Anda di halaman 1dari 9

Nama : Mavelda Regina Rangkoly

Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjut


Semester / Kelas : III / B
Dosen : Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., M.H.
Dr. Mas Putra Zenno J., S.H., M.H.

SOAL

1. Jelaskan dimana pengaturan ajaran samenloop atau concursus?


a. Jelaskan pula definisi yang mana yang paling penting dalam ajaran concursus? Mengapa
demikian?
b. Jelaskan apa syaratnya suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan berlanjut?
c. Jelaskan stelsel pemidanaan dari ajaran concursus?

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan recidive, serta jelaskan pula jenis-jenisnya? Menganut
recidive yang mana KUHP kita? Sebutkan pula syarat-syarat serta pengaturannya baik yang
ada dalam KUHP maupun RUU KUHP?

3. Sebutkan dan jelaskan alasan-alasan hapusnya kewenangan menuntut dan kewenangan


menjalankan pidana yang terdapat di dalam KUHP dan di luar KUHP! Jelaskan pula
hapusnya
kewenangan menuntut dan menjalankan pidana sebagaimana diatur pada RUU KUHP?

4. Jelaskan siapa yang berhak mengadukan dan bagaimanakah tenggang waktu pengajuan dan
penarikan atas pengaduan apabila melihat ketentuan Pasal 72 sampai dengan Pasal 75
KUHP?

5. Jelaskan yang Saudara ketahui mengenai lembaga afkoop dan bagaimana prospek lembaga
ini
ke depan dalam rangka pembaruan hukum pidana?
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Grasi? Jelaskan pula syarat-syarat dan jangka waktu
pengajuannya? Serta apabila Grasi telah diberikan oleh Presiden, apakah dapat dicabut
kembali? Jawaban disertai dasar hukumnya!

JAWABAN :

1. Bab VI Buku I KUHP (Pasal 63 s/d 71), yang terdiri dari :

1. Perbarengan Peraturan (Concursus Idialis/


Eendaadse Samanloop) Pasal 63 KUHP
2. Perbuatan Berlanjut (Delictum Continuatum
Voortgezettehandeling) Pasal 64 KUHP
3. Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis/
Meerdaadse Samenlop) Pasal 65 s/d 71 KUHP.

1a. Simons mengartikannya

secara umum dan lebih luas yaitu : ”tidak berarti harus


ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”, perbuatan-
perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan
dalam rangka pelaksanaan satu tujuan.

1b. Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling)

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-
perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus
dianggap sebagai perbuatan lanjutan. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan- perbuatan itu
ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:
1. Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan;
2. Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya;
3. Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Batas tenggang
waktu dalam perbuatan berlanjut tidak di atur secara jelas dalam undang-undang.
Meskipun demikian jarak antara perbutan yang satu dengan yang berikutnya dalam
batas wajar yang masih menggabarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si
pembuat tersebut ada hubungan baik dengan tindak pidana (sama) yang di perbuat
sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula.

menurut Pasal 64 ayat 1 pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi yaitu hanya
dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang
memuat ancman pidana pokok yang terberat.

1c. Stelsel (sistem) Pemidanaan Concursus :

1. Absorsi Stelsel / sistem absorsi / hisapan :

a. Zuivere absorptie stelsel / sistem absorsi murni

b. Verscherptie absorptie stelsel / sistem absorsi

dipertajam.( Absorsi Dipertajam (Pasal 65)

2. Cumulasi Stelsel / sistem kumulasi :

a. Zuivere cumulatie stelsel / sistem kumulasi murni

b. Gematige cumulatie stelsel / sistem kumulasi yang

diperlunak.( Kumulasi yang diper-lunak (Pasal 66))

2. Recidive atau pengulanagan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu


tindak pidana dan telah dijatuhi tindak pidana dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, kemudian
melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis adalah pada
Recidive sudah ada putusan pengadilan berupa pemidanaan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde” sedangkan Concursus Realis
terdakwa melakukan perbuatan pidana dan antara perbuatan satu denagan yang lain
belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau
“inkracht van gewijsde”, . Recidive merupakan alasan untuk memperberat pidana
yang akan dijatuhkan.

1.      Sistem Recidive Umum


Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan
dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan.
Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivnya.

2.    Sistem Recidive Khusus


Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulanagan merupakan alasan pemberatan pidana.
Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak
pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

Dalam KUHP ketentuan mengenai Recidive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara
khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tegnggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi denagan demikian KUHP termasuk kedalam Recidive khusus.

a.   Recidive Kejahatan


Recidive terhadap kejahatan dalam pasal : 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161 (2), 163(2), 208 (2),
216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemeberat, perlu
diingat bahewa mengenai tenggang waktu dalam Recidive tersebut tidak sama mislanya :
i.   Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun;
ii.   Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
iii.  Sedangkan untuk Recidive yang diatur dalam pasal 486, 477 dan 488 KUHP
mensyaratkan bahwa tindak pidana yang di ulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak
pidana tersebut.

b.      Recidive Pelanggaran


Recidive dalam pelangaran ada 14 jenis tindak pidana yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang
bersangkutan.

  Recidive Di LUAR KUHP


   Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-undang :
 Tidak pidana narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85 dan Pasal 87; tenggang waktu
lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga.
 Tindak pidana Pisikotropika (UU No 5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah
sepertiga

3) ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DALAM KUHP:


1. Tidak ada pengaduan pada delik aduan;
2. Ne bis in idem/ asas double jeopardy;
3. Matinya terdakwa;
4. Daluwarsa;
5. Telah adanya pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran
yang hanya diancam denda saja (afkoop);

Tidak adanya pengaduan pada aduan:


 Diatur dalam pasal 72 -75 KUHP
Pihak yang berhak mengadu :
Pasal 72
belum 16 th/belum cukup umur/di bawah pengampuan, yang berhak mengadukan:
- Oleh walinya yg sah dalam perkara perdata, atau oleh :
- Wali pengawas/pengampu
- Istrinya
- Keluarga sedarah garis lurus
- Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
- Pasal 73
Ybs meninggal dunia, yang berhak mengadukan:
- Orang tuanya
- Anaknya, atau
- Suami/istrinya (kecuali yang bersangkutan tidak menghendaki).

Tidak adanya pengaduan pada aduan:


Tenggang waktu pengaduan :
Pasal 74
Pengajuan:
- Bertempat tinggal di Indonesia  6 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan
- Bertempat tinggal di luar Indonesia  9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan
Pasal 75
Penarikan kembali:
- 3 bulan sejak diajukan
Ketentuan pengaduan yang sifatnya khusus:
Delik Perzinahan (Pasal 284 KUHP):

 Yang berhak mengadu hanya suami atau istri yang tercemar


 Penarikan kembali aduan bisa dilakukan sewaktu-waktu, selama persidangan belum
dimulai
Delik Melarikan wanita (Pasal 332 KUHP):
Yang berhak mengadu :

 Jika belum cukup umur, oleh wanita ybs, atau orang yang harus memberi izin bila wanita
itu kawin
 Jika sudah cukup umur, oleh wanita ybs, atau suaminya.

1. Ne Bis in Idem :
 Diatur dalam Pasal 76 KUHP
Artinya : tidak atau jangan dua kali yang sama
 Dalam sistem common law, dikenal sebagai asas double jeopardy

Dasar pikiran asas ini :

 Untuk menjaga martabat pengadilan


 Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan

Alasan-alasan di atas berasal dari KUHP. Selain alasan-alasan di atas, terdapat alasan hapusnya
kewenangan menuntut di luar KUHP, yaitu pemberian abolisi atau amnesti.
Abolisi dan Amnesti

Di luar KUHP juga ada dasar-dasar yang dapat menyebabkan hapusnya kewenangan
menuntut pidana terhadap pembuat tindak pidana, yakni terdapat dalam Pasal 14 UUD 1945,
dengan apa yang disebut dengan Abolisi dan Amnesti.
Menurut Pasal 14 Ayat (2) UUD1945 (setelah diamandemen) “Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif presiden sebagai Kepala Negara untuk mengakhiri
suatu kasus tindak pidana tanpa melalui proses pemeriksaan dan keputusan pengadilan.
Amnesti adalah berupa tindakan presiden yang mengakhiri semua akibat hukum (akibat
hukum apa pun) bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana dengan melalui undang-
undang. Apabila orang-orang itu sedang dalam penuntutan, maka dengan dikeluarkannya
amnesti, penuntutan itu gugur demi hukum. Sedangkan abolisi adalah tindakan presiden
untuk meniadakan atau menghentikan kewenangan penuntut umum untuk melakukan

penuntutan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana Persamaan antara amnesti dan
abolisi ialah pada keduanya mengakhiri suatu perkara pidana tanpa menyelesaikan melalui
sidang pengadilan formal. Juga kedua-duanya memberikan pada orang atau orang-orang yang
melakukan tindak pidana yang berhubungan erat dengan masalah-masalah politik. Sedangkan
perbedaannya ialah:
 Mengenai luasnya akibat hukumnya, pada amnesti: mengakhiri/menghentikan segala
bentuk tindakan hukum dalam proses hukum perkara pidana. Sedangkan abolisi hanya
mengakhiri/menghentikan penuntutan pidana saja.
 Mengenai sifatnya, ialah pada amnesti tidak bersifat pribadi, artinya tidak ditujukan
pada pribadi tertentu, melainkan pada orang-orang dalam hal atau mengenai tindak
pidana tertentu atau suatu pristiwa tertentu. Sedangkan pada pemberian abolisi
ditujukan pada pribadi tertentu karena tindak pidana yang dilakukannya.

4. Pihak yang berhak mengadu :


Pasal 72
belum 16 th/belum cukup umur/di bawah pengampuan, yang berhak mengadukan:
- Oleh walinya yg sah dalam perkara perdata, atau oleh :
- Wali pengawas/pengampu
- Istrinya
- Keluarga sedarah garis lurus
- Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
- Pasal 73
Ybs meninggal dunia, yang berhak mengadukan:
- Orang tuanya
- Anaknya, atau
- Suami/istrinya (kecuali yang bersangkutan tidak menghendaki).
Tidak adanya pengaduan pada aduan:
Tenggang waktu pengaduan :
Pasal 74
Pengajuan:
- Bertempat tinggal di Indonesia  6 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan
- Bertempat tinggal di luar Indonesia  9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan
Pasal 75
Penarikan kembali:
- 3 bulan sejak diajukan

5. Pasal 82 memberikan kemungkinan suatu perkara pidana tertentu dapat diselesaikan


tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan menjatuhkan pidana kepadanya. Tidak
semua perkara pidana dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan, tetapi hanya
perkara pidana pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja, dengan cara
“secara sukarela si pembuat membayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai”. Maka hapuslah kewenangan negara
untuk melakukan penuntutan pidana terhadap diri pembuat. Lembaga ini disebut
dengan afkoop atau penebusan tuntutan pidana, yang hanya ada dalam hal tindak
pidana pelanggaran, khususnya yang diancam dengan pidana denda saja.
Lembaga afkoop ini adalah merupakan perkecualian dari salah satu prinsip dalam
hukum acara pidana tentang penyelesaian perkara pidana dengan menjatuhka pidana
hanya melalui peradilan pidana. Hanya pengadilan pidana yang menjatuhkan pidana
terhadap di pembuat. Satu-satunya dasar pertimbangan dibentuknya lembaga afkoop
adalah alasan praktis- ekonomis belaka.

6. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau


penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Grasi diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2002 (UU Grasi). Grasi diberikan Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan dari MA. Jika seseorang memohon grasi kepada Presiden dan
dikabulkan, maka Presiden ‘mengampuni’ perbuatan yang bersangkutan. Kesalahan
orang yang bersangkutan tetap ada, namun hukuman pidananya saja yang
dihilangkan. Contoh grasi adalah pemberian grasi oleh Presiden Jokowi kepada
mantan Ketua KPK, Antasari Azhar terkait kasus pembunuhan yang melibatkannya.
Pemberian grasi tersebut dilakukan pada tanggal 23 Januari 2017 yang lalu.

Pada Pasal 5

(1)Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim
ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.
(2)Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

PENCABUTAN GRASI
Di dalam ketentuan UU 22/2002 maupun perubahannya,
UU 5/2010, tidak diatur mengenai pencabutan grasi yang
telah diberikan. Namun, di dalam teori hukum administrasi
negara berlaku asas Contrarius Actus, yaitu pencabutan
suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan
setingkat. Berarti dalam hal ini, suatu Keppres hanya dapat
dicabut oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres
pencabutan.

Sebagai contoh keputusan presiden adalah Keppres No.


92 Tahun 2001 tentang Pencabutan Keppres No. 15
Tahun 2001 tentang Penugasan Wakil Presiden
untuk Menandatangani Keputusan Presiden
Mengenai Penganugerahan Gelar dan Tanda-Tanda
Kehormatan.

Anda mungkin juga menyukai