Penyusun :
2022
Latar Belakang
Hukum tata negara merupakan suatu cabang ilmu hukum yang tidak
hanya mencakup kajian mengenai organ negara, fungsi dan mekanisme hubungan
antara organ negara tersebut, tetapi mencakup pula persoalan – persoalan yag
terkait mekanisme hubungan antara organ – organ negara dengan warga negara.
Dan hukum tata negara tidak hanya mempelajari negara dalam keadaan diam
(staat in rust) tetapi juga mempelajari negara dalam keadaaan bergerak (staat in
beweging)
Dalam makalah kali ini saya mendapat bagian untuk membahas salah
satu materi yang dibahas dalam hukum tata negara, yaitu konstitusi dan
konstitusionalisme. Suatu konstitusi sangatlah penting bagi sebuah eksistensi
negara di dalam dunia ini. Bahkan tiap kali diperhadapkan dengan berbagai
tuntutan tanggapan yang cepat bagi pemerintah guna mengatasi masalah dengan
cara membentuk undang – undang baru, konstitusi menjadi sebuah acuan yang
sangat wajib untuk selalu dipakai.
Untuk mengerti lebih dalam lagi mengenai konstitusi dan
konstitusionalisne kali ini makalah ini akan mencoba untuk mengulas dan
menganalisis dengan sebaik – baiknya dengan menggali dari berbagai referensi
yang valid.
PEMBAHASAN
Konstitusi
1
H. Dahlan Thaib, jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum konstitusi, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 6.
2
Tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991, hlm. 521.
3
Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta,
2012, hlm. 170.
Pengertian konstitusi menurut para ahli
4
H. Dahlan Thaib, jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori..., op.cit., hlm. 6
5
Ibid.., hlm. 8.
6
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2011, hlm. 17.
F. Lassalle. Dalam bukunya Uber Versfasssungswesen membagi
konstitusi dalam dua pengertian, yaitu :7
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip).
Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele
machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan
hubungan-hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata
dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya : raja, parlemen,
kabinet, pressure groups, partai politik , dan lain-lain; itulah yang
sesungguhnya konstitusi.
2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang
memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Dari sosiologis dan politis, Lassalle menganut paham bahwa konstitusi
sesungguhnya mengandung pengertian lebih luas dari sekedar Undang-Undang
Dasar. Tetapi dalam pengertian yuridis Lassalle terpengaruh dengan paham yang
menyamakan Undang-Undang Dasar dengan konstitusi.
Konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar seperti yang
dikemukakan oleh kedua tokoh diatas, beliau melihat dari praktik yang ada di
negara, dan Undang-Undang Dasar digunakan sebagai dasar untuk menjalankan
pemerintahan. Pernyataan ini dapat diperoleh jika kita melihat dari sisi kekuasaan.
Kekuasaan seorang pemerintah memang tidak tak terbatas, dan pembatasan-
pembatasan ini terkandung di dalam Undang-Undang Dasar.
Pengertian konstitusi bukan hanya sekedar Undang-Undang Dasar saja,
konstitusi lebih dari sesuatu yang tertulis saja. Konstitusi adalah hukum dasar
yang dijadikan patokan/pengangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Konstitusi dapat berupa suatu hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) yang
terkodifikasi dan disepakati dari hasil pencarian/penggalian nilai-nilai yang hidup
di masyarakat dalam suatu negara. Maka, Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma-norma dasar tidak tertulis yang
hidup di masyarakat sebagai kesepakatan dalam praktik penyelenggaraan negara
dapat dimasukan dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar.
7
H. Dahlan Thaib, jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori..., op.cit., hlm. 10.
Dan sepertinya para founding people yang menciptakan UUD 1945
menganut pemikiran sosiologis milik F. Lassalle. Sebab dalam penjelasan UUD
1945 mengatakan ― Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari
hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang
tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum
dasar yang tidak tertulis. Ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. Memang untuk
menyelidiki hukum dasar (droit constitutionelle) satu negara, tidak cukup hanya
menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constitutiinelle) saja, akan
tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana
kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu.‖
Seperti yang telah dibahas diatas bahwa kekuasaan pemerintah tidak tak
terbatas, dalam melaksanakan kegiatan kenegaraan (ketatanegaraan) semuanya di
dasarkan pada Undang-Undang Dasar. Semua konstitusi, selalu menjadikan
kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya
memang perlu dibatasi sebagaimana mestinya.8
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar atau
konstitusi. Jadi, dalam anggapan ini, konstitusi mempunyai fungsi yang khusus
dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi
(Supremation of Law) yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi oleh
pemerintah serta penguasa sekalipun.9 Dengan melihat dari pernyataan ini, dapat
diambil kesimpulan, pembatasan kekuasaan bisa dianggap sebagai ciri dari isi
konstitusi.
Keberadaan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi membawakan nilai
nilai yang berkenaan dengan efektivitas berlakunya ketentuan – ketentuan yang
terdapat dalam konstitusi tersebut
1. Nilai Normatif
Konstitusi dikatakan membawakan nilai normatif apabila konstitusi itu telah
resmi diterima oleh suatu bangsa, dan bagi mereka konstitusi itu bukan saja
8
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi..., op.cit., hlm. 17
9
H. Dahlan Thaib, jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori..., op.cit., hlm. 19.
berlaku dalam arti hukum tetapi juga sebagai kenyataan (reality), yang
artinya konstitusi itu bukan hanya berlaku secara formal melainkan juga
dilaksanakan dalam praktek penyelenggaraan negara.
2. Nilai Nominal
Konstitusi dikatakan membawa nilai nominal jika konstitusi itu secara
hukum berlaku tetapi kenyataannya kurang sempurna, sebab pasal-pasal
tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku dan
tergeser oleh munculnya kebiasaan ketatanegaraan.
3. Nilai Semantik
Suatu konstitusi mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara
hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk
memberikan bentuk dari temapat yang telah ada, dan dipergunakan untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi hanyalah sekedar istilah
saja sedangkan pelaksanaannya hanya dimaksudkan untuk kepentingan
pihak penguasa
Keberadaan konstitusi sering dibahas dalam konteks sifat yang
dibawakannya, yaitu apakah konstitusi itu rigid atau fleksibel. Rigid artinya sama
dengan kaku, sedangkan fleksibel artinya luwes. Untuk menentukan apakah
konstitusi itu rigid atau fleksibel biasanya digunakan dua macam ukuran atau
kriteria, yaitu :
1. Cara melakukan perubahan terhadap konstitusi.
2. Mudah atau tidaknya konstitusi itu menyesuaikan dengan perkembangan
jaman.
Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasal tentang perubahan,
karena kemungkinan akan tertinggal dari perkembangan masyarakat. Suatu
konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum yang merupakan dasar bagi
peraturan perundangan lainnya. Konstitusi yang bersifat fleksibel ialah dengan
pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan
konstitusi, karena untuk perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa,
cukup dilakukan oleh badan pembuat undang-undang biasa. Misal negara yang
mempunyai konstitusi bersifat luwes adalah New Zealand dan Inggris. Sementara
yang bersifat rigid atau kaku seperti Amerika, Kanada, Australia.
Karena tingkatannya yang lebih tinggi, konstitusi yang juga menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau
perumus undang-undang dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara
perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah pula orang
untuk mengubah hukum dasar negaranya. Kecuali apabila hal itu memang
sungguh-sungguh dibutuhkan karena pertimbangan objektif dan untuk
kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk sekedar memenuhi keinginan atau
kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Oleh karena itu biasanya
prosedur perubahan undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit
syarat-syaratnya sehingga undang-undang dasar yang bersangkutan menjadi
sangat rigid dan kaku. Konstitusi yang bersifat rigid menetapkan syarat perubahan
dengan cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bikameral, harus
disetujui lebih dahulu oleh kedua kamar parlemennya. Misal negara yang
mempunyai konstitusi bersifat rigid adalah amerika serikat, australia, kanada dan
swiss.
Dilihat dari cara merubah konstitusi, suatu konstitusi dikatakan rigid
apabila untuk melakukan perubahan diperlukan cara atau prosedur yang khusus
atau istimewa yang berbeda dari prosedur perubahan undang – undang biasa.
Sedangkan dikatakan fleksibel apabila untuk melakukan perubahan tidak
diperlukan cara atau prosedur yang istimewa, jadi perubahannya layaknya
mengubah undang – undang biasa. UUD 1945 termasuk pada konstitusi yang rigid
dimana dalam perubahannya diperlukan suatu prosedur yang spesial dengan
syarat yang diharuskan sesuai yang tercantum dalam pasal 37 UUD 1945. Jika
ingin mengubah UUD 1945, sidang MPR harus dihadiri minimal dua pertiga dari
jumlah MPR. Sedangkan keputusan perubahan minimal disetujui minimal oleh
dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Dan sebelum mengubahnya MPR
harus terlebih dahulu minta pendapat langsung dari rakyat.
Melihat dari mampu tidaknya menyesuaikan dengan perubahan zaman,
jika konstitusi sulit untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman maka suatu
konstitusi dikatakan rigid, jika konstitusi dengan mudah menyesuaikam dengan
perkembangan jaman maka dikatakan fleksibel.
Konstitusionalisme
“a set of activities organized by and operated on behalf of the people, but subject
to a series of restraints which attempt to ensure that the power which is needed
for such governance is not abused bay those who ara called upon to do the
governing ~ suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama
rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak
disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.‖
10
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi..., op.cit., hlm. 18.
John Alder, mengungkapkan bahwa the rule of law dan pemisahan
kekuasaan (separation of powers) sebagai dua aspek utama yang menegakkan
konstitusionalisme, hukum harus membatasi kekuasaan pemerintahan. Secara
lengkap dikatakan, ―the concepts of the rule of law and the separation of powers
are aspects of the wider notion of ‘constitutionalism’, that is, the idea that
governmental power should be limited by law.‖
Sedangkan menurut Annen Junji, konstitusionalisme ialah sebuah bentuk
pembatasan terhadap kekuasaan politik melalui suatau konstitusi. Senada dengan
Junji, Lane mendefinisikan konstitusionalisme sebagi doktrin politik, yang secara
tegas menyatakan bahwa otoritas politik harus dibatasi oleh sebuah lembaga yang
membatasi pelaksanaan kekuasaan.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Scott Gordon, yang menganggap
konstitusionalisme sebagai suatu sistem politik yang memberlakukan pembatasan-
pembatasan terhadap pelaksanaan kekuasaan politik. Melengkapi pendapat
sebelumnya, Walter M. Murphy mengemukakan bahwa inti lainnya dari
konstitusionalisme adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya William G. Andrews membagi pembatasan kekuasaan (limited
government), menjadi dua tipe. Kedua tersebut meliputi hubungan antara
pemerintah dengan warganegara, dan hubungan antara lembaga pemerintahan
yang satu dengan yang lain—under constitutionalism, two types of limitations
impinge on government. Power proscribe and procedures prescribed—kekuasaan
melarang dan prosedur ditentukan
Kekuasaan itu sebenarnya berasal dari rakyat, tetapi oleh karena rakyat
menyadari bahwa setiap orang diperbolehkan menggunakan hak-haknya
sekehendaknya sendiri tentu akan timbul kekacauan, maka rakyat menyerahkan
sebagian hak-haknya kepada penguasa. Sekalipun demikian jika rakyat
diperlakukan sewenang-wenang maka berdasarkan teori itu, rakyat berhak pula
merampas kembali kekuasaan itu dari tangan penguasa.11
11
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008,
hlm. 174.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)
di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara.12 Kesepakatan ini menjamin tegaknya eksistensi konstitusionalisme dalam
suatu negara. Jika dalam prakteknya kesepakatan ini dilanggar, maka legitimasi
kekuasaan yang telah diberikan keapada organ-organ negara juga akan hilang.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman
modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kespakatan
(consensus), yaitu13:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of
society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form
of institusions and procedures).
Suatu negara dalam proses terbentuknya tentu memilki tujuan atau yang
hendak dicapai kedepannya. Tujuan ini termasuk dalam salah satu poin penjamin
tegaknya konstitusionalisme di dalam suatu negara. Tujuan inilah yang menjadi
alat penyatu suatu negara di tengah perbedaan yang begitu bermacam-macam.
Kesepakatan ini di Indonesia tercermin dengan jelas dalam kelima sila Pancasila
yang menjadi dasar ideologis dalam menjalankan negara.
Yang kedua tentang rule of law as a basis of government, dalam
menjalankan pemerintahan yang berkuasa adalah hukum. Di Indonesia kita dapat
mengetahui bahwa rule of law as a basis of government tercermin jelas dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ―Negara Indonesia adalah negara
hukum.‖ Tampak jelas bahwa di dalam negara kita tidak hanya menganut
rechtstaat, tetapi juga menganut the rule of law dan sistem hukum lainnya dengan
inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai paradigma
negara hukum Pancasila.14 Di Indonesia kedua istilah ini dituntut mampu
dilaksanakan dalam kegiatan bernegara, contoh, bagi seorang hakim dalam
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi..., op.cit., hlm. 20.
13
Ibid., hlm. 21.
14
Moh Mahfud MD, Konstitusi..., op.cit., hlm. 94.
menjatuhkan sebuah putusan bagi seorang tersangka dituntut untuk mampu sesuai
dengan undang-undang (rechtstaat) dan juga mampu menggali hukum tak tertulis
yang ada di masyarakat untuk mencapai suatu keadilan (rule of law).
Akan tetapi rule of law yang dimaksud dalam kesepakatan yang kedua
tersebut bukan hanya dalam artian tersebut saja, rule of law as a basis of
government dapat diartikan bahwa hukum sebagai pegangan dalam menjalankan
kegiatan bernegara, konstitusi dianggap sebagai hukum yang tertinggi dan harus
berdasarkan hukum, sehingga semua kegiatan bernegara yang tidak konstitusional
dianggap menyimpang, dan harus kembali kepada hukum dasar yang telah
disepakati.
Yang ketiga tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. Dalam
suatu negara terdapat organ-organ (lembaga) negara yang memiliki fungsi, hak
dan kewajiban masing-masing. Siapapun yang menjalankan suatu fungsi yang
ditetapkan oleh tatanan hukum merupakan sebuah organ negara.15 Saat semua
lembaga negara melakukan tugasnya terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan,
kedudukan lembaga tersebut, prosedur dalam pelaksanaan kewajiban dan
fungsinya, hubungan dengan lembaga negara yang lain, dan hubungan dengan
warga negara.
Ketiga kesepakatan itu menjelaskan bahwa konstitusionalisme
mengandung artian bahwa konstitusionalisme adalah paham pembatasan dan
pengaturan kekuasaan serta penjaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Sementara Jimly Asshiddiqie menguraikan, bahwa konsensus yang
menjaga tegaknya konstitusionalisme Indonesia adalah lima prinsip dasar
Pancasila, yang berfungsi sebagai landasan filosofis-ideologis dalam mencapai
dan mewujudkan empat tujuan negara. Kelima prinsip dasar tersebut adalah: (1)
ke-Tuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (3)
Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Sedangkan keempat tujuan negara yang harus dicapai meliputi: (1)
15
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,
Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 276
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesai; (2)
meningkatkan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4)
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Berangkat dari konsensus yang berfungsi sebagai landasan
filosofis-ideologis itulah selanjutnya disusun konstitusi Indonesia, yang materi
muatannya merupakan cerminan dari paham konstitusionalisme yang dianut
Indonesia.
16
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar..., op.cit., hlm. 177-178.
unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator
seperti Hitler.
5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara
dan lembaga negara tanpa kecuali.
17
H. Dahlan Thaib, jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori...,loc.cit., hlm. 54-55.
18
Ibid., hlm. 55
Di indonesia sendiri kita memiliki Pancasila dan UUD 1945 yang dapat
mempersatukan kita di tengah perbedaan wilayah, suku, bahasa, ras, agama,
golongan, latar belakang, warna kulit, dan masih banyak lagi.
Pancasila merupakan dasar utama kesepakatan berdirinya bangsa dan
merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah karena selain
merupakan modus vivendi ia juga dapat dianggap sebagai ―akte kelahiran‖ negara
yang menjamin kelangsungan bangsa dan negara Indonesia dengan keutuhannya
atau integrasinya yang selalu kokoh.19
Maka dari itu konstitusi dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan dan bagai pondasi rumah yang menopang kuat. Konstitusi akan
menjadi dasar dari segala kegiatan kenegaraan dalam suatu negara dan menjadi
penuntun untuk mencapai tujuan negara dalam menghadapi perubahan zaman.
Kesimpulan
19
Moh Mahfud MD, Konstitusi..., op.cit., hlm. 37.
terkodifikasi dan disepakati dari hasil pencarian/penggalian nilai-nilai yang hidup
di masyarakat dalam suatu negara. Maka, Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma-norma dasar tidak tertulis yang
hidup di masyarakat sebagai kesepakatan dalam praktik penyelenggaraan negara
dapat dimasukan dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar.
Isi dari Konstitusi haruslah memuat tentang politik, sosial dan ekonomi,
agar ketiga aspek ini mampu tumbuh secara berdampingan dan berimbang demi
mencapai keadilan, kebebasan, dan kemakmuran. Sehingga fungsi konstitusi yang
adalah hukum tertinggi dalam negara mampu terealisasikan dengan nyata.
Konstitusionalisme adalah sebuah penerapan isi dari konstitusi dalam
bernegara berupa pembatasan terhadap kekuasaan, pengaturan hubungan antara
organ negara dengan warga negara, dan hubungan antara organ negara yang satu
dengan organ negara yang lain.
Daftar Pustaka