Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (SKI)

“PROSES LAHIR DAN FASE-FASE PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH”

OLEH :

HASMANTI PURNANINGRUM

MADRASAH ALIYAH KAMARUL HUDA BAGU

BAGU KECAMATAN PRINGGARATA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

TAHUN 2023
A. Pendahuluan
Dalam peradaban umat Islam Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah
peradaban umat Islam yang terjadi Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan
umat Islam yang memperoleh masa kejayaan yang gemilang Pada masa ini banyak
kesuksesan yang diperoleh Bani Abbasiyah baik itu di bidang ekonomi politik dan
ilmu pengetahuan Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan Semangat
bagi generasi umat Islam pala peradaban umat Islam itu pernah memperoleh masa
keemasannya melampaui kesuksesan negara-negara Eropa dengan kita mengetahui
bahwa dahulu peradaban Islam itu diakui oleh seluruh dunia maka akan memotivasi
sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah peradaban umat Islam
sehingga kita akan mencoba untuk mengurangi masa keemasan itu kembali nantinya
untuk generasi umat Islam saat ini.
Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju diawali dengan penerjemahan naskah
asing terutama yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Penddirian pusat
perkembangan ilmu, dan perpustakaan dan terbentuknya madzhab ilmu pengetahuan
dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir.
Dinasti Abbasiyah merupamakan dinasti islam yag paling berhasil dalam
pengembangan peradaban islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para
para pakar pada amsa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban islam
B. Proses Lahirnya kekhalifahan Bani Abbasiyah
Kekhalifahan bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani
Umayyah, diman pendiri bani Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi
Muhammad SAW yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya.
Ketika dinasti Umayyah berkuasa bani Abbas telah melakukan usaha perebutan
kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan
memberikan toleransi pada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta
Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan
gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena
tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar.
Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan
pembantaian terhadap seluruh bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang telah
berkuasa
Orang-orang Abbasiyah, sebut saja bani Abbas merasa lebih berhak dari pada
bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan bani Hasyim
yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang-orang
Umayyah secara paksa menguasai kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh
karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar
biasa dalam bentuk pemberontakan terhadap bani Umayyah.[1]
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai
gerakan rahasia. Akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan
mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah
terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Ibrahim tertangkap oleh pasukan dinasti
Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan
kepada adiknya yaitu Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia
akan dibunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah dan pemimpin propaganda
dibebankan kepada Abu Salamah.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh
Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang
telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul abbas diperintahkan
untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama
pasukannya yang melarikan diri. Khalifah ini terus menerus melarikan diri hingga ke
Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750
M di bawah pimpinan Salih bin Ali, dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan
dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shafah dengan pusat kekuasaan awalnya di
Kuffah.[2]
Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah
pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan
di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang
akhirnya menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik
diawal berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung kepada pembunuhan
yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.[3]
C. Fase kekuasaan Bani Abbasiyah.
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola
pemerintahan itu, para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada
empat periode :
1) Periode Pertama, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M
sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung
selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap
sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena
keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaannya
membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga
ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi
dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754
M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M),
Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M),
Ibrahim (817 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).

2) Periode Kedua yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M
sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir
ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-
Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya
pengaruh Turki. Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang
berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang
dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan yang
efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in
(862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa
pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh
wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani
Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.

3) Periode ketiga, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M
sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa
ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim
(1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu
Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan
Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M,
dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk
keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti
Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad
yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah. Pada akhir
Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak
memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil
dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah
di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti
Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M),
dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M).
4) Periode Keempat, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M
sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu
Khan pada tahun 656 H / 1258 M
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil
alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M,
yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir
seluruh dunia islam bagian timur. [4]
D. Khalifah-khalifah Abbasiyah
Kekuasaan Abbasiyah yang didirikan oleh keturunan Abbas ibnu al Muthalib
yaitu Abdullah saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas atau lebih
dikenal dengan sebutan Abu al Abbas al Safah berlangsung dalam kurun waktu yang
sangat panjang sekali, dari tahun 132H-656H (750-1258M). Sebelum Abul Abbas
Ash-Shaffah (pendiri) 132-136H meninggal, ia sudah mewasiatkan penggantinya. Dia
adalah saudaranya sendiri yang bernama Abu Ja’far. Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-
Mansur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada khalifah sesudahnya,
yaitu:
1) Kebijakan Al-Mahdi (775-785M)
Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta
banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu beliau mengembaliakn harta-harta
rampasan yang tidak jelas atau tidak benar. Beliau lahir pada 129H. Pada masa
ini, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian,
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambanagan seperti perak, emas, tembaga
dan besi.
Berikut ini beberapa kebijakan Al– Mahdi sebagai berikut:
a) Menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai
– pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika memungut pajak, karena
sebelumnya mereka diintimidasi dengan berbagai cara agar membayar pajak.
b) Penaklukan dimasa kholifah Al – Mahdi meliputi daerah Hindustan (India)
dan penaklukan besar – besaran terjadi diwilayah Romawi. Selain itu Al –
Mahdi juga bersikap keras terhadap orang – orang yang menyimpang dari
ajaran islam, yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik atau
penyembah cahaya dan kegelapan atau lebih dikenal dengan sebutan Zindiq.
c) Pembangunan yang dilakukan dimasa itu meliputi peremajaan bangunan
ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum, pembangunan
jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota – kota besar
islam lainnya.

2) Kebijakan Khalifah Harun ar-Rashid


Khalifah Harun al- Rashid adalah khalifah kelima daulah Abbasiyah, beliau
mengantikan saudaranya al-Hadi pada tahun 786-809M, yang merupakan masa
keemasan daulah Abbasiyah. Beliau dilahirkan di Raiyi pada tahun 145H ibunya
ialah Khaizuran, bekas seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi. Ayah beliau al-
Mahdi memberi tanggung jawab dengan melantik Harun sebagai Amir di Saifah
pada tahun 163H, kemudian pada tahun 164 H beliau dilantik untuk memerintah
seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika utara.
Khalifah Harun ar Rashid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuan
dan budayawan. Ia mengangkat perdana menteri juga dari seorang ulama besar di
zamanya, Yahya as-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun ar-Rashid,
sehingga banyak nasehat dan anjuran kebaikan mengalir di Yahya. Hal ini semua
membentengi Khalifah Harun dari pebuatan yang menyimpang dari ajaran islam.
Pada masa hidupnya ahli-ahli bahasa terkenal yang mempelopori penyusunan tata
bahasa, seni bahasa salah satunya yaitu Khalaf al-Ahmar(wafat 180H), al-Khalil
Ahmad al-farahidi(wafat180H).
Kekayaan yang banyak dimanfaat Harun Al – Rasyid untuk keperluan sosial
seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada
masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter disamping itu
pemandian – pemandian umum juga di bangun. Tingkat kemakmuran yang paling
tertinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteran berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Kemajuan-kemajuan yang diraih Dulah Abbasiyah pada masa itu khusunya dalam
hal keilmuan dan pendidikan tidak luput dari kebijakan yang dilakukan Harun ar-
Rashid pada masanya diantaranya adalah adanya gerakan penerjemah manuskrib-
manuskrip dan kitab Yunani, mendirikan Baitul Hikmah, Rumah sakit, Kuttab
serta didirikannya lembaga Sastra.
a) Gerakan Penerjemah
Kegiatan penerjemah sebenarnya sudah dimulai sejak Dulah
Umayyah, namun pada masa Daulah Abbasiyah mengalami masa
keemasan. Pusat tempat penerjemahan adalah Yunde Sahpur, yang
merupakan kota ilmu pengetahuan pertama dalam Islam. Para penerjemah
bukan hanya dari kalangan beragama Islam tapi dari pemeluk Nasrani dan
Majusi.
Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu kedalam
bahasa syiria kuno sebelum ke bahasa Arab. Hal ini dikarenakan
penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami
bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri. Setelah itu baru Arab
menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Penerjemah dipelopori oleh
Yuhanna ibn Musawayh (777-857M) dan Hunayn ibn Ishak (wafat 873M)

b) Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakkan perpustakaan yang berfungsi sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan, institusi ini merupakan kelanjutan
dari institusi serupa dimasa imperium Sasania Persia yang
bernama Jundishapur Academy. Namun pada masa itu hanya menyimpan
puisi-puisi dan cerita untuk raja. Sedangkan pada masa Harun instuisi
tersebut bernama Khizanah al-Hikmah. Yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian. Terdapat macam-macam buku ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu, baik yang berbahasa Arab
maupun bahasa lain seperti Yunani, India, dan sebagainya. Pada masa ini
Baitul Hikmah juga berperan sebagai pusat penerjemah.
c) Pendirian Rumah Sakit
Sebelumnya telah dikatakan bahwa pada masa kahlifah Harun ar-
Rashid telah didirikan beberapa bangunan sosial diantaranya adalah rumah
sakit. Rumah sakit bagdad merupakan rumah sakit islam pertama yang
dibangun oleh kahlifah Harun ar-Rashid pada awal abad ke-9. Rumah sakit
ini menyediakan ruangan khusus untuk perempuan dan dilengkapi dengan
gedung obat-obatan. Beberapa diantaranya dilengkapi dengan perpustakaan
kedokteran dan menawarkan khusus pengobatan.
Selain itu rumah sakit ini juga dilakukan untuk praktikum para
mahasiswa dari sekolah kedokteran yang mengadakan penelitian dan
percobaan dalan bidang kesehatan. Pada masa itu sudah terdapat paling
tidak 800 orang dokter. Sejumlah dokter bedah mengijazahi kepada
mahasiswa kedokteran yang dianggap mampu melakukan praktik.
d) Mendirikan Apotik
Pada masa ini beliau membangun apotik pertama, selain itu beliau
juga mendirikan sekolah farmasi pertama dan menghasilkan buku daftar
obat-obatan. Mereka menulis beberapa risalah tentang obat-obatan.[7]
e) Kuttab
Kittab atau bisa juga disebut maktab berasal dari dasar kataba yang
berarti menulis, maka kuttab adalah tempat belajar dan menulis. Lembaga
ini adalah lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-
dasar bacaan, menghitungkan dan menulis serta anak remaja belajar dasar
ilmu agama.
Menurut ibnu Djubaer pendidikan ini berlangsung di luar masjid.
Kurukulum pendidikan di kuttab berorientasi kepada Al-Qur’an sebagai
suatu tex book, hal ini mencangkup pengajaran membaca dan menulis,
kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah Nabi SAW. Belajar di Kuttab
dilakukan pada pagi hari sampain waktu shalat ashar untuk membahas
berbagai macam ilmu pegetahuan.
f) Lembaga Kesusteran
Pada masa pemerintahannya lembaga ini mengalami kemajuan yang
pesat, bahkan pada saat itu beliau juga aktif dalam majelis ini. Dalam
sejarah dikatakan, bahwa khalifah Harun ar-Rashid merupakan ahli ilmu
pengetahuan dan sangat cerdas, maka wajarlah beliau pun ikut terjun dalam
lembaga pendidikan ini.

3) Kebijakan Khalifah al-Ma’mun


Abdullah Abul Abbas al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 170 H, Al-Ma’mun
memerintah dinasti Abbasiyah dari tahun 198H-218H. Beliau merupakan salah
satu khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka, intelektual dan kecintaan Al-
ma’mun kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut meletakan
dirinya dipuncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah.
Pemaaf adalah salah satu sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau
memaafkan al-Fadhi bin ar-Rabi’ yang telah menghasut komplotan penjahat
menentang beliau serta memulangkan kembali ke rumahnya, beliau memaafkan
ibrahim bin al-Mahdi yang elah melantik dirinya sebagai khalifah di Bagdad
sewaktu al-Ma’mun berada di Marwu. Beliau pun tidak sembarangan
mendengarkan nyaniyan dan tidak tertarik dengan hiburan dan bermain-main.
Selama dua puluh tahun tinggal di bagdad beliau meninggalkan hiburan dan
majelis-majelis minuman. Sebab beliau pusat pikirannya hanyalah ilmu
pengetahuan dan kecintaannya terhadap buku-buku.
Al-ma’mun penyokong ilmu pengetahuan dan menempatkan para
intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di era
kepemimpinannya, ke khalifah abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang
sangat disegani. Wilayah kekuasaanya dunia islam terbentang luas mulai dari
pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. Dalam dua
dasawarsa kekuasaanya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia islam
sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. Seperti ayahnya
al-Ma’mun dalam kepemimpinannya juga memiliki kebijakan-kebijakan pada
masanya sehingga daulah Abbasiyah dapat mencapai masa gemilangnya
khususnya dalam bidang keilmuan, seperti:
a) Gerakan Penerjemah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penerjemah telah
dilakukan pada masa dinasti Umayah, selanjutnya gerakan penerjemah ini
dilakukan pada masa Abbasiyah dan lebih memusat pada Khalifah al-mashur
dan Harun al-Rasid. Pada zaman ini kemauan usaha penerjamah mencapai
puncak dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Bagdad. Disinilah
orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M) penerjemah kedokteran
Yunani. Penerjemah Materi Medika, Galen adalah ilmu pengobatan, dan
buku-buku filsafat.[8] Karena keinginannya untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagai super power dunia ketika itu, al- Ma’mun membentuk
tim penerjemah yang terdiri dari Hunain bin Ishaq yang dibantu anaknya,
Ishaq dan keponakannya Hubaish serta ilmuan lain seperti Qusta ibn Luqa,
seorang beragama kristen Jocobite, Abu Basr Matta ibn Yunus, seorang
kristen Nestorian, ibn ‘adi, yahya ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas
menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama berisi ilmu-ilmu yang sangat
diperlukan terutama kedokteran.
Keberhasilan penerjemah juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam
menyerap bahasa asing dan kekayaan kosa kata bahasa Arab. Dalam masa
keemasan, karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu pragmatis,
seperti kedokteran, naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan.
b) Baitul Hikmah
Merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Pada masa khalifah al-Ma’mun diberi nama al-Hikmah atau
Baitul Hikmah. Berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku kuno yang
didapat dari Persia, Bizantium dan bahkan Etiopia dan India. Khalifah sangat
cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuan dari berbagai
agama datang ke Bait al-Hikmah, beliau menempatkan para intelektual dalam
posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, serta
sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat
tinggi.
Di institusi ini beliau mempekerjakan Muhammad ibn Musa al- Khawarizmi
yang ahli dalam bidang aljabar, astronomi serta penemu logaritma. Dibaitul
hikmah telah ditemukan konsep dasar pendidikan multicultural. Dalam
institusi ini tidak ditemukan diskriminasi, melainkan konsep demokrasi dan
pluralitas sudah begitu kental dalam kegiatan pendidikan di institusi ini.
c) Majelis al-Munazharah
Majelis ini merupakan lembaga yang digunakan sebagai lembaga pengkaji
keagamaan yang diselenggarakan dirumah-rumah, masjid-masjid, dan istana
khalifah. Lembaga ini juga digunakan untuk melakukan kegiatan transmisi
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya.
Selain majelis ini ada 6 majelis lainnya, yaitu majelis al-Hadist, al-
Muzakarah, al- Syu’ara, al-Adab, dan al-Fatwa.
d) Menulis buku
Aktifitas pelajar pada masa al-ma’mun yang tak kalah menarik adalah
menulis buku sbagai karya yang menjadi bukti penguasaan ilmu yang telah
diperolehnya. Ketika belajar, mereka juga melakukan kegiatan menulis. Pada
awalnya tulisan mereka berbentuk manuskrip saja, namun kemudian akan
dibukukan, sehingga memiliki bobot kualitas yang dapat dipertanggung
jawabkan. Pada masa dahulu bahan untuk meulis adalah kain perca dan
papirus, tetapi pada masa al-Ma’mun kertas telah menggantikan kain dan
piparus diwilayah umat islam.
e) Rumah Para Ulama
Lembaga pendidikan ini digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah, baik
mengenai agama ataupun umum. Pada umumnya materi yang diberikan
adalah Al-Qur’an, ilmu-ilmu pasti, bahasa Arab, dan kesastraan, mantik, fiqh,
falaq, tafsir, dan lain lain. Banyak pelajar yang berminat untuk mempelajari
ilmu dari para ulama. Mereka berdatangan pergi kerumah para ahli ilmu
karena para ahli yang bersangkutan tidak memberikan pelajaran di masjid.

Anda mungkin juga menyukai