Anda di halaman 1dari 13

REVIEW MATERI

DINASTI ABBASIYYAH (750 – 1258 M)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

SEJARAH PERADABAN ISLAM


Dosen Pengampu

Muhammad Amiruddin, Lc., M.Pd.

Disusun oleh :
1. Rara Puspita PutrI (210703110015)
2. Nur Rasyid Saputro (210703110019)
3. Alvina Milaffaiza (210703110040)
4. Hikmah Helmi Bahtiar(210703110054)
5. Carlyna Septi Aisya (210703110105)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
REVIEW MATERI DINASTI ABBASIYYAH (750 – 1258 M)

A. Pendiriaan Dinasti Abbasiyyyah

Dinasti Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua


Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini
berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan
dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan
menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk
kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin
Abdul-Muthalib (566-652 M), oleh karena itu mereka juga termasuk keturunan
Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 132H/750M dan memindahkan ibu kota
dari Damaskus ke Baghdad.

Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye
untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim
di Persia pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya
pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin
memuncak dan akhirnya pada tahun 750 M, Abu al-Abbas as-Saffah berhasil
meruntuhkan Dinasti Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.

Dinasti Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga


abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan
menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang
non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir
pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.

Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang


menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah
mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said
bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari
keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun
909M, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya
ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian,
ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang
sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah
kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun
1171M. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin
komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929M, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun
1013M.

1. Asal-usul Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari


pemerintahan Dinasti Umayyah yang telah runtuh di Damaskus.
Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasanya diambil dari keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad
SAW yaitu Abbas bin Abdul Mutholib. Adapun penggagas pertama
berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah Ali bin Abdullah bin Abbas bin
Abdul Mutholib bin Abdi Manaf bin Hasyim. Walaupun Ali bin
Abdullah tidak sempat mewujudkan berdirinya Daulah Abbasiyah
namun anak cucunya berhasil mewujudkan cita-cita Ali bin Abdullah
tersebut setelah melalui proses yang sangat panjang. Dengan demikian
para pendiri Dinasti Abbasiyah masih keturunan Bani Hasyim. Pada saat
Rasullulah SAW menyebarkan Islam di Mekkah, antara Bani Hasyim
dan Bani Umayyah sering terjadi pertentangan dan persaingan. Selain
karena Bani Umayyah berasal dari golongan hartawan, mereka pun
menjadi penentang kuat dakwah Rasulullah SAW. Sedangkan Bani
Hasyim merupakan pendukung utama Rasulullah dalam menjalankan
dakwahnya.

Setelah pemerintahan Islam berada dibawah kekuasaan Bani


Umayyah, keluarga Bani Hasyim adalah adalah pihak yang paling
banyak dirugikan. Bani Umayyah mengubah sistem pengalihan
kekuasaan Islam yang demokratis menjadi dinasti turun temurun,
terlebih lagi perlakuan para penguasa Bani Umayyah terhadap Ali bin
Abi Tholib dan keturunannya yang sangat diskriminatif. Oleh karena itu
maka beberapa tokoh dari keturunan Abbas sangat berambisi untuk
merebut kekuasaan dari Bani Umayyah

2. Perintis dan pendiri Dinasti Abbasiyyah (Daulah Abbasiyyah)

Dinasti Abbasiyah berdiri 132 H/750 M melalui perjuangan dan


proses yang sangat panjang dan berliku. Ada enam tokoh perintis dan
pendiri Dinasti Abbasiyah yaitu :

a). Ali bin Abdullah

b). Muhammad bin Ali

c). Ibrahim bin Muhammad

d). Abu Abbas As Safah

e). Abu Ja,far Al Manshur f. Abu Muslim Al Khurasani

Sebelum Dinasti Umayyah runtuh, Bani Abbasiyyah telah


memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan propaganda anti
pemerintahan Dinasti Umayyah. Gerakan ini tidak hanya datang dari Bani
Abbas tetapi juga dari Kaum Syi’ah yang ingin menuntut balas atas
terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala secara keji, dan kaum Mawalli
yang menuntut hak, persamaan dan keadilan dari pemerintahan Dinasti
Umayyah.

Pemimpin gerakan dakwah ini adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, ia
sangat berambisi merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Untuk
mewujudkan keinginannya ia melakukan taktik dan strategi yang lama
namun pasti. Ia berpendapat bahwa pemindahan kekuasaan dari satu
kelompok ke kelompok yang lain harus mendapat dukungan dari seluruh
rakyat. Ali bin Abdullah bin Abbas melakukan propaganda ini kepada
masyarakat luas. Untuk mendapatkan simpati masyarakat maka Ali bin
Abdullah meminta pendukungnya untuk mengajak seluruh lapisan
masyarakat agar membantu keluarga Rasulullah SAW yang telah
diperlakukan tidak adil selama pemerintahan Bani Umayyah. Namun
sayang, sebelum mewujudkan cita-citanya beliau wafat pada tahun 124H/
742M. Setelah Ali bin Abdullah wafat kemudian diganti oleh anaknya yaitu
Muhammad bin Ali. Namun sayang, sebelum Dinasti Abbasiyah terbentuk
Muhammad bin Ali telah meninggal pada tahun 127H/ 745M . Ia melakukan
usaha propaganda anti pemerintahan Dinasti Umayyah sebagaimana yang
telah dilakukan ayahnya. Muhammad bin Ali memperluas gerakan Dinasti
Abbasiyah dan menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu
adalah al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kuffah
sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis.
Kuffah dan Khurasan dianggap sebagai tempat yang strategis, karena
banyak dihuni oleh masyarakat muslim non-Arab yang merasa tidak puas
dengan pemerintahan DinastiUmayyah yang memperlakukan mereka secara
tidak adil. Usahanyabenar-benar mendapat dukungan kuat dari masyarakat
muslim non-Arab.

Sepeninggal Muhammad bin Ali kemudian dilanjutkan oleh anaknya


yaitu Ibrahim aI-Imam. Ia juga melakukan propaganda anti
DinastiUmayyah. Ia menunjuk seorang khurasan sebagai panglima
perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani. Abu Muslim al-Khurasani
adalah seorang pemuda yang menampilkan bakat kepemimpinan dan
keberanian yang luar biasa. Padahal, waktu ia dijemput sebagai panglima
perang oleh Ibrahim Al-Imam ia baru berusia 19 tahun. Ia mencapai sukses
besar di Khurasan, ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk.
Banyak tuan tanah di persia yang mengikutinya, ia berkampanye untuk
memunculkan rasa kebersamaan diantara golongan Alawiyyin (keturunan
Ali), golongan syi’ah dan orang-orang Persia untuk menentang Dinasti
Umayyah yang telah menindas mereka. Abu Muslim al-Khurasani
mengajak mereka bekerja sama dengan gerakan Abbasiyah untuk
mengembalikan kekhalifahan kepada golongan Bani Hasyim, baik dari
keturunan Abbas bin Abdul Mutholib maupun dari keturunan Ali bin Abi
Thalib.
Sebelum Abu Muslim Al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang,
gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Para da’i dikirim keberbagai
penjuru wilayah Islam dengan menyamar sebagai pedagang atau jama’ah
haji. Hal itu dilakukan karena belum berani melawan Dinasti Umayyah
secara terang-terangan. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai
panglima, Ibrahim Al-Imam mendorong Abu Muslim untuk merebut
khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti
Umayyah. Rencana ini diketahui oleh penguasa Dinasti Umayyah. Melihat
kondisi tersebut khalifah Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayyah
menganggapnya sebagai ancaman. Ia mengirim pasukan untuk menangkap
Ibrahim AlImam lalu diasingkan dan dibunuh tahun 128H/ 746M.

Penangkapan terhadap Ibrahim Al-Iman telah membangkitkan


kemarahan saudaranya yaitu Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-
Mansur. Pada tahun 129H/ 747M. Mereka dibantu oleh Abu Muslim al-
Khurasani melakukan pemberontakan dan penyerangan dikota-kota penting
DinastiUmayyah. Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya.
Dengan pandai ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan
suku Arab Yaman yang sudah berlangsung lama. Pada masa itu orang-orang
Yaman mendapat kedudukan yang baik dari Khurasan. Hal itu disebabkan
Gubernur Khurasan saat itu berasal dari suku arab Yamani yaitu As’ad bin
Abdullah al-Qasri. Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai
gerakannya, gubernur Khurasan di jabat oleh Nasr bin Sayyar berasal dari
suku Arab Qaisy. Abu Muslim al-Khurasani mendekati al-Kirmani,
pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba
gubernur Nasr bin Sayyar berhasil dikalahkan.

Sementara itu Kahtaba danAbu Muslim al-Khurasani maju ke sebelah


barat, ia didampingi oleh Khalid bin Barmak. Mereka menyeberangi sungai
eufrat dan sampai ke medan karbala. Pertempuran dahsyat pun berkobar.
Gubernur Dinasti Umayyah yang bernama Yazid berhasil dikalahkan.
Namun Kahtaba gugur dalam pertempuran itu. Dibagian timur, tentara
Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Putra khalifah Marwan dikalahkan
Abu Ayun, Seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II
akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan
Dinastinya. Ia menggerakkan 120.000 tentara menyeberangi sungai tigris
serta maju menuju Zab Hulu atau Zab Besar.

Akhirnya khalifah Marwan II terkepung dikota Damaskus, namun ia


berhasil melarikan diri ke Yordania lalu ke Palestina, pemberontak terus
mengikutinya dan menaklukkan setiap kota kedalam kekuasaan Bani
Abbasiyah. Tidak ada lagi tempat baginya untuk melarikan diri selain
Mesir, yang kebanyakan penduduknya tidak menyukai DinastiUmayyah
akibat kekejaman dan ketidakadilan yang mereka terima. Akibatnya,
Khalifah Marwan II dihadang oleh pasukan Abbasiyah yang dikirim oleh
Abu Abbas as-Saffah. Pada tahun 132H/ 750M, Khalifah Marwan II
ditangkap dikota kecil yaitu al-Askar sebelah timur kota Fustath ibu kota
Mesir saat itu. Kepalanya dipenggal lalu dikirim kepada Abu Abbas sebagai
bukti kekalahan musuhnya.

Dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan


Dinasti Umayyah di Damaskus dan berdirilah Daulah Abbasiyah dengan
khalifah pertama Abu Abbas as- Saffah yang memerintah tahun 132-136H/
750-754M. Abu Abbas as-Saffah di baiat sebagai khalifah di masjid Kuffah.

B. Pola Pemerintahan Dianasti Abbasiyyah

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah selalu dinisbatkan kepada paman Nabi


Muhammad, yakni al-Abbas bin Abdul Muthalib. Sedangkan kekhalifahan
pertama dari pemerintahan Abbasiyah dimulai oleh Abdullah bin al-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Dinasti
Abbasiyah berkuasa selama lima abad, yakni dari tahun 132-656 H (750-1258)
M). Bagi kalangan bani Hasyim, setelah Rasulullah wafat yang paling berhak
berkuasa adalah keturunan beliau.

Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang


merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan
keluarga besar paman Rasulullah. Dari nama al-Abbas paman Rasulullah inilah
nama ini disandarkan pada tiga poros pusat kegiatan, yakni Humaimah, Kufah,
Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tentram, di tempat inilah
keluarga Bani Hasyim bermukim dan bertempat tinggal para petingginya
berjumlah seratus orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah dua belas
orang dengan puncak kepemimpinannya ada pada al-Imam Muhammad bin
Ali.

Propaganda Bani Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup


matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin
Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya
diketahui oleh Khalifah Umayyah terakhir Marwan bin Muhammad. Ibrahim
akhirnya ditangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjara di Haran
sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewariskan kedudukannya kepada adiknya
Abul Abbas ketika ia tahu bahwa dirinya akan terbunuh, dan memerintahkan
untuk berpindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda diberatkan
kepada Abu salamah.\

Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan


oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di
Khufa yang telah ditaklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang
paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar Khalifah Umayyah Terakhir,
Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, di mana
akhirnya dapat di taklukkan di dataran rendah sungai Zab. Pengejaran pun
dilanjutkan ke Mausul, Haran dan menyeberangi sungai Eufrat hingga sampai
ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Mesir dan terbunuh di
Busir, wilayah al-Fayyum, dibawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman al-
Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan Dinasti
Umayyah, lalu berdirilah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa


keemasan. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi, periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetauan dalam Islam
Perdaban dan perkembangan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang
bahkan mencapai kejayaan pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dkarenakan
Dinasi Abbasiyah pada periode tersebut lebih menekankan pembinaan
kebudayaan dan peradaban Islam daripada peluasan wilayah. Dan disinilah
letak perbedaan pokok antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.

Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun ar-
Rasyid (786-809 M). Dan anaknya al-Ma’mun (813-833 M). ketika ar-Rasyid
memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan
terjaminwalaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari
Afrika Utara hngga ke India.

Salah satu yang berkebang dalam masa kejayaan Islam Dinasti Abbasiyah
ialah kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Itu semua terbukti dari
beberapa penyusunan buku yang dilakukan pada masa tersebut dan juga ilmu
penerjemahan.

Setelah sekian lama mengalami kejayaan Dinasti Abbasiyah akhirnya


mengalami kemunduran pada tahun 1258 M. Semua bangunan kota serta istana
emas milik Dinasti Abbasiyah runtuh sebab serangan Mongol. Meruntuhkan
perpustakaan yang merupakan gudang Ilmu, dan membakar semua buku-buku
yang ada di dalamnya. Dan pada tahun 1400 M. kota tersebut diserang pula
oleh pasukan Timur Lenk dan pada tahun 1508 M. oleh tentara kerajaan
Safawi.

Setelah terjadinya serangan Mongol, khalifah pun kembali ke Baghdad


bersama dengan Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin al-Thusi. Di bawah rasa takut
dan tekanan yang hebat khalifah pun mengeluarkan emas, perak, dan barang-
barang berharga lainnya untuk diberikan kepada pasukan Mongol. Akan tetapi,
sebelumnya Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin al-Thusi membisiki pasukan
Mongol untuk tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah.

Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak.


Namun justru pasukan Mongol mengintruksikan untuk mengeksekusi khalifah.
Dengan demikian, pada hari Rabu tanggal 14 Safar, terbunuhlah Khalifah al-
Mu’tashim Billah. Dalang dibalik terbunuhnya khalifah adalah Ibnu al-Alqami
dan Nashiruddin al-Thusi.

Bersamaan dengan gugurnya khalifah, pasukan Mongol pun menyerbu


masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti sehingga jatuhlah kota
tersebut. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah dua juta
jiwa. Tidak ada yang selamat kecuali kaum Yahudi, kaum Nasrhani, orang-
orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol, orang-orang yang
berlindung di rumah Ibnu al-Alqami, serta pasukan konglomerat yang
membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol.

Demikianlah akhir dari perjalanan dinasti yang pernah membawa Islam


Berjaya pada masanya. Kejayaannya bahkan mampu mengalahkan kejayaan
Eropa.

C. Ekspansi Wilayah Dinasti Abbasiyyyah

Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam


semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah,
antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia),
Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol,
Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.

Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang


sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada
tahun 756-758 M. Ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus.

Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama


genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.

D. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah


Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan
Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis
terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya penterjemahan karya-karya
terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang dilakukan oleh para ahli.
Kebangkitan ilmiah pada zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu :
kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan
penerjemahan dari bahasa asing.

Setelah mencapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara


membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-
undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-
masing. Dengan demikian munculah pada zaman itu sekelompok penyair-
penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu hisab, tokoh-
tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan
bahasa Arab.

Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti; filsafat.


Filosuf terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M).
Abu Nasr al Faraby (258-339 H/870-950 M), yang menghasilkan karya dalam
bentuk buku berjudul Fusus al-Hikam, Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah
al-Fadhilah. Selain mereka, juga ada Ibnu Sina(370-428 H/980-1037 M), Ibnu
Bajjah (w. 533 H/1138 M), diantara karyanya adalah Risalatul Wada’, akhlak,
kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir al-Mutawahhid,
kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111 M),
Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain filsafat, juga
terjadi perkembangan dan kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi.
Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali,
Sajastani, dan lain-lain.

Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani


Abbasiyah adalah sebagai berikut :

a). Kota-Kota Pusat Peradaban


Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah
Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan
Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M)
pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu
pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra
terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota
Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni
bangunan Islam di kota-kota lain.

b). Bidang Pemerintahan

Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai


kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah
penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang masa
Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir
(perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada
masa Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi
boneka saja, karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri
mereka sebagai penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian
pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.

Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani


Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/
Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-
Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini
diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala
desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.

Selain itu, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang


yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam
menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen
Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping itu juga
kholifah membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah dalam
urusan hukum.
c). Bangunan Tempat Peribadatan dan Pendidikan

Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga


pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah
Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah,
Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri
pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai
lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai
tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai
perpustakaan.

Di samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat


peribadatan, seperti masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai
tempat pelaksanaan ibadah sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan
tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-masjid tersebut adalah masjid
Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain sebagainya.

d). Bidang Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari


ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits
Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu
‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti,
Logika, Filsafat dan Geografi.

Anda mungkin juga menyukai