Anda di halaman 1dari 13

NAMA : RAHMAD RIFANDY

KELAS : 8-A

MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ISLAM PADA MASA BANI


ABBASIYAH

1. Proses pembentukan

Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan,


melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Al-Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik
menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaannya berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).

Dinasti Abbasiyah berkedudukan di baghdad. Secara turun temurun kurang lebih


tiga puluh tujuh khalifah pernah berkuasa di negeri ini. Pada masa ini Islam mencapai
puncak kejayaanya dalam berbagai bidang.

Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri. Pemberontakan yang


paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani
Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya
negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.

Di antara situasi yang mendukung berdirinya Daulah Abbasiyah dan menjadi


lemah dinasti sebelumnya adalah:

a. Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyyah dengan pengikut Ali bin Abi
Thalib (Syiah).

b. Munculnya golongan khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyyah


dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land reform yang kurang adil.

c. Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai.


d. Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkkan pada Al Quran
dan oleh golongan khawarij non-Arab.

e. Adanya konsep hijrah dimana setiap orang harus bergabung dengan golongan
khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada dalam dar
al-harb, dan hanya golongan khawarijlah yang berada pada dar al-islam.

f. Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah


terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala.

g. Munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang Islam Arab
dan non-Arab.

2. Tata Politik dan Pemerintahan

Selama dinasti ini berkuas, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda


sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbas menjadi lima periode:10

a. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.

b. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
Pertama.

c. Periode ketiga (334 H/954 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.

d. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Seljuk dalam pemerintahan Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.

e. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 m), masa khalifah bebas dari
pengaruh lain tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Bagdad.

Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.


Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khulafaur Rasyidin. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan di atas bumi-
Nya”.

Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami


penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara
bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali
pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka
telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya
Daulah-Daulah kecil, contoh; Daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, daulah
Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada dua tindakan yang
dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan
mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan
yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah, dan kedua pengutamaan orang-
orang turunan Persia.

Pada periode 750-847 M seluruh kerajaan Islam berada di bawah kekuasaan para
Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada zaman ini
sebagai berikut:

a. Abul Abbas As-Saffah (750-754 M)

b. Abu Ja’far Al Mansyur (754-775 M),

Pada kepemimpinannya ibu kota negara dipindahkan ke kota yang baru


dibangunnya, Bagdad, dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dia juga
melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya dengan mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif,
serta menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator
departemen,11 wazir yang pertama yaitu Khalid bin Barmak dari Persia. Dia juga
membentuk sekretaris negara, dan kepolisian negara.pada masa ini jawatan pos
tidak hanya mengantar surat tapi juga mengumpulkan informasi di berbagai daerah,
sehingga administrasi berjalan lancar.

Pada masa Al-Masyur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata yang
artinya,”sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya. Pandangan ini
berlanjut ke generasi selanjutnya yang merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-Khulafa’ al-
Rasyidun. Di samping itu, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”,
seperti Al-Mansyur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far yang mana itu lebih populer dari
nama sebenarnya.12

c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)

Perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan sektor pertanian, melalui


irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi.
Basrah menjadi pelabuhan yang penting sebagai transit dagang Timur dan Barat.

d. Abu Musa Al-Hadi (785-786 M)

Pada pemerintahannya, Bani Abbasiyah mencapai puncaknya. Puncak


keemasan dapat diraih karena kegigihan para pemimpin.

e. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)

Pada pemerintahannya daulat abbasiyah mencapai puncaknya. Kekayaan yang


banyak digunakan sebagai keperluan sosial. Rumah sakit lembaga pendidikan
dokter dan farmasi didirikan. Dan sudah mencapai 800an dokter pada masanya.
Dan pada masa ini negara Islam menempatkan diri sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi.

f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)

g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)

Ia dalah khalifah yang cinta terhadap ilmu. Penerjemahan buku-buku asing


digalakkan, seperti buku Yunani. Ia mendirikan sekolah dan karya terbesarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, sebagai pusat penerjemahan dan
perpustakaan yang besar. Dan Bagdad pun menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.

h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)

Orang Turki berpeluang besar masuk dalam pemerintahan sebagai tentara


pengawal. Pada masa ini tentara dibina secara khusus sehingga kekuatan militer
sangatlah kuat. Meskipun demikian banyak tantangan dan dan gerakan politik baik
dari Bani Abbas maupun dari luar.

i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)

Pada pemerintahannya, Bani Abbasiyyah masih dapat mempertahankan puncak


keemasannya.

j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861 M)

Periode 232-590 H / 847-1194 M kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik


pada sistem desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom:

1) Kaum Turki (232-590 H)

2) Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)

3) Golongan Bani Saljuq (447-590 H)

Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad


pada masa Khalifah Abbassiyah.

Periode kelima (590-656 H / 1194-1258 M), kekuasaan berada kembali di


tangan Khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman
daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu:

a. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750
M, sampai meninggalnya Khalifah Al-Watsiq (847 M).

b. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah Al-Mutawakkil (847 M), sampai
berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).

c. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M)
sampai masuk kaum Saljuk ke Baghdad (1055 M).

d. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad (1055


M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan
Hulagu Khan pada tahun 656 H (1258 M).

3. Peradaban

Pada masa Dinasti Abbasiyah peradaban Islam mengalami puncak kejayaanya.


Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Pengembangan ilmu pengetahuan
diawali dengan penerjemahan naskah-naskah asing terutama dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab., pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al Hikmah, dan
terbentuknya madzhab-madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan ssebagai buah
kebebasan berpikir.

Dari perjalanan rentang sejarah ternyata Bani Abbsiyah dalam sejarah lebih
banyak berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah ke Dinasti
Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah
mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan
ilmu pengetahuan pada Bani Abbasiyah merupakan iklim pengembangan wawasan dan
disiplin keilmuan.

Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun al Rasyid dan puteranya Al-Makmun
ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong bintang,
perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.

Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan oleh stabilitas politik dan


kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun
kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah adalah :

a. Bidang Politik dan Pemerintahan

Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyyah:

1) Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian


menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa
yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan
demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan
ramai.

2) Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan


pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantu khalifah dan
bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi
kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai
lambang.

3) Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya


menjalankan tata usaha Negara.

4) Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan


cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan
Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah
hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah
“al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah.
Hal ini jelas untuk membatasi kewenangan kepala daerah agar tidak
menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.

5) Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam


untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.

6) Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan;


Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u
untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk
mengurus perlengkapan angkatan perang.

7) Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang


berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam
pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam
khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan
Ath-Thiraz, lambang khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai
pemerintah untuk khalifah.

8) Membentuk organisasi kehakiman,Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung),


dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim
propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim
kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).

b. Bidang Ekonomi

Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi cukup


stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah al-Mansur adalah tokoh ekonom
Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang
ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).

Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem irigasi dan kanal di


sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk Persia, sehingga tidak ada
lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi. Kemudian kota Baghdad di
samping sebagai kota politik agama, dan kebudayaan, juga merupakan kota
perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan kota kedua.
Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar wilayah-wilayah
Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah Barat seperti Eropa
dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur melalui Tanjung
Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan pokok dan mewah
dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari wilayah
bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam industri seperti
kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di Samarkand, serta hasil-
hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari Irak.

c. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan

Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan dan teknologi


diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua tingkatan. Pertama,
Maktab/Kuttabdan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama serta tempat penngajian dari ulama-ulama yang
merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah), tempat berdiskusi dan Munazarah
dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruangan
perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu. Di samping
itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dengan berbagai macam fasilitas
pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi pelajar yang ingin mendalami
ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid atau bahkan ke rumah-
rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, baik
mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.
Maka pada perkembangan selanjutnya mulai dibuka madrasah-madrasah yang
dipelopori oleh Nizhamul Muluk. Lembaga inilah yang kemudian yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat ditemukan di
Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat
rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.

d. Gerakan Penerjemah
Pelopor gerakan penerjemah pada awal pemerintahan Dinasti Abbasyiah
adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad. Dia
mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat,
Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa
Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan baik dari
darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti
kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya Aristoteles, Al-
Magestkarya Ptolemy, Arithmetickarya Nicomachus dan Gerase, Geometri karya
Euclid. Manuskrip lain yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan
Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga
diterjemahkan.

Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab


dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang penganut Nasrani dari
Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan
kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena
sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan sturktur kalimat dalam
bahasa Arab.

Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk mengembangkan ilmu


pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah yang diketuai
langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan Hubaish
keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite seorang
Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di, Yahya Ibn
Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani
terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran.
Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam
menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosa kata bahasa Arab.

e. Baitul Hikmah

Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai


pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur
Academy yang ada pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada
masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada
masa Abbasiyah intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid
intitusi ini bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.

Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah


namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait al-Hikmah
dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku
kuno yang didapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan India. Selain itu
Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset astronomi untuk
meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan
Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-
orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan
ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.

f. Bidang Keagamaan

Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama
dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh
tafsir terkenal seperti Ibn Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam
(Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.

Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu pengklasifikasian Hadits secara


sistematis dan kronologis seperti,Shahih, Dhaif,dan Madhu’. Bahkan juga sudah
diketemukan kritik Sanad, dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi
yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah;
Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu
Daud (w 275 H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.

Dalam bidang Fiqh, muncul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740)
yang berisi tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam
Hanafi (w 767 ), seorang hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn
Anas (w 795 M), Muhammad Ibn Idris as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn
Hambal ( w 855 M).

Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para filosof Islam terkemuka
seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah,
Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah pernah menjadi
Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan al-Ma’mun. di antara ahli ilmu
Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan
Asy’ary, dan Iman Ghazali.

Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat karena bahasa Arab semakin
dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang menyeluruh. Ilmu bahasa yang
dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Arudh, dan Insya. Ulama
Lughahyang terkenal adalah Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali
Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.

Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan


seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H),
Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain.

g. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi

Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah:

1) Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom
muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur
ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam
dan al-Tusi.

2) Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn
Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh
lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina.

3) Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi,
dan al-Tuqrai yang hidp pada abad ke 12 M.

4) Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah
Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari.
Kemudian ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H)

4. Kemunduran

Dalam periode II, kekuasaan politik Abbasiyah mulai menurun. Wilayah-wilayah


kekuasaan Abbasiyah secara politis sudah mulai cerai-berai. Ikatan-ikatan mulai putus
satu persatu antara wilayah-wilayah Islam.

Di wilayah barat, Andalusia, Dinasti Umayyah telah bangkit lagi dengan


mengangkat Abdurrahman Nasr menjadi Khalifah/Amir al-Mukminin. Di Afrika Utara
Syiah Ismailiah bangkit dan membentuk Dinasti Fatimiahm dengan mengangkat
Ubaidillah Al-Mahdi menjadi khalifah dan kota Mahdiyah dekat Tunisia dijadikan
pusat kerajaan. Sehingga, pada periode abad ke-10 M, sistem kekhalifahan akhirnya
terpecah ke dalam tiga wilayah; Baghdad, Afrika Utara dan Spanyol.

Di Mesir, Muhammad Ikhsyid berkuasa atas nama Bani Abbas. Demikian pula di
Halab dan Mousil Bani Hamdan bangkit. Sementara di Yaman, kedudukan Syiah
Zaidiyah semakin kokoh. Sedangkan di ibukota Baghdad sendiri, Bani Buwaihi
berkuasa dalam praktik (de facto) dalam pemerintahan Bani Abbas, sehingga khalifah
tinggal nama saja. Faktor-faktor kemunduran itu dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Pertentangan internal keluarga

Di dalam pemerintahan terjadi konflik keluarga yang berkepanjangan.


Ribuan orang terbunuh akibat peristiwa Al-Mansur melawan Abdullah ibnu Ali
pamannya sendiri, Al-Amin dan Al-Makmun, Al-Mu’tasim melawan Abbas
ibnu Al-Makmun. Konflik ini menyebabkan keretakan psikologis yang dalam
dan menghilangkan solidaritas keluarga, sehingga mengundang campur tangan
kekuatan luar.

b. Kehilangan kendali dan munculnya daulat-daulat kecil

Faktor kepribadian yang sangat menentukan pula keberhasilan seorang


pemimpin. Kelemahan pribadi di antara Khalifah Abbasiyah mengakibatkan
kehancuran sistem khalifah. Terutama karena mereka terbuai dalam kehidupan
mewah sehingga kurang memedulikan urusan negara. Perdana menteri
seenaknya menentukan kebijakan para khalifah. Mereka secara berturut-turut
dalam rangka mempertahankan pemerintahannya menggunakan kekuatan dari
luar, seperti orang Turki, Seljuk dan Buwaihi-Khawarizmi. Kekuatan luar ini
jauh mengakibatkan kehancuran struktur kekuasaan dari dalam kekhalifahan
itu sendiri.

Akibat lemahnya khalifah pusat, sidikit banyak telah menggoda sejumlah


penguasa daerah (gubernur) untuk melirik pada otonomisasi. Para gubernur
(amir) yang berdomisili di wilayah barat Baghdad seperti Aghlabiyah,
Idrisiyah, Fatimiyah, Ammawiyah II, Thuluniyah, Hamadaniyah maupun yang
berdomisili di timur Baghdad seperti Thahiriyah, Shafariyah, Ghaznawiyah,
Samaniyah, mencoba untuk tidak taat lagi pada khalifah pusat di Baghdad.
Dalam keadaan yang penuh kekacauan dan berkeping-keping inilah datang
pasukan Hulaghu Khan dengan tentara Tartarnya pada tahun 1258 M
menghancurkan Baghdad. Sampai di sini berakhirlah Dinasti Abbasiyah.

Anda mungkin juga menyukai