terhadap rakyatnya.
Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar, sebagai
konstitusi, memuat ketentuan mengenai beberapa hal yaitu:
1. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah, dan
sebagainya;
2. hak asasi manusia;
3. prosedur mengubah undang-undang dasar;
4. larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang
dasar suatu negara.
Menurut A.A.H. Struycken, undang-undang dasar sebagai konstitusi
tertulis merupakan dokumen formal yang berisi sebagai berikut:
1. hasil perjuangan politik bangsa pada waktu lampau;
2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak mewujudkan, baik
untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. keinginan yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin;
Konstitusi lahir sebagai tuntutan dan harapan dari seluruh masyarakat untuk
mencapai suatu keadilan. Dengan didirikannya negara dan konstitusi, masyarakat
menyerahkan hak-hak tertentu kepada penyelenggara negara. Akan tetapi, setiap
masyarakat dalam negara tetap mempertahankan hak-haknya sebagai pribadi.
Negara dan konstitusi didirikan untuk dapat menjamin hak asasi manusia dari
masing-masing negara sehingga hak-hak itu menjadi titik tolak dari pembentukan
negara dan konstitusi. Konstitusi dari setiap negara memiliki kedudukan, fungsi,
dan tujuan masing-masing.
Keberadaan konstitusi ini berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari
negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa kepada
nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara
rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi
sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.
Dalam sejarahnya, peranan dan kedudukan konstitusi bergeser dari sekadar
penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan
penguasa menjadi senjata pamungkas bagi rakyat untuk mengakhiri kekuasaan
sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki. Kemudian, kedudukan
dan fungsi konstitusi ditentukan oleh
ideologi yang melandasi negara tertentu.
Pada negara yang bersifat demokrasi konstitusional, UUD memiliki fungsi yang
khas, yaitu untuk membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan hak-hak warga negara akan
terlindungi. Misalnya, di negara-negara komunis, UUD mempunyai fungsi ganda,
yaitu pada satu pihak mencerminkan kemenangan yang telah dicapai dalam
perjuangan ke arah tercapainya masyarakat komunis dan pericatatan formal dan
legal dari kemajuan yang telah dicapai. Pada pihak lain, UUD memberikan rangka
dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dalam tahap
perkembangan berikutnya.
Secara spesifik, C.F. Strong memberikan batasan tentang tujuan keberadaan
suatu konstitusi dalam suatu negara, yaitu rnernbatasi kesewenangan tindakan
dari pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Secara umum, setiap konstitusi
senantiasa mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. memberikan pembatasan dan penqawasan terhadap kekuasaan politik;
2. membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa serta menetapkan
bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.
Secara umum, materi konstitusi atau undang-undang dasar dari setiap negara
mencakup tiga hal yang fundamental, yaitu:
3. jaminan terhadap hak asasi manusia dan warganya;
4. ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
5. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.'
Secara teoretis, konstitusi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai
berikut.
3. Konstitusi politik, yaitu konstitusi yang berisi norma-norma dalam
penyelenggaraan, negara, hubungan rakyat dengan pemerintah dan hubungan
antar lembaga negara.
4. Konstitusi sosial, yaitu konstitusi yang mengandung cita-cita sosial bangsa,
rumusan filsufis negara, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang ingin
dikembangkan oleh suatu bangsa.
5. Konstitusi yang berdasarkan sifatnya, terbagi menjadi: (a) fleksibel atau luwes
apabila konstitusi atau undang-undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai
dengan perkembangannya; (b) rigid atau kaku apabila konstitusi dan undang-
Pada dasarnya semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian
karena kekuasaan pada intinya perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya.
Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi
dan berlakunya suatu konstitusi adalah sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara.
Setiap negara memiliki konstitusi, tetapi konstitusi yang dimiliki tidaklah sama. Sebagian
konstitusi dibuat dalam bentuk tertulis dan sebagian lagi tidak tertulis, sebagian terdiri atas
satu dokumen tunggal, dan sebagian lagi terdiri atas sejumlah dokumen yang terpisah,
sebagian mudah diubah dan sebagian lagi sulit diubah, sebagian terdiri atas sedikit pasal
(singkat) dan sebagian lagi terdiri atas banyak pasal (panjang), sebagian dibuat pada awal
kemerdekaan dan sebagian lagi dibuat beberapa kali dan sebagian menganut paham
konstitusionalisme dan sebagian lagi tidak menganut paham konstitusionalisme.
Konstitusi juga dapat dibedakan menjadi dua tipe apabila dilihat dari aspek pembatasan
kekuasaan pemerintahan, yaitu UUD yang mengadopsi paham konstitusionalisme dan UUD
yang tidak menganut paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme merupakan
pengendalian sistematik atas kekuasaan negara. Dalam pengertian klasik Aristoteles, istilah
konstitusi merujuk pada hukum, institusi, dan praktik nyata yang mengorganisasi dan
mengarahkan suatu pemerintah dan sistem politik.
Dalam pengertian ini setiap sistem politik memiliki konstitusi. Gagasan
konstitusionalisme selanjutnya dirangkai sebagai upaya membatasi kekuasan
agar tidak berperilaku sewenang-wenang dan korup. Lord Action
mengungkapkan, manusia mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan
tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tidak terbatas pula.
Berdasarkan hal tersebut, kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi the limited
state. Konstitusi menjamin hak-hak warga negara dan mengatur
penyelenggaraan negara dengan pembagian sedemikian rupa sehingga
kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan legislatif dan lembaga-
Iembaga yudikatif.
Pada masa ini, karya yang sangat terkenal yang berhubungan dengan
istilah konstitusi adalah karya Plato seperti Republic dan Nomoi, serta
dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang
memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan
konstitusionalisme.
Cicero juga menegaskan adanya "one common master and ruler of men,
namely god, who is the author of this law, its interpreter, and tis sponsor':
Tuhan bagi Cicero tidak ubahnya bagaikan tuan dan penguasa semua
manusia, serta pengarang atau penulis, penafsir dan sponsor hukum. Oleh
karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hukum dalam
pemahamannya tentang persamaan antarumat man usia. baginya konsepsi
tentang manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai political animal atau
insan politik, tetapi lebih utama adalah kedudukannya sebagai legal animal
atau insan hukum.
Jika disimpulkan, sejarah konstitusionalisme Romawi Kuno
sebagai berikut: (a) memahami konsepsi yang sebenarnya tentang
the spirit of our constitutional antecedents dalam sejarah, ilmu
hukum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya
sama pentingnya dibandingkan dengan sekadar perbincangan
mengenai materi hukum; (b) ilmu pengetahuan hukum yang
dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula
pertumbuhannya; (c) pusat perhatian dan prinsip pokok yang
dikembangkan dalam ilmu hukum Romawi bukanlah the
absolutisme of a prince sebagaimana sering dibayangkan oleh
banyak ahli, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu
bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi
kewenangan politik dalam satu negara. Dengan demikian,
rakyatlah dalam perkembangan pemikiran Romawi yang dianggap
sebagai sumber yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan.
C. Konstitusionalisme dan Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa
klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam ini adalah piagam tertulis pertama.
Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW. dan wakil-
wakil penduduk Kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekah ke Yatsrib.
Yatsrib adalah nama Kota Madinah sebelumnya pada tahun 622 M. Nabi Muhammad
SAW. telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan
segenap warga Yatsrib (Madinah). Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW.
mengikat seluruh penduduk yang terdiri atas berbagai kabilah (kaum) yang menjadi
penduduk Madinah.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, sumber legitimasi konstitusi itu adalah
rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, berlaku tidaknya suatu
konstitusi ditentukan oleh raja. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai
constituent power, yaitu kewenangan yang berada di luar dan sekaligus diatas sistem
yang diaturnya. Oleh karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyat
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Dengan demikian, basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Jika dilihat dari sisi hukum, konstitusi mendapatkan legitimasi dari rakyat
yang berdaulat se.hingga merupakan sumber hukum yang tertinggi,
mengawasi pemerintah yang dibentuknya. Dilihat dari sisi materi,
konstitusi memuat tiga jenis kesepakatan dasar, yaitu:
1. kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama;
2. kesepakatan mengenai prinsip dasar sebagai landasan
penyelenggara negara;
3. kesepakatan mengenai institusi dan prosedur ketatanegaraan,
termasuk hak asasi manusia dan konstitusional warga negara yang
harus dijamin dan tidak boleh dilanggar dalam penyelenggaraan
negara itu sendiri.
Ketiga kesepakatan tersebut merupakan jalan untuk mempertemukan
berbagai latar belakang dan aspirasi rakyat yang berbeda-beda.
Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut tidak serta-merta dapat
dicapai, tanpa melalui proses dialog untuk menyamakan pemahaman,
saling memberi dan menerima. Dalam proses pembentukan kesepakatan,
selain kualitas proses dialog, diperlukan kuantitas dari masing-masing
komponen bangsa.