Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Muncul, Berkembang, Dan Faktor-Faktor Yang Mendorong Keragaman Pemikiran Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

A. Pendahuluan Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah The Golden Age. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah. Hal ini memungkinkan daulah bani Abbasiyah dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasan telah dipersiapkan oleh daulah bani Umayyah yang besar.

Namun dengan menyokong imperium besar tersebut, justru sebagai penyebab kehancuran dan tranformasi imperium bani Abbasiyah. Bahkan kehancuran bani Abbasiyah terjadi disaat berlangsungnya konsolidasi. Disamping itu kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan hidup mewah para khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para pejabat pemerintahan karena harta kekayaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur. Dalam tulisan ini pula penulis lebih menyorot aliran pemikiran yang ada pada masa Daulah Abbasiyah, pengaruh serta peran apa saja peran mereka di dalammnya. Kemudian latar belakang kemunculan aliran tersebut pun akan coba di uraikan. Serta apa saja kaintan aliran pemikiran tersebut pada masa itu, billahi astainu wa taufiq.

B. Pembahasan 1. Sejarah Munculnya Bani Abbasiyah Salah satu dinasti Islam ternama adalah Abbasiyyah. Setelah Ummayyah, muncul Dinasti Abbasiyyah yang tertahan lebih dari 5 abad (750-1258), dan pernah mewujudkan zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan membagi kekuasaan Abbasiyyah menjadi beberapa priode berdasarkan ciri, pola perubahan pemerintahan, dan strukur sosial politik maupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai. Secara umum mereka berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah dapat dibagi atas empat priode :

Priode Awal (750-847), Priode Lanjutan (847-945), Periode Buwaihi (945-1055), dan Periode Saljuk (1055-1258).

a. Keruntuhan Dinasti Umayyah Dinasti Ummayyah digulingkan oleh berbagai gerakan oposisi yang memandang bahwa pemerintahan ini tidak sah. Ada beberapah alasan kenapa oposisi tidak mengakui pemerintahan Ummayyah. Salah satu diantaranya ialah bahwa yang seharusnya menganti kepemimpinam Nabi Muhammad SAW adalah keturunan langsung Muhammad SAW. Kemudian ada juga yang menegaskan bahwa pemerintahan Umayyah semakin jauh dari nilai-nilai agama Islam. Bahkan bahkan ada juga yang menentangnya karena mereka tersingkir dari kekuasaan. Gerakan anti umayyah telah tampak sejak pemerintahan Khilafah Hisyam bin Abdul Malik (724-743). Diantara gerakan oposisi yang mampu menggalang dukungan dari berbagai pihak dan berhasil membangun jaringan oposisi yang cukup luas adalah yang dipimpin oleh para keturuna Nabi Muhammad SAW yaitu Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim, Abdullah bin Abbas, Ali Bin Abdullah dan Muhammad bin Ali. Disamping membina basis kekuatan politiknya di Khurasan, ia juga mendapat dukungan dari sebagian pendudu Kufah. Sebagian besar penduduknya berasal dari kelompok mawali, yaitu masyarakat Islam Non Arab, terutama Persia. Di samping itu Ali juga merekrut dan membentuk kader yang di sebut dengan dai. Kelompok ini di kirim ke berbagai daerah Khurasan dan Kufah untuk menyebarluaskan gagasan dan membinia serta menyusun kekuatan di masing-masing daerah. Mereka secara aktif melakukan persiapan untuk menjatuhkan Dinasti Umayyah. Seperti Ali, Muhammad bin Ali juga melancarkan propaganda anti-umayyah dengan bantuan Abu Muslim al-Khurasani (=abdurrahman bin Muslim) dan para pengikutnya. Kelompok gubungan ini menyebar keseluruh negeri muslim mempengaruhi rakyat untuk melakukan oposisi terhadap pemerintahan umayyah. Gerakan ini semain lancar, rapi dan efektif dibawah pipmpinan ibrahim bin Muhammad, terutama sejak ali bin Abdullah meninggal pada tahun 142 H/742 M. Ia juga berhasil menggalang dukungan dari golongan syiah, kelompok yang paling tertekan selama masa periode Umayyah. Kelompok Syiaj ini mendukung gerakan yang dilancarkan oleh ibrahim, karena imam syiah pada waktu itu, Muhammad bin abdullah telah dilantik sebagai khalifah bayangan pertama bagi pemerintahan baru menggantikan Umayyah. Dengan cara ini Muhammad bin Abdullah berharap dia nanti benar-benar menjadi khalifah baru, apalagi menurut perhitungannya tidak sedikit kalngan yang akan menerima Muhammad bin Abdullah karena dia adalah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Dengan

demikian, secara de facto, gerakan anti-umayyah telah memperoleh dukungan luas melifuti wilayah Kufah, Basra, Mekah dan Madinah. Pada bulan Ramadan tahun 129 H/742 M, pemberontakan secara terbuka mulai dilancarkan oleh ibrahim di Khurasan. Tetapi kemudian pada tahun 748 ia di tangkap oleh tentara khalifah Marwan II. Penagkapan Ibrahim justru lebih meningkatkan perlawanan yang dipimpin oleh Abu Abbas dan Abu Jafar. Setelah kota Kufah dapat dikuasai sepenuhnya oleh gerkan ini, Abu Abbas kemudian ditabalkan menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah (750-754). Khalifah yang kedua dipegang oleh Abu Jafar (754-775). Sejak itu, kekuasaan Dinasti Umayyah benar-benar telah runtuh.

b. Priodisasi Pemerintahan Daulah Abbasiyah Semenjak terbunuhnya khalifah terakhir dari Bani Umayyah Marwan di desa Bhusair (Mesir) oleh Saleh bin Ali maka berakhirlah kekuasaan Daulah Umayyah dan sejarah Islam berada dalam kekuasaan Daulah bani Abbasiyah. Para ahli sejarah membagi priode pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah ke dalam empat priode : Priode Abbasiyah kesatu , yaitu sejak lahirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah sampai berakhirnya pemerintahan Khalifah Al Watshik. Periode ini memakan waktu sekitar satu abad lamanya (132-232 H = 750-847 M). Periode ini dianggap sebagai periode kejayaan Daulah Abbasiyah sebab dalam periode ini kekuasaan masih sepenuhnya dipegang oleh khalifah serta kebudayaan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Tulang punggung kekuatan para khalifah pada masa ini adalah orang-orang persia. Sedangkan khalifah-khalifah pada masa ini adalah : 1. As Saffah (132-136 H = 750-847 M. Abdul Abbas di beri gelar As Saffah oleh sejarawan karena beliau seorang khalifah yang banyak menumpahkan darah, tetapi ada juga yang mengatakan karena beliau adalah khifah yang pemurah dan dermawan. Pada masanya terjadi revolusi sosial atas keluarga bani umayyah dan ibu kota Hasyimiyyah di sebelah Kota Anbar di pinggir sungai Efrat. 2. Al Mansyur (136-158 H = 754-775 M). Abu Jafar diberi gelar Al Mansur karena beliau banyak memperoleh kemenangan dalam banyak pertempuran yang beliau ikuti. Pada masanya Abu Muslim Al Khurasani di bunuh atas perintah beliau, Ibu Kota Bagdad dibangun dengan mengambil lokasi dipinggir belahan timur Sungai Tigri, agak sebelah utara Madain dan Daulah Bani Umayyah kedua berdiri di Andalusia, merdeka dari kekuasaan Abbasiyah.

3. Al Mahdi (158-169 H = 775-785 M). Al Mahdi adalah Muhammad bin Abu Jafar Al Mansyur. Sejak Al Mahdi ini khalifah Abbasiyah mulai bermewahmewahan, berbeda dengan As Saffah dan Al Manshur yang mencerminkan kesederhanaan serta tidak mau meminum minuman keras atau main perempuan. Pada masanya ini, Empress Irene penguasa Byzantium pada tahun 782 memohon perdamain kepada Al Mahdi dan bersedia membayar upeti tahunan sebesar 70.000 ringgit. Peristiwa itu ketika Irene melihat ibu Kota Kontatinopel telah terancam dengan pengepungan tentara dan armada Abbasiyah. Pada saat itu panglima perang daulah Abbasiyah adalah Harun Al Rasyid. 4. Al Hadi (169-170 H=785-786 M).Al Hadi adalah Musa bin Muhammad Al Mahdi. Ia memerintah hanya setahun tiga bulan lamanya. 5. Ar Rasyid (170-193H = 786-809 M). Ar Rasyid adalah Harun bin Muhammad Al Mahdi. Beliau diberi gelar Ar Rasyid karena kecendekiawannya ketika beliau melakukan perundingan dengan Irene pada masa ayahnya,Al Mahdi. Ar Rasyid artinya yang cendekiawan.Pada masanya berdiri dua kerajaan. Pertama Daulah Idrisiyah (172-311 H = 788-924 M)yang dibangun oleh Idris bin Abdillah bin Husain bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Kedua Daulah Aghlabiyah (184-296 H=800-909 M) yang dibangun oleh Ibrahim bin Aghlab, gubernur wilayah Afrika utara yang berkedudukan di Kairawan. Pada masanya terjadi tali persahabatan dengan Charlemagne, cucu Karel Martel yang mampu menghadang pasukan Islam di bawah Abdurrahman Al Ghafiki pada tahun 732 M di Kota Tours yang berjarak 126 mil dari kota Paris. Demikian juga Kaisar Nichephorus yang menggantikan Empress Irene kalah perang melawan tentara Abbasiyah, sehingga menyerah dan bersedian membayar upeti tahunan kepada Harun Ar Rasyid. Karena ide dan hasutan orang yang dengki maka Harun Ar rasyid menjatuhkan hukuman mati terhadap keluarga Barmaki (berdarah Persia) yang sebenarnya merupakan tulang punggung

kekuasaanDaulah Abbasiyah sejak Al Mansur sampai Ar Rasyid. 6. Al Amin (170-193 H=786-809 M). Al Amin adalah Muhammad putra Harun Ar Rasyid dari istrinya yang keturunan Bani Hasyim. Amin memecat saudaranya,Al Mamun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang dekatnya. Oleh ssebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan kemenangan di pihak Al Mamun.

7. Al Mamun (198-218 H=813-833 M). Al Mamun adalah Abdullah putera Harun Ar Rasyid dari isterinya yang keturunan Persia. Beliau sebagi khalifah berkedudukan di Kota Merv, Ibu Kota Khurasan, sejak kecil ia berdomisili di sana. Pada mmasanya dipandang sebagai puncak gemilang kebudayaan Islam, beliau mengikuti aliran Mutazilah yang menganggap Al Quran sebagai makhluk dan membasmi paham Sunni yang dipelopori Imam Ahmad bin Hambal yang mengatakan Quran sebagai kalamullah yang qadim. Saar itu tokoh-tokoh Sunni mengalami ujian yang dikenal dengan Al Mihnah. Al Mihnah ini menimpa mereka sampai masa khalifah Al Mutashim dan Al Watsiq. Pada masanya Al Mamun mempunyai keinginan untuk menyerahkan kursi khalifah kepada keturunan Ali bin Abi Thalib, sehingga beliau mengawinkan putrinya dengan Ar Ridha, seorang imam Syiah Itsna Asyariyah. Gagasannya ini tercetus saat pengaruh wazir besar Fadl bin Sahal (keturunan Persia), tetapi ditentang oleh kalangan Abbasiyah, sehungga penduduk Baghdad

memecatnya dan menggantikannya dengan Al Mubarak. Namun, soal ini dapat diatasi oleh Al Mamun setelah Ar Ridha wafat. Pada masanya didirikan Daulah Thahiriyah(205-259 H=820-873 M) di wilayah Asia Tengah, berkedudukan di Bukhara oleh panglima Thahir bin Husein. 8. Al Mutashim (218-227 H=833-842 M). Al Mutashim adalah Muhaammad bin Harun Ar Rasyid. Ketika Al Mamun hendak wafat berwasiat kepadanya dalam dua hal, yaitu: (1) melanjutkan Al Mihnah, dan (2) bersikap lunak kepada kelompok Alawiyyah. Wasiat itu dilaksanakan dengan baik. Pada masanya beliau mendirikan Kota Samarra (berasal dari surra man ra-a) dan beliau mulai menggantikan peranan orang-orang Persia dengan orang-orang Turki, terutama dalam ketentaraan, sebab ibunya beraasal dari keturuna baangsa Turki. Sejak ini orang-orang Turki mulai berpengaruh dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah. 9. Al Watsiq (227-232 H=842-847 M). Al Watsiq adalah Harun bin Muhammad Al Mutashim. pada masanya terjadi peristiwa besar, yaitu perpindahan secara

besar-besaran penduduk jazirah Arab bagian selatan ke pesisir Afrika bagian timur. Di sana mereka membuka bandar-bandar baru sebagai pusat perdagangan. Peristiwa ini diramakan oleh sejarawan terkenal Toynbee sebagai awal proses Islamisasi bagi seluruh Afrika hitam. Pada masanya Asynas at Turki menjadi penguasa pelaksana (as sultan) yang berakibat besarnya pengaruh orang-orang Turki di kemudian hari.

Periode Abbasiyah kedua, yaitu sejak khilafah Al Mutawakil (232 H=847 M) sampai dengan berdirinya Daulah Bulwaihi (334 H=945M). Pada masa itu ditandai besarnya pengaruh orang-orang Turki dan Pulihnya pengaruh aliran Sunni. Al Mutawakil menyadari bahwa terankatnya sebagai Khalifah atas usaha orang-orang Turki. Mereka itu bisa saja mengangkat dan memecat khalifah sesuai dengan keingina mereka, sebab mereka itu amat berpengaruh dalam semua sektor pemerintahan. Oleh sebab itu, Mutawakil berusaha membatasi pengaruh mereka dan hendak membebaskan diri dari pengaruh mereka. Tetapi usahanya itu tidak kesampaian. Bahkan ia sendiri mati dibunuh atas persengkokolan orang-orang Turki dengan putra Mutawakil sendiri. Al Mutawakil digantikan putranya itu dengan gelar Al Mutashir. Ia berkuasa hanya enam bulan lamanya. Daulah Abbasiyah sepenuhnya berada dalam kekuasaan orangorang Turki. Sedangkan khalifah-khalifah abbasiyah hanya sebagai simbol belaka. Kalau pada periode Abbasiyah peratama terdapat empat wilayah yang berdiri sendiri, tetapi pada Abbasiyah kedua ini lebih banyak lagi wilayah-wilayah yang berdiri sendiri sehingga kekuasaan Daulah Abbasiyah tinggal daerah Baghdad dan sekitarnya. Periode Abbasiyah ketiga, yaitu sejak tahun 334 H sampai dengan tahun 447 H. Periode ini di tandai dengan besarnya pengaruh keluarga Buwaihi. Khalifah Daulah Abbasiyah kedua puluh adalah Al Mustakfi Billah. Ia diangkat sebagai khalifah atas usaha seorang sahaya Turki, bernama Illam. Pada Masanya ahmad bin Buwaihi menyatkan dirinya sebagai Muizzud Daulah mengesahkan wilayah Fars tetap pada kekuasaan saudaranya, Ali bin Buwaihi dengan gelar Imadud Daulah dan wilaya Isfahan tetap pada kekuasaan saudarany, Hasan bin Buwaihi dengan Gelar Ruknud Daulah. Al Mustakfi diganti oleh Al Muthiilillah. Al Muthiilillah sebagi khalifah hanya mempunyai wewenang khutbah pada waktu shalat Jumat dan hari raya serta cap stempel khalifah untuk suray-surat resmi tertentu. Sedangkan kekuasaan pemerintahnya sepenuhnya di tangan Muizud Daulah. Pada masa Muizud Daulah sebagai Amirul Umara wilayah wewenang Daulah Abbasiyah pulih Kembali, kecuali wilayah Andalusia yang berada dalam kekuasaan Bani Umayyah, wilayah Afrika Barat dan Utara yang berada dalam kekuasaan fathimiyah dan daerah pedalaman Jazirah Arabiyah yang berada dala kekuasaan Qaramithah. Bani Buwaihi ini beraliran syiah, sedangkan khalifah tetap berpegang pada mazhab Sunni. Ibu Kota resmi BaniBuwaihi di Shiraz, sedangkan Baghdad menempati Ibu Kota kedua. Pada masa Muizuddaulah yang berkuasa dua puluh tahun lamanya itu pembanguna berjalan dengan baik, rakyat merasa aman dan Hajar Aswad yang pada tahun 317 h diambil oleh qaramithahdapat ditempatkan kembali pada tempatnya semula.

Muizuddaulah digantikan oleh putranya, Izzud Daulah. Karena Izzud Daulah lebih mementingkan kemewahan berfoya-foya , maka kekuasaanya itu di ambil oleh saudara sepupuhnya, Idhuddaulah. Pada masa Idhuddaulah ini pembangunan materil dan perkembangan ilmu pengetahuan amat digalakkan. Sehingga simpati rakyat amat besar kepadanya dan ia sendiri mengangkat dirinya sebagai Al Mulk, sebuah gelar baru dalam sejarah Islam. Periode Abbasiyah keempat, yaitu sejak tahun 447-656 H=1055-1258 M. Periode ini ditandai dengan besarnya pengaruh keluarga Bani Saljuk. Pada saat itulah dua peristiwa besar yang melanda umat Islam. Pertama, perang salib, antara dunia Islam dengan dunia Barat Nasrani dan penyerbuan bangsa Mongol ke bagdad yang membuat akhirnya Daulah Abbasiyah. Setelah peristiwa ini, kedudukan khalifah Abbasiyah pindah ke Mesir.

c. Ciri-ciri Khusus Daulah Abbasiyah Dari sudut perkembangan Islam Daulah Abbasiyah mempunyai beberapa ciri khusu, antara lain: 1. Munculnya pusat-pusat peradaban dan ilmu pengetahuan 2. Sekalipun wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah tidak bertambah, bahkan berkurang, namun wilayah penyebaran Islam meluas sampai ke pedalaman anak benua India dan lahir Daulah-daulah Islam disana serta sampai ke nusantara. 3. Besarnya pengaruh Mutazilah dalam pemerintahan pada masa Al Mamun dan dua orang penggantinya. 4. Berperannya unsur-unsur non-Arab dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah sehingga kedudukan khalifah hanya sebagai simbol saja, kecuali pada masa Abbasiyyah I. 5. Munculnya Daulah-daulah Islam yang merdeka dari kekuasaan politik dan keagamaan dari khilafah Abbasiyah.

d. keragaman pemikiran Islam dan faktor-faktor pendorong kemunculannya Sebagaimana banyak ditulis para sejarawan bahwa pada masa Daulah Abbasiyah banyak sekali aliran pemikiran yang muncul selama Daulah Abbasiyah berlansung, ini merupakan bagian dari liku perjalan sejarah Daulah Abbasiyah. Berikut adalah aliran pemikiran Islam yang ada pada masa Daulah Abbasiyah: 1. Mutazilah Mutazialah muncul pada masa Bani Umayyah tanpa mendapat tantangan dari pihak penguasa karena mereka tidak menimbulkan gangguan dan tidak pula

memerangi Bani Umayyah. Kegiatan mereka hanya berpikir, adu argumentasi, mengkaji serta menguji masalah-masalahberdasarkan logika yang benar. Bani Umayyah tidak menentang mereka, tetapi membantu dan mendukung mereka. Pada msa pemerintahan Bani Abbas telah banyak di temukam orang-orang mulhid (ingkar terhadap tuhan) dan zindiq. Sebagaimana telah kami jelaskan, karena para khalifah melihat bahwa golongan Mutazilah telah berjasa menumpas orangorang zindiq, maka merka membiarkan dan tidak membasmi golongan ini, malah merangang golongan tersebut untuk tetap mempertahankan paham mereka. Khalifah al Makmun mengakui dirinya sebagi salah seorang penganut paham Mutazilah. Keika berkuasa ia bergaul, mendekati, dan mendukung golongan Mutazilah , serta mengangkat pengawal dan mentrinya dari kalangan mereka. ia mengadakan diskusidiskusi antara Mutazilah dan ulama fiqh untuk mencari persamaan pandangan. Keadaan seperti ini terus berjalan sampai tahun 218 H, tahun ia wafat. Diskusi ilmiah ini menjadi arena ancaman penyiksaan yang pedih, yang dimaksud untuk menarik massa agar menganut pahan Mutazilah. Ancaman itu benar-benar terjadi berdasarkan usulan dan pengarahan dari menteri dan sekretarisnya yang bernama Ahmad ibnu Abi Dawud al Mutazili. Sungguh sangat disayangkan, irang seperti al Mamun menyetujui peristiwa itu pada masa pemerintahannya. Pada masa itu terjadi perubahan suasa ; dari sekedar diskusi menjadi tindak kekerasan untuk membaea para ahli fiqh dan muhaditsin mengikutu faham mutazilah. Belum pernah terjadi, sebelum pemerintah al Makmun, kekuatan pemerintah dikerahkan untuk membantu suatu paham yang tidak mereka yakini. Jika agama Islam mengharamkan pemaksaan agama, mengapa agama pemerintah turut campur untuk memaksakan suatu paham?Al Mamun memaksa para fuqoha dan muhadtsin untuk menyatakan bahwa al Quran itu makhluk. Sebagian ulama mengikuti sebagai taqiyyah ( tindakan menyelamatkan diri) dan karena takut, bukan karena menyakininya, sedangkan sebagian lagi karena di paksa dan di intimidasi atau karena di penjarakandalam waktu yang lama lantaran tidak mau menyatakan faham yang tidak diyakininya. Finah (malapertaka) itu berlangsung sapai massa al Mutasim dan al Watsiq, karena la Mamun berwasiat untuk meneruskannya. Bahkan, al Watsiq menambah dengan paksaan untuk mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat pada hari Kiamat, sebagai mana pendapat mutazilah. Ketika al Mutawakkil berkuasa, ia menghentikan malapetaka itu dan memuliakan suasana seperti sebelumnya. Pendapat-pendapat dan paham-paham yang berkembang kembali sebagaimana

adanya. Bahkan, ia merenggangkan hubungan dengan Mutazilah dan tidak menyukainya. Posisi mutazilah dalam penilaian zamannya Golongan Mutazilah mendapat tantangan dari golongan fuqoha dan golongan muhaditsin. Mereka terjepit diantara dua pihak yang sama kuat; yaitukaum zindiq, al Musyabbihah, al Mujassimah, dan yang serupa dengan mereka, pada satu pihak, dan kaum fuqoha serta mauhadditsin di pihak lain. Anda dapat mengetahui kebencian pra fuqoha serta muhadditsin yang merek alakukan terhadap Mutazilah setiap kali mereka mendapat kesempatan. Demikian juga anda mendengar celaan Imam Syafii dan Ahmad Hanbal terhadap ilmu kalam dan orang-orang belajar kepada ahli ilmu Kalam. Sebenarnya celaan itu mereka tujukan kepada golongan Mutazilahdan metode berpikirnya. Masalahnya, apa sebenarnya rahasia kebencian para fuqoha dan muhadditsin terhadap golongan mutazilah yang muncul sebelum terjadinya malapetaka al Mihna yang di terapkan al Mamun untuk mendukung pendapat mereka? jadi faktor penyebabnya sudah bertumpang tindih. Antara lain : 1. Dalam memahami aqidah, Mutazilah menyimpang dari metode yang diterapkan oleh ulama dan semua orang yang hendak memahami sifat-sifat Allah harus merujuk pada al Quran dan Sunnah Nabi. Aqidah yang lahir darinya, bukan berasal dari sumber yang lain, wajib diimani. Ayat-ayat al Quran merupakan bukti dan keterangan tentang Aqidah. Sedangkan ayat-ayat yang mereka sulit pahami pengertiannya, mereka cari pemecahannya melalui uslub (gaya bahasa)Arab, dan dalam hal itu mereka adalah ahlinya. Jika dengan cara itu mereka masih menemui kesulitan dalam memahaminya, mereka tawaquf (menghentikan usha memahaminya) dan menyerahkan kepada Allah tanpa menimbulkan fitnah. Kebiasaan seperti itu memrupakan kebiasaan orang Arab, karena pada dasarnya mereka bukan ahli pengetahuan, logika atau filsafat. Ketika berbagai disiplin ilmu berkembang, termask filsafat, muncul golongan Mutazilah itu mempengaruhi pemikiran mereka sehingga mengubah hakikat sebuah masalah. Metoda semacam itu dalam mengkaji masalah-masalah agama merupakan hal yang baru dan tidak disenangi oleh para fuqoha dan muhadditsin. Mereka melontarkan berbagai kritik yang pedas dan ungkapan yang buruk terhadap golongan Mutazilah.

2.

Mutazilah sibuk mengadakan perdebatan melawan kelompok zindiq, Rafidhah, para penyembah berhalla dan lain-lain. Setiap perdebatan merupakan satu bentuk peperangan, karena menggunakan strategi perang yang berhubungan dengan pemilihan senjata yang tepat dan pengkajian sasaran. Hal ini memberikan pengaruh kepada kedua belah pihak, sehingga masing-masing meniru sebagian strategi yang digunakan lawan. Mutazilah mengambil sebagian metode berpikir lawan-lawannya, tetapi pengambilan itu tidak menyangkut semua unsurnya dan tidak sampai merusak aqidah yang membuat mereka keluar dari Islam atau mengurangi semangat jihad mereka dalam beredebat dengan lawan. Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul al-Intishar, Neibrig mengatakan secara tepat,Orang yang menghadapi musuh yang besar dan kuat di dalam suatu peperangan, maka ia akan terikat dengan musuhnya itu dalam hal persyaratan-persyaratan dan strategi perang; ia mesti mewaspadai dan mengamati segala tindakan musuhnya, baik gerak dan diamnya maupun duduk dan berdirinya. Acap kali dalam hal itu ia dipengaruhi oleh semangat dan takatik stategi musuhnya.Demikian pula halnya dengan peperangan di bidang pemikiran. Tegaasnya, pengaruh lawan dalam membentuk pemikiran tidak kurang dan tidak lebih kecil dari pengaruh teman, sehingga sebagian golongan Hanabilah melaporkan bahwa rekan-rekan mereka menghentikan penyerangan terhadap penganut hedonisme, sehingga mereka menjadi penganut hedonisme. Karena itulah anda tidak perlu heran kalau Mutazilah melahirkan pemikiranpemikiran yang aneh akibat adanya pengaruh perdebatan dengan lawanlawannya itu. Dalam menemukan pemikiran aqidahnya, mutazilah menggunakan metode logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nash-nash alQuran. Jika kelihatan ada pertentangan antara paham yang mereka tetapkan dan nash al-Quran yang mereka baca, maka nash itu mereka tawilkan sehingga tidak bertentangan dengan paham mereka dan sekaligus tidak bertentangan dengan makna al-Quran. Landasan metode seperti ini adalah kepercayaan yang tinggi kepada kemampuan akal. Akal mempunyai jalan dan kecenderungannya sendiri. Karena itu mereka banyak terperangkap dalam kesimpulan-kesimpulan yang tidak baik karena didorong oleh kecenderungan logika murni itu. Contohnya adalah kesimpulan al-Jubbai, salah seorang tokoh Mutazilah, yang mengatakan bahwa Allah taat kepada hamba-Nya, jika Dia mengabulkan doa hamba-Nya.

3.

Kesimpulan ini lahir karena Abu al-Hasan al-Asyari bertanya kepadanya,Apa pengertian taat menurut pendapat Anda? Ia menjawab,Sesuai dengan kehendak. Barangsiapa melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kehendak orang lain, maka ia menaatinya.Kalau begitu Alloh menaati hamba-Nya jika Dia berbuat sesuai dengan keinginan hamba-Nya? Sekiranya hal itu bisa, tentu bisa pula dikatakan bahwa Tuhan tunduk kepada hamba-Nya? Maha suci Alloh dari kesimpulan seperti itu, dengan sebenar-benar tinggi. Contoh lain ialah ucapan Abu al-Huzail bahwa penghuni surga tidak memiliki kebebasan untuk memilih, karena jika memiliki kebebasan itu, mereka tentu menerima beban taklif, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan,bukan tempat taklif. Pendapat ini sangat jauh dari kebenaran, karena adanya kebesan tidak mesti melahirkan adanya taklif. Al-Khayyah mengatakan bahwa belakangan Abu al-Huzail meralat pendapatnya itu. Pemikiran-pemikiran aneh sepereti itu ditemukan di tengahtengah mereka dan menyimpang dari pendapat umum sehingga mereka menerima penilaian-penilaian yang tidak baik. 4. Para penganut paham Mutazila banyak menentang orang-orang yang di hormati dikalangan masyarakat, dan mereka tidak memilih kata-kata yang sopan dalam menentang orang-orang itu. Perhatikan ucapan al Jahizh, slah seorang tokoh mutazilah, tentang para ahli fiqh dan hadits, orang yang menekuni hadits adalah orang awam. Mereka melakukan taqlid tanpa lebih dahulu menyaring dan memilih. Perbuatan taqlid sangat dibenci oleh akal, dan dilarang oleh al Quran. Adapun pendapat mereka bahwa orang-orang yang tekun beribadah berasal dari golongan mereka, maka sesungguhnya ibadat orang khawarij sudah lebih banyak dari ibadat mereka, padahal jumlah mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah golongan khawarij. Sebabnya ialah niat, makanan, usaha, wara, dan benar ucapan orang khawarij lebih baik dari pada golongan muhadditsin; lebih sedikit berpura-pura, lebih konsisten berpendapat, lebih ulet, lebih sedikit membuat batasan-batasan, lebih zuhud dan bersungguh-sungguh. Orang-orang yang diremehkan al Jahizh itu adalah orang-orang yang dihormati dan di segani di berbagai bangsa dan lebih mulia dibanding al Jahizh. Tuduhan pajit itu menjadi sebab menghindarnya sebagian besar ulama Mutazilah, walaupun mereka dihormati oleh para peneliti yang obyektif. Para penhanut hedonisme banyak melihat peluang dalam Mutazilah untuk menjadikan mereka ujung tombakdalam melaksanakan niat dan pandangan mereka dengan jalan menyusupkannya kedalam Islam dan kaum muslimin.

Kemudian, jika niat jahat mereka itu terbongkar, mereka berlindung di balik nama Mutazilah. Ibn al Rawandi termasuk dalam kelompok itu. Abu Isa al warraq, ahmad ibn Haits dan Fadl al Hadtsi menyusupkannya kedalam Mutazilah. Mereka menampilkan pendapat-pendapat yang dapat meruntuh sendi-sendi keislaman. Di antara mereka ada yang di curigai menjadi orang bayaran yahudi untuk merusak Aqidah umat Islam. Semua itu memyebankan Mutazilah mendaoat caci maki dan tuduhan dari kaum muslimin. Walaupun para tokoh mutazilah bersumpah bahwa mereka tidak terlibat dalam urusan itu, tuduhantuduhan itu tidak terhapus seluruhnya, karena yang selalu lebih dulu terbayang dalam benak umat Islam adalah tuduhan itu, bukan pernyataan ketidak terlibatan itu, bukan pernyataan ketidak terlibatan mereka. Dikalangan Bani Abbas terdapat orang-orang yang menjadi mendukung, penganut dan fanatik terhada Mutazilah, dan berusaha agar masyarakat menganut paham itu. Orang-orang yang menyiksa ulama fiqh dan hadits serta memberlakukan politik al Mihna (ujian keyakinan) terhadap mereka, tetapi mereka tetap tabah dan sabar. Ketabahan ulama itu dalam menjalani al mihna menimbulkan simpati yang besar dikalangan masyarakat terhadap mereka, dan sebaliknya melahirkan kebencian terhadap Mutazilah yang menjadi biang keladi timbulnya al mihna, khususnya kepada tokoh-tokoh Mutazilah yang mendukung tindakan itu melalui tulisan-tulisan ilmiah mereka. Diantara mereka yang mendukung politik al mihna adalah al Jahiz ia berkata, yang kami kafirkan hanyalah mereka yang bertentangan faham dengan kami: yang kami uji mereka yang pantas dicurigai, sedangkan mengungkapkan kecurigaan itu sendiri bukanlah tindakan memata-matai, karena jika dianggap memata-matai, tentulah para hakim lebih pantas di tuduh seperti itu. Pemikiran yang terlihat kacau tetapi didukung oleh kekuatan pemerintah sebenarnya pemikiran yang tidak utuh, karena penggunaan kekuatan yang membabai buta merupakan ciri jauhnya pemikiran itu dari kebenaran. Dengan penggunaan kekuatan pisik itu masyarakat curiga dan mempertanyakan, kalau benar landasan pemeikiran itu kokoh mengapa untuk menegakkannya memerlukan kekuatan fisik?

5.

Tuduhan terhadap ulama fiqh dan hadits Mutazilah mencurigai para ulama Fiqh dan Hadits seperti Ahmad ibn Hambal. Tuduhan dan kecurigaan yang dilontarkan Mutazilah terhadap mereka dimulai sejak penguasa Bani Abbas berpihak kepada Mutazilah.adanya upaya penolakan tuduhan tersebut juga sudah ada sejak munculnya kecurigaan itu. Karena itulah para ulama fiqh dan hadits juga menuduh Mutazilah dengan segala tuduhan keagamaan yang berat. Abu Yusuf, salah seorang murid Abu Hanifah, sempat menganggap Mutazilah sebagai seorang atheis; Imam Malik, Imam Syafii berfatwa bahwa kesaksian Mutazilah tidak dapat diterima; sedangkan Imam Muhammad al Hasan al Syaibani barang siapa menjadi makmum Mutazilah dalam shalat wajib mengulangi shalatnya. Mereka juga menuduh kaum Mutazilah fasi menggemari hal-hal yang diharamkan. Sebenarnya setiap permusuhan akan menimbulkan penilaian yang buruk. Setiap pihak akan menuduh lawannya secara tidak adil. Banyak tuduhan yang dilontarkan mutazilah berasal dari pemikiran yang menyimpang. Semua sikap fanatik akan menutup akal dalam menemukan kebenaran. Mutazilah tidak sampai keluar dari Islam. Mereka mendapat pahala atas jasanya dalam membela Islam. Para murid Washil bertebaran di seluruh penjuru wilayah Islam untuk menentang orang-orang yang menurut hawa nafsu. Amar bin Ubaid, salah seorang murid Wasil, telah memerangi kaum atheis dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu guna membela kelompok yang benar. Ia berteman dengan Basyar ibn Bard, seorang penyair. Ketika mengetahui bahwa temannya ini seorang atheis, ia tak segan-segan membuangnya dari Bagdad. Basyar tidak kembali sampai Amr wafat pada masa pemerintahan Jafar al Manshur. Basyar adalah seorang zahid. Al Jahizh mengomentarinya secara fanatis, Ibadah Amr menandingi semuah ibadah ahli fiqh dan hadits. Pada setiap generasi Mutazilah ada orang-orang yang tekun beribadah dan berzuhud. Di antara mereka ada kezuhudannya mendorongnya untuk tidak menerima gaji dari pemerintah meskipun ia sangat memerlukannya. Diceritakan bahwa Khalifah bertanya kepada perdana mentrinya, Ahmad ibn Abi Dawud, mengapa engakau tidak mengangkat sahabat-sahabat saya dari kaum Mutazilah untuk menjadi hakim seperti yang lain? jawab Ahmad, Wahai Amirul Muminin, sesungguh sahabat-sahabat Andalah tidak mau menjadi hakim. Kepada Jafar ibn Basyar, umpamanya, saya sudah menawarkan gaji sepuluh ribu dirham untuk pengangkatan sebagai hakim, tetapi ia menolaknya. Saya sudah datang kerumahnya dan minta izin untuk masuk, tetapi ia tidak mengizinkan. Ketika saya minta izin untuk masuk ia menodongkan pedang ke wajah say, dan berkata sekarang saya sudah boleh membunuh mu. Maka saya pergi

meninggalkannya. Bertapa manamungkin saya mengangkat orang seperti itu. Anehnya, ada oramg membawa uang dua dirham kepadanya dan ia menerimanya. Ketika ditanya, mengapa engkau menolak sepuluh dirham, tetapi menerima dua dirham? Ia menjawab, oranh-orang kaya lebih berhak dari pada saya, saya lebih berhak atas dua dirham karena saya memerlukannya. Allah memberikan kepada saya dua dirham ini tanpa masalah. Orang ini memandang syubhat terhadap harta pemerintah karena ia menduga harta itu dikumpulkan dari cara yang tidak halal dan menerima dua dirham karena menduga bahea itu halal dan baik. Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui bahwa kehadiran Mutazilah pada Daulah Abbasiyyah adalah karena mendukung kebijakan Khalifah Al Mamun dan dua orang khalifah setelahnya untuk mempertahankan kekuasaan, dan lebih dari pada itu Mutazilah juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam memberantas aliran-aliran yang bersebrangan dengan aqidah Islam, jika dibiarkan akan berpengaruh kepada keyakinan masyarakat Islam.

2. Sunni Dari seluruh pemuka kalangan ahli hadits pada masa-masa mihnat, yang berlansung pada pemerintahan Khalif al Mamun dan khalif al Muktashim dan khalif al Watsiq, maka Cuma tinggal satu tokoh saja yang tetap bertahan atas pendiriannya dan tetap berani menantang pendirian resmi masa itu. Selebihnya telah menganut pendirian iktizal, baikpun di Ibukota maupun dalam wilayah-wilayah Islam masa itu, bahwa Al-Quran itu adalah Cuma sebuah ciptaan belaka sebagaimana ciptaanciptaan Ilahi lainya di dalam alam semesta. Tetapi tokoh yang satu itu tetap bertahan, meskipun menderitakan hukuman cambuk di punggungnya hingga daging punggungnya itu koyak-koyak dan selanjutnya ditahan dan dibelenggu, bahwa Al-Quran itu adalah kalam Allah tanpa tafsiran sepanjang akal (ratio). Tokoh tersebut ialah Al Imam Ahmad ibn Hanbal (wafat 242 H/855 M), pemuka mazhab Hukum itu. Dengan begitu ia terpandang pahlawan yang berani (bathlun-syujak) pada mata kalangan Awwam dewasa itu, yaitu rakyat umum, yang tetap berkeyakinan bahwa Al-Quran itu adalah kalam Allah dan azali adanya. Bahkan para pengikut Ahmad ibn Hanbal yang keliwat ekstrim dewasa itu, demikian Dr. Ahmad Amin di dalam Dhuhal Islami jilid III cetakan 1964 halaman 3940, berpendirian bahwa kecuali Ayat-ayat Al-Quran itu kalam Allah dan azali maka kertasnya dan tintanya dan kulit penjilidnya itupun adalah qadim dan azali.

Jikalau pendirian serupa itu makin meluas dalam kalangan Awwam niscaya akibatnya akan lebih menyesatkan lagi. Justru karena itulah Al Imam Ahmad ibn Hanbal itu, yang telah dibebaskan tahadinya oleh Khalif Al Muktashim, ditangkap kembali dan ditahan atas perintah Khalif Al Watsiq. Sewaktu Khalif al Watsiq wafat pada tahun 232 H/847 M dan Khalif Al Mutawakil naik menggantikannya maka ia pun bertindak membatalkan Al Mihnat, yakni pemeriksaan keyakinan pejabat-pejabat kehakiman dan para pemuka Agama mengenai Al Quran sebagai kalam Allahitu. Sejalan dengan itu iapun mengeluarkan perintah kepada Gubernur Ibukota Baghdad bagi pembebasan Al Imam Ahmad ibn Hanbal dari tahanannya. Hampir seluruh rakyat awwam pada Ibukota itu keluar bagi menyambut pahlawan yang beraniitu dan mengelu-elukan kedatangannya. Khalif menyaksikan suatu kenyataan, dan lalu terpikir, bahwa kenyataan itu akan dapat dimanfaatkannya bagi memperteguh posisi kekuasaannya. Khalif Al Mutawakkil mengundang Al Imam Ibn Hanbal beserta para pemuka Al Muhadditsin ke kota Samarra, ibukota kedua yang megah indah itu, dan lalu membagi-bagikan anugerah amat dermawan sekali. Dan di situlah Ahmad ibn Hanbal diatunjuk menjabat Rais Al Muhadditsin yakni mengepalai kalangan Ahli-ahli Hadits itu. Dan selanjutnya, demikian Tarikhil-Khulafak halaman 138 karya Ibnu Hajar al Asqalani, bahwa Khalif al Mutawakkil menganjurkan supaya memperkembang Al hadits mengenai sifat-sifat Ilahi dan mengenai rukyat (penyaksian)terhadap Allah. (Wa-Amra-hum bi An-Yuhadditsu bi Ahaditsil Shifati wal Rukyati)....maka Abubakar ibn Abi-Syaibat mengadakan pertemuan pada Jami-al-Rishafat maka hadir lebih tigapuluh ribu orang....dan saudaranya mengadakan pertemuan Jami-al-Manshur maka hadir lebih tigapuluh ribu orang pula...banyaklah doa dan puji-pujian diberikan terhadap Al Mutawakkil dan bahkan mengagungkan dan membesarkannya berlebihlebihan....Iapun memerintahkan Gubernur Mesir mencukur janggut Hakim Tertinggi ( Qadhil-Qudhat) di situ, Abubakar Muhammad ibn Abil Laits (yang melakukan penyiksaan pada masa-masa Al Mihnat), menjatuhinya hukuman cambuk,

mengaraknya keliling kota di atas keledai, dan perintah tersebut dilaksanakan oleh Gubernur Mesir. Jabatan Hakim Tertinggi di Mesir itu digantikan oleh Alharits ibn Mussakin, tokoh penganut mazhab maliki. Al Masudi (wafat 345 H/956 M) di dalam karyanya Murujul Zahbi jilid II halaman 288 menceritakan bahwa Setelah khilafat berpindah kepada Al Mutawakkil maka ia

pun memerintahkan supaya menghentikan segala macam diskusi dan dialog. (Amarabi Tarkil Nazhari wal Mubahatsatil fil Jidali). Menghentikan seluruh macam kegiatan yang biasa berlangsung pada masa Al Muktashim dan Al Watsiq. Ia pun memerintahkan oang bamyak supaya Taslim dan Taqlid.(Wa Amaran-Nasa bil Taslimi wal Taqlidi).ia pun memerintahkan pemuka-pemuka Ahli hadits supaya memperbanyak jumlah Al Hadits, (Wa AmaraL Syukukhsl Muhadditsina bil Tahditsi), supaya menonjol aliran Sunnah-wal-Jamaah. Sikap dan pendirian Al Imam Ibn Hanbal sendiri berkeinginan memurnikan kembali ajaran agama Islam itu seperti pada masa Salaf, yakni masa sahabat-sahabat Nabi, supaya segala sesuatunya yang tersebut di dalam Al Quran itu diterima dengan penuh kepercayaan (al-Iman) tanpa melakukan pembahasan-pembahsan secara akal (ratio). Keimanan itu mestilah berlandaskan nurani (intuisi), bukan akal (intelek). Kenyataan itu pun langsung memperlihatkan pengaruh gerakan Sunni pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakil itu. Gerakan sunni yang lambat laun makin memuncak kekuasaannya itu, ternyata pada akhirnya, memperlihatkan pula eksesekses yang sangat negatif. Tokoh-tokoh al Muhadditsin yang berkeinginan pula dipandang pahlawan oleh lapisan Awwam seperti Ahmad ibn Hambal itu, baik pun dipusat apalagi wilayah-wilayah yang jauh dari pusat, telah menyebabkan pula tidakan tidakan yang keras dan bengis terhadap lawan-lawan paham sunni. Gerakan Sunni pada akhirnya telah ditunggagi oleh ambisi pribadi atau pun dendam-dendam terhadap masa lalu, sehingga apa yang terjadi pada masa gerakan Sunni itu lebih dahsyat lagi dari pada yang terjadi pada masa al Mihnat. Sebagai kaibatnya, bahwa ahli-ahli sejarah mencatat al Mutawakil itu adalah khalif yang paling lalim. Walau pun demikian orang yang pro pada Sunni menganggap bahwa Sunni adalah kelompok yang baik di bandingkan Mutazilah. Sekali lagi Sunni sebagai kelopok yang mengedepankan nash dalam landasan berpikir, bertindak dan berbuat. Kelompok yang mencoba mempengaruhi pemikiran yang bersebrangan dengan mereka dengan cara yang baik tidak arogan, sarat politis juga mempengaruhi kekuasaan mutawakil untuk berpertahan dari paham yang sebelumnya sangat dekat dengan Mutazilah. Selain itu Sunni mencoba meluruskan kembali pemahaman yang mulai menyimpang. 3. Golonga Syiah Kemunculuan syiah memang terjadi jauh sebelum daulah Umawiyyah, akan tetapi pada masa itu syiah adalh kelompok yang paling tertekan, ruang gerak mereka

di batasi, sehingga perkembangannya pun tidak signifikan atau mereka melakukan gerakan secar diam-diam. Akan tetapi pada awal masa Abbasiyah, Syiaah seakan kembali mendapat posisi, keberadaan mereka ikut mendukung berdirinya Daulah Abbasiyah, kelompok ini bahkan sengaja direkrut untuk melakukan gerakan anti Umayyah. Semenjak gerakan anti Ummay semakin lancar, rapi dan efektif di bawah pimpinan Ibrahim bin Muhammad, terutama semenjak meninggalnya Ali bin Abdullah 124 H/742 M. Berhasil menggalang dukanagan dari golongan Syiah. Kelompok Syiah mendukung gerakan yang dilancarkan oleh Ibrahim, karena Imam syiah ketika itu, Muhammad bin Abdullah, telah dilantik sebagai khalifah bayangan pertama bagi pemerintahan baru menggantikan Umayyah. Dengan cara ini, Muhammad bin Abdullah berharap bahwa dialah nanti yang betul-betul akan menjadi khalifah baru. Apalagi menurut perhitungannya, tidak sedikit kalangan yang akan medukung dan menerima Muhammad bin Abdullah ksrena ia keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Pada masa Khalifah Muatawakil di berlakukan Dekrit Khalifah mengenai nonIslam dan Syiah, seluruh ibu kota dipaksa untuk melaksanakan dekrit tersebut, mereka di wajibkan mengenakan sejenis baju luar yang khususu sebagai tanda pengenal. Pada masa Nabi Muhammad sendiri dan masa selanjutnya tidak pernah diperlakukan hukum serupa. Dekrit yang di peruntukkan bagi golongan Syiah yaitu pada tahun 236 H/851 M. Dekrit itu memerintahkan penghancuran dan perataan seluruh bangunan-banguna monumen yang sangat di muliakan kaum Syiah dan menjadi tempat ziarah mereka itu. Termasuk bangunan monumen di Karbela, yang merupakan perlambang Makam Al Hussain ibn Ali, yang gugur dan menjadi korban di situ tahnun 61 H/682 M pada masa pemerintahan khalifah Yazid ibn Maawiyah (60-64 H/681-684 M). Bangunan itu megah dan indah dan terpandang suci oleh kaum Syiah. Bangunan tersebut beserta rumah-rumah yang ada disekitarnya, demikian Muhyaddin Al Khayyat di dalam Tarikh islami Jilid IV cetakan 1933 halaman 62, dihancurkan dan diratakan dan kemudian di bajak dan di tanami dan selanjutnya di larang untuk di Ziarahi. Pada masa Buwaihi (945-1055) ajaran Syiah kembali di bebaskan, sebagian besar orang-orang Buwaihi adalah pengikut Syiah. Oleh karena iru sejak menguasai Pemerintahan, perayaan Syiaah mulai diadakan, terutama upacara kematian Husein bin Ali bin Abi Talib (w, 680), cucu Rasulullah SAW yang di bunuh oleh khalifah Umayyah di Pasang Karbala, setiap tanggal 10 Muharam.

Sepertimana halnya dengan khawarij, maka Syiah juga pada mulanya adalah partai politik, karena yang mendorong lahirnya adalah faktor-faktor politik. Sebagai suatu partai politik, syiah memperkuat pendirian politiknya itu, mereka mencampuri denganberbagai ajaran agama-ajaran agama, yang kebanyakannya oleh Abdullah bin Saba siadukan dengan ajaran-ajaran agama Yahudi dan Majusi.

4. Golongan Alawiyah Golongan Alawiyah adalah sekte dari faham Syiah, mereka merupakan golongan yang telah berjuang dengan sangat lama dan banyak mengalami kesukaran, tetapi dalam sekejap mata perjuangan mereka berhasil terlepas dari tangan orang lain, walaupun dibayar dengan darah dan nyawa. Karena itulah mereka bangkit dengan bersemangat dan menggoncang istana pemerintahan Abbasiyah serta

mencaba meruntuhkannya. Untungnya tapak pemerintahan Abbasiyah itu amat kukuh dan tak mudah diruntuhkan. Karena itu timbullah pertarungan diantara kedeua kekuatan tersebut. Golongan Alawiyah terus melakukan pemberontakan dan perlawanan, sementara golongan Abbasiyah menggunakan seluruh. Tenaga dan kekuatan menindas dan menekan. Sehingga ahli-ahli sejarah menyebut bahwa penderitaan golongan Alawiyah akibat kekejaman yang dilakukan oleh golongan Abbasiyah lebih dari penderitaan sewaktu pemerintahan bani Umaiyyah. Tokoh-tokoh golongan Alawiyah adalah Mahammad bin Abdullah bn al-Hasan bin al-Hasan bin Abi bin Abu Talib yang digelar an-Nafsuz-Zakiyah, Ibrahim bin Abdullah yang memiliki kekuasaan di Basrah kemudian kekuasaannya diperluas meliputi wilayah Ahwaz dan Wasit, Al-Husain bin Ali al-Hasan bin Ali bin Abu talib ia berasal dari kalangan kenamaan dan pemimpin Bani Hasyim, Yahya bin Abdullah dia adalah salah seorang yang berhasil melarikan diri dalam pertempuran Fakh, dan pergi ke negeri Dailam serta melantik dirinya sebagai khalifah. Di sana kekuatannya kian bertambah, pengikutnya kian banyak dan datang dari beberapa buah kota. Perkembangan itu terjadi pada pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, Idris bin Abdullah dia adalah orang kedua dapat melarikan diri dari pertempuran di Fakh. Dia menuju ke negeri Mesir, dan dari sana terus ke Afrika Utara hingga tiba Magribi (Maroko). Muhammad ad-Dibaj dia adalah Muhammad bin Jafar as-Sadiq. Sungguhpun Khalifah al Mamun bersikap toleran terhadap golongan Alawiyah dan memberikan penghargaan kepada mereka, namun Muhammad ad Dibaj telah bangkit memberontak di Makkah dan mengaku berhak menjadi khalifah di zaman pemerintahan Khalifah al-Mamun itu.

5. Golongan Khawarij Golongan Khawarij mulai muncul di zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama, setelah mengalami kekejaman dan keganasan golongan Bani Umayyah. Golongan Khawarij dikenal sebagai golongan berani mati dan tidak getar pada pertumpahan darah. Kelompok seperti mereka ini senantiasa menumpas musuh

danmenimbulkan ketakutan di pihak yang menen-tang. Gerakan-gerakan muncul dari masa kemasa disepanjang zaman pemerintahan Abbasiyah itu. Di zaman pemerintahan Khalifah Abu Jafar al-Mansur, negeri-negri Afrika Utara merupakan gelanggang bago gerakan-gerakan Khawarij. Umar bin Hafs yang menjadi pegawai pemerintah di negeri-negeri tersebut da orang-orangnya telah mengalami kesulitan yang besar dalam upaya melawan golongan Khawari. Begitu juaga penduduk di negeri-negeri berkenaan mengalami berbagai intevensi dan penindasan dari golongan tersebut Abu Hatim, seorang pemimpin golongan Khawarij dan pengikut-pengikutnya telah mengepung kota Qoirawan sehingga keadaan penduduknya semakin sulit, perbendaharaan negara tidak mempunyai uang lagi untik di belanjakan dan rakyat semakin kurang mendapatkan bahan makanan . pengepungan itu berjalan selama 8 bulan. Dizaman Khalifah al-Mahdi meletus suatu pemberontakan di Jazirah

(Semenanjung Arab), di bawah pimpinan Abdus-Salam bin Hasyim al-Yasyqury yang mana semakin kuat pengaruhnya dan banyak pengikutnya sehingga dapat

menumpas sepasukan tentara yang dipimpin khalifah al-Mahdi serta mem-bunuh panglimanya. Peristiwa ini telah menyebabkan khalfah al-Mahdi menyiapkan tentara yang lebih besar di bawah pimpinan Syabib bin Waj untuk menundukkan AbdusSalam. Setiap pejuang di dalam angkatan tentara diberi sebanyak 1000 dirham sebagai bantuan. Angkatan tentara ini telah berhasil mengalahkan tentara mengalahkan tentara pemberontak dan membunih pemimpinnya. Kemudian muncul pula suatu pemberontakan Khawarij di Mausil dipimpin oleh Yasin dari Suku Bani Tamim. Di zaman khalifah Harun ar Rasyid, kaum Khawarij melancarkan suatu pemberontakan yang hebat di bawah pimpinan seorang lelaki yang di kenal gagah berani, dan telah berhasi mengembalikan kembali Zaman kegemilnagan Khawarij, sebagai mana keadaanya semasa pemerintahan bani Umaiyah. Lelaki itu adalah al-Walid bin Tarif.

6.

Golongan Zindiq Pada mulanya perkataan Zindiq itu sebutan untuk penganut-prnganut ajaran Mani dan Tsanawi, yaitu penyembah-penyembah cahaya terang dan gelap. Kemudian pengertiannya menjadi lebih luas dan meliputi setiap mulhid atau pembuat bidah. Kemudian berubah lagi menjadi sebutan untuk pihak yang mazhabnya bertentangan dengan mazhab ahlus-Sunnah, dan kadang-kadang menjadi sebutan untuk para penyair dan penulis yang menghayati kehidupan berhibur-hibur dan berfoya-foya dengan minum khamar, dan akhlak rendah. Gerakan zindiq ini menjadi pusat perhatian golongan Abbasiyah dan tersebar luas dikalangan rakyat, sebagaimana dikatakan oleh Khalifah al Mahdi : ingatlah wahai anakku, apabila engkau menjadi khalifah kelakm lemyapkanlah kelompok Mani karena ia mngajar manusia apa yang di pandang baik dari luar, seperti meninggalkan perkara=perkara yang buruk, berzahid di dunia, beramal untuk akhirat, kemudaian ia melampaui batas denganmengaharamkan makan daging serta menyentuh air suci. Dan seterusnya ia mengarah manusia menyembah dua perkara yaitu cahaya terang dan gelap. Kemudian ia menghalal kan lelaki mangawini saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya, bermandi dengan air kencing, menculik anak-anak tengan jalan, dengan alasan untuk menyelamatkan mereka dari kesesatan di tengahtengah gelap kepada hidayat dan pentunjuk cahaya dan terang. Lenyapkanlah kelompok itu dan perangilah mereka habis-habisan, denganitu engakau akan berada dekat dengan Allah. Sesunggunya aku bermimpi kakekku Abbas r.a menyerahkan kepadaku dua bilah pedang untuk membunuh para penyembah cahaya terang dan gelap itu. Khalifah al-Mahdi merupakan Khalifah Abbasiyah yang paling kuat menindas dan menghukum golongan zindiq. Beliau telahmelantik seorang pegawai yang khusus untuk tujuan ini. Diantara yang menyandang jawatan tersebut adalah Umar alKhalwildani dan Muhammad bin Isa Hamadawih yang telah banyak membunuh

orang-orang Zindiq, sebagaimana yang diseutkan oleh Ibnu Atsir.

C. Kesimpulan Munculnya Daulah Abbasiyah kedalam khzanah sejarah Islam, merupakan kelanjutan dari khalifah sebelumnya. Walaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa khalifah sebelumnya telah mewariskan tahta kekhalifahan kepada kepemimpinan di bawahnya. Dalam sejarah Taurist Khilafah (pewarisan kekhalifahan) secara syuro hanya berjalan pada masa empat khifah Rasulullah yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab,

Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib radliallhuanhum, ditambah dengan khilafah yang jauh dari mereka yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz, selebihnya menggunakan sistem pewarisan tahta dan penggulingan. Termasuk khalifah Abbasiyah ini hadir setelah mereka berhasil menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah yang telah berkuasa lebih kurang 90 tahun. Penggulingan terjadi karena dianggap pemeritahan Umayyah sudah tidak layak lagi untuk memimpin karena telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Penggulingan yang terjadi ternyata bukan hanya dilakukan Bani Abbasiyah kepada Bani Umayyah, akan tetapi juga terjadi di masa Bani Abbasiyah sendiri terjadi penggulingan di antara sesama mereka. Penggulingan ini disenyalir disebabkan masing-masing ingin berkuasa dan menjadi khalifah atau ambisi kekuasaan. Untuk mempertahankan kekuasaanya kebanyakan dari Bani Abbasiyah mengunakan orang-orang non Arab, sehingga kebijakan ini memicu bemunculannya kelompok non-Arab yang ikut mengendalikan kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan itu sendiri. Selain itu masing-masing khalifah di masing-masing periode pemerintahan para Khalifah di masa Bani Abbas ini mengandeng pula aliran-aliran pemikiran, baik itu dijadikan sebagai ideologi negara atau hanya sekedar menjadi patner dalam pemerintahannya, yang mereka difungsikan untuk meng-counter aliran yang bersebrangan dengan pemerintah atau aliran yang mencoba untuk mengoyang kekuasaannya. Aliran-aliran pemikiran pernah ada pada masa Daulah Abbasiyah adalah Mutazilah, Sunni (al-Muhaditsin), Syiah, Awaliyah, Khawarij, dan Zindiq. Mukin masih banyak aliran lain yang tidak sempat kami rekam, terdapat di berbagai buku referensi belum sempat tergali. D. Penutup Sebagaimana kesempurnaan itu bukanlah sifat manusia, tetapi sebaliknya kesahalahan dan khilaf merupakan sifat tidak bisa jauh darinya. Dan kami sadar bahwa tulisan ini terdapat banyak kekurangan-kekurangan, kami berharap dapat menjadi inspirasi bagi thalibul ilmi (pencari ilmu) lain untuk menyempurnakan makalah ini khususnya berkaitan dengan sejarah Daulah Abbasiyah, perkembangan dan aliran pemikiran yang ada pada masanya. Mudah-mudahan khazanah kita ummat Islam memahami masalah ini akan lebih baik lagi. Mohon maaf atas segala kekuarangannya dan kepada Allah kami mohon ampun. Wallahu alam bi showab.

E. Referensi

1. A. Syalabi, Prof.Dr. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Husna Baru, 2003 2. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993. 3. Amin M. Mansyur, Drs. M.Ag., Sejarah Peradaban Islam. Bandung, Indonesia Spirit Foundation, 2004 4. Abu Zahra Imam Muhammad, Prof. Dr., aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta, Logos Publising House, 1996. 5. Souyb Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah II, Jakarta, Bulan Bintang, 1977 6. Souyb Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah III, Jakarta, Bulan Bintang, 1978 7. Al Isy Yusuf, Dr. Dinasti Abbasiyah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007 8. Abdullah Taufik, Prof. Dr. (dkk) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 2 Khilafah, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. 9. Abdullah Taufik, Prof. Dr. (dkk) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 4 Pemikiran dan Peradaban, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. 10. Azra Azyumardi, Prof. Dr. MA (et.al), Ensiklopedi Islam-cet.4, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven, 1997.

Anda mungkin juga menyukai