:
1. aspek hukum memiliki derajat tertinggi karena dibuat oleh
badan pembuat undang-undang, dibuat atas nama,
berasal, dan dijamin oleh rakyat, serta ditetapkan oleh
badan yang diakui dan sah;
2. aspek moral, konstitusi berada di bawah nilai-nilai moral
sehingga boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal
dan etika moral.
Adanya prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum
terwujud dalam pembentukan norma hukum. secara hierarkis yang berpuncak pada
supremasi konstitusi. Secara empiris, penqakuan supremasi hukum terwujud dalam
perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.

Supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,


juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian
sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus dilaksanakan
melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan
kehidupan masyarakat. Dalam konsep konstitusi tercakup juga pengertian peraturan
tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi
kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
negara, mengatur hubungan antar organ negara itu, dan mengatur hubungan organ
negara tersebut dengan warga negara.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, sumber legitimasi konstitusi itu adalah
rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, berlaku tidaknya suatu
konstitusi ditentukan oleh raja. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai
constituent power, yaitu kewenangan yang berada di luar dan sekaligus diatas sistem
yang diaturnya. Oleh karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyat
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Dengan demikian, basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.

Penempatan konstitusi sebaqai sumber hukum tertinggi karena hal itu


dipandang merupakan hasil dari perjanjian yang dilakukan oleh seluruh
rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dengan demikian, landasan
keberlakuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat
itu sendiri. Rakyat adalah pemilik constituent power yang produknya
bukan hukum biasa, melainkan hukum tertinggi atau constituent act.
Sebagai hukum tertinggi, konstitusi harus dilaksanakan oleh seluruh
penyelenggara negara dan segenap warga negara, tanpa kecuali.
Supremasi konstitusi mengharuskan setiap lembaga penyelenggara
negara dan segenap warga negara melaksanakan UUD atau
konstitusinya. Lembaga yang dibentuk oleh konstitusi tidak membuat
kedudukannya lebih tinggi dari penyelenggara negara lain. kewenangan
tersebut dimiliki semata-mata karena dibentuk oleh konstitusi atau
undang-undang dasar suatu negara. Di negara Indonesia kewenangan
tersebut dimiliki oleh lembaga mahkamah konstitusi.
Secara
F. teoretis, konstitusi
Konstitusi sebagai dikonstruksikan sebagai hasil dari perjanjian
Pemersatu

sosial seluruh rakyat sebagai pernilik kedaulatan. Proses perjanjian


tersebut dilakukan melalui mekanisme demokrasi modern yang sering
disebut dengan demokrasi perwakilan. Dengan demikian, karena yang
berkehendak adalah pemilik kedaulatan, hasilnya mengikat seluruh warga
negara dan penyelenggara negara yang sudah diatur dalam setiap
konstitusi negaranya.

Jika dilihat dari sisi hukum, konstitusi mendapatkan legitimasi dari rakyat
yang berdaulat se.hingga merupakan sumber hukum yang tertinggi,
mengawasi pemerintah yang dibentuknya. Dilihat dari sisi materi,
konstitusi memuat tiga jenis kesepakatan dasar, yaitu:
1. kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama;
2. kesepakatan mengenai prinsip dasar sebagai landasan
penyelenggara negara;
3. kesepakatan mengenai institusi dan prosedur ketatanegaraan,
termasuk hak asasi manusia dan konstitusional warga negara yang
harus dijamin dan tidak boleh dilanggar dalam penyelenggaraan
negara itu sendiri.
Ketiga kesepakatan tersebut merupakan jalan untuk mempertemukan
berbagai latar belakang dan aspirasi rakyat yang berbeda-beda.
Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut tidak serta-merta dapat
dicapai, tanpa melalui proses dialog untuk menyamakan pemahaman,
saling memberi dan menerima. Dalam proses pembentukan kesepakatan,
selain kualitas proses dialog, diperlukan kuantitas dari masing-masing
komponen bangsa.

Denqan demikian, proses pembentukan kesepakatan yang termuat dalam


konstitusi tersebut, menempatkan konstitusi sebagai pemersatu
keragaman bangsa. Konstitusi menjadi rujukan besama, tidak hanya
dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga dalam membina kehidupan
berbangsa sebagai suatu bangsa. Setiap komponen bangsa, apa pun
perbedaannya, harus senantiasa menempatkan konstitusi negara sebagai
acuan dalam menjalani kehidupan bersama komponen bangsa lain yang
berbeda, baik perbedaan dari suku bangsa, bahasa, agama, maupun
keyakinan dan kepentingan politik.

Anda mungkin juga menyukai