Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEWAGANEGARAAN

URGENSI KONSTITUSI BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA

DAN BERNEGARA DALAM NKRI

Dosen Pengampu :

Meisy Fajaranim H.

Disusun Oleh :

Muhammad Saddam Al-Hakim (210703110009)

Alvina Mailaffaiza (210703110040)

Safira Wahyu Utari (210703110046)

Ridha Ardian Sari (210703110081)

Kelompok 2 ( Kelas B )

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2022
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konstitusi merupakan sebuh landasan fundamental kenegaraan yang akan
dijalankan, dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan dalam negara karena
dalam suatu negara akan terdapat banyak kekuasaan. Dalam arti lain, konstitusi
merupakan roda bagi suatu negara.
Indonesia tentulah memiliki konstitusi sebagai landasan dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negera merdeka, Indonesia tidak
mungkin dapat membentuk dan menjalankan pemerintahan jika tidak
membentuk konstitusi. Seperti yang diketahui bahwa sebelum itu telah
terbentuk konstitusi UUD terlebih dahulu. Dalam konstitusi disebutkan
perintah membentuk pemerintahan seperti yang terurai dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea ke 4, yang berbunyi :”Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dst……….” Sehingga
atas perintah konstitusi yang sudah disahkan, maka Indonesia secara legal
dapat membentuk pemerintahan sesuai yang dicita-citakan.
Dalam perjalanannya, konstitusi mengalami perubahan dalam suatu kurun
waktu. Dimulai sejak Proklamsai Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 dan diikuti pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi pada tanggal 18
Agustus 1945, hingga kini UUD 1945 sebagai konstitusi telah mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan. Banyak faktor yang mempengaruhi
hal tersebut satu di antaranya adalah akibat perkembangan politik demokrasi
yang selalu berkembang dan berubah-ubah. Dengan begitu, kepentingan yang
berubah-ubah ikut menjadi sebab berubahnya konstitusi, tetapi hal-hal tersebut
tetap memiliki tujuan sam, yaitu menuju hukum yang dicita-citakan (Ius
constituendum).
Oleh sebab itu, makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai konstitusi, terlebih urgensi konstitusi
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam NKRI.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apakah makna dari hakikat konstitusi?
b. Bagaimanakah sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia?
c. Apakah yang terjadi pada UUD 1945 (amandeman) dan peraturan hukum
Indonesia?
d. Bagaimanakah urgensi konstitusi bagi kehidupan bernegara?
1.3. Tujuan
Tujuan Umum
a. Dapat menyimpulkan urgensi konstitusi bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam NKRI
b. Dapat meyakini urgensi konstitusi bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam NKRI
c. Dapat mengemukakan pentingnya konstitusi bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam NKRI
Tujuan Khusus:
a. Mengetahui dan memahami hakikat konstitusi dengan baik.
b. Mengetahui dan memahami sejarah singkat bagaimana perkembangan
konstitusi di Indonesia.
c. Mengetahui dan memahami bagaimana UUD 1945 ketika mengalami
amandeman dan peraturan hukum di Indonesia.
d. Mengetahui dan memahami urgensi konsitusi bagi kehidupan berbegara.
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Konstitusi

Sejatinya konstitusi memiliki peran untuk mempertahankan esensi


keberadaan sebuah negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang
bergerak dinamis. Oleh karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dari
penyesuaian dan penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan,
khususnya yang berkaitan dengan keinginan hati nurani rakyat (Nadiroh,
2015).

Konstitusi tentunya bukan istilah yang asing bagi Anda, terutama yang
terkait dengan proses amandemen Undang-Undang Dasar RI 1945 yang
beberapa waktu terakhir menjadi isu sentral dalam ketatanegaraan Indonesia.
Perkataan “Konstitusi” berarti membentuk “pembentukan” berasal dari kata
kerja “coustituer” (Prancis) yang berarti “membentuk”. Kini yang dibentuk
adalah suatu Negara, maka “Konstitusi” mengandung permulaan dari segala
peraturan mengenai suatu negara.

Sementara dalam bahasa Belanda mempergunakan kata “Grondwet”,


yang berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala
hukum, sedangkan di Indonesia mempergunakan kata Undang-Undang Dasar
sama artinya dengan “Grondwet” yang digunakan dalam bahasa Belanda.

Berdasarkan pengertian di atas maka suatu konstitusi memuat suatu


peraturan pokok (fundamental) mengenai soko guru atau sendi-sendi pertama
untuk menegakkan suatu bangunan besar yang bernama “Negara”.

Sendi-sendi itu tentunya harus kuat dan tidak akan mudah runtuh, agar
bangunan “Negara” tetap berdiri. Oleh karena itu, peraturan yang termuat
dalam konstitusi harus tahan uji, jangan sampai sendi-sendi itu memiliki celah-
celah untuk disalahartikan atau bahkan diganti oleh pihak-pihak yang tidak
menginginkan bangunan suatu negara itu kokoh. Dengan demikian maka tidak
ada seorang pun yang dengan serta-merta dapat menggantikan sendi-sendi itu
dengan tiang-tiang yang lain coraknya dan yang akan mengubah wajah negara
(Nadiroh, 2015).

Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum
yang merupakan hasil pembentukan pemerintahan pada suatu negara yang
biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus pembentukan
negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum,
istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai
prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam
bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara
pada umumnya. Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada
warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh
hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara (Nadiroh, 2015).

Konstitusi berarti hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang
Dasar, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut Konvensi, yaitu
kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara. Mengingat sulitnya mengubah
Undang-Undang Dasar, sementara ada kondisi yang memerlukan peraturan,
maka dalam penyelenggaraan pemerintahan biasanya digunakan konvensi.

Hal ini menimbulkan gagasan-gagasan mengenai living constitution


dalam arti bahwa suatu konstitusi yang benar-benar hidup dalam masyarakat
tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, akan tetapi juga meliputi
konvensi-konvensi. Undang-Undang Dasar 1945 menganut paham tersebut.

Definisi konstitusi menurut E.C. Wade dalam Miriam Budiardjo adalah


naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan
tersebut. Kemudian Herman Heller menamakan Undang-Undang Dasar
sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan.

Tahun 1687 pengertian konstitusi Cromwell diambil alih oleh Amerika


dan dimasukkan ke Prancis pada tahun 1789 oleh Lafayette. Dalam buku Uber
Verfassungwesen (sifat konstitusi) Laselle mengatakan bahwa pengertian
Undang-Undang Dasar lebih sempit dari pengertian konstitusi. Laselle adalah
tokoh sosialisme yang mendirikan serikat-serikat buruh di Prancis dan
merupakan lawan dari Marx dan Hegel dalam memperjuangkan sosialisme.
Marx dan Hegel berpendapat sosialisme harus dengan revolusi. Sedangkan
Laselle berpendapat bahwa sosialisme harus dengan evolusi yaitu berangsur-
angsur mempengaruhi masyarakat dengan memperkuat kaum buruh dengan
parlemen.

Laselle (1825-1864), dalam bukunya “Uber Verfassungswessen”


(1862), membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu: konstitusi sosiologis
dan politis, serta konstitusi yuridis.

1. Laselle menganggap konstitusi sebagai kekuasaan antara kekuasaan yang


terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil). Pengertian tersebut
dinamakan, sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip).
Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik
yang nyata dalam masyarakat (de reele machtsfactoren), misalnya raja,
parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups),
partai politik dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara
kekuatankekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang
dipahami sebagai konstitusi;

2. Selain itu ia juga menganggap konstitusi merupakan apa yang ditulis di


atas kertas mengenai lembaga-lembaga negara dan prinsip-prinsip
memerintah dari suatu negara. Sama dengan paham kodifikasi.
Pengertian itulah yang dinamakan dengan konstitusi yuridis (yuridische
begrip). Konstitusi tersebut dilihat sebagai satu naskah hukum yang
memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan negara.

Ferdinand Lasalle ini sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi,


sehingga sangat menekankan pentingnya pengertian yuridis mengenai
konstitusi. Di samping cermin hubungan antara kekuatan politik yang nyata
dalam masyarakat (de reele machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya
adalah apa yang tertulis di atas kertas Undang-Undang Dasar mengenai
lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan
negara.

Mengenai hal tersebut, hakikat dari konstitusi tidak lain adalah


terciptanya keadilan di suatu negara, sehingga kesejahteraan dan peraturan
dapat dicapai oleh warga negara, dan itu adalah salah satu dari tujuan konstitusi
diterapkan dalam ranah suatu negara.

Dikalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa


konstitusi mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu (i) keadilan (justice), (ii)
kepastian (certainty atau zekenheid), dan (iii) kebergunaan (utility). Keadilan
itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity),
serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan
ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan diharapkan
dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian
hidup bersama.

Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling
tinggi tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga
untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap
tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) ketertiban, dan (iii) perwujudan nilai-nilai
ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran
bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri
negara (the founding fathers and mothers). Misalnya, 4 (empat) tujuan
bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945. Yakni:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah


Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial).
Sehubungan dengan itulah maka beberapa sarjana merumuskan tujuan
konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional,
atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada 3 (tiga) tujuan negara, yaitu

1) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman,

2) mempertahankan kekuasaan, dan

3) mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum.

Sedangkan, Maurice Hauriou mengatakan bahwa tujuan konstitusi


adalah untuk menjaga keseimbangan antara (i) ketertiban (order), (ii)
kekuasaan (gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid).

Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan


negara juga harus berdiri tegak, sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan
bernegara. Ketertiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh
kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak terganggu.
Sementara itu G.S. Giponolo merumuskan tujuan konstitusi ke dalam lima
kategori, yaitu

1) kekuasaan,

2) perdamaian, keamanan, dan ketertiban,

3) kemerdekaan,

4) keadilan, serta

5) kesejahteraan dan kebahagiaan.

2.2. Sejarah Perkembangan Konstitusi di Indonesia

Dalam bahasa Inggris, “constitution” atau dalam bahasa Belanda


“constitutie “ secara harfiah sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi Undang- Undang Dasar. Nyataya, istilah constitution bagi banyak
sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan
peraturan – peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur secara mengikat cara-cara bagimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Berdasarkan definisi konstitusi
menurut C.F. Strong, yang ditulis oleh Jazim Hamidi, terdapat tiga unsur yang
termuat dalam konstitusi, yaitu :

1. Prinsip-prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan;


2. Prinsip-prinsip mengenai hak-hak mengenai warga negara; dan
3. Prinsip-prinsip mengenai hubungan antara warga negara dengan pemerintah
(Jazim Hamidi, 2009 : 88).

Konstitusi secara umum memiliki sifat-sifat formil dan materiil. Konstitusi


dalam arti formil berarti konstitusi yang tertulis dalam suatu ketatanegaraan
suatu negara, Dalam pandangan ini suatu konstitusi baru bermakna apabila
konstitusi tersebut telah berbentuk nakskah tertulis dan diundangkan, misalnya
UUD 1945, Sedangkan konstitusi materiil adalah suatu konstitusi jika orang
melihat dari segi isinya, isi konstitusi pada dasarnya menyangkut hal-hal yang
bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara ( Titik Triwulan Tutik, 2006 :
2). Sifat konstitusi Tertulis dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar
pada suatu negara, sedangkan konstitusi disamping memuat aspek hukum juga
memuat aspek politik yang lebih banyak lagi, yaitu politik pada masa tertentu
suatu negara.

Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah


dokumen formal yang berisi:

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;


2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-
undang dasar di atas, menunjukkan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara.
Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang
sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar
yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada
generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang mereka
pimpin. UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara
Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal
18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia
diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus
1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan
pemerintah bala tentara Jepang yang diberi nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
yang dalam bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik
oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka
memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah pembentukannya,
badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai
dengan tujuan.
Konstitusi di Indonesia selalu mengalami perubahan, yang pertama kali
berlaku adalah UUD 1945, kemudian disusul UUD RIS pada tahun 1949
merupakan konstitusi kedua yang mengakibatkan bentuk Negara Kesatuan
berubah menjadi Negara Serikat. UUDS 1950 merupakan konstitusi yang ketiga,
walaupun kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi sistem
pemerintahannya adalah Parlementer sampai dikeluarannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 yang berlaku hingga reformasi
yang menghantarkan amandemen UUD 1945 ke empat kali dan berlaku sampai
sekarang.
Perubahan konstitusi di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya
adalah bahwa penyususnan rancangan UUD yang dilakukan oleh BPUPKI
sangat tergesa-gesa sehingga belum begitu sempurna. Desakan dari Belanda juga
merupakan faktor penyebab berubahnya konstitusi, hingga terjadinya pergeseran
politik hukum di Indonesia yang menuntut amandemen UUD 1945, dan
berpengaruh pada berubahnya sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Suatu undang-undang dasar jika tidak lagi mencerminkan konstelasi politik
atau tidak memenuhi harapan aspirasi rakyat, dapat dibatalkan dan diganti
dengan undang- undang dasar baru. Misalnya, di Perancis sesudah dibebaskan
dari pendudukan tentara Jerman, dianggap perlu mengadakan undang-undang
dasar baru yang mencerminkan lahirnya Negara Perancis baru. Hal ini juga
terjadi di Indonesia, Miriam Budiardjo(2007: 104) membagi empat tahap
perkembangan undang-undang perkembanganundang-undang dasar sebagai
berikut: 1) tahun1945 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang defacto
hanya berlaku diJawa, Madura, dan Sumatra). 2) tahun 1949 (Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia yang defacto berlaku seluruhIndonesia , kecuali Irian
Barat). 3) tahun 1959 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan
demokrasi Terpimpin, disusul Demokrasi Pancasila, Undang-Undang Dasar ini
mulai 1963 berlakudi seluruh Indonesia termasuk Irian Barat) Apabila ditinjau
dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Republik Indonesia. Miriam
Budiardjo (2007:105) membagi dalam tiga tahap, yaitu:
1) Masa 1945-1959 sebagai Republik Indonesia ke-I (Demokrasi
Parlementer) yang didasari tiga Undang-Undang Dasar berturut-turut,
yaitu: 1945, 1949 dan 1950.
2) Masa 1959-1965 sebagai Republik ke-II (demokrasi Terpimpin) yang
didasariUndang-Undang Dasar 1945.
3) Masa 1965 sampai sekarang sebagai Republik Indonesia ke-III
(DemokrasiPancasila yang didasari oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Pemikiran ini disampaikan pada tahun 1970-an jauh hari sebelum jatuhnya
rezim Suharto, sehingga jika kita tinjau saat ini dapat ditambahkan masa
Republik ke-III periode antara tahun 1965-1998. Kemudian, tahun 1998 sampai
saat ini dapat ditambahkan masa Republik ke-IV dengan menggunakan Undang-
Undang Dasar 1945 pasca amandemem (Demokrasi masa transisi). Jimly
Assidiqie (2007: 73) jika ditinjau dari sudut perkembangan naskah undang-
undang dasar, maka sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang, tahap-
tahap sejarah konstitusi Indonesia dapat dikatakan telah melewati enam tahap
perkembangan, yaitu:
1) Periode tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949;
2) Periode tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950;
3) Periode tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959;
4) Periode tanggal 5 Juli 1959 – 1rismails9 Oktober 1999;
5) Periode tanggal 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002;
6) Periode tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang.
Pada periode pertama berlaku UUD 1945, periode kedua berlaku Konstitusi
RIS 1949, periode ketiga berlaku Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
Periode keempat berlaku kembali UUD 1945 beserta Penjelasannya. Setelah itu
UUD 1945 diubah berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dengan
menggunakan naskah yang berlaku mulai 5 Juli 1959 sebagai standar dalam
melakukan perubahan di luar teks yang kemudian dijadikan lampiran yang tak
terpisahkan dari naskah UUD 1945. Dengan demikian menurut Jimly Assidiqie
(2007: 74). Kurun waktu selama terjadi perubahan UUD 1945 dalam satu
rangkaian kegiatan itu, dapat disebut sebagai satu kesatuan periode tersendiri,
yaitu periode konstitusi transisional.

2.3. UUD 1945 (amandemen) dan Peraturan Hukum di Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah


nama resmi UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahuan 1999-2002. Pada
tahun 2007, suara untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 mulai
mengemuka. Dipelopori oleh beberapa Anggota DPD yang menuntut
penambahan kewenangan agar DPD memeiliki otoritas dalam memutus
pembentukan undang-undang. Suara ini pun inipun akhirnya kandas karena tidak
mendapat dukungan 1/3 anggota MPR sebagai syarat pintu masuk perubahan
UUD. Kegagalan gerakan menuju perubahan UUD ini juga karena tidak adanya
momentum yang kuat sebagaimana momentum perubahan UUD tahun 1999-
2002.
1. Hasil Kuantitatif Amandemen
Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat
dituntaskan dalam Perubahan keempat dengan nama resmi Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945).
Perubahan empat kali UUD 1945 itu dapat diperinci sebagai berikut.
1. Perubahan Pertama UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober
tahun 1999, berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal.
2. Perubahan Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
2000 telah diamandemen sebayak 25 pasal
3. Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November
tahun 1999 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal
4. Perubahan Keempat UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002 ini telah berhasil diamandemen 13 pasal serta 3 pasal Aturan
Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan
Jadi jumlah total pasal UUD 1945 hasil perubahan pertama sampai keempat
itu adalah 75 pasal11, namun demikian jumlah nomor pasalnya tetap sama yaitu
37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan).
Dengan perubahan-perubahan tersebut maka jumlah ketentuan atau ayat
lama yang masih tetap dipertahankan sesuai dengan naskah asli UUD 1945
tinggal 23 ayat dari jumlah seluruhnya yaitu 71 ayat asli; atau dengan kata lain,
prosentase ayat yang masih tersisa adalah 16,33 %.
Ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat yang masih tetap dipertahankan sesuai
naskah aslinya adalah: Pasal 1 Ayat (1); Pasal 4 Ayat (1) dan (2); Pasal 5 Ayat
(2); Pasal 6 Ayat (10); Pasal 12; Pasal 13 (1); Pasal 21 Ayat (2); Pasal 22 Ayat
(1), (2), dan (3); Pasal 26 Ayat (1); Pasal 27 Ayat (1), dan (2); Pasal 28; Pasal
29 Ayat (1) dan (2); Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3); Pasal 34 Ayat (1); Pasal 35;
serta Pasal 36.
Jumlah babnya juga mengalami penambahan dari 16 bab menjadi 21 bab,
tetapi nomor angka bab itu juga tetap sama jumlahnya yaitu 16 bab, karena
penambahan bab itu dilakukan dengan cara menambah huruf (A dan B) setelah
nomor angka, seperti tergambar dalam Tabel berikut ini.
Bab-bab UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan.

No Bab Judul Bab Bab Judul Bab


Lama Sebelum Perubahan Baru Setelah Perubahan

1. I Bentuk dan Kedaultan I TETAP


2. II MPR II TETAP
3. III Kekuasaan Pemerinahan III TETAP
Negara
4. IV Dewan Pertimbangan IV DIHAPUS
Agung

5. V Kementrian Negara V TETAP


6. VI Pemerintah Daerah VI TETAP
7. VII Dewan Perwakilan Rakyat VII TETAP
8. VIIA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH
9. VIIB PEMILIHAN UMUM
10. VIII Hal Keuangan VIII TETAP
11. VIIIA BADAN
PEMERIKSA
KEUANGAN
12. IX Kekuasaan Kehakiman IX TETAP

13. IXA WILAYAH NEGARA


14. X Warga Negara X WARGA NEGARA DAN
PENDUDUK
15. XA HAK ASASI MANUSIA
16. XI Agama XI TETAP
17. XII Pertahanan Negara XII PERTAHANAN DAN
KEAMANAN NEGARA
18. XIII Pendidikan XIII PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
19. XIV Kesejahteraan Sosial XIV PEREKONOMIAN
NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
20. XV Bendera dan Bahasa XV BENDERA, BAHASA,
LAMBANG NEGARA,
SERTA LAGU
KEBANGSAAN
21. XVI Perubahan UUD XVI TETAP
16 21

Tabel di atas menggambarkan bahwa UUD 1945 yang semula berisi 16


judul Bab kemudian ditambah lagi 5 judul Bab dan dicabut 1 judul Bab, sehingga
setelah perubahan tersebut jumlah judul babnya menjadi 21.
2. . Pokok-pokok Ketentuan Hukum Hasil Amendemen
Apabila dilihat dari segi substansi materinya secara keseluruhan, maka
Perubahan UUD 1945 ini dapat dikelompokan ke dalam tiga macam, yaitu:
1) penghapusan atau pencabutan beberapa ketentuan;
2) menambah ketentuan atau lembaga baru; dan
3) modifikasi terhadap ketentuan atau lembaga lama.
a. Ketentuan yang dicabut
Beberapa ketentuan hukum yang dicabut oleh Perubahan UUD 1945 antara lain:
(1) Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan
meminta pertanggungjawaban presiden dan penyusunan Garis Besar
Haluan Negara1. Dengan pencabutan kekuasaan ini posisi MPR bukan
lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai lembaga tinggi
negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi lainnya
seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Kekuasaan Presiden yang menyangkut pembentukan Undang-undang.
Kekuasaan pembentukan undang-undang ini berdasarkan Pasal 20
Perubahan pertama UUD 1945, tidak lagi dipegang Presiden, melainkan
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian juga kewenangan
Presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan duta negara lain serta
pemberian amnesti dan abolisi. Kewenangan-kewenangan tersebut tidak
lagi merupakan hak prerogratif Presiden, tetapi harus atas pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat2.
(3) Penjelasan UUD 1945. Sebenarnya secara eksplisit tidak ada ketentuan
yang mengatur tentang keberlakuan Penjelasan dalam pasal-pasal UUD
1945. Namun secara de fakto Penjelasan itu sudah ada setelah enam
bulan pengesahan Undang Undang Dasar tersebut oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan secara
resmi dicantumkan dalam lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal yang
meniadakan Penjelasan itu juga tidak secara langsung menyebutkan
bahwa Penjelasan dicabut3. Jadi rumusan pasal itu sangat tepat.
b. Ketentuan dan lembaga baru

Ketentuan atau lembaga yang baru yang diatur dalam Perubahan UUD 1945,
dapat disebut di sini antara lain:
(1) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), diatur dalam Pasal 22C dan 22D
UUD 1945
Perubahan ketiga.
(2) Mahkamah Konstitusi4, diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan
ketiga.
(3) Komisi Yudisial, diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 Perubahan ketiga.
(4) Komisi pemilihan umum sebagai penyelenggaran pemilihan umum
diatur langsung dalam bab baru (VIIB) UUD 1945 Pasal 22E,
sebelumnya diatur dalam uandangundang.
(5) Bank Sentral yang sebelumnya hanya diatur dalam undang-undang,
sekarang diatur dalam Pasal 23D UUD 1945 Perubahan kempat.

3. Ketentuan dan lembaga yang dimodifikasi.


Ketentuan-ketentuan yang merupakan modifikasi atas ketentuan atau lembaga
lama yang diatur dalam Perubahan UUD 1945, dapat disebut di sini antara lain :
1. Reposisi MPR yang merupakan modifikasi dari MPR lama, diatur dalam
Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 Perubahan keempat5. Mengenai reposi Majelis
ini akan diuraikan di bawah.
2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, yang
sebelumnya dipilih oloh MPR, diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 Perubahan
ketiga.
3. Pemilihan Kepala Pemerintahan Daerah secara demokratis, yang
sebelumnya diusulkan oleh DPRD kepada Presiden.
4. Ketentuan Hak Asasi Manusia sebagai penambahan dari ketentuan hak asasi
lama, diatur dalam Pasal 28A sampai dengan 28J UUD 1945 Perubahan
kedua.
5. Usul Perubahan Undang Undang Dasar dan pembatasan perubahan atas
negara kesatuan, merupakan penambahan tata cara perubahan Undang
Undang Dasar, diatur dalam Ayat (1) dan (5) Pasal 37 UUD 1945 Perubahan
keempat.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU
No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan sesuai urutan dari yang tertinggi adalah:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945)
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perppu)
4. Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Presiden (Perpres)
5. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi peraturan kabupaten atau kota
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Berikut ini penjelasan masing-masing Peraturan
Perundang-undangan tersebut:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan
Peraturan Perundang-undangan nasional.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Ketetapan MPR
adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR meliputi
Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang masih berlaku.
Sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada 7 Agustus
2003. Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua macam yaitu
Ketetapan dan Keputusan. Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang
mengikat baik ke dalam atau keluar majelis. Keputusan adalah putusan
MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
3. UU atau Perppu UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama
Presiden. Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Mekanisme UU
atau Perppu adalah sebagai berikut: Perppu diajukan ke DPR dalam
persidangan berikut. DPR dapat menerima atau menolak Perppu tanpa
melakukan perubahan. Bila disetujui oleh DPR, Perppu ditetapkan menjadi
UU. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. Baca juga: Plt Menkumham: Perlu Revisi 23 Undang-Undang
untuk Pindah Ibu Kota
4. Peraturan Pemerintah (PP) PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. PP
berfungsi untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
5. Peraturan Presiden (Perpres)
Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Perda Provinsi adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Termasuk dalam
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Baca
juga: Revisi UU KPK Segera Disahkan Jadi Undang-Undang dalam Rapat
Paripuna
7. Perda Kabupaten atau Kota Perda Kabupaten atau Kota adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten atau Kota
dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota. Termasuk dalam
Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota adalah Qanun yang berlaku di
Kabupaten atau Kota di Provinsi Aceh. Makna tata urutan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan. Penjenjangan
didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi. Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari
ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State
(1945). Selain jenis dan hierarki tersebut, masih ada jenis Peraturan
Perundang-undangan lain yang diakui keberadaannya. Peraturan
Perundang-undangan lain ini juga mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh:
• MPR
• DPR
• DPD
• Mahkamah Agung (MA)
• Mahkamah Konstitusi (MK)
• Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
• Komisi Yudisial Bank Indonesia (BI)
• Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU
• DPRD Provinsi Gubernur DPRD Kabupaten atau Kota Bupati atau
Walikota Kepala Desa atau yang setingkat
Secara khusus, Peraturan Menteri yang dimaksud adalah peraturan yang
ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Sebagai informasi, UU
No. 12 tahun 2011 tersebut menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. Dalam UU.
No. 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-udnangan adalah sebagai
berikut:
• UUD 1945
• UU atau Perpu
• Peraturan Pemerintah Peraturan
• Presiden Peraturan Daerah meliputi: Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota, dan Peraturan Desa atau
peraturan yang setingkat.

2.4. Urgensi bagi Konstitusi bagi Kehidupan Bernegara

Berdasarkan akar dari historisnya di Dunia Barat, urgensi konstitusi


atau UUD dalam suatu negara adalah untuk menentukan batas wewenang
penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Menurut
A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kontitusi sebagai pemberi pegangan
dan pemberi batas sekaligus pegangan dalam mengatur bagaimana kekuasaan
negara itu dijalankan. Negara dan konstitusi merupakan dua institusi yang tidak
dapat dipisahkan (Sri Soemantri, 1987). Sehingga tidak ada satu negara pun
yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.

Kontitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu


negara atau dengan kata lain bahwa konstitusi mengandung permulaan dari
segala peraturan mengenai negara (Prodjodikoro, 1970), pembentukan suatu
negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara (Lubis, 1976), dan sebagai
peraturan dasar mengenai pembentukan negara (Machfud MD, 2001).

Menurut Richard S. Kay, konstitusi adalah implementasi dari aturan


hukum dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah.
Konstitusionalisme menciptakan situasi yang dapat meningkatkan rasa aman
karena pembatasan pada otoritas pemerintah yang sebelumnya didirikan.
Menurut James Bryce, konstitusi adalah kerangka masyarakat politik
(negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dengan kata lain hukum
menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan funsi yang telah
ditetapkan.

Menurut C.F Strong, “Constitution is a collection of principles


according to wich the power of a government, the right of the govermed, and
the relations between the two are adjusted”. (Konstitusi dapat dikatakan
sebagai suatu himpunan prinsip-prinsip, yang mengatur kekuasaan dan hak-
hak yang diperintah serta hubungan antara keduanya). C.F Strong juga
membedakan konstitusi menjadi konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi
tertulis (documentary constitution / written constitution) adalah aturan – aturan
pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan
dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan
hukum negara. Sedangkan Konstitusi tidak tertulis / konvensi (non-
documentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering
timbul.

Menurut Lord James Brice, konstitusi ialah kerangka masyarakat dalam


dunia politik yang diatur oleh hukum, dimana hukum menetapkan secara tetap
terhadap berbagai lembaga yang memiliki fungsi dan hak yang diakui.

Menurut Aristoteles suatu negara yang baik ialah negara yang


diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles
mengemukakan ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi pertama
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum, kedua pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum bukan pada hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
mengenyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga pemerintahan
berkonstitusi berarti pemerintahan dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintahan (Ridwan HR, 2006).
Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi
merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang
dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap
masyarakat, selain itu konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus
mengatur negara menurut aturanaturan negara tersebut (Azhari, 1995).

Menurut A.A.H. Struycken, konstitusi adalah Undang-Undang Dasar.


Konstitusi memuat garis-garis besar dan asas tentang organisasi dari pada
negara. Undang-Undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis
merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :

1) Hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau.


2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4) Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.

Konstitusi atau UUD dalam suatu negara adalah sebuah norma sistem
politik dan hukum berbentuk dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-
hal yang terperinci, tetapi hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi
dasar. Oleh sebab itu konstitusi memiliki kemuliaan yang menjadikannya
sebagai fundamental law (hukum dasar) dan the higher law (hukum tertinggi).
Konstitusi berisi kerangka dasar, susunan, fungsi, dan hak lembaga negara,
pemerintahan, hubungan antara negara dan warganya, serta pengawasan
jalannya pemerintahan.

Di Indonesia, UUD 1945 menjadi konstitusi negara yang secara formal


dan juga sebagai sumber hukum tertinggi, yang memilih konsep kedaulatan
rakyat dalam penyelenggarakan kehidupan kenegaraan Indonesia,
sebagaimana tentuang dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Struycken dalam bukunya berjudul Het Staatsrecht van Het
Koninkrijik dre Nederlander menyatakan bahwa undang-undang dasar
sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi sebebagai
berikut:

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.


2. Tingkat tertinggi perkembangan kertatanegaraan bangsa.
3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu
sekarang maupun yang akan datang.
4. Suatu keinginan di mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin.

Keempat hal yang termuat dalam konstitusi tersebut menunjukkan arti


pentingnya suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara dan
berbangsa. Konstitusi juga memberikan arah dan pedoman bagi generasi penerus
bangsa dalam menjalankan suatu negara.

Untuk memahami urgensi konstitusi maka perlu mengetahui fungsi dari


konstitusi itu sendiri.

1. Konstitusi berfungsi sebagai landasan konstitusionalisme. Landasan


konstitusionalisme adalah landasan berdasarkan konstitusi, baik konstitusi
dalam artian luas maupun sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi
undang-undang dasar, undang-undang organik, peraturan perundang-
undangan lain, dan konvensi. Konstitusi dalam arti sempit berupa Undang-
Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).
2. Konstitusi berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan
demikian hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan Carl
Joachim Friedrich menjelaskan bahwa pemerintah merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikarenakan beberapa pembatasan yang diharapkan untuk
pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas
untuk memerintah (Thaib dan Hamidi, 1999)
3. Konstitusi berfungsi:
a) Membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasai agar dalam
menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya.
b) Memberi suatu rangka dasar hukum bagi perubahan masyarakat
yang dicita-citakan tahap berikutnya.
c) Dijadikan landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem
ketatanegaraan tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga
negaranya
d) Menjamin hak-hak asasi warga negara.

Selain fungsi diatas, ada pendapat lain menurut C.F. Strong pada
prinsipnya fungsi konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan tindakan
pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Berikut ini adalah fungsi konstitusi
secara umum:

1. Konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak


terjadi kesewenang-wenangan yang dapat dilaukan oleh pemerintah,
sehingga hak-hak bagi warga negara dapat terlindungi dan
tersalurkan.
2. Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu negara.
3. Fungsi konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi.
4. Fungsi konstitusi sebagai alat membatasi kekuasaan.
5. Konstitusi berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang.
6. Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia dan
kebebasan warga suatu Negara.

Konstitusionalisme

Pada mulanya kehadiran paham konstitusionalisme adalah untuk


membatasi pemerintahan agar tidak bersifat absolut dan menuntut orang-orang
yang berkuasa untuk mematuhi hukum dan peraturan. Namun, sekarang paham
konstitusionalisme memfokuskan pada pemerintahan yang menyelenggarakan
kekuasaannya berdasarkan konstitusi (undang-undang dasar). Adapun ajaran
pokok dari paham konstitusionalisme tersebut:

1. Anatomi kekuasaan di negara tersebut semuanya tunduk pada hukum


2. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
3. Di negara tersebut, peradilannya diselenggarakan secara bebas dan mandiri
4. Adanya pertanggungjawaban kepada rakyat.
Perkembangan konstitusionalisme:

A. Konstitusionalisme Yunani
Bagi Bangsa Yunani, negara merupakan seluruh pola pergaulannya,
sebuah kota tempat terpenuhinya semua kebutuhan secara materi dan spiritual
(C.F Strong, 1996). Menurut Plato dan Aristoteles, tidak ada pertentangan
antara negara dengan individu. Sehingga dapat diartikan negara adalah satu-
satuya cara bagi individu untuk mewujudkan tujuan-tujuan terbaiknya dan
manusia bukanlah seorang manusia yang baik kecuali jika dia juga seorang
warga negara yang baik. Walaupun konstitusionalisme politik Yunani telah
berakhir, idealisme politik mereka masih tertinggal dan sulit untuk
memperkirakan apa jadinya pemerintahan politik masa kini tanpa adanya
inspirasi yang diperoleh dari contoh klasik ini.
B. Konstitusi Romawi
Konstitusi Romawi pada awalnya adalah suatu perpaduan antara elemen-
elemen monarki, aristokratis, dan demokratis dan berakhir sebagai aristokratis
yang tidak bertanggung jawab. Konstitusi Romawi terdiri dari sekumpulan
preseden yang dibawa dalam ingatan seseorang atau tercatat secara tertulis,
kumpulan keputusan pengacara, negarawan, kumpulan adat istiadat, kebiasaan,
pengertian, dan keyakinan yang berhubungan dengan metode pemerintahan
(Strong, 1996).
Pengaruh abadi konstitusionalisme Romawi dapat dilihat pertama hukum
Romawi (roman law) berpengaruh besar terhadap sejarah hukum Eropa
kontinental, kedua kecintaan bangsa Romawi akan ketenteraman dan kesatuan
sangat kuat sehingga orang-orang di abad pertengahan terobsesi dengan
gagasan kesatuan politik dunia untuk menghadapi kekuatan disintegrasi
(Strong, 1996).
C. Konstitusionalisme di Abad Pertengahan
Fenomena feodalisme pada abad pertengahan mulai berkembang pesat di
seluruh Eropa. Feodalisme adalah salah satu konstitusionalisme abad
pertengahan karena tersusun menjadi suatu bentuk pemerintahan sosial dan
politik yang dapat diterima secara umum.
Ciri utamanya adalah pembagian negara menjadi unit-unit kecil. Prinsip
umum feodalisme adalah “setiap orang harus punya penguasa” (Strong, 1996).
Hal ini semakin menambah hak-hak istimewa bayangan di dalam kekaisaran di
abad pertengahan tanpa menambah hakikatnya. Kejahatan feodalisme terletak
pada sedemikian banyaknya kekuasaan yang diberikan pada baron-baron tinggi
dan proporsi kekuatan mereka dimasa itu yang terhambat ketika negara
kesatuan bangkit. Oleh karena itu para raja dari abad pertengahan adalah
mereka yang melakukan segala daya dan upaya untuk memusatkan kekuasaan
di tangan mereka sendiri dan menyusun suatu kontrol pusat yang merusak
supremasi pada baron. Dengan cara ini feodalisme berkembang secara pasif
untuk menjembatani jurang pemisah antara chaos pada awal abad pertengahan
dan keteraturan di negara modern (Strong, 1996).
D. Konstitusionalisme di Inggris
Menjelang paruh kedua abad pertengahan abad ke-18, Inggris adalah
sebuah negara konstitusional, walaupun bukan negara demokratis. Selama
abad ke-18 Inggris merupakan satu-satunya negara konstitusional di dunia.
Oleh karena itu, sistem konstitusi di Inggris telah menjadi contoh bagi
perkembangan konstitusional di negara-negara lain.
Konstitusi di Inggris adalah hasil dari perkembagan konvensi yang
berlangsung lambat dan bukan penemuan yang disengaja yang dihasilkan dari
sebuah teori. Walaupun perkembagannya bukan merupakan hasil sebuah teori,
konstitusi Inggris sudah dijadikan titik tolak pemikiran politik yang mencirikan
abad ke-17 dan abad ke-18. Konstitusi Inggris mampu beradaptasi dengan
kondisi baru dan menambahkan unsur-unsur baru yang dihasilkan oleh
konstitusi terdokumentasi yang muncul kemudian pada konstitusi yang sudah
ada tanpa mengubahnya secara mendasar (Strong, 1996).
E. Konstitusionalisme dan Perang Dunia I
Menjelang perang dunia I pada tahun 1914, eksperimen konstitusional
nasional dalam berbagai bentuk telah dicobakan di setiap negara Eropa dengan
pengecualian Rusia. Pada masa ini konstitusionalisme tidak hanya terbatas di
Eropa, Amerika Serikat dan Dominion (daerah kekuasaan) Inggris yang
berpemerintahan sendiri, pada masa ini pula konstitusionalisme telah menyebar
pula ke belahan lain dunia hingga ke tempat-tempat yang jauh, seperti Amerika
Selatan, Jepang, dan bahkan Cina.
Dan konstitusionalisme pada masa ini selalu dibentuk menurut bentuk lain
dari model Inggris yang diadopsi oleh Amerika Serikat, dengan kata lain
konstitusionalisme membentuk institusi representatif dan menjadikan bangsa
sebagai basis negara (Strong, 1996).
F. Konstitusi Indonesia dari Masa ke Masa
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, hingga sekarang di Indonesia telah
berlaku tiga macam undang-undang dasar dalam beberapa periode yaitu:
1) Periode 18 Agustus 1945–27 Desember 1949.
2) Periode 27 Desember 1949–17 Agustus 1950.
3) Periode 17 Agustus 1950–5 Juli 1959.
4) Periode 5 Juli 1959–Sekarang. (Strong, 1996).

Anatomi kekuasaan di Indonesia sudah tertuang di Pasal 1 ayat (3),


tentang jaminan HAM ada pada Pasal 26 sampai Pasal 34, untuk nuansa
peradilan dapat dilihat pada Pasal 24 ayat (1), adan untuk prinsip akuntabilitas
dapat dilihat pada Pasal 23 ayat (1).
Atas pemahaman terhadap paham konstitusionalisme tersebut dapat
digarisbawahi bahwa konstitusi atau undang-undang dasar mempunyai derajat
supremasi dalam suatu negara, dalam artian telah menjadi roh bagi tertib
hukum suatu negara.
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstitusi berarti hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-
Undang Dasar, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut
Konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi
memiliki peran untuk mempertahankan esensi keberadaan sebuah negara
dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak dinamis.
Konstitusi di Indonesia selalu mengalami perubahan, yang pertama
kali berlaku adalah UUD 1945, kemudian disusul UUD RIS pada tahun
1949 merupakan konstitusi kedua yang mengakibatkan bentuk Negara
Kesatuan berubah menjadi Negara Serikat. UUDS 1950 merupakan
konstitusi yang ketiga, walaupun kembali kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tetapi sistem pemerintahannya adalah Parlementer
sampai dikeluarannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke
UUD 1945 yang berlaku hingga reformasi yang menghantarkan
amandemen UUD 1945 ke empat kali dan berlaku sampai sekarang.
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah
dokumen formal. UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai
konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan
negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Amandemen UUD 1945 sebagai
amanat reformasi pada akhirnya dapat dituntaskan dalam Perubahan
keempat dengan nama resmi Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945).
Urgensi konstitusi atau UUD dalam suatu negara adalah untuk
menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur
jalannya pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2009.

Azhari A. Samudra. 1995. Peraturan Umum Tentang Pajak Daerah. Jakarta. PT


Gramedia Pustaka Utama.

Ibid., hlm. 1.

Ismail, & Hartati, S. (2019). PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN "Konsep


Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia". Pasuruan, Jawa
Timur: Qiara Media.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Bandung, PT. Raja Grafindo
Persada.

Salamah, U., Munir, & Suratman. (2017). PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


UNTUK PERGURUAN TINGGI. Malang: Madani.

Sri Soemantri, 1987, M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,Bandung,


Cetakan ke-6. Alumni, him. 1-2.

Strong, C.F Konstitusi Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Bandung : Nuansa & Nusa Media : 2004).

Nadiroh. (2015). Konstitusi UUD 45. In: Teori dan Konsep Konstitusi. Modul
Universitas Terbuka, 1–32. http://repository.ut.ac.id/id/eprint/3939

Mz, I. (2020). Sejarah Perkembangan Konstitusi Ditinjau Dari Perspektif


Ketatanegaraan Indonesiasejak Kemerdekaan, Orda Lama, Orda Baru Dan
Era Reformasi Hingga Saat Ini. Ganec Swara, 14(2), 618.
http://journal.unmasmataram.ac.id/index.php/

Santoso, M. A. (2013). Perkembangan Konstitusi Di Indonesia. Yustisia Jurnal


Hukum, 2(3). https://doi.org/10.20961/yustisia.v2i3.10168

Sartono, K. E. (2009). Kajian Konstitusi Indonesia Dari Awal Kemerdekaan


Sampai Era Reformasi. Humanika, 9(1), 26–44.
https://doi.org/10.21831/hum.v9i1.3786
Uud, K. D. A. N., Haryanti, A., & Haryanti, A. (1945). Konstitusi dan UUD 1945
V (Issue 1).

Anda mungkin juga menyukai