Anda di halaman 1dari 32

A.

Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah


1. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah resmi berdiri pada tahun 132 H/750 M.
Dinasti ini menerapkan pemerintahan monarki, semua khalifahnya
merupakan keturunan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Salam. Yaitu Al Abbas bin Muthalib dari Bani Hsyim. Dinasti
Abbasyi merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah yang
telah runtuh di Damaskus. Dinasti Abbasyiyah memindahkan ibu
kota dari Damaskud ke Baghdad.
Setelah wafatnya Rasulullah Shallahu Alaihi wa Salam, pihak
dari Bani Hasyim mempunyai nprinsip kepemerintahan
bahwasannya yang pantas melanjutkan kekhalifahan umat Islam
yaitu dari dari keluarga Rasulullahu Shalallahu Alaihi wa Salam,dan
sanak keluarganya. Prinsip mereka tidak terlaksana pada waktu itu
karena para sahabat Nabi Muhammad Shallahu Alaihi wa Salam.
Sepakat bahwasanya kekhalifahan merupakan milik seluruh umat
Islam. Sehingga umat Islam pada waktu itu membai’at sahabat abu
Bakar ash Shiddiq sebagai khalifah.
Kepemimpinan umat Islam sebelum berdirinya Dinasti
Abbasiyah terdiri dari dari tiga priode :
a. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam
b. Khulafaur Rasyidin
c. Disnasti Bani Umayyah.
Pada masa Dinasti Umayyah, golongan dari Bani Hasyim dari
faksi Hamimah telah melakukan pergerakan rahasia untuk
menggulingkan pemerintahan Bani Umayya. Di antara tokoh yang
memimpin pergerakan ini adalah Muhammad bib Ali bin Abdullah
dari Hamimah.
Muhammad bin Ali membentuk faksi Hamimah, kuffah
khurusan, membentuk dalam pergerakan ini adalah Ibrahim al
kader-kader dan mengajak golongan di daerah tersebut agar
bergabung dengannya. Dia menjadikan Hamimah pusat
pemerintahan dan penyusunan rencana. Kuffah menjadi sebagai
pusat perhubungan antara Hamimah dan Khurasan. Sementara
Khurasan sebagai pusat kegiatan, mengingat jarak yang cukup jauh
dari Damaskus sebagai ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah,
sehingga segala macam kegiatan yang dilakukan Muhammad bin Ali
cukup sulit dideteksi pleh Khalifah Dinasti Bani Umayyah.
Selain Muhammad bin Ali, tokoh yang berpengaruh dalam
gerakan ini adalah Ibrahim al Imam serta serta panglimanya yang
bernama Abu Muslim al Khurassani. Abu Muslim al Khurassani
serta Imamnya berhasil menguasai sepenuhnya walayah khuffah dan
Khurasan.
Pergerakan-pergerakan rahasia yang dilakukan oleh golongan
Bani Hasyim ini semakin kuat pada masa pemerintahan khalifah
Marwan bin Muhammad (Marwan II). Hingga pada akhirnya
golongan Bani Hasyim mengumumkan pelantikan Abu Abbas as
Saffah sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah di Kuffah pada
tahun 132 H/750 H.
Sebagai bentuk penentangan yang nyata atas perintah
Dinansti Bani Uayyah. Abu Abbas as Saffah mengirimkan pasukan
tentara yang di pimpin oleh pamannya yang bernama Abdullah bin
Ali untuk menentang khalifah Marwan II. Terjadilah prtempuran
sengit yang terjadi di lembah sungai az Zab, sebelah timur sungai
tinggris. Dalam Pertempuran ini, pasukan Marwan II
mengalaminkekalahan sehingga memaksa untuk munduk ke
berbagai daerah di Syiria.
Pasukan Abdullah bin Ali terus mengejar Marwan II dan
menaklukan wilayah-wilayah Syiria sehingga memaksa Marwan II
mundur ke Mesir. Abdullah bin Ali mengirimkan pasukkannya yang
dipimpin oleh Shalih bin Abdullah untuk mengejar Marwan II dan
terjadilah pertempuran terakhir di daerah Bani Suwaif, Bushra.
Dalam pertempuran ini Warwan II tewas dan menandakan
berakhirnya pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
Namun pada kenyataannya, tidak semua keturunan bani
Umayyah meninggal. Ialah Abdurrahman I (Ad Dakhil) selamat
bersama beberapa pasukannya melarikan diri dari serangan pasukan
Abdullah bin Ali. Mereka pergi ke Andalusia (Spanyol) kemudian
mendirikan Dinasti Bani Umayyah II.
B. Wilayah KekuasaanDinasti Bani Abbasiyah
Pada masa Dinasti Abbasiyah kuas kekuasaan Islam semakin
bertambah dan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya. Perluasan dan
pegaruh Islam bergerak ke wilayah timur Asia Tengah dari perbatasan
India hingga China. Wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah sangat luas,
yaitu meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Dinasti Bani Umayyah
kecuali Andalusia, Spanyol. Wilayah tersebut antara lain Hijaz, Yaman
Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran, Yordania, Palestina,
Libanon, Mesir, Tunisia, Afganistan, serta Pakistan. Daerah-daerah
kekuasaan Dinasti BaniUmayyah memang belum sepenuhnya berada di
wilayah Dinasti Umayyah, namun dibawah kekuasaan Bani Abbasyiyah
perluasan daerah dan pnyiaran Islam semakin berkembang, sehingga
meliputi daerah Turki, Armenia dan sekitar Laut Kaspia.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Inilah perbedaan pokok antara Dinasti Abbasiyah yang tidak terdapat
dizaman Dinasti Umayyah, yaitu sebagai berikut.
1. Perpindahan ibu kota mulai dari kuffah lalu ke Hirah, senjutnya
ke Anbar (Hasyimiyah) dan terakhir ke Baghdad sehingga
pemerintahan Bani Abbasiyah tidak terlalu terpengaruh dengan
Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi
kerpada Arab (Semua Khalifahnya keturunan Arab)
2. Dalam penyelenggaraan Dinasti bani ada jabatan wazir
(perdana pentri/gubernur), yang memimpin sebuah wilayah
serta membawahi kepala-kepala departemen.
3. Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa Dinasti
Banu Abbasiyah, yang tidak ada di masa bani Umayyah.

C. Masa Pemerintahan Bani Abbasiyah


Berdasarkan perubahan pola pemeritahan dan politik,para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Dinasti Bani
Abbasiyah menjadi lima periode sebagai berikut.
1. Periode pertama (132 H/750 M-334 H/874 M), disebut periode
pengaruh Persia (Khurusan) pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M-334 H/954 M), disebut periode
pengaruh turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahaan Dinasti Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M-950 H/1194 M), sama kekuasaan
Bani Saljuk dalam pemerintahan Bani Abbasiyah; biasanya disebuat
juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali)
Kesultanan Saljuk Raya (Salajiqah al Kubra/Saljuk Agung).
5. Periode kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa kekalifahan
bebas dari pengaruh dinasti lain yang dilakukan oleh pasukan Tarta
dari bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan, sekaligus menandakan
keberakhirannya masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah.

D. Kronologi Pemerintahan Dinasti Abbasiyah


1. Era Puncak Kekuasaan
Tahun 750-754 M (Rabi’al Akhir 132 H-Dzulhijjah 136 H)

1. Abdullah as Saffah dari Bani Hasyim suku Quraisy menduduku


sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah.
2. Pemerintahan berpusat di Kuffah.
3. Mayoritas gubernur as Saffah diangkat dari paman-pamannya dan
anak-anak pamannya.
4. Banyak dilakukan konsolidasi internal dan penguatan pilar-pilar
Negara.
5. Tahun 754 M, as Saffah terkena cacar dan meninggal dunia.
b. Tahun 754-755 M (Dzulhijjah 136 H-Dzulhijjah 158 H)

1. Abu Ja’far bin Abdullah Muhammad bin Ali (al Manshur)


diangkat menjadi khalifah ke-2.
2. Pemberontakan Abdullah bin Ali dan penghilangan nyawa Abu
Muslim al Khurasani.
3. Abdurrahman ad Dakhil kembali mendirikan Dinasti Bani
Umayyah (Umayyah II) dengan wilayah terbatas di Andalusia.
4. Pasukan Abbasiyah mengalami kekalahan di Spanyol melawan
pasukan Abdurrahman ad Dakhil (Dinasti Bani Umayyah II).
5. Posisi kekhalifahan dipindahkan ke Baghdad dan al Manshur
membiayai pembngunan Baghdad sebesar 18.000 dinar.
6. Al Mansur mengirim anaknya al Mahdi untuk memerangi
Thibristan.
7. Pembangunan ar Rashafah untuk anaknya al Mahdi. Ar Sashafah
terletak di seblah timur Baghdad.

c. Tahun 785-785 M (Dzulhijjah 158 H-Muharram 169 H)


1. Muhammad al Mahdi bin al Manshur menjabat sebagai khalifar
ke-3 di usianya ke-22 tahun.
2. Perluasan Masjid Haram, penghapusan nama al Walid bin Abdul
Malik (Bani Umayyah) dari dinding Masjid Nabawi, diganti
dengan tulisan namanya.
3. Mengutud Harun al Rasyid sebagai panglima pasukan khurasan
bersama Khalid bin Barmak.
4. Penyerbuan ke Romawi (Konstantinipel) yang dipimpin oleh
Harun ar Rasyid.
5. Mengusut kelimpok zindiq (orang yang melepaskan diri dari
agama) dan menghilangkan nyawa mereka.

d. Tahun 785-786 M (Muharram 169 H-Rabi’al Awwal 170 H)


1. Musa al-Hadi bin Muhammad bin Ja’far al Manshur diangkat
sebagai khalifah pada usia 25 tahun.
2. Terjadinya peristiwa pemberontakan Fakh dari al Husain
(keturunan Ali bin Abi Thalib) di Madinah
3. Idris (keturunan Ali bin Abi Thalib) mendirikan Dinasti Idrisiyah
di Maghribi (Maroka)

e. Tahun 786-809 M (Rabi’ul Awwal 170 H-Jumada al Akhir


194)

1. Harun ar Rasyidbin Muhammad al Mahdi diangkat menjadi


Khalifah.
2. Membangun kota Baghdad dengan bangunan-banguan yang
megah.
3. Membangun tempat-tempat peribadatan.
4. Membangun sarana pendidikan, kesehatan, kesenian dan
perdagangan.
5. Mendirikan Baitul Hikmah sebagai lembaga penerjemah yang
fungsi sebagai pwerguruan tinggi, perpustakaan dan penelitian.
6. Serangan ke utara Prancis.
7. Al Khawarizmi menciptakan Aljabar.
8. Membangun Majelis al Muzakarah, yaitu lembaga pengkajian
masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan dirumah,
masjid dan istana.
9. Munculnya Dinasti Aghlabiyah (Afrika Utara)
f. Tahun 809-813 M (Jumada al Akhir 194 H-Muharram 198
H)

1. Muhammad al Amin bin Harun al Rasyid di angkat menjadi


Khalifah pada usia 23 tahun.
2. Terjadi konflik saudara antara al Amin dan al Ma’mun yang
mengakibatkan terpecahya wilayah kekuasaan Islam dan al Amin
tewas.

g. Tahun 813-833 M (Muharram 198 H-Rajab 218 H)

1. Al Ma’mun bin Harun ar Rasyid diangkat menjadi Khalifah.


2. Munculnya sekte Bathiniyah bersama al Kharramiyah dengan
pemimpinya bersama Babik al Kharrami. Sekte ini beragama
sekehendak dan sesuka hatinya.
3. Berkembangnya ilmu kalam.
4. Munculnya aliran Mu’tazilah dibawah pimpinan Syaikh Ibrahim
bin Siyyah. Aliran ini bertumpu pada akal dalam masalah akidah.
5. Adanya kebebasan mutlak dalam berdebat.

h. Tahun 833-842 M(Rajab 218 H-Rabi’at al Awwal 227)

1. Al Mu’tashim Billah Abu Ishaq Muhammad bin ar Rasyid bin al


Mahdi diangkat menjadi khalifah pada usia 39 tahun.
2. Terjadi peperangan melawan Babik al Kharrami.
3. Al Mu’tashim memilih panglima dari bangsa Turki, meniadakan
bangsa Arab dari kepemimpinan pasukan.
4. Adanya pengurungan Imam Ahmad bin Hanbal.

i. Tahun 842-847 M (Rabi’al Awwal 227 H-Dzulhijjah 232 H)

1. Al Watsiq Billah Abu Ja’far Harun al Mu’tashim bin ar Rasyid


diangkat menjadi khalifah pada usia 41 tahun.
2. Terjadinya ekspedisi untuk menghadapi Bani Sulaim yang di
pimpin oleh Bagha al Kabir Abu Musa at Turki.
3. Terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh Bani Numair di
Yamamah.
4. Al Watsiq melakukan propaganda bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk.
5. Al Watsiq menghilangkan nyawa Ahmad bin Nashar bin Malik.

j. Tahun 847-861 M (Dzulhijjah 232 H-Syawal 247 H)

1. Al Mutawakkil Alallah bin al Mu’tasim bin ar Rasyid diangkat


menjadi khalifah.
2. Makan Ali bin Abi Thalib dihancurkan termajuk juga tempat
persinggahan dan rumah rumah yang ada disekitarnya.
3. Berdirinya Dinasti Ja’fariyah di Shan’a yadi didirikan oleh Ja’far
bin Abdurrahman selama 140 tahun.

k. Tahun 861-862 M (Syawwal 247 H- Rabi’al Akhir 248 H)

1. Muhammad al Mustanshir bin al Mutawakkil diangkat menjadi


Khalifah.
2. Masa ini merupakan era Abbasiyah kedua dimana pengaruh Turki
semakin kuat.

l. Tahun 862-866 M (Rabi’al Akhir 248 H-Muharram 252 H)

1. Al Musta’in Billah Ahmad bin Muhammad al Bu’tashin bin ar


Rasyid diangkat menjadi khalifah.
2. Kekuasaan khalifah menjadi lemah, kekuasaan dipegang oleh
budak-budak Persia, Mereka menentukan pengangkaan menteri.
Jika mereka tidak menyukainnya, mentri itu dipecat dan harta
kekayaannya disita.
3. Berdiri Dinasti Zaidiyah, Al Hasan bin Zaid bin Muhammad bin
Ismail bin Hasan bin Zain bin al Hasan bin Ali pergi ke plosok
Thibristan dan berhasil membentuk satu negar yang dikebnal
dengan Dinasti Zaidiyah (250 H-300 H).

2. Era Pengaruh Bani Buwaih


a. Tahun 944-945 m (Shafar 333 H-Jumada al Awwal
334 H)
1. Posisi pemerintahan dipegang al Mustakfi Abul Qasim Abdullah
bin al Muktafi.
2. Terjadinya pembagiaan kekuasaan antara khalifah dan sultan.
Khalifah hanya sebagai pemimpin agama. Ia tidak memiliki
perintah, larangan dan menteri.
3. Posisi sultan dipegang oleh Ahmad bin Buawaih, hingga Bani
Buawai bias menguasai Baghdad.

b. Tahun 945-974 M (Jumadal al Akhir 334 H-


Dzulqaidah 363 H)

1. Posisi khalifah dipegang oleh al Fadhal al Muthi’ Lillah bin al


Muqtadir.
2. Harga meroket sehingga prang-orang memakan bangkai serta
duri-duri yang ditemukan, kematian merebak hingga tak mampu
menguburnya dan mayatnya dibiarkan,
3. Adanya system feodalisme.
4. Munculnya konflik etnis antara tentara Daylam dan Turki.

c. Tahun 974-991 M (H-Dzulqaidah 363 H-Rajab 301)

1. Abu Fadhal Abdul Karim Ath Thai’ Lillah nin al Muth’I bin al
Muqtadir diangkat menjadi khalifah.
2. Dihapusnya Dinasti Hamdaniyah.
3. Berdirinya Dinasti as Sabkitiniyyah (al Ghaznawiyyah) 366 H-
582 H yang dibangun ioleh Sabkatikin.

d. Tahun 991 M (H-Dzulqaidah 363 H-Rajab 301 H)

1. Abu Abbas Ahmad al Qadir Billah bin Ishaq bin al Muqtadir


menjadi khalifah.
2. Masjid Kordoba dibangun di Andalusia (Dinasti Umayyah II)
3. Era pengaruh Bani Saljuk

a. Tahun 1075-1094 M (Sya’ban 467 H-Muharram


487 H)

1. Al Muqtadi Biamrillah Abu Qasim Abdullah bin al Amir


memegang posisi kekhalifahan pada usia 20 tahun.
2. Al Muqtadi merupakan sosok pemberani dan perkasa, seluruh
kehidupannya penuh berkah dan kekgalifahannya sngat di
agungkan.
3. Pasukan Nasrani merebut Toledo, Spanyol (Dinasti Umayyah II)

b. Tahun !904-1118 M (Muharram 487 H-Rabi’al


Akhir 512 H)

1. Posisi kekhalifahan dipegang oleh Abu Abbas Ahmad al


Musthazhir Billah yang merupakan sosok ramah dan berakhlak
mulia serta bersungguh-sungguh dalam melakukan kebajikan.
2. Perang salib pertama dimulai.
3. Pasukan salib menguasai Baitul Maqdis dan menewaskan 70.000
muslim.

c. Tahun 1118-1135 M (Rabi’al Akhir 512 H-


Dzulqaidah 529 H)

1. Posisi kekhalifahan dipegang oleh Abu Manshur al Fadhal al


Mustarsyid bin al Mustanzhir yang merupakan sosok yang fasih
dan bagus tulisannya.
2. Terjadi beberapa peperangan di kalangan keluarga Sult6an
untukmendapatkan kekuasaan.

4. Era Pengaruh Dinasti Ayyubiyah

d. Tahun 1180-1225 M (Dzulqaidah 575 H-


Ramadhan 622 H)
1. Posisi kekhalifahan dipegang oleh al Nashir Abul Abbas Ahmad
bin al Mustadhi.
2. Shalahuddin al Ayyubi merebut Baitul Maqdis dari pasukan salib.
Perang salib ke tiga dimulai.
3. Bani Saljul berakhir di Irak pada 590 H dengan tewasnya Thugrul
bin Arselan ditangan Khawarizm Syaikh Alauddin Tukusy.
4.Munculnya bangasa Tarta Mongol.

5.Era Runtuhnya Kekuasaan

b. Tahun 1226-1242 M (Rajab 623 H-Jumada al


Alhir 640 H)

1.Posisi kekhalifahan dipegang oleh al Musta’shim Billah


2.Memasuki 656 H, pasukan Tarta Mongol pimpinan Hulagu Khan
dibantu penguasa Mosul yang bernama Hisamuddin Lu’lu’
seorang Armenia, menggempur Baghdad dan menghilangkan
nyawa banyak penduduk hingga nyawa al Musta’shim Billah.
Berakhirlah masa Dinasti Abbasiyah.

Abdullah Muththalib (Kakek Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam)

Abu Thalib Abbas Abdullah

Abdullah bin Abbas

Ali bin Abdullah

Muhammad bin Ali

Abu Abbas Abu Ja’far Ibrahim al


(as Saffah) (al Manshur) Imam
Al Hamdi
785-7896 M

Al Hamdi Ar Rasyid Abdullah


785-786 M 786-8098 M

Al Amin Al Ma’mun Al Mu’tasin Al Qasim Al Mu


809-813 M 813-833 M 833-842 M
Al Wastiq Al Mu’tasin Al Musta’in
842-847 M 833-842 M 862-866 M

Al Mu’tas Al Muntashir Al Muwaffaq Al Mu Mt


866-869 M 861-862 M 870-892
Al Mu’tadhid
8992-902 M

Al Muktafi Al Muktadir Al Qa
944-940 M 908-932 M 932-97

al Mustakfi Ar Radhi Ishaq Al Mttaqi A


944-946 M 934-940 M 940-944 M 93

al Qadir
991-1031 M

al Qo’im
1031-1075 M
Al Mustadhi’
1170-1180 M

An Nashir
1180-1225 M

Azh Zhahir
1225-1226 M

Al Mustanshir I
1226-1242 M

Al Musta’shim
1242-1258 M
Imam Thabari mengisahkan Abul Abbas (721-754), yang dibai’at
sebagai Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, naik mimbar Jum’at
dan berpidato di depan penduduk Kufah. Berikut ini petikan
pentingnya:

،‫ حتى أدركتم زماننا‬،‫ ولم يثنكم عن ذلك تحامل أهل الجور عليكم‬،‫أنتم الذين لم تتغيروا عن ذلك‬
،‫ وقد زدتكم في أعطياتكم مائة درهم‬،‫ وأكرمهم علينا‬،‫ فأنتم أسعد الناس بنا‬،‫وأتاكم هللا بدولتنا‬
‫ والثائر المبير‬،‫ فأنا السفاح المبيح‬،‫فاستعدوا‬.

“Wahai penduduk Kufah, kalian adalah tempat berlabuh kecintaan kami,


dan rumah idaman kasih sayang kami. Dan tidaklah kalian melakukan hal-
hal yang bertentangan dengan itu, dan kalian tidak tergoda oleh tindakan
para pembangkang sampai Allah mendatangkan kekuasaan kami. Kalian
adalah orang yang paling berbahagia dengan adanya kekuasaan kami di
tengah kalian. Kalian adalah orang yang paling mulia di mata kami. Dan
kami telah menambah gaji kalian seratus dirham. Bersiaplah kalian, karena
saya adalah penumpah darah yang halal (al-saffah al-mubih) dan pembalas
dendam yang siap membinasakan siapa pun juga (al-tsa’ir al-mubir).”

Sejak itu, Abul Abbas dikenal dengan julukan al-Saffah. Padanya berkumpul
dua hal: kedermawanan dan sang penjagal. Kepada penduduk Kufah, tak
segan-segan dia meningkatkan pendapatan mereka untuk membeli loyalitas
penduduk Kufah yang lebih dari 80 tahun di bawah kekuasaan Dinasti
Umayyah. Pada saat yang sama, siapa saja yang berani melawan kekuasaan
Abbasiyah, penguasa rezim baru, akan dibunuh dengan kejam.

Dalam awal pidatonya, Abul Abbas As-Saffah menyitir berbagai kezaliman


dan kesewenang-wenangan Dinasti Umayyah, dan mengutip berbagai ayat
Qur’an mengenai keluarga Nabi (QS 33:33 dan QS 42:23). Ini
menggambarkan pijakan teologis yang jelas: pengambil-alihan kekuasaan
terjadi untuk menegakkan keadilan dan sekaligus mengembalikan hak
keluarga Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, Abul Abbas berusaha
memberi landasan teologis terhadap pengambil-alihan kekuasaan ini.

Abul Abbas memang memiliki nasab yang berasal dari Abbas, paman Nabi
Muhammad. Ini berbeda dengan Syi’ah yang menjadikan keturunan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah sebagai jalur nasab keluarga Nabi. Boleh saja secara
umum dianggap kekuasaan Abbasiyah ini merupakan Ahlul Bait yang Sunni.
Tapi problem teologis yang dialami Syi’ah mengenai legitimasi keimamahan
mereka juga dihadapi oleh Abbasiyah: “Apa dasarnya keluarga Nabi
mewarisi kekuasaan atas umat?”
Berbeda dengan Syi’ah yang mengambil argumen yang ketat soal imamah,
Abbasiyah tetap menggunakan jalur khilafah melanjutkan tradisi Sunni, tapi
dengan tambahan justifikasi bahwa kekuasaan khilafah berada di tangan
keluarga Nabi dari jalur Abbas. Maka, beredarlah sejumlah riwayat yang
meneguhkan posisi teologis Abbaisyah ini. Dengan kata lain, sekali lagi,
agama telah dijadikan sebagai alat politisasi kekuasaan.

Imam Thabari memulai pembahasan tentang kekhalifahan Abbasiyah dengan


mengutip riwayat ini:

‫ انه اعلم العباس ابن عبد المطلب انه تؤول الخالفة إلى‬-‫ فيما ذكر عن رسول هللا ص‬-‫وكان بدء ذلك‬
‫ ويتحدثون به بينهم‬،‫ فلم يزل ولده يتوقعون ذلك‬،‫ولده‬

“Awal mula kekhilafahan Bani Abbas adalah bahwa Rasulullah


memberitahukan kepada Abbas, pamannya, bahwa khilafah akan ada di
tangan anak cucunya. Sejak itulah Bani Abbas membayangkan datangnya
khilafah tersebut, dan mereka menyampaikan riwayat ini di kalangan
mereka.”

Tapi Imam Thabari, yang dikenal sebagai ahli sejarah, ahli tafsir dan ahli
fiqh, tidak menyebutkan sanad dan matan Hadits yang dimaksud. Imam
Suyuthi menyebutkan sejumlah riwayat yang berkenaan dengan ini tapi,
seperti bisa kita duga, menurut Imam Suyuthi sendiri riwayat-riwayat
tersebut cukup lemah.

Misalnya, riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda kepada


pamannya, Abbas: “Dari kalangan kamu ada kenabian dan kerajaan.” Namun
dalam perawinya ada nama al-Amiri yang dianggap lemah oleh Imam
Suyuthi.
Atau beredar riwayat lain, Nabi bersabda kepada Abbas: “Sesungguhnya
Allah membuka agama ini denganku dan menutupnya dengan keturunanmu.”
Lagi-lagi Imam Suyuthi memandang riwayat ini lemah.

Serangan juga ditujukan terhadap legitimasi keluarga Nabi dari jalur Abbas.
Ini dikarenakan jalur ini bukan keturunan Nabi Muhammad, tapi lebih pada
keturunan paman Nabi. Maka, kita dapati berbagai riwayat di Sunan al-
Tirmidzi, misalnya, “Abbas adalah bagian dariku dan aku (Nabi
Muhmamad) adalah bagian darinya”; “Siapa pun yang menyakiti pamanku
(Abbas) berarti dia telah menyakitiku”; dan “Paman seseorang adalah
saudara kandung ayahnya atau termasuk dari bagian ayahnya”.

Imam Tirmidzi meriwayatkan berbagai keutamaan Abbas, dan dalam satu


riwayat Nabi mendoakan agar Allah mengampuni keturunan Abbas. Riwayat
ini seolah hendak melegitimasi bahwa apa pun kekejaman dan pertumpahan
darah yang dilakukan Dinasti Abbasiyah akan diampuni Allah.

Hadits hasan gharib ini hanya satu-satunya yang diriwayatkan oleh Sunan al-
Tirmidzi dan tidak dijumpai riwayat senada dalam kitab hadits utama
lainnya. Toh, meski begitu, ada ulama yang menambahi riwayat doa Nabi di
atas dengan kalimat tendensius: “… dan jadikanlah kekhilafahan tetap di
pundak keturunan Abbas.” Luar biasa, bukan?

Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya (Hadits Nomor 11333) juga


meriwayatkan seolah kehadiran kekuasaan as-Saffah sudah dinubuwatkan
oleh Nabi: “Di penghujung zaman dan tersebarnya fitnah akan keluar
seorang lelaki yang disebut dengan as-Saffah. Dia akan memberikan harta
dengan dermawannya.” Riwayat yang tercantum dalam Musnad Ahmad ini
tidak terdapat dalam kitab hadits utama lainnya (kutubut tis’ah).
Ibn Katsir dalam al-Bidayah juga mencantumkan sejumlah riwayat lemah
mengenai kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini, utamanya berdasarkan riwayat
dari Baihaqi. Sekali lagi kita melihat upaya luar biasa untuk melegitimasi
kekuasan politik lewat penampakan berbagai riwayat hadits. Dan luar
biasanya riwayat-riwayat berbau politik ini terus beredar dan ada saja,
bahkan banyak, yang mudah percaya dengan hal-hal semacam ini.

Di atas telah saya kisahkan bagaimana Abul Abbas mendapatkan legitimasi


sebagai keluarga Nabi. Lalu, bagaimana dengan kelompok Syi’ah? Semula
Syi’ah mendukung Abbasiyah menyingkirkan Dinasti Umayyah. Tragedi
kekalahan politik Syi’ah di masa Umayyah seolah menemukan harapan
untuk kembali bangkit dengan datangnya pemerintahan Abbasiyah, sebagai
sesama keluarga Nabi. Namun, ternyata Abul Abbas berpaling dari mereka.
Nasib Syi’ah tidak berubah. Tetap marjinal.

Salah satu bentuk kekejaman Abul Abbas adalah dengan mengundang


jamuan makan kepada keluarga Bani Umayyah yang tersisa. Abul Abbas
membunuh Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik dengan tangannya
sendiri, dengan cara menariknya keluar dari meja makan. Ini juga dilakukan
terhadap 90 orang Bani Umayyah lainnya: dijamu makan, lantas dibantai
habis. Bahkan tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup dengan
permadani, dan as-Saffah dan keluarganya melanjutkan makan malam di atas
permadani. Begitu Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh menceritakan
kekejian ini.

Gubernur Madinah yang diangkat Khalifah Abul Abbas, yaitu Dawud bin
Ali, juga membantai semua keluarga Umayyah yang masih tersisa di
Mekkah dan Madinah. Politik balas dendam dan pertumpahan darah menjadi
ciri dari pemerintahan Abul Abbas.
Abul Abbas as-Saffah hanya berkuasa 4 tahun. Pada 10 Juni tahun 954
Masehi, dia wafat saat masih berusia cukup muda, yaitu 33 tahun. Sebelum
wafat, Abul Abbas telah menunjuk saudaranya, Abu Ja’far, dan
keponakannya, Isa bin Musa, sebagai satu paket penerus kekhilafahan
Abbasiyah.

2.

Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah


menggantikan saudaranya Abul Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur
adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas As-
Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah.

Ketikah Khalifah Abul Abbas As-Saffah meninggal, Abu Ja'far sedang


menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani.
Yang pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur setelah
dilantik menjadi khalifah pada 136 H/754 M adalah mengatur politik dan
siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan
cermat, sehingga pada masa pemerintahannya terjalin kerjasama erat antara
pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi
rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepala-kepala dinas lainnya.

Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram,


aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan
terkendali, tidak ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan.

Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang


menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya.
Kelompok pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad
bin Ali, paman Abu Ja'far sendiri. Ia menjabat panglima perang Bani
Abbasiyah. Kegagahan dan keberaniannya dikenal luas. Pengikut Abdullah
bin Ali sangat banyak serta sangat berambisi menjadi khalifah.

Kelompok ketiga adalah kalangan Syiah yang dipimpin pendukung berat


keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena
dalam melakukan gerakan mereka membawa nama-nama keluarga Nabi
Muhammad Saw.

Setelah berhasil mengantisipasi kelompok-kelompok yang dapat menjadi


batu sandungan pemerintahannya, Al-Manshur kembali dapat mencurahkan
perhatiannya pada pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Ia
adalah orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga
memberikan dorongan dan kesempatan yang luas bagi cendekiawan untuk
mengembangkan riset ilmu pengetahuan. Penerjemahan buku-buku Romawi
ke dalam bahasa Arab, yang menjadi bahasa internasional saat itu dilakukan
secara khusus dan profesional. Ilmu falak (astronomi) dan filsafat mulai
digali dan dikembangkan.

Pada awal pemerintahannya, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur benar-benar


meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik dan
terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit anggaran besar-
besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak daripada
uang keluar. Ketika Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meninggal dunia, harta
yang ada dalam kas negara sebanyak 810.000.000 dirham.

Ada kisah menarik tentang Abu Ja'far Al-Manshur dan Abu Hanifah. Ketika
selesai membangun Baghdad, Abu Ja'far mengundang para ulama
terkemuka. Imam Abu Hanifah termasuk di antara mereka.

Saat itulah Abu Hanifah ditawari sebagai Hakim Tinggi (Qadhi Qudha).
Namun Abu Hanifah menolak keras. Ketika diancam agar bersedia
memegang jabatan itu, Abu Hanifah mengucapkan kalimat yang dicatat
sejarah, "Seandainya anda mengancam untuk membenamkanku ke dalam
sungai Eufrat atau memegang jabatan itu, sungguh aku akan memilih untuk
dibenamkan."

Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur amat murka. Apalagi ketika ia mendapatkan


laporan bahwa sang imam menaruh simpati pada gerakan Muhammad bin
Abdullah di Tanah Hijaz. Abu Hanifah ditangkap dan dipenjara hingga
meninggal.

Selain meletakkan pondasi ekonomi, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur juga


menertibkan pemerintah untuk memperkuat kekuasaan Bani Abbasiyah.
Penertiban ini dilakukan dalam bidang administrasi dan mengadakan
kerjasama antar pejabat pemerintahan dengan sistem kerja lintas sektoral.

Khalifah Al-Manshur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke


Byzantium, Afrika Utara dan mengadakan kerjasama dengan Raja Pepin dari
Prancis. Saat itu, kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia dipimpin oleh
Abdurrahman Ad-Dakhil.

Menjelang pengujung 158 H, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur berangkat ke


Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit
lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama
22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Baghdad.

3.
Ketika khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meninggal di tengah perjalanan
untuk menunaikan ibadah haji, Al-Mahdi sedang berada di Baghdad
mewakilinya mengurus kepentingan negara. Di sanalah Al-Mahdi
mendengar kabar kematian ayahnya tercinta sekaligus pengangkatan dirinya
sebagai khalifah.

Setelah merasa mampu menguasai kesedihannya, ia berpidato di hadapan


orang banyak. Di antara isi pidatonya, “Sesungguhnya Amirul Mukminin
adalah seorang hamba yang diminta, lalu dia penuhi permintaan itu.
Rasulullah Saw pernah menangis saat berpisah dengan orang-orang yang
dicintainya. Kini aku berpisah dengan sosok yang agung, kemudian aku
diberi beban yang sangat berat. Hanya kepada Allah aku mengharap pahala
untuk Amirul Mukminin, dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan
untuk memimpin kaum Muslimin.”

Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat


serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan
harta-harta yang dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada 129 H. Ada juga
yang mengatakan 126 H. Ibunya bernama Ummu Musa binti Al-Manshur
Al-Himyariyah.

Al-Mahdi adalah khalifah pertama yang memerintahkan ulama untuk


menulis buku menentang orang-orang Zindiq dan mulhid (ingkar). Menurut
Adz-Dzahabi seperti dikutip Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’,
dialah yang pertama kali membuat jaringan pos antara Irak dan Hijaz.

Berbeda dengan pemerintahan ayahnya yang penuh dengan perjuangan


melawan berbagai kesulitan untuk menstabilkan keadaan negara, masa
pemerintahan Al-Mahdi bisa dikatakan masa kejayaan dan kemakmuran.
Rakyat dapat hidup dengan tenteram dan damai. Sebab negara pada waktu
itu berada dalam keadaan stabil dan mantap. Keuangan negara terjamin dan
tidak ada satu pun gerakan penting dan signifikan yang mengancam
keselamatan negara.

Masa pemerintahan Al-Mahdi dimulai dengan pembebasan para napol


(narapidana politik) dan tapol (tahanan politik). Kebanyakan dari golongan
Alawiyah (pendukung Ali), terkecuali para kriminal yang dipenjarakan
menurut undang-undang yang berlaku.

Pembangunan yang dilakukan di masa itu meliputi peremajaan bangunan


Ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum, pembangunan
jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota-kota besar
Islam lainnya.

Di antara kebijakan Al-Mahdi adalah menurunkan pajak bagi golongan


kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai-pegawainya untuk tidak bersikap
kasar ketika memungut pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi
dengan berbagai cara agar membayar pajak.
Penaklukan di masa Khalifah Al-Mahdi meliputi daerah Hindustan (India)
dan penaklukan besar-besaran terjadi di wilayah Romawi. Selain itu, Al-
Mahdi juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menyimpang dari
ajaran Islam, yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik
(penyembah cahaya dan kegelapan) atau lebih dikenal dengan sebutan
kaum Zindiq. Setelah itu sebutan Zindiq dialamatkan kepada siapa saja yang
mulhid atau para ahli bid’ah.

Gerakan lain yang muncul pada masa kepemimpinannya adalah gerakan


Muqanna Al-Khurasani yang menuntut dendam atas kematian Abu Muslim
Al-Khurasani. Selain itu, gerakan ini merupakan percobaan Persia untuk
merebut kembali kekuasaan dan pengaruh dari bangsa Arab, khususnya Bani
Abbasiyah. Al-Muqanna mengajarkan kepada para pengikutnya tentang
pengembalian ruh ke dunia dalam jasad yang lain, yang lebih dikenal dengan
reinkarnasi. Tentu saja gerakan ini sangat sesat dan menyesatkan.

Kemunculan Al-Muqanna menimbulkan kekhawatiran khalifah, selain


karena para pengikutnya yang bertambah banyak, mereka juga sering
memenangkan peperangan menghadapi kaum Muslimin serta menawan
Muslimah dan anak-anak. Oleh sebab itu, Al-Mahdi mengirim pasukan besar
menghadapi gerakan tersebut.

Terjadilah pengepungan di sebuah kota di mana Al-Muqanna bersembunyi.


Pengepungan itu berlangsung cukup lama. Di luar perkiraan pasukan Al-
Mahdi, sebuah aksi bunuh diri massal dilakukan Al-Muqanna bersama
pengikut-pengikutnya, yaitu dengan cara membakar diri.

Pada tahun 159 H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-Hadi dan
Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota secara berurutan. Pada tahun 169
H, Al-Mahdi meninggal dunia. Ia memerintah selama 10 tahun. Satu riwayat
menyebutkan dia meninggal karena jatuh dari kudanya ketika sedang
berburu. Riwayat lain mengatakan dia meninggal karena diracun.

4.
Musa Al-Hadi (785-786 M) menjabat Khalifah Abbasiyah keempat
menggantikan ayahnya, Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan
hanya satu tahun tiga bulan (169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H.
Ketika ayahnya wafat, Musa Al-Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan
di pinggir laut Kaspia. Saudaranya, Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya
untuk mengambil baiat dari seluruh tentara. Mendengar berita wafatnya sang
ayah, Musa Al-Hadi segera kembali ke Baghdad dan berlangsunglah baiat
secara umum.

Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi ketika menjabat khalifah adalah


membasmi kaum Zindiq. Kelompok ini berkembang sejak pemerintahan
ayahnya, Al-Mahdi. Secara umum kelompok ini lebih mirip ajaran komunis
yang ingin menyamakan kepemilikan harta. Tetapi mereka sering tidak
menampakkan ajarannya secara terang-terangan. Ini yang menyulitkan kaum
Muslimin membasminya.

Walau demikian, di akhir pemerintahan Al-Mahdi, kelompok ini semakin


merebak dengan melakukan kegiatan bawah tanah. Untuk itu, Khalifah Musa
Al-Hadi tidak mau ambil resiko. Dengan tegas ia memerintahkan
pasukannya untuk membasmi kelompok ini sampai ke akar-akarnya.

Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak hanya muncul dari kaum
Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin
Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari masyarakat karena masih
keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat memaklumatkan
berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.

Karena gubernur setempat tak mampu mengatasinya, Musa Al-Hadi segera


mengirimkan pasukan cukup besar dari Baghdad yang dipimpin oleh
Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman menawarkan
perdamaian. Namun karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah
pertempuran di suatu tempat antara Madinah dan Makkah yang dikenal
dengan nama Fakh.

Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya dibawa ke hadapan
Khalifah Musa Al-Hadi dan dikebumikan di Baghdad. Sisa-sisa pasukan
Husain dikejar. Sebagian melarikan diri keluar Hijaz.

Tak terlalu banyak perkembangan yang terjadi di masa pemerintahan Musa


Al-Hadi. Usia pemerintahannya pun tidak terlalu lama. Ia meninggal dunia
pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal 170 H. Konon kemangkatannya itu
tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran, dianggap terlalu
sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi oleh sang
khalifah.

Konon sering terjadi pertentangan antara keduanya, ia pun dibunuh. Imam


As-Suyuthi memaparkan banyak versi tentang tewasnya Musa Al-Hadi. Ada
yang mengatakan sang khalifah jatuh dari jurang dan tertancap pada sebatang
pohon. Ada juga yang mengatakan ia meninggal karena radang usus hingga
perutnya bernanah. Riwayat lain mengatakan, ia diracun oleh ibunya sendiri.

Sebagaimana diketahui, ibunya adalah orang yang sangat berpengaruh dan


sering mengurusi hal yang sangat penting seputar istana. Para utusan banyak
yang datang ke kediaman ibunya. Melihat hal itu, Musa Al-Hadi marah.
Terjadi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.

Seperti dikisahkan As-Suyuthi, Musa Al-Hadi mengirimkan makan beracun


kepada ibunya. Begitu menerima makanan itu, ibunya langsung
memberikannya kepada seekor anjing. Seketika binatang itu mati!

Setelah mengetahui niat busuk anaknya, sang ibu berencana untuk


membunuh anaknya yang durhaka itu. Dengan menggunakan selendang, ia
membungkam wajah Musa Al-Hadi hingga kehilangan nafas dan mati. Musa
meninggalkan tujuh orang anak laki-laki.

5.
Salah satu tokoh besar umat ini yang berhasil membuat Romawi
menundukkan kepala karena wibawanya adalah al-Khalifah al-Mujahid
Harun al-Rasyid rahimahullah. Seorang laki-laki mulia yang dikaburkan
sejarahnya dan dibunuh karakternya oleh orang-orang yang membenci Islam
dan kaum muslimin. Ia digambarkan sebagai seorang pemabuk yang gila.
Laki-laki hidung belang dengan banyak selir. Pemimpin kejam dan zalim.
Padahal dia adalah khalifah terbaik di Daulah Abbasiyah. Ia seorang
mujahid. Pemimpin yang perhatian terhadap ilmu dan ulama. Dan keutamaan
lainnya. Mungkin inilah yang menyebabkan fitnah itu dihembuskan. Ia
digambarkan sebagai pemimpin yang tak bertanggung jawab. Di sampingnya
hanya ada khamr dan mabuk. Dibuatlah kisah-kisah palsu dan hikayat-
hikayat dusta untuk mendukung fitnah itu.
Ibnu Khalkan berkata, “Harun al-Rasyid termasuk khalifah yang paling
mulia dan raya yang paling melayani. Ia berhaji, berjihad, berperang,
pemberani, dan cerdas.” (Siyar A’lam Nubala, Juz: 7 al-Rasyid).
Nasab dan Kelahirannya

Kun-yahnya adalah Abu Ja’far. Sedangkan nama dan nasabnya adalah Harun
bin al-Mahdi Muhammad bin al-Manshur Abu Ja’far Abdullah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi al-
Abbasi. Jadi, ia adalah seorang Quraisy satu kabilah dengan Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬. Dan keturunan dari paman Nabi, Abbas bin Abdul
Muthalib radhiallahu ‘anhu.
Harun al-Rasyid dilahirkan pada tahun 148 H di Kota Ray. Kala itu, ayahnya
menjadi pemimpin wilayah Ray dan Khurasan. Ibunya adalah al-Khayziran
(Arab: ‫)الخيزران‬, kun-yahnya Ummul Hadi.

Sejak kecil, Harun al-Rasyid telah memiliki sifat istimewa seperti pemberani
dan kuat. Sifat ini menjadikannya sangat layak sebagai suksesor ayahnya
saat ia berusia 20-an tahun.

Menjabat Khalifah

Harun al-Rasyid menjabat khalifah Daulah Abbasiyah menggantikan


ayahnya, al-Mahdi. Pengangkatannya terjadi pada malam sabtu tanggal 16
Rabiul Awal 170 H. Jabatan tertinggi di Daulah Abbasiyah itu ia duduki
hingga bulan Jumadil Akhir 194 H.

Saat menjabat khalifah, umurnya baru menginjak 25 tahun. Ia berkun-yah


dengan Abu Musa, namun orang-orang mengkun-yahinya dengan Abu
Ja’far.

Khalifah Yang Shaleh

Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan dalam Tarikh Baghdad, “Sebagian


sahabat Harun bercerita bahwa ia shalat setiap hari sebanyak 100 rakaat. Hal
itu ia lakukan dengan istiqomah hingga wafat. Kecuali ada sebab yang
menghalanginya. Ia bersedekah dengan mendermakan 1000 dirham setiap
hari. Apabila ia menunaikan haji, turut serta bersamanya 100 ahli fikih
(ulama) dan anak-anak mereka. Jika ia tidak berhaji, maka ia menghajikan
300 orang dengan bekal baju besi, kiswah, dan yang lainnya.” (Tarikh
Baghdad Bab al-Ha-u)
Al-Mas’udi mencatat tahun-tahun dimana Harun al-Rasyid menunaikan
ibadah haji. Dari catatannya Harun al-Rasyid berhaji pada tahun 170, 173,
174, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 186, dan 188 H.

Adz-Dzahabi mengatakan dalam Tarikhnya, “Tahun 179, Harun al-Rasyid


berumrah di bulan Ramadhan. Ia senantiasa dalam ihramnya hingga musim
haji tiba. Ia berjalan dari rumahnya menuju Arafah.” (Siyar A’lam
Nubala, Juz: 7 al-Rasyid).
Amalan Harun al-Rasyid ini membantah orang-orang yang tidak berhaji
dengan alasan peduli sosial. Kedua ibadah ini bisa dilakukan tanpa
mengorbankan salah satunya. Harun al-Rasyid berhaji dan juga memiliki
perhatian besar dalam hubungan sosial kemasyarakatan.

Kehidupannya Adalah Teladan

Al-Manshur bin Ammar mengatakan, “Aku tidak melihat orang yang lebih
mudah menitikkan air mata saat berdzikir melebihi tiga orang: al-Fudhail bin
Iyad, (Harun) al-Rasyid, dan yang lain.” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, Juz:
27, Hal: 19).
Diriwayatkan, suatu hari Ibnu as-Samak menemui al-Rasyid. Saat itu Harun
al-Rasyid meminta minum. Diberikanlah untuknya semangkok minuman.
Ibnu as-Samak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya Anda
terhalangi meminum minuman ini –maksudnya satu mangkuk air ini pun
Anda tak punya-, dengan apa Anda akan membelinya?” “Dengan setengah
kerajaanku,” jawab al-Rasyid. “Minumlah, semoga Allah memberimu
ketenangan,” kata Ibnu as-Samak.

Setelah al-Rasyid selesai meminum air itu, Ibnu as-Samak kembali berkata,
“Seandainya air ini dihalangi keluar dari badan Anda, dengan apa Anda akan
menebusnya agar ia bisa keluar?” “Dengan seluruh wilayah kerajaanku,”
jawab al-Rasyid. Ibnu as-Samak melanjutkan, “Sesungguhnya harga sebuah
kerajaan hanya dengan seteguk air dan kencingnya. Sungguh tidak pantas
seorang berlomba-lomba memperebutkannya.” Harun al-Rasyid pun
menangis tersedu-sedu. (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).
Ibnul Jauzi mengisahkan, “al-Rasyid berkata kepada Syibyan, ‘Nashiatilah
aku’. Syibyan mengatakan, “Bertemanlah dengan orang-orang yang
membuatmu takut, tapi dengan itu engkau merasa aman. Hal ini lebih baik
bagimu daripada berteman dengan orang yang membuatmu merasa aman,
tapi engkau menjadi ketakutan.”

“Jelaskan maksud ucapan itu padaku,” kata al-Rasyid.


“Orang yang mengatakan padamu, ‘Engkau bertanggung jawab terhadap
rakyatmu, maka takutlah kepada Allah’. Orang yang demikian lebih baik
untukmu. Daripada mereka yang mengatakan, ‘Engkau adalah ahlul bait
(keluarga rasul). Dosa-dosamu diampuni. Anda adalah kerabatnya Nabi ‫’ﷺ‬.”
Harun al-Rasyid pun menangis, sampai-sampai orang di sekelilingnya
merasa kasihan padanya (Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 216).

Mencintai Sunnah dan Para Ulama

Al-Rasyid adalah seorang pemimpin yang cinta pada para ulama. Ia


mengagungkan dan memuliakan agama. Membenci debat dan banyak bicara.
Al-Qadhi al-Fadhil dalam sebagian suratnya mengatakan, “Aku tidak tahu
ada seorang Raja yang tidak pernah beristirahat menuntut ilmu, kecuali al-
Rasyid. Ia pergi bersama dua orang putranya, al-Amin dan al-Makmun,
untuk mendengar al-Muwatha dibacakan oleh Imam Malik rahimahullah.”
(Tarikh al-Khulafa, Juz: 1, Hal: 217)
Saat sampai kabar padanya seorang tokoh tabiut tabi’in, Abdullah bin al-
Mubarak rahimahullah, wafat, Harun al-Rasyid duduk bersedih. Dan para
tokoh pun berusaha menghiburnya.
Abu Muawiyah adh-Dharir mengatakan, “Tidaklah aku menyebut Nabi ‫ ﷺ‬di
hadapan al-Rasyid kecuali ia mengatakan shallallahu ‘ala sayyidi (shalawat
Allah atas tuanku). Kemudian kuriwayatkan kepadanya hadits beliau,
‫وددت أني أقاتل في سبيل هللا فأقتل ثم أحيى ثم أقتل‬

“Andai saja aku berperang di jalan Allah, kemudian terbunuh. Setelah itu
aku hidup kembali dan terbunuh kembali.” (HR. al-Bukhari 6799).

Ia menagis hingga terisak-isak.

Dari Khurzadz al-Abid, ia berkata, “Abu Muawiyah menyampaikan sebuah


hadits –Nabi ‫ﷺ‬- kepada al-Rasyid. Yakni hadits tentang kisah Nabi Adam
mengalahkan hujjah Nabi Musa. Lalu ada seseorang yang bertanya, “Dimana
keduanya bertemu?” al-Rasyid pun marah dan berkata, “Hamparkan kulit
dan cabut pedang. Seorang zindiq telah menghina hadits”. Abu Muawiyah
pun menenagkan Harun al-Rasyid hingga padam amarahnya. (al-Fawa-id
adz-Dzahabiyah min Siyar A’lam Nubala, Juz: 1, Hal: 10)
Hadits tersebut adalah:

‫سى فَقَا َل‬َ ‫سله َم احْ تَ هج آدَ ُم َو ُمو‬ ‫صلهى ه‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬‫سو ُل ه‬ ُ ‫وُل قَا َل َر‬ُ ُ‫س ِم ْعتُ أَبَا ه َُري َْرة َ يَق‬ َ ‫ط ُاو ٍس قَا َل‬ َ ‫َع ْن‬
‫َّللاُ ِبك ََال ِم ِه َو َخطه‬
‫طفَاكَ ه‬ َ ‫ص‬
ْ ‫سى ا‬ َ ْ َ َ َ
َ ‫سى يَا آدَ ُم أ ْنتَ أبُونَا خَ يه ْبتَنَا َوأ ْخ َرجْ تَنَا ِم ْن ال َجنه ِة فَقَا َل لَهُ آدَ ُم أ ْنتَ ُمو‬َ ‫ُمو‬
‫سله َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫سنَةً َف َقا َل ال هن ِب‬
َ َ‫ي َق ْب َل أ َ ْن يَ ْخلُقَنِي ِبأ َ ْربَعِين‬ ‫لَكَ ِبيَ ِد ِه أَتَلُو ُمنِي َعلَى أ َ ْم ٍر قَد َهرهُ ه‬
‫َّللاُ َعلَ ه‬
‫سى‬ َ
َ ‫سى ف َح هج آدَ ُم ُمو‬ َ ‫ف َح هج آدَ ُم ُمو‬ َ

Adam dan Musa ‘alaihimasslam saling berdebat. Musa berkata, “Wahai


Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau telah mengecewakan kami dan
mengeluarkan kami dari surga karena dosamu.”
Adam menjawab, “Wahai Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya
dan menulis Taurat untukmu dengan tangan-Nya. Apakah kau mencelaku
atas perkara yang telah Allah tentukan terhadapku empat puluh tahun
sebelum Dia menciptakanku?”

Nabi ‫ ﷺ‬bersabda, “Argumentasi Adam mengalahkan Musa. Argumentasi


Adam mengalahkan Musa.” (HR. Muslim No.4793).

Mendengar hadits ini, spontan salah seorang di majelis Harun al-Rasyid


berseloroh, “Dimana keduanya bertemu?” Namun Harun al-Rasyid
menangkap ucapan ini sebuah respon untuk membantah. Sehingga ia
langsung merespon serius seseorang yang dianggapnya berani mendustakan
hadits Nabi ‫ﷺ‬. An-nuth’u wa as-saif (pedang), kata al-Rasyid. An-
nuth’u adalah kulit yang dihamparkan untuk mengeksekusi seseorang agar
darahnya tidak membasahi lantai.
Mendustakan hadits bukan perkara kecil di mata Harun al-Rasyid. Ia sampai
menyebut orang tersebut dengan zindiq, yakni orang yang mendustakan dan
membantah syariat. Sementara kaum muslimin pada hari ini dengan mudah
menolak hadits, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Mereka mengatakan,
“Hadits ini tidak lagi relevan dengan zaman sekarang”, “Hadits ini
tafsirannya demikian dan demikian –bermaksud menolak hadits-”, dll.

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidak seorang pun


meninggal, lebih berat terasa kematiannya dibandingkan Amirul Mukminin
Harun. Aku berandai-andai sekiranya Allah menambahkan umurnya dari
umurku.” Ia melanjutkan, “Berat terasa bagi kami. Saat Harun wafat,
muncullah fitnah. Al-Makmun (putra Harun) menyeru masyarakat meyakini
bahwa Alquran itu makhluk.” (at-Tafsir min Sunan Said bin Manshur, Hal:
25)

Pada tahun 187 H, Harun al-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi
Nikephoros I. Surat tersebut berisi pembatalan perjanjian damai antara
Romawi dan Abbasiyah yang telah disepakati oleh Kiasar Romawi
sebelumnya. Isi surat Nikephoros adalah sebagai berikut:
Dari Nikephoros, Kaisar Romawi, kepada Harun, Raja Arab. Amma ba’du..

Sesungguhnya kaisar sebelumku memberimu posisi benteng (dalam


permainan catur pen.). Dan dia memposisikan diri sebagai pion. Ia bawakan
kepadamu harta-hartanya. Sebenarnya aku bisa memberikan jumlah berkali
lipat darinya. Tapi itu karena kelemahannya dan kebodohannya sebagai
seorang wanita. Jika engkau membaca suratku ini, kembalikan apa yang
telah engkau dapatkan sebelumku! Jika tidak, maka pedang (yang berbicara)
antara aku dan dirimu!

Ketika al-Rasyid membaca surat ini, ia pun marah besar. Tidak ada seorang
pun yang berani mengarahkan pandangan ke arah wajahnya. Apalagi
mengeluarkan sepatah kata padanya. Orang-orang yang duduk bersamanya
menyingkir karena takut. Menteri pun membisu. Al-Rasyid menulis surat
balasan:

Bismillahirrahmanirrahim.

Dari Harun Amirul Mukminin, kepada Nikephoros anjing Romawi. Aku


telah membaca suratmu wahai anak perempuan kafir. Jawabannya adalah
sesuatu yang akan engkau lihat sebelum kau dengar.

Hari itu juga Harun al-Rasyid memimpin sendiri pasukannya menuju


Romawi. Sampai akhirnya al-Rasyid berhasil menaklukkan Kota Hercules –
sebuah kota dekat Konstantinopel-, Nikephoros ketakutan. Ia kembali
meminta perjanjian damai dan bersedia membayar upeti (Tarikh ath-Thabari
bab Sanah Sab’u wa Tsamanin wa Mi-ah).

Kemakmuran di Era Pemerintahannya

Ada sepenggal kalimat yang diucapkan Harun al-Rasyid menggambarkan


betapa luas dan makmur wilayah kekuasaannya. Suatu hari al-Rasyid melihat
awan mendung, kemudia ia mengatakan,

‫أمطري حيث شئت؛ فسيأتيني خراجك‬

“Hujanlah dimanapun yang kau inginkan. Hasil bumi pun akan datang
padaku.” (Mausu’ah Akhlak wa Zuhd wa Raqa-iq Juz 1 Hal: 198).
Hujan tersebut akan bermanfaat bagi kaum muslimin, baik turun di wilayah
kekuasaan Islam Dintasti Abbasiyah atau di luar wilayah tersebut. Jika dia
turun di wilayah Islam, kaum muslimin akan memanfaatkan airnya untuk
minum dan mengairi ladang mereka. Dan jika turun di selain wilayah kaum
muslimin, hasil buminya akan datang kepada umat Islam dalam
bentuk jizyah.
Inilah gambaran kemuliaan, kemakmuran, dan kekuasaan kaum muslimin di
era Harun al-Rasyid rahimahullah.

Wafatnya al-Rasyid

Harun al-Rasyid pernah bermimpi tentang kematiannya. Dalam mimpinya ia


melihat dirinya menggenggam tanah berwarna merah. Di tempat itulah ia
wafat.

Mimpi itu pun jadi kenyataan. Saat al-Rasyid menempuh perjalanan menuju
Khurasan, setibanya di Kota Thous, ia jatuh sakit. Al-Rasyid memerintahkan
pembantunya, “Datangkan padaku sewadah tanah dari tempat ini.”
Kemudian diberikan padanya tanah merah di gengagamannya. Melihat itu,
al-Rasyid mengatakan, “Demi Allah, inilah telapak tangan yang aku lihat.
Dan tanah yang ada di genggamannya.”

Ia memerintahkan penggalian makamnya saat ia masih hidup. Kemudian ia


minta dibacakan Alquran seutuhnya. Setelah itu, ia minta dibawa ke
makamnya. “Menuju tempat inilah perjalanan (hidup ini) wahai anak
Adam,” kata al-Rasyid. Ia pun menangis. Tiga hari kemudian,
beliau rahimahullah wafat.

Glosarium

 Abul Abbas as-Ṣaffah : Pendiri Dinasti Abbasiyah


 Abu Ja’far al-Mansur : Khalifah kedua Abbasiyah, pendiri kota
Baghdad
 Abu Muslim Al-Khurasani : Panglima pendukung utama Abul Abbas
 Abu Nawas : Penasehat bijaksana pada masa Harun ar-Rasyid
 Anbar : Kota kuno di Persia, pusat pemerintahan Abbasiyah masa
 Abul Abbas
 Baghdad : Taman keadilan
 Baitul Hikmah : Perpustakaan besar yang didirikan Harun ar-Rasyid
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan
 Eufrat (Furat) dan Tigris (Dajlah) : Dua sungai yang mengapit Istana
Baghdad
 Himyariyah : Suku Arab Selatan (Yamani)
 Hunain bin Ishak : Ilmuwan Nasrani, yang menerjemahkan karya
Plato dan
 Aristoteles atas permintaan Al-Makmun
 Khalid bin Barmak : Wazir pertama masa Al-Mansur
 Marwan Bin Muhammad : Khalifah terakhir Dinasti Umayyah
 Majlis Munazharah : Pusat kajian keagamaan
 Muhammad bin Ali : Tokoh awal gerakan penentang Bani Umayyah
 Mudariyah : Suku Arab Utara (Quraisy)
 Silk Road : Jalan Sutera
 Yahya bin Barmak : Perdana menteri kepercayaa Harun ar-Rasyid,
sekaligus
 guru Al-Amin dan Al-Makmum.
Latihan Soal 1

1. Ibu kota Dinasti Abbasiyah adalah ….


2. Pernada mentri/gubernur dikenal dengan istilah ….
3. Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun ….
4. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh ….
5. Dinasti Abbasiyag berdiri setelah berakhirnya meriontahan ….
6. Khalifah pertama Dinasti Bani Abbasiyah adalah ….
7. Jelakan proses berdirinya dinasti Abbasiyah !
8. Apa saja factor-faktor penyebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah ?
9. Abul Abbas as-Saffah hanya berkuasa selama …..
10. Gubernur Madinah yang diangkat oleh Khalifah Abul Abbas
adalah ….

Latihan Soal 2
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan jelas !

1) Kelompokkanlah khalifah-khalifah yang berjasa besar bagi kejayaan


Dinasti Abbasiyah!
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
2) Bandingkan peranan Khalifah Al-Mansur dan Al-Makmun!
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
3) Terangkan proses berdirinya Dinasti Abbasiyah!
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
4) Berikan pendapatmu tentang kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid!
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
5) Bagaimana cara kita dapat mengetahui zaman keemasan Dinasti
Abbasiyah?
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................
...........................................................................................................................
....................

Anda mungkin juga menyukai