Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam
berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya
dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri.
Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-
Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847M), lebih khusus lagi
pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya
terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki
kesan dalam ingatan public, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan
diidentikan dengan istilah “the golden age of Islam” Tanpa meniadakan tatanan
yang telah ditinggalkan oleh Dinasti Umayyah, baik dalam ilmu pengetahuan dan
pemerintahan, Abbasiyah mampu mengembangkan dan memanfaatkan lembaga
yang sudsh pernah ada pada masa umayyah.
Kemajuan lain yag tak kalah penting adalah dalam bidang peradilan dimana
pada Masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah tersusun
dengan rapi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga peradilan
yang terbentuk pada masa ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sekilas sejarah Bani Abbasiyah?
2. Bagaimana hubungan peradilan dengan pemerintah?
3. Bagaimana perubahan bidang peradilan Bani Abbasiyah?
4. Bagaimana kendala atau masalah dalam penyelenggaraan peradilan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sekilas sejarah Bani Abbasiyah.

1
2. Untuk mengetahui hubungan peradilan dengan pemerintah.
3. Untuk mengetahui perubahan bidang peradilan Bani Abbasiyah.
4. Untuk mengetahui kendala atau masalah dalam penyelenggaraan peradilan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Bani Abbasiyah
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa
di Baghdad ( sekarang Ibu kota Irak). Kekuasaan dinasti Abbasiyah adalah
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan dinasti Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman
nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Beliau dilahirkan di
Hummaimah pada Tahun 104 H. Abbu al Abbas dilantik menjadi khalifah pada
tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung dari
tahun 750-1258 M.1
Berdirinya dinasti Abbasiyah tidak lepas dari munculnya berbagai
masalah diperiode-periode terakhir di Dinasti Ummayah adanya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan Bani
Ummayah karena banyaknya para penguasa yang berkorupsi, dan memihak
sebagian kelompok. Serta Bani Abbasiyah beranggapan bahwa mereka lebih
berhak atas kekhalifahan Islam, sebab mereka dari cabang Bani Hasyim yang
secara nasab lebih dekat dengan Nabi.
Dibawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, Gerakan bani Abbas
dilakukan dalam dua fase yaitu fase sangat rahasia, fase terang-terangan dan
pertempuran. Yang akhirnya pemberontakan itu di menangkan oleh Abbu al
abass dengan cara membunuh pemimpin bani Ummayah yaitu Marwan sebagai
khalifahnya. Dengan jatuhnya Bani Ummayah dan Bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.2

1
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: Masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: LESFI,
2003), hlm. 118.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.49.

3
Ahli sejarah membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 5
periode :3
1. Periode pertama (132H/750 M – 232 H/ 847 M)
Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode ini,
pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan
bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan
pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan
wilayah. Walaupun demikian pada periode ini banyak tantangan dan
gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar.

2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)


Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk mengontrol
kekhalifahannya Al-Ma’mun bergantung kepada dukungan Tahir, seorang
bangsawan Khurasan yang sebagai imbalan diangkat sebagai gubernur di
Khurasan (820-822) dan jenderal bagi seluruh pasukan Abbasiyah dengan
janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh keturunannya. Al-Ma’mun dan
Al-Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata yaitu; pasukan
syakiriyah yang dipimpin oleh pemimpin lokal dan pasukan Gilman yang
terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting dicatat disini adalah
kalau pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat dukungan militer dari
rakyatnya sendiri, pada masa kemunduran ini mereka bergantung kepada

3
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: Masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: LESFI,
2003), hlm. 118.

4
pasukan asing untuk dapat berkuasa atas rakyatnya sendiri, sehingga
pemerintahan pusat menjadi lemah. .Masa-masa berikutnya sampai
kedatangan kekuatan Bani Buwaih.

3. Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)


Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua. Abu Syuja’ Buwaih adalah seorang berkebangsaan Persia
dari Dailam. Ketiga anaknya : Ali (‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn al-
Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah) merupakan pendiri dinasti Bani
Buwaih. Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani Abbas
bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan Ahmad
dalam pasukan Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi kemudian
berpindah ke kubu Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini
menguasai bagian barat dan barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah
kematian jenderal Tuzun (penguasa sebenarnya atas Baghdad) Ahmad
memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani Buwaih atas khalifah
Abbasiyah.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi,
terutama diwilayah Persia, bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada
masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah yang
walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa
kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca
sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya
lawan-lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Yang terbesar diantara
tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-Qadi Abd al-
jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 1194 M)

5
Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah atau disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua. Saljuk (Saljuq) ibn Tuqaq adalah seorang pemimpin kaum
Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnnya Transoxania atau Ma Wara’
al-Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq yang memulai
penampilan kaum Saljuk dalam panggung sejarah. Pada tahun 429/1037 ia
tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya makin bertambah luas dari
tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas
Baghdad.4
Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan digantikan Alp
Arselan yang kemudian digantikan puteranya Maliksyah yang merupakan
penguasa terbesar dari dinasti Saljuk. Sesudah itu bani Saljuk mengalami
kemunduran sebelum kekuasan mereka di Baghdad pudar sama sekali pada
tahun 552 H/ 1157 M. Dalam bidang keagamaan, masa ini ditandai dengan
kemenangan kaum Sunni, terutama dengan kebijakan Nidham al-Muluk
mendirikan sekolah-sekolah yang disebut dengan namanya Madaris
Nidhamiyyah. Hal lain yang perlu dicatat dari masa ini dan masa
sebelumnya adalah munculnya berbagai dinasti di dunia Islam yang
menggambarkan mulai hilangnya persatuan dunia Islam di bidang politik.
Seperti dinasti Fatimiyah lahir di Mesir (969) dan bertahan sampai tahun
1171. Dari segi budaya dan pemikiran keagamaan, terdapat berbagai
wilayah dengan pusatnya sendiri yang masing-masing mempunyai peran
sendiri dalam mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi masing-
masing. Misal, Andalus dan Afrika Utara mengembangkan seni yang
mencapai puncaknya pada al-Hambra dan pemikiran filsafat denngan tokoh
Ibn Tufail dan Ibn Rusyd.

5. Periode Kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M)


4
Fuad Riyadi, “Perpustakaan Bayt Al Hukmah The golden age of Islam”, Jurnal Perpustakaan
Libraria, Vol. 12, No.1, (STAIN Kudus: Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Januari-Juni
2014), hlm.99-100.

6
Periode ini adalah masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad. Sesudah Saljuk,
para khalifah tidak lagi dikuasai oleh kaum tertentu. Tetapi, negara sudah
terbagi-bagi dalam berbagai kerajaan kecil yang merdeka. Khalifah al-
Nashir (1180-1255) yang berusaha untuk mengangkat kewibawaan
kekhalifahan Abbasiyah. Untuk itu ia mencari dukungan atas
kedudukannya dengan bekerja sama dengan suatu gerakan dari orang-orang
yang memuja Ali. Dari kalangan pengrajin dan pedagang meyakini Ali
sebagai pelindung korporasi. Anggota dari gerakan ini bertemu secara
teratur, dan tidak jarang melakukan latihan-latihan spiritual dibawah
pimpinan seorang pir. Al-Nashir menempatkan dirinya sebagai pelindung
dari gerakan ini. Sementara itu, kekuatan Mongol Tartar mulai merayap
dari arah timur dan pada tahun 656 H/1258 H, Hulagu dengan pasukannya
memasuki Baghdad dan membunuh khalifah al-Musta’shim dan
membunuh penduduk kota ini. Mereka menjarah harta, membakar kitab-
kitab dan menghancurkan banyak bangunan. Dengan demikian berakhirlah
kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad.5
Pada masa dinasti Abbasiyah banyak ilmuwan-ilmuwan besar dan
sangat berpengaruh terhadap peradaban islam. Prestasi dinasti Abbasiyah
dalam bidang keilmuan :
a. Ilmu kedokteran
1) Hunain ibn Ishaq (804-874M), terkenal sebagai dokter penyakit
mata.
2) Ibnu Sina (980-1036), karyanya yang terkenal adalah al Qanun fi at-
Tibb dan dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas
dinegara Eropa dan negara Islam.
b. Ilmu perbintangan

5
Fuad Riyadi, “Perpustakaan Bayt Al Hukmah The golden age of Islam”, Jurnal Perpustakaan
Libraria, Vol. 12, No.1, (STAIN Kudus: Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Januari-Juni
2014), hlm. 101.

7
1) Abu Masy’ur al Falaki, karyanya adalah Isbatul Ulum dan Haiatul
Falaq
2) Jabir Al Batani, pencipta teropong bintang yang pertama, karya
yang terkenal adalah Kitabu Ma’rifati Matlil Buruj Baina Arba’il
Falaq.6
Penyebab kemunduran bani Abbasiyah menurut Dr. Badri Yatim,
M.A., adalah sebagai berikut:
a. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu
dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan
nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan.
Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan
sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
b. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi
bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode
pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang
kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga
baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode
kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian
terjadi kemerosotan ekonomi.
c. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa
khilafah Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai
aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan
kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah
6
Fuad Riyadi, “Perpustakaan Bayt Al Hukmah The golden age of Islam”, Jurnal Perpustakaan
Libraria, Vol. 12, No.1, (STAIN Kudus: Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Januari-Juni
2014),, hlm. 111.

8
mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham
keagamaan yang ada.
d. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal
yang menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan
banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah
terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah
kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi
serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya
menyerah kepada kekuatan Mongol.7

B. Hubungan Peradilan dengan Pemerintah


Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah
dikenal sejak masa silam sampai dengan masa sekarang ini. Karena didorong
oleh kebutuhan dan kemakmuran hidup manusia, maka peradilan merupakan
sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya. Sebab, lembaga
peradilan merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam
rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Tidak
mungkin pemerintahan di dunia ini akan berdiri tanpa menegakkan peradilan.

1. Qadha Pada Masa Abbasiyah I


Pada zaman Abbasiyah ini terkenal sebagai puncak kejayaan Islam, tetapi
pada awal-awal daulah tersebut juga dikenal bahwa taasub mazhab sangat
dipertahankan dan pada akhirnya mungkin karena lamanya daulah tersebut
(masa pemerintahan kurang lebih lima abad lebih) rajanya yang silih berganti
7
Fuad Riyadi, “Perpustakaan Bayt Al Hukmah The golden age of Islam”, Jurnal Perpustakaan
Libraria, Vol. 12, No.1, (STAIN Kudus: Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Januari-Juni
2014), hlm.123.

9
sehingga daulah tersebut kelihatan bahwa setelah maju, kemudian mundur
dan pada akhirnya runtuh.
Di Zaman Abbasiyah hukum berdasarkan agama dan untuk kepentingan
agama pada zaman itu kejayaan maju. Akibatnya terjadi pembaharuan-
pembaharuan karena perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi dan ilmu
pengetahuan kemasyarakatan yang pesat, maka terjadi pula pertentangan-
pertentangan di kalangan fuqaha dengan mazhab, namun demikian
pelaksanaan hukum Islam berjalan menurut mazhab tertentu di wilayah
tertentu seperti di Irak berdasarkan mazhab Hanafi, di Syam dan Maghrib
berdasarkan mazhab Maliki dan Mesir berdasarkan Mazhab Syafi’i.8
Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kalau yang berselisih tidak
bermazhab menurut mazhab yang ada di tempat dimana ia berselisih, maka ia
harus meninggalkan mazhabnya dan perkaranya diselesaikan berdasarkan
mazhab di tempat itu. Tetapi keadaan ini hendak dirubah oleh ibnu Muqaffa’
dengan penyampaiannya berupa tulisan kepada khalifah Abu Ja’far ibn
Manshur, yang pada masa pemerintahannya membentuk lembaga
pemerintahan seperti:9
1. al-ḥajib (Protokoler kenegaraan)
2. wizārah (Kementrian)
3. al-kātib (Sekretaris / Juru Tulis)
4. a. şahibu al-syurtah (Kepolisian)
5. al-jaisyu (Ketentaraan)
6. al-Qāḍī (Peradilan)
Dan pada waktu itu terbentuklah Qadht al-Qudhat oleh Khalifah di
ibukota daulah yang bertindak selaku jaksa Agung, yang diangkat pada waktu
itu adalah Abu Yusuf. beliau adalah seorang faqih yang bermazhab Hanafi.
Maka pada pada waktu itu para qadhi menjalankan tugasnya berdasarkan
arahan Qadhi al-Qudhat karena pada waktu itu tiap wilayah (propinsi)
8
Frenky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 1, (IAIN
Manado, 2016), hlm. 3.
9
Rohman Samson, dkk, Tarikh Khulafa’ Sejarah Islam (Mataram:Pustaka Kautsar, 2001), hlm. 59.

10
mempunyai qadhi. Di Andulusia terkenal dengan nama Qadhi al-jamā’at,
yaitu pada tiap-tiap propinsi ada Qadhi sebagai mahkamah Agung yang
merupakan pimpinan semua qadhi yang ada di seluruh wilayahnya. Kalau
masa Abbasiyah I ini terkenal dengan memuncaknya ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam, maka penulis melihat justru pada masa itu adalah
melemahnya Islam, sebagaimana dijelaskan lebih awal bahwa pada zaman itu
taasub terhadap 4 Mazhab besar adalah sangat tinggi, sehingga pemikiran ke-
Islaman pada waktu itu tidak berkembang karena harus mengacu kepada
mazhab yang di wilayah dimana orang itu berada, namun kita melihat bahwa
yang maju adalah semangat Islam, dimana khalifah pada waktu itu merangkul
fuqaha tetapi menampik qadhi bahkan melarang fuqaha berpedoman kepada
mereka, karena ia kwatir terhadap fatwa mereka yang bertentangan antara
kehendak mereka (khalifah), begitu pula jangan sampai qadhi itu memberikan
fatwa kepada fuqaha yang bertentangan dengan kesenangan khalifah. Inilah
sebabnya maka banyak para fuqaha tidak mau menjadi Hakim sebagai contoh
adalah Abu Hanifah yang menolak jabatan tersebut di masa Abu Ja’far al-
Manshur, sehingga Abu Hanifah dicambuk dan memenjarakannya sehingga
beliau meninggal.10
Dengan melihat kejadian ini, kita mendapat suatu persepsi bahwa
fuqaha dirangkul oleh khalifah untuk memberikan fatwa-fatwa yang
menjunjung tinggi/mendukung kehendak khalifah yang senantiasa ingin
menegakkan Islam tanpa memperhatikan apa itu sesuai atau mendukung ide
kegiatan khalifah atau tidak dengan kata lain bahwa para khalifah-khalifah
Abbasiyah segala perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama.
Keistimewaan lain yang merupakan keunikan periode ini adalah
diciptakannya pemisahan antara:11
a. Jenis konflik sosial yang terdiri atas:
1) Sengketa
10
Hasbi Ash hiddieqy, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 101.
11
Frenky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 1, (IAIN
Manado, 2016), hlm. 4.

11
2) Wakaf, dan
3) Wasiat
b. Lembaga Yuridiksi yang terdiri dari:12
1) Kepolisian
2) Mazhalim
3) Kisas
4) Hisbat
5) Dar al-Harb
6) Baitul mal
Sedangkan organisasi kehakiman dalam daulah Abbasiyah yaitu:13
a. Dar Qadhi al-Quha (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen
Kehakiman) yang dipimpin oleh Qadhi al-Qudha’ (Ketua Mahkamah
Agung). Semua badan-badan peradilan atau badan-badan lain yang ada
hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan al-Qudha’
b. Qudna al-Aqadi (Hakim Kota yang mengetuai pengadilan negeri; al-
Qadau atau al-Hisbah).
c. Al-Sultah al-Qadhaiyah yaitu jabatan kejaksaan. Di ibukota negara
dipimpin oleh al-Mudda’it Umumy (Jaksa Agung) dan di tiap-tiap kota
oleh Naib Umumy (Jaksa).
Dari segi kebudayaan di sini dapat dilihat kemajuan Islam pada zaman
Abbasiyah yaitu dengan terbentuknya pemisahan jenis-jenis permasalahan
sosial, begitu pula dengan terbentuknya lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan yang perlu mendapat penyantunan dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dalam
rangka memelihara stabilitas sosial kemasyarakatan dan membagi
kemaslahatan dengan seluas-luasnya.

2. Qadha pada Masa Abbasiyah II


12
Frenky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 1, (IAIN
Manado, 2016), hlm. 4.
13
Ibid, hlm. 5.

12
Pada masa kedua ini adalah merupakan zaman kemunduran daulah
Abbasiyah sendiri dan merupakan tanda awal keruntuhannya. Khilafah Islam
pada waktu itu sudah sangat lemah, karena lemahnya maka berkurang pula
kewenangan Qadhi dan menjadi sempitlah daerah operasionalnya, yaitu
hanya terbatas pada masalah hukum syari’at yang berkembangan di
masyarakat.
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa daulah Abbasiyah memang pada
akhirnya runtuh, sehingga para sejarawan mengatakan bahwa Qadhi dan
khalifah lemah pada waktu itu sehingga daerah operasional Qadhi sangat
sempit, tetapi sebenarnya penyempitan kekuasaan itu boleh saja karena
kelemahan dan kesempitan wilayah operasional qadhi akan tetapi mungkin
juga karena kemajuan zaman menghendaki demikian hal diferensiasi kerja
sehingga lebih terarah karena menjurusnya tugas-tugas pajabat.14
Sebenarnya jauh-jauh hari sebelum khilafah Islam mengalami
kemunduran seperti yang di alami saat ini sudah ada tanda-tanda dan gejala
kemerosotan di dalam sendi-sendi kehidupan kenegaraan dan sosial
kemasyarakatan umat Islam, yaitu berjangkitnya berbagai macam kritis,
sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya. Sebagai akibat yang lebih
fatal lagi umat Islam dihinggapi penyakit dan krisis “alwahn” seperti yang
disinyalir oleh Nabi saw. yakni umat sudah terlalu cinta kepada dunia atau
materialisme (QS. 89: 20, QS. 100: 7, QS. 104: 2) dan telah sirna jiwa dan
semangat jihad mereka. Kebudayaan dan peradaban yang besar dan gemilang
yang diagung-agungkan selama ini adalah ibarat sebuah konstruksi Istana
secara internal, sendi-sendinya sudah hancur berantakan dimakan rayap dan
zaman tanpa sadar, amat ironis, tragis dan memprihatinkan.
Salah satu contoh yang sederhana mengenai fenomena ini adalah:
ketika khalifah al-Mansur menawarkan jabatan Qadhi kepada 3 imam besar
yang amat zuhud dan wara’ (Imam Malik, Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi’b,

14
Frenky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 1, (IAIN
Manado, 2016), hlm.6.

13
dimana ketiganya masing-masing menolak tawaran khalifah secara halus dan
argumentatif, namun tragisnya ketiganya dijebloskan ke dalam penjara.
Mereka menolak jabatan yang setinggi itu tidal lain melainkan karena hendak
memelihara kepentingan agama mereka. Karena sekalipun mereka menjadi
Qadhi (hakim) negara, tetapi kalau hukum-hukum Allah tidak dapat
dilaksanakan adalah sia-sia belaka.15
3. Al-Qanun Pada Masa Abbasiyah
Kata “Qanun” merupakan kata yang telah menjadi bahasa Arab dalam
kitab Mu’jam al-Wasiţ disebutkan bahwa Qanun ialah setiap perkara yang
bersifat kulli (menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juz’iyyah dikenal.
Ulama salaf memberikan definisi “Qanun” disebut bersamaan dengan
kata syari’at tidak lain maksudnya ialah: sesuatu hukum yang dibuat oleh
manusia untuk mengatur perjalanan hidupnya dan hubungannya dengan
sesama yang lain, baik secara individual, masyarakat dan negara.16
Jadi kata qanun berari kumpulan undang-undang
atau produk manusia yang dikemas untuk perkara tertentu dan bidang
bidangtertentusepertiundang- undang pidana atau kumpulan produk hukum
manusia yang digunakan untuk menyelesaikan dan memutuskan perkara
manusia yang berselisih.
Abad pertama sampai abad ketiga pada masa Abbasiyah, sebagai masa
jaya dan majunya semangat ijtihad dikalangan ulama fikih, yang menjadikan
sumber hukum dalam penetapan hukum di lembaga pengadilan al-Qur’an,
sunnahdan ijtihad para hakim sendiri. Akan tetapi, setelah itu sumber h
ukum yang menjadi acuan bagi para hakim di pengadilan sudah berubah,
sejalan denganperkembangan fikih Islam dimasa itu. Pertentangan ma
zhab mulai timbul sehingga masing-masing hakim di pengadilan dalam
menetapkan hukum sesuai dengan mazhab fikih yang mereka anut. Hal ini
membawa lahirnya mazhab fikih seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
15
Frenky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14 No. 1, (IAIN
Manado, 2016), hlm. 7.
16
Alaiddin Kota, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 119.

14
mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Banyak kitab standar yang ditulis
untuk mewakili mazhab-mazhab tersebut baik oleh pendiri mazhab maupun
oleh muridnya. Pemerintah memang tidak menjadikan kitab-
kitab tersebut sebagai kitab Undang-undang, termasuk Undang-undang
hukum perdata (al-Qanun al-Madani), namun dalam kenyataannya para
hakim lebih banyak merujuk kepada pendapat mazhab yang diikutinya dalam
menetapkan hukum. Sehingga ruh ijtihad hakim menjadi lemah karena
berkembangnya mazhab-mazhab fikih berkat dukungan pemerintah berkuasa.
Akibat perhatian istimewa pemerintahan Abbasiyah terhadap mazhab-
mazhab fikih, sehingga hakim diperintah memutuskan perkara sesuai dengan
mazhab yang di anut oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat, apabila
yang berperkara tidak menganut mazhab hakim, maka hakim menyerahkan
putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan
yang berperkara itu.17

C. Beberapa Perubahan dalam Bidang Peradilan


1. Reformasi Peradilan
Perkembangan di bidang pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah
disertai pula oleh beberapa terobosan penting dalam bidang peradilan. Pada
perkembangan berikutnya nilai-nilai reformasi yang telah dirintis itu dapat
diakui dan dilestraikan untuk diterapkan sebagai sebuah kodifikasi yang
sangan besar manfaatnya. Beberapa kemajuan yang telah dicapai dalam
bidang peradilan Islam pada masa itu, antara lain meliputi berikut:18
a. Sarana dan Prasarana Peradilan
Dalam melaksanakan tugas, para hakim difasilitasi dengan
berbagai piranti dan kelengkapan :

17
Muhammad Amin, “Pengaruh Persia, Turki, dan Byzantium dalam Peradaban Bani Abbasiyah”,
Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, Vol. 16, No. 1, (UIN Raden Fatah Palembang: Pascasarjana,
Oktober, 2016), hlm. 27.
18
Ibid.

15
1) Pakaian khusus, sehingga dapat dibedakan antara hakim
dengan masyarakat umum
2) Pengawal khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung
3) Beberapa orang pembantu yang mengatur pengajuan gugatan
perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka
4) Gedung pengadilan tempat memeriksa perkara yang berada di
tengah-tengah keramaian kota
5) Pengatur jadwal (hari-hari) untuk bersidang

b. Membuat Buku Register


Dalam membuat dokumentasi digunakan buku register, yaitu
buku pencatatan yang berhubungan dengan administrasi hukum
sekaligus sebagai dokumentasi yang diperlukan untuk mencatat
putusan, pencatat wasiat, dan utang piutang.

c. Membentuk Lembaga al-Syurthah


Lembaga al-Syurthah, yaitu institute setingkay jabatan
kepolisian yang bertugas untuk menguatkan penegakan amar ma’ruf
nahi munkar, mengatur lalu lintas, menertibkan dan mengawasi
bangunan. Di samping itu, bertugas pula dalam mengurus jawatan
kesehatan, mengatur perdagangan, membawa dan menyeret para
pelanggar hukum, para pemabuk dan orang-orang yang melakukan
perbuatan tidak senonoh ke pengadilan, serta mengeksekusi potong
tangan bagi pencuri yang tertangkap basah.

d. Mendirikan Lembaga al-Mazhalim


Lembaga al-mazhalim, yaitu institute peradilan yang bertugas
dan berfungsi untuk menyelesaikan perkara dan menghukum
penguasa atau pejabat pemerintah yang dengan sewenang-wenang
memeras atau zalim terhadap rakyat kecil yang jelata. Di samping itu,

16
juga berwenang untuk menampung pengaduan-pengaduan tentang
kejahatan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat. Karena itu, Lembaga
ini dikenal juga dengan sebutan dewan pengaduan.
e. Mengangkat Pejabat Moneter
Dalam menertibkan keuangan negara dibentuk dan diangkat
pejabat moneter, yaitu jabatan khusus yang bertugas mengawasi
peredaran mata uang, mengatur sirkulasi keluar masuk uang dari
perbendaharaan negara.

f. Mendirikan Bait al-Mal


Dalam rangka mengelola dan menyimpan keuangan negara,
dibentuk bait al-mal, yaitu kas perbendaharaan negara yang bertugas
dan berfungsi sebagai lumbung atau masukan devisa yang diperoleh
negara.

g. Mengangkat Qadhi al-Qudhat


Qadhi al-Qudhat, yaitu jabatan tertinggi kehakiman setingkat
Ketua Mahkamah Agung. Qadhi al-Qudhat itu bertugas mengangkat
dan memberhentukan hakim, membina dan mengawasi kinerja
hakim, serta meninjau ulang (peninjauan kembali).

h. Melegitimasi Wilyat al-Tahkim


Wilyat al-Tahkim, yaitu Lembaga penengah yang setara dengan
Lembaga konsultasi atau Lembaga bantuan hukum, yang
kelembagaannya secara structural terpisah dari Lembaga peradilan.
Lembaga ini bertugas untuk menyantuni dan memberikan pelayanan
hukum terhadap para pencari keadilan dan kedamaian secara
sukarela.

2. Wewenang Mengangkat Hakim

17
Menurut pengalokasiannya, kekuasaan pemerintah yang meliputi
wilayah kekuasaan kehakiman itu dapat dibagi kepada tiga bagian
berikut:19
a. Wilyat al-Khilafah
Wilyat al-Khilafah, yaitu kekuasaan dan kewenangan yang
dimiliki khalifah, termasuk dalam bidang peradilan. Karena itu,
seseorang yang menjadi khalifah wajib memiliki keahlian dalam
menyelesaikan suatu perkara itu mrupakan salah satu bagian yang
tidak terpisahkan dari tanggungjawab khalifah. Namun demikian
seorang khalifah memiliki kewenangan penuh untuk melimpahkan
tugas-tugas yang mencakup bidang peradilan itu kepada siapa saja
yang dipercayainya melalui mekanisme pengangkatan dan
pemeberhentian hakim.

b. Wilyat al-Imarah
Wilyat al-Imarah, yaitu lembaga pemerintahan yang setara
pemerintahan daerah. Dilihat dari tugas dan wewenangnya, jabatan
yang bersinggungan dengan lembaga itu terbagi kepada empat
kategori berikut:
1) Penguasa daerah yang diberi hak otonom, memiliki wewenang
penuh dalam mengangkat dan memberhentikan hakim.
2) Pejabat daerah yang hanya diberi wewenang untuk memimpin
dan memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat.
Pejabat daerah ini tidak mempunyai wewenang untuk
pengangkatan dan pemberhentian hakim.
3) Penguasa daerah yang khusus mengurus masalah ketentaraan dan
mengendalikan stabilitas dan ketertiban umum. Penguasa daerah
ini tidak memeiliki wewenang untuk mengangkat hakim, bahkan

19
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 86-87.

18
keberadaannya sendiri tidak berhak menyelesaikan perkara dan
memutuskan hukum selaku hakim.
4) Pejabat daerah yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
perkara kezaliman juga mempunyai wewenang untuk
memutuskan hukum sebagai hakim.

c. Wilyat al-Wizarah
Wilyat al-Wizarah, yaitu lembaga kementrian yang mendapat
tugas khusus menangani bidang tertentu dari khalifah. Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa segala tanggung jawab khalifah itu boleh
diserahkan sepenuhnya kepada wazir. Karena itu, wazir berwenang
mengangkat, memantau, dan memberhentikan hakim di daerah sesuai
dengan petunjuk khalifah.20

D. Beberapa Masalah dalam Penyelenggaraan Peradilan


1. Kekacauan Peradilan
Peradilan yang kotor adalan peradilan yang menghempaskan nilai-nilai
keadilan yang asasi, kacau balau, dan penuh keaniyayaan. Pada masa
Abbasiyah terungkap adanya noda hitam yang menyelimuti praktik peradilan.
Sejarah telah mengukir dan menjadi saksi bisu, bahwa kekacau-balauan di
bidang peradilan merupakan warna lain dari peta wilayah peradilan Dinasti
Bani Abbasiyah II selama berkuasa. Banyak yang menduga bahwa runtuhnya
peradilan pada waktu itu akibat campur tangan para penguasa zalim yang
mengendalikan para hakim untuk mengikuti kehendak angkara murkanya,
tampa menghiraukan tegaknya nilai-nilai, perasaan hukum dan keadilan.
Keberadaan lembaga peradilan semakin tidak menentu dan jauh dari
tujuan utama terbentuknya lembaga peradilan setelah berjangkitnya penyakit
sogok (risywah). Penyakit ini sudah menjadi virus yang hampir mencapai

20
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 86-87.

19
stadium yang dapat meruntuhkan marwah dan martabat para “penegak
hukum “.
Jabatan hakim yang sebenarnya penuh resiko, meskipun dari sisi lain
dapat menjanjikan harapan itu, ternyata banyak menarik minat sekelompok
orang buktinya, jabatan itu dengan dengan berani menyerahkan sejumlah
bayaran harta setiap tahun. Disamping itu, lembaga peradilan islam pada masa
Bani Abbasiyah II juga dicemari oleh sikap dan tindakan tercela para saksi
tetap yang disebut al-syuhud al-‘udul. Pada awalnya munculnya ini
sebenarnya mempunyai putusan-putusan hukum yang adil, namun ternyata
jabatan al-syuhud al-‘udul itu disalah gunakan dengan melakukan berbagai
penimpngan melalui kesaksian palsu dengan kedok al-syuhud.
Pada perkembangan berikutnya, al-syuhud al-‘udul itu semakin
bertambah banyak. Di Bashrah saja mencapai 36.000 orang, sementara di
Mesir mencapai 1.500 orang. Pada umumnya jabatan al-syuhud al-‘udul itu
dijadikan sebagai sawah ladang, tempat mengeruk keuntungan. Karena
mereka baru memberikan kesaksian yang benar apabila dipandangnya bisa
mendatangkan keuntungan.21

2. Pengaruh Kejumudan Berpikir Terhadap Peradilan


Setelah umat islam tertidur dengan mengabaikan pengaturan
kekuasaan perundang-undangan (sulthah al-tasyri’iyah), juga dengan tidak
memperdulikan kaidah-kaidah yang dapat digunakan ukuran bagi sesorang
untuk melakukan ijtihad,maka menjalarlah krisis pembentukan hukum dan
ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kelaikan dan keahlian berijtihad
teramat “berani mendakwakan ijtihad”. Muncul pula keberanian
menyanpaikan fatwa oleh orang-orang “tolol” yang mempermainkan nash-
nash syarak, hak-hak kemanusiaan, dan kemaslahatan umat.

21
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 88-
89.

20
Sebagai upaya preventif dalam membendung kekeliruan yang
berkepanjangan, maka pada penghujung abad ke empat hijriyah, para ulama
sepakat mengambil kebijakan baru dengan menutup pintu ijtihad, dan
mengikat para mufti dan hakim untuk mengikuti hukum yang sudah terpola
pada madzhab-madzhab imam besar, meskipun konsekuensinya harus
membendung semangat ijtihad para ulama termasuk para hakim dengan
meredam semangat berfikir mereka.
Dibendungnya ruh ijtihad untuk menggali hukum-hukum dari nash
syarak dikalangan para ulama, ternyata membawa implikasi langsung
terhadap perkembangan hukum dan perundang-undangan. Gerakkan ijtihad
dan kemerdekaan berfikir yang digalakkan para ahli menjadi beku. Mereka
lebih cenderung membiasakan diri mengikuti hukum-hukum yang sudah
dipola dalam madzhab-madzhab besar yang dirintis para imam ternama tempo
dulu.22

3. Beberapa Ekses yang Muncul dalam Peradilan


Pada periode ini muncul berbagai persoalan yang setidak-tidaknya
dapat mempengaruhi proses penyelenggaraan peradilan. Berbagai persoalan
yang muncul itu, antara lain berupa berikut:23
a. Lemahnya ruh ijtihad hakim.
Dalam menetapkan hukum atau memutuskan perkara, semangat
hakin dalam berijtihad diduga begitu lemah karena hakim diperintahkan
untuk memutuskan perkara yang sesuai dengan salah satu madzhab dari
empat madzhab fikih yang berkembang.

b. Hakim memutuskan perkara di bawah pengaruh politik.

22
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 89-
90.
23

21
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, tampaknya khalifah
Abbasiyah bermaksud agar segala perbuatan mereka dicelup dengan
simbol-simbol dan warna agama.

c. Tidak ada unifikasi hukum.


Dengan tidak adanya suatu pegangan yang seragam untuk
dipedomani oleh para hakim yang berlaku secara umum ke seluruh
wilayah yurisdiksi keadilan, maka berakibat terjadinya ketidak seragaman
dalam bidang hukum.

d. Despetisme politik absolut.


Adanya despetisme politik absolut pada zaman Abbasiyah,
mengakibatkan hukum Allah dimuka bumi tidak dapat mencapai fungsi
yang permanen, bahkan terlihat adanya kesenjangan antara yang
seharusnya dengan yang senyatanya didalam kehidupan sehari-hari.
Gejala ini muncul sebgai salah satu akibat kurang berperannya para
penasihat agama dalam menggiring seluruh lapisan masyarakat untuk
senantiasa tulus mengamalkan nilai-nilai agama yang terkandung dalam
teks ajaran.

e. Penguasa tertinggi bebas bertindak.


Kekuasaan bebas bertindak yang dimiliki penguasa tertinggi dapat
berakibat terjauhnya mereka dari control sosial, nasihat qadhi al-qudhat,
kritik para ulama terhadap penyelewengan-penyelewengan atas hukum
Allah dan seringnya meratifikasi undang-undang baru, tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan aspek filosofi dan sosiologis
yang semestinya ada.24

24
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 91.

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang
berkuasa di Baghdad ( sekarang Ibu kota Irak). Kekuasaan dinasti Abbasiyah
adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Pemerintahan Bani
Abbasiyah terbagi menjadi beberapa periode, diantaranya; Periode pertama
(132H/750 M – 232 H/ 847 M), Periode kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945
M), Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), Periode keempat (447
H/1055 M – 590 H/ 1194 M), dan Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/
1258 M).
Karena didorong oleh kebutuhan dan kemakmuran hidup manusia,
maka peradilan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi
keberadaannya, sehingga erat kaitannya dengan pemerintahan. Beberapa
Perubahan dalam Bidang Peradilan pada masa Bani Abbasiyah yaitu
Reformasi peradilan dan wewenang mengangkat hakim. Beberapa masalah
dalam penyelenggaraan peradilan yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah
yaitu kekacauan peradilan, pengaruh kejumudan berpikir terhadap peradilan,
dan beberapa ekses yang muncul dalam peradilan.
B. SARAN
Penulisan makalah ini masih dalam pembelajaran agar dapat
menghasilkan makalah yang lebih bermanfaat lagi maka dari itu penulis
memerlukan kritik dan saran yang membangun. Sekian dan terima kasih.

23
24
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 2003. Sejarah Peradaban Islam: Masa klasik hingga


modern. Yogyakarta: LESFI.
Amin, Muhammad. 2016. “Pengaruh Persia, Turki, dan Byzantium dalam Peradaban
Bani Abbasiyah”. Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam. Vol. 16, No. 1. UIN
Raden Fatah Palembang: Pascasarjana, Oktober.
Ash hiddieqy, Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Koto, Alaiddin. 2012. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Riyadi, Fuad. 2014. “Perpustakaan Bayt Al Hukmah The golden age of Islam”.
Jurnal Perpustakaan Libraria. Vol. 12, No.1. STAIN Kudus: Fakultas
Ushuluddin Adab dan Dakwah, Januari-Juni.
Rohman Samson, dkk. 2001. Tarikh Khulafa’ Sejarah Islam. Mataram:Pustaka
Kautsar.
Suleman, Frenky. 2016. “Peradilan Masa Bani Abbasiyah”. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah,
Vol. 14 No. 1. IAIN Manado.
Yatim, Badri. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

25

Anda mungkin juga menyukai