Anda di halaman 1dari 21

MATERI 7

QIYAS (‫)اللياس‬

A. Pengertian Qiyas
Secara etimologi/bahasa, Qiyas berarti menyamakan, mengukur,
membandingkan. Menyamakan, seperti menyamakan A dengan B karena kedua orang
itu sama-sama pakai kacamata. Mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau
dengan hasta. Membandingkan, seperti membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan-persamaannya.

Sedangkan secara terminologi/istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan


Qiyas:

،‫ في الحكم الري وزد به الىص‬،‫اللياس هى إلحاق واكعت ال هص على حكمها بىاكعت وزد هص بحكمها‬
‫لتساوي الىاكعتين في علت هرا الحكم‬
“Qiyas adalah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain
yang ada nashnya pada hukum yang nash telah menetapkan lantaran adanya kesamaan
dua kejadian itu dalam illat hukumnya”.

Apabila terjadi suatu kasus atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya,
tetapi kasus tersebut tidak ditemukan hukumnya di dalamnash (Al-Qur‟an dan Hadits)
dan juga belum ada kesepakatan para ulama („ijma) tentang hukumnya. Untuk
menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara Qiyas atau analogi, yaitu dengan
mencari peristiwa lain telah ada ketetapan hukumnya di dalam nash, serta antara
kedua kasus atau peristiwa tersebut ada persamaan illat hukumnya. Untuk
mempermudah memahaminya, ada beberapa contoh:

a) Mengkonsumsi narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan


hukumnya, sedangkan dalam Al-Qur‟an dan Hadits belum ada bicara tentang
hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh metode Qiyas dengan
mencari perbuatan lain yang sama dan telah ditetapkan hukumnya secara jelas
dalam nash, yaitu perbuatan meminum khamar berdasarkan firman Allah SWT
dalam Surat Al-Maidah (5) Ayat 90:

          

    


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S. Al-Maidah (5): 90).
Dalam Ayat di atas Allah SWT mengharamkan khamar karena sifat khamar
itu kalau dikomsumsi membuat orang mabuk (‫)إسكاز‬, dan orang yang mengkonsumsi
narkotika juga jadi mabuk (‫)إسكاز‬. Karena narkotika dan khamar mempunyai sifat
yang sama, yaitu sama-sama memabukkan maka memabukkan bias dijadikan illat
hukum, yaitu sama-sama merusak akal pikiran. Berdasarkan persamaan illat tersebut
maka hukum mengkonsumsi narkotika adalah haram, sama seperti hukum
mengkonsumsi khamar.
b) Seseorang mewasiatkan hartanya berupa perusahaan kepada anak angkatnya.
Harta wasiat yang diberikan semasa hidup baru bias dimiliki oleh yang menerima
wasiat setelah yang member wasiat meninggal dunia. Anak angkat sebagai
penerima wasiat pingin cepat harta yang diwasiatkan kepadanya untuk
dimilikinya, maka dibunuhnya ayah angkat yang mewariskan harta tersebut.
Persoalannya, apakah anak angkat tersebut tetap mendapat harta wasiat atau
tidak? Untuk menetapkan hukumnya, dicarikan kasus lain yang sudah ketetapan
hukumnya di dalam nash dengan melihat persamaan illat hukumnya, yaitu
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya, karena ingin segera mendapat harta warisan. Rasulullah SAW
bersabda:
)‫ال ًسث اللاتل (زواه الترمري‬
“Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi” (H.R.
Tirmidzi).
Kedua peristiwa di atas mempunyai illat yang sama, yaitu sama-sama
membunuh karena ingin segera mendapatkan harta sebelum sampai waktu yang
ditentukan. Berdasarkan persamaan illat tersebut maka hukumnya juga sama, yaitu
sama-sama tidak berhak untuk mendapatkan harta baik dengan jalan wasiat ataupun
yang dengan jalan waris dari orang yang telah dibunuhnya.
c) Menyamakan ijarah pada saat adzan Jumat dengan jual beli saat adzan Jumat.
Hukum ijarah saat adzan Jumat haram, karena terdapat illat yang sama dengan
haramnya jual beli saat adzan Jumat (Q.S. Al Jumu‟ah (62): 9), yaitu melalaikan
shalat Jumat (al ilha‟ „an sholat al jumu‟ah). Haramnya jual beli saat adzan Jumat
dapat pula diqiyaskan pada masalah-masalah lain, seperti haramnya seminar atau
akad nikah saat adzan Jumat.

B. Kehujahhan Qiyas (Dasar Hukumnya)


Qiyas adalah hujjah, karena landasan Qiyas adalah illat syar‟i, yaitu illat yang
terdapat pada dalil-dalil syar‟i, yaitu Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat, jadi
kehujjahan Qiyas berasal dari kehujjahan dalil-dalil syar‟i, yang membawa illat syar‟i.
Berarti dalil-dalil kehujjahan Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat,
adalah dalil kehujjahan Qiyas.Inilah dalil qath‟i untuk kehujjahan Qiyas.
Mayoritas ulama ushul fiqh dan para pengikut madzhab yang empat
berpendapat bahwa Qiyas dapat dijadikan salah satu dalil dan metode penggalian
hukum syara‟, dan Qiyas menempati urutan keempat di antara dalil yang ada dengan

2
ketentuan apabila hukum dari kasus yang terjadi belum ditemukan ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟.Sedangkan madzhab Nizhamiyah
Zhahiriyah dan sebagian kaum Syi‟ah berpendapat bahwa Qiyas tidak bisa dijadikan
dalil dan metode dalam penggalian hukum syara‟.
Dalil yang digunakan oleh kelompok jumhur ulama yang menerima Qiyas
sebagai dalil dan metode dalam penggalian hukum syara‟ adalah:
a) Ayat Al-Quran
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ (4) Ayat 59:

             

              

 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 59).
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perbedaan pendapat di antara ulama
tentang hukum suatu masalah, maka solusinya mengembalikan hukum dari masalah
tersebut kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.Cara seperti ini adalah
Qiyas.
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr (59) Ayat 2:

               

              

           

 
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa
mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin.Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan”(Q.S. Al-Hasyr (59): 2).

3
Ayat ini berbicara tentang hukum Allah SWT terhadap kaum kafir.Di akhir
ayat Allah SWT memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai „itibar
(pelajaran). Kata „itibar menurut penjelasan dari riwayat dari Tsalab dalam bahasa
arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya.Hal ini
disebut Qiyas.
b) Hadits Rasulullah SAW
Hadits Rasulullah SAW yang berisi dialog antara Rasul SAW dengan Mu‟adz
Ibn Jabal, ketika Rasul SAW mengutus Mu‟adz Ibn Jabal ke negeri Yaman untuk
menjadi seorang Qadhi, yang berbunyi:
،ًِ ‫الي َم‬َ ‫عً الحازث بً عمس وعً زجال مً أصحاب معاذ أن زسىل هللا صلى هللا عليه وسل َب َع َث ُم َع ًاذا إلى‬
َْ َ َ َ َ ََ َْ
:‫ فئن لم تجد في كتاب هللا؟ كال‬:‫ كال‬.‫ أك ِض ي بكتاب هللا‬:‫ض ل َك كظ ٌاء؟ كال‬ ‫ كيف تل ِض ي إذا عس‬:‫فلال‬
،‫ص ْد َز ُه‬َ ‫ فظسب زسى ُل هللا‬،‫ أجتهد زأيي وال آلى‬:‫ فئن لم تجد في سىت زسىل هللا؟ كال‬:‫ كال‬.‫فبسىت زسىل هللا‬
ُ َّ
ُ ‫وف َم زسى َل زسىل هللا ِلَا ًَ ْس َض ى‬
)‫هللا وزسىل ُه (زواه أحمد وأبى داود والترمري‬ ِ ِ ‫الح ْم ُد هلل الري‬
َ :‫وكال‬
“Dari Al-Haris Ibn Amr, dari sekelompok sahabat Mu‟adz bahwa Rasulullah
mengutus Mu‟adz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu‟adz, “Bagaimana
caramu menetatapkan hukum apabila datang kepadamu persoalan?”Mu‟adz
menjawab, “Berdasarkan kitab Allah”.Nabi bertanya, “Kalau tidak kamu temukan
hukumnya di dalam kitab Allah?”Mu‟adz menjawab, “Akan aku tetapkan berdasarkan
Sunnah Rasulullah”.Nabi Bertanya lagi, “Kalau tidak ditemukan hukumnya dalam
Sunnah Rasul?”Mu‟adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan
akalku dengan berusaha sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dadanya
dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulnya” (H.R.
Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
Hadits ini menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan
Rasulullah SAW terhadap Qiyas, karena Qiyas merupakan salah satu kegiatan ijtihad
yang mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW dalam dialog tersebut.
c) Atsar Sahabat
Para Sahabat Rasul SAW banyak melakukan Qiyas dalam menetapkan hukum
terhadap kasus yang belum ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.Seperti pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat, Abu Bakar
lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat lain, karena dia
yang diutus Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang
sakit. Jika Rasul SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu
beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai khalifah.
d) Logika (Dalil ‘Aqli/Akal)
Tujuan Allah SWT menetapkan hukum syara‟ adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.Dengan demikian, setiap peristiwa ada yang diterangkan dasar
hukumnya di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW, dan ada pula yang belum
diterangkan hukumnya secara tegas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Untuk peristiwa
yang belum diterangkan hukumnya di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, tetapi peristiwa
tersebut ada persamaan illat dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya di

4
dalam nash, maka hukumnya bisa disamakan karena diduga kuat akan memberikan
kemaslahatan kepada manusia. Cara seperti ini disebut dengan Qiyas.
Sedangkan alasan kelompok yang tidak menerima Qiyas sebagai dalil dan
metode penggalian hukum syara‟ adalah:
a) Menurut kelompok ini, Qiyas dilakukan atas dasar dugaan keras (zhan) dan
illatnya pun ditetapkan berdasarkan dugaan juga, sedangkan Allah SWT melarang
kaum muslimin mengikuti sesuatu yang berdasarkan dugaan. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra‟ (17) Ayat 36:

               

 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 36).
Ayat di atas menurut kelompok ini, melarang seseorang untuk beramal dengan
sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, sedang Qiyas tergolong ke dalam sesuatu
yang tidak pasti.Oleh sebab itu, menetapkan hukum dengan Qiyas dilarang karena
karena Qiyas hanya berdasarkan dugaan (tidak pasti).
b) Sebagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata
berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar Ibn Khattab:
‫ فظلىا وأطلىا‬،‫ فلالىا بالسأي‬،‫ أعيتهم ألاحادًث أن ًحفظىها‬،‫إًاكم وأصحاب السأي فئنهم أعداء السنن‬
“Jauhilah olehmu golongan rasionalisme karena mereka adalah musuh ahli sunnah,
karena mereka tidak sanggup menghafal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan
pendapat mereka berdasarkan akal pikiran mereka saja, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan orang”.
Umar Ibn Khattab memandang bahwa golongan rasionalisme adalah golongan
yang menomorsatukan rasio, tidak berpegang kepada Al-Qur‟an dan Hadits, sehingga
kedudukan Al-Qur‟an dan Hadits, sehingga kedudukan Al-Qur‟an bagi mereka adalah
nomor dua setelah rasio atau dengan mudah untuk dikesampingkan. Dalam hal ini,
jelas bahwa cara berpikir golongan ra‟yu (rasionalisme) yang dikecam oleh khalifah
Umar Ibn Khattab tersebut tidak berpikir secara Islami, dan kaum rasionalisme
tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas kepentingan individu dan
golongannya.

C. Rukun Dan Syarat-Syarat Qiyas


Ulama Ushul Fiqh sepakat mengatakan bahwa Rukun Qiyas ada empat, yaitu:
a) Al-Ashl (‫)ألاصل‬, yaitu sesuatu yang hukumnya terdapat di dalam nash, biasa
disebut sebagai Maqis „Alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu), atau Musyabbah
Bih (tempat menyerupakan sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramnya
dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah (5) Ayat 90:

5
          

    


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S. Al-Maidah (5): 90).
Meminum Khamar adalah Ashal, karena hukumnya tertera di dalam ayat di
atas, yaitu dari kata ‫( فاجتنبوه‬maka jauhilah perbuatan itu).Dalam bahasa Arab kata ini
adalah berbentuk perintah untuk meninggalkan, maka hukum meminumnya adalah
haram.
b) Al-Far’u (‫)الفسع‬, yaitu sesuatu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya di
dalam Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟, Al-Far‟u biasa disebut sebagai Al-Maqis
(yang diukur) atau Al-Mahmul (yang dibawa) atau Musyabbah (yang disamakan),
yaitu kepada Ashal. Misalnya narkotika, hukumnya belum ditemukan dalam Al-
Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟.
c) Hukmu Al-Ashl (‫)حكم ألاصل‬, yaitu hukum syara‟ yang terdapat di dalam nash
berdasarkan ashal, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (Al-Far‟u).
Misalnya hukum meminum khamar sudah tegas di dalam Al-Qur‟an.
َّ
d) Al-‘Illah (‫)العلت‬, yaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum
ashal, dan kemudian diterapkan di dalam cabang dan disamakan hukumnya
dengan asal karena mempunyai sifat yang sama untuk mendasari hukum.
Misalnya, khamr apabila diminum oleh seseorang membuat keadaan seseorang itu
mabuk (‫)إسكار‬, karena khamr mempunyai sifat yang memabukkan maka hukum
meminumnya jadi haram. Begitu pula narkotika, bagi orang yang mengkonsumsi
narkotika bisa mabuk, maka dengan adanya sifat yang sama maka hukumnya juga
sama, yaitu haram.
Contohnya: (1) Ashl (asal): yaitu masalah pokok (misalnya jual beli saat
adzan Jumat), (2) Hukum asal: misal Haram, (3) Far‟u: yaitu masalah cabang
(misalnya ijarah saat adzan jum‟at), (4) „Illat: yaitu sesuatu yang menjadi alasan
pensyariatan hukum (misalnya melalaikan shalat Jumat), jadi Jika 4 rukun Qiyas itu
ada, maka hasilnya adalah hukum masalah cabang.
Dari Rukun Qiyas di atas, maka masing-masing Rukun mempunyai Syarat-
Syarat. Rukun yang pertama, yaitu Ashal, mempunyai Tiga Syarat, yaitu:
a) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal).
Hukum yang sudah dinaskhkan pada masa Rasulullah tidak bisa dijadikan ashal.
b) Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaknya hukum syara‟, bukan hukum akal
atau hukum yang berhubungan dengan bahasa.
c) Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang
yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab
sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang
6
menafikannya. Tetapi puasanya tetap sah, karena ada Hadits yang
menerangkannya:
‫ إذا وس ي فأكل وشسب فاليتم صىمه فئهما أطعمه هللا وسلاه (زواه‬:‫عً أبي هسيسة هنع هللا يضر عً الىبي ملسو هيلع هللا ىلص كال‬
)‫البخازي ومسلم‬
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa lupa padahal ia
sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Rukun yang kedua, yaitu Far’un (Cabang), mempunyai Tiga Syarat, yaitu:
a) Cabang tidak mempunyai ketentuan sendiri. Ulama Ushul Fiqh menetapkan
apabila ada nash yang menjelaskan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah,
Qiyas menjadi batal. Artinya, jika cabang yang akan diqiyaskan itu telah ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, maka Qiyas tidak lagi
berfungsi dalam masalah tersebut.
b) „Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan „illat yang terdapat pada
ashal.
c) Hukum cabang harus sama dengan hukum ashal.
Rukun yang ketiga, yaitu Hukum Ashal, mempunyai Tiga Syarat, yaitu:
a) Hukum Ashal harus berupa hukum syara‟ yang berkaitan dengan dengan amal
perbuatan manusia, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh adalah hukum yang
berkaitan dengan amal perbuatan mukallaf.
b) Hukum Ashal dapat ditelusuri „illat hukumnya. Misalnya hukum haramnya
khamar dapat ditelusuri penyebab keharamannya, yaitu karena memabukkan dan
bisa merusak akal pikiran.
c) Hukum Ashal itu bukan merupakan hukum kekhususan bagi Nabi Muhammad
SAW, seperti kebolehan Rasulullah SAW beristeri lebih dari empat.
Rukun yang keempat, yaitu ‘Illat, mempunyai Tiga Syarat, yaitu:
a) „Illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuainnya dengan tujuan pembentukkan
suatu hukum. Artinya, kuat dugaan bahwa hukum itu terwujud karena alasan
adanya „illat itu bukan karena sesuatu yang lain. Dugaan kuat itu timbul sebagai
hasil dari penelitian tentang hubungan sesuatu yang dianggap „illat itu dengan
kemaslahatan manusia. Seperti sifat memabukkan adalah relevan bagi
pengharaman khamar, karena dengan mengharamkannya berarti menolak
kemudharatan dari manusia. Oleh karena itu, sifat yang tidak relevan tidak bisa
dijadikan „illat hukum.
b) „Illat itu harus bersifat nyata dan jelas. Sesuatu yang tersembunyi atau samar tidak
bisa dijadikan „illat, karena tidak bisa diketahui keberadaannya. Seperti perasaan
ridha (setuju), meskipun untuk menemukan sah dan tidak sahnya suatu perbuatan.
c) „Illat itu harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar
timbangannya jika berupa barang yang ditimbang sehingga tidak jauh berbeda
pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain. Misalnya
tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan, yaitu menghilangkan
nyawa seseorang dan hakikat pembunuhan itu tidak berbeda antara yang satu

7
dengan yang lain. Oleh sebab itu, ia secara sah bisa dijadikan „illat bagi
terhalangnya mendapat harta warisan bilamana yang membunuh adalah anak dari
yang terbunuh atau ahli waris lain dari yang terbunuh. Atas dasar itu, maka hal ini
bisa juga berlaku bagi wasiat dengan mengqiyaskan kepada kewarisan, yaitu
bilamana seseorang penerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat, maka
pembunuh tidak lagi berhak terhadap harta yang diwasiatkan, dengan „illat karena
membunuh.

D. Pengertian ‘Illat Hukum, Sebab dan Hikmah, Macam-Macam


‘Illat, Dan Metode Mencari ‘Illat (Masalik Al-‘Illah)
‘Illat adalah sifat yang terdapat pada hukum ashal yang dipakai sebagai dasar
hukum, yang dengan „illat itu akan diketahui hukum di dalam far‟un (cabang). Seperti
memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar, yang kemudian dijadikan sebagai
dasar haramnya khamar. Dengan „illat itu, maka dapat diketahui haramnya setiap
minuman yang memabukkan. Pada jual beli, bila seseorang pembeli dengan seorang
penjual terdapat sifat menganiaya, maka sifat menganiaya tersebut bisa dijadikan
dasar untuk mengharamkan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hal itu juga
bisa berlaku pada sewa-menyewa.
Dengan demikian, „illat adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap
hukum, dan „illat itu juga bisa disebut sebagai hubungan, sebab dan tanda hukum.
Adapun Sebab adalah sifat yang jelas dan konsisten yang ditunjukkan oleh
dalil sam‟i bahwa sifat itu adalah tanda atau pengenal adanya hukum (bukan tanda
disyariatkannya hukum). Keberadaan sebab memastikan adanya musabab (akibat
hukum), dan tiadanya sebab memastikan tiadanya musabab atau ringkasnya Sebab
adalah tanda akan adanya suatu hukum syara‟. Seperti Sebab adanya puasa Ramadhan
adalah rukyatul hilal (menyaksikan bulan sabit).
Kemudian adapun Hikmah Hukum adalah kemashlahatan yang berupa
mengambil manfaat atau menghindarkan kemudharatan yang hendak diwujudkan oleh
syari‟at dengan mensyari‟atkan hukum itu. Seperti disyariatkannya mandi bagi orang
yang berhadas besar, karena seseorang setelah bersetubuh atau keluar sperma
mengakibatkan lemah dan loyonya kondisi tubuh dan dengan mandi bisa segar
kembali. Ini hikmah, dan kalau orang mandi tetapi tidak segar juga tidak akan
mempengaruhi ketetapan hukum yang ada.
Ulama Ushul Fiqh sepakat membagi ‘Illat kepada Empat Macam, yaitu:
a) Al-Munasib Al-Muatsir (‫)اِلىاسب اِلؤثس‬
Al-Munasib Al-Muatsir adalah sifat yang sesuai, yang syari‟ telah menyusun
hukum secara munasib atau ada penyesuaian dengan sifat itu, di dalam nash atau
ijma‟. Sifat tersebut ditetapkan sebagai „illat hukum, yang penertiban atau penyusunan
hukum itu didasarkan persesuaian terhadap sifat yang ada.
Misalnya, firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah (2) Ayat 222:

8
             

              

  


“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah (2): 222).
Ayat di atas menjelaskan bahwa wajib menjauhi wanita yang sedang haidh, di
samping haidh itu sebagai kotoran, shighat nash tersebut sudah jelah, bahwa „illat
hukum tersebut adalah kotoran. Karena kotoran menjadi sebab harusnya menjauhi
wanita yang sedang dalam keadaan haidh, sekaligus merupakan sifat yang persesuaian
dan berpengaruh atau disebut dengan Munasib Muatsir.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
)‫ال ًسث اللاتل (زواه الترمري‬
“Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi” (H.R.
Tirmidzi).
Hadits di atas menjelaskan bahwa pelaku pembunuhan terhalang untuk
mendapat kewarisan dari orang yang mewariskan harta disebabkan membunuh.
Dengan demikian, membunuh merupakan „illat hukum, dan ini merupakan sifat yang
sesuai yang disebut Munasib Muatsir.
b) Al-Munasib Al-Mulaim (‫)اِلىاسب اِلالئم‬
Al-Munasib Al-Mulaim adalah persesuaian yang diungkapkan syara‟ pada
salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuian itu tidak diungkapkan syara‟
sebagai „illat hukum pada masalah yang terjadi, tetapi diungkapkan sebagai „illat
hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum
yang sedang terjadi. Misalnya kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang
berada di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan „illatnya. Pada
masalah pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara‟ mengungkapkan
keadaan kecil sebagai „illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak
yatim yang berada di bawah perwaliannya itu.Berdasarkan hal itu, maka keadaan anak
kecil dapat pula dijadikan „illat untuk menetapkan hukum pada masalah kekuasaan
wali dalam mengawinkan anak yatim yang masih kecil yang berada di bawah
perwaliannya.
c) Al-Munasib Al-Mursal (‫)اِلىاسب اِلسسل‬
Al-Munasib Al-Mursal adalah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula
diungkapkan oleh syara‟.Munasib Mursal berupa sesuatu yang tampak oleh mujtahid
bahwa menetapkan hukum atas dasar mendatangkan kemaslahatan, tetapi tidak ada

9
dalil yang menyatakan bahwa syara‟ membolehkan atau tidak membolehkan. Seperti
membukukan Al-Qur‟an dalam satu Mushaf, tidak ada dalil yang membolehkan dan
juga tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi khlifah Utsman bin Affan melihat ada
kemaslahatan bagi seluruh kaum muslimin, dimana Al-Qur‟an tidak lagi berserakan
karena ditulis dalam satu Mushaf.
d) Al-Munasib Al-Mulgha (‫)اِلىاسب اِللغى‬
Al-Munasib Al-Mulgha adalah munasib yang diungkapkan oleh syara‟
sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan hukum atas
dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.Tetapi syara‟ tidak menyusun
hukum sesuai dengan sifat atau „illat tersebut, bahkan syara‟ memberi petunjuk atas
pembatalan sifat tersebut. Seperti status laki-laki dan perempuan dalam kekerabatan,
dan atas persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan mereka dalam hak
kewarisan. Dalam hal ini, syara‟ membatalkan dengan firmannya bahwa laki-laki
mendapat dua kali again perempuan.
Adapun Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah) adalah dasar-dasar teori
untuk mengetahui „illat dari satu peristiwa atau kasus yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum. Ada Enam Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah),
yaitu:
a) Nash ‘Ala ‘Illah (‫)الىص على العلت‬
„Illat hukum dari suatu kasus atau peristiwa diterangkan langsung oleh nash.
„Illat seperti ini disebut dengan Manshus „Alaih. Dan mengqiyaskan sesuatu kasus
hukum perdasarkan „illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah
menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash.
Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kasus atau peristiwa yang merupakan „illat
itu ada dua macam, yaitu Dalalah Sharihah dan Dalalah Ima‟.
1) Dalalah Sharihah (‫)داللت صسيحت‬, yaitu penunjukan lafadz yang terdapat dalam
nash kepada „illat hukum sangat jelas. Artinya, lafadz nash itu sendiri yang
menunjukkan „illat hukum secara jelas. Seperti ungkapan yang terdapat dalam
nash dalam firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ (4) Ayat 165:

              

 
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 165).
Ayat di atas menjelaskan bahwa para Rasul diutus untuk membawa khabar
gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan
mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari Rasul yang diutus

10
kepada mereka. Perkataan ‫ لئال ًكىن‬dan ‫ بعد السسل‬merupakan „illat hukum yang jelas
dan tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Sabda Rasulullah SAW:
‫ إال فادخسوا (زواه البخازي ومسلم واليسائي وأبى داود‬،‫إهما نهيتكم عً ادخاز لحىم ألاطاحي ألجل الدافت‬
)‫وابً ماجه‬
“Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban untuk kepentingan para
tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging
kurban (daffah), sekarang simpanlah daging itu” (H.R. Bukhari, Muslim, An-Nasa‟i,
Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Dalam Hadits di atas, Rasulullah SAW secara tegas menunjukkan bahwa „illat
larangan menyimpan daging kurban adalah untuk kepentingan masyarakat Badui yang
miskin dan datang dari perkampungan mereka untuk meminta daging. Ketika
masyarakat Badui itu tidak membutuhkan lagi maka Rasulullah SAW membolehkan
menyimpan daging kurban.Artinya, ketika „illat hukum sudah hilang, maka hukum
pun jadi tiada.
2) Dalalah Ima’ (Isyarah), yaitu petunjuk yang dipahami dari sifat yang
menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada sifat yang menyertai petunjuk
itu dengan sifat itu merupakan „illat ditetapkannya suatu hukum.
Ada Tujuh Macam Dalalah Ima’ (Isyarah), yaitu:
a) Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa
sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi,
karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Dengan
demikian, lupa menjadi „illat dilakukannya sujud sahwi.
b) Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan
hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai „illat tentulah tidak
perlu disebutkan.
Seperti Sabda Rasulullah SAW:
)‫ال ًحكم أحدكم بين اثىين وهى غظبان (زواه البخازي ومسلم‬
“Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berpekara)
dalam keadaan ia sedang marah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits di atas dapat diambil pengertian bahwa sifat marah disebut
bersamaan dengan larangan memberikan keputusan antara dua orang yang
berperkara yang merupakan „illat dari larangan mengadili perkara itu.
c) Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang
berbeda pula. Seperti sabda Rasulullah SAW:
)‫للسجال سهم وللفازس سهم (زواه البخازي ومسلم‬
“Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda
mendapat dua bagian” (H.R. Bukhari dan Muslim).
d) Membedakan dua hukum dengan syarat. Seperti firman Allah SWT dalam
Surat Ath-Thalaq (65) Ayat 6:

11
            

             

         


“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka.Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya” (Q.S. Ath-Thalaq (65): 6).
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat („illat) wajibnya
pemberian nafkah kepada isteri yang ditalaq ba‟in dan menyusukan anak menjadi
syarat („illat) pemberian upah menyusukan anak.
e) Membedakan antara dua hukum dengan batasan (ghayah). Seperti firman
Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah (2) Ayat 222:

             

              

  


“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah (2): 222).
Ayat di atas menjelaskan bahwa kesucian merupakan batas („illat) kebolehan
suami mencampuri isterinya.
f) Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa). Seperti
firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah (2) Ayat 237:

             

              

         

12
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 237).
Ayat di atas menerangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian („illat)
hapusnya kewajiban membayar mas kawin (mahar).
g) Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istidrak). Seperti
firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah (5) Ayat 89:

           

            

               

         


“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari.Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-
sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya)” (Q.S. Al-Maidah (5): 89).
b) Ijma’ (‫)لاجماع‬
Dalam memposisikan ijma‟ sebagai metode pencarian „illat para ulama‟
berbeda pandangan. Ibn al-Hajib, al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
memilih untuk mendahulukan ijma‟ daripada nash, dengan dalih bahwasanya ijma‟
adalah salah satu faktor tarjih (preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat
terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma‟
dapat direvisi (naskh). Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada
ijma‟, dengan alasan bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma‟. Selain itu, dalil
nash lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.
„Illat hukum tersebut ditetapkan berdasarkan Ijma‟. Seperti belum baligh
(masih kecil) menjadi „illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh.
Hal ini disepakati oleh para ulama.

13
c) Al-Munasabah (‫)اِلىاسبت‬
Al-Munasabah bisa juga disebut dengan Ikhalah (persangkaan) atau
Mazhinnah (praduga), karena adanya keserasian sifat dengan hukum bisa
mendatangkan dugaan bahwa sifat itulah yang layak untuk dijadikan „illat. Menurut
Ibn al-Hajib, Al-Munasabah adalah sifat yang jelas dan terbatasi, yang secara rasio,
dengan persambungan hukum dengan sifat tersebut akan tercapailah tujuan
pensyari‟atan, berupa menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan. Namun, jika
sifat tersebut samar atau tidak bisa dibatasi, maka yang dianggap „illat adalah
mulazim (sesuatu yang selalu menetap) dari sifat tersebut, yang nampak jelas dan
terbatasi. Seperti safar (bepergian) yang merupakan salah satu hal yang menimbulkan
masyaqqah (kesulitan). Pada asalnya, yang menimbulkan keringanan (rukhshah)
adalah masyaqqah itu sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terbatasi
karena perbedaan standar penilaian dari masing-masing individu, kondisi, dan masa,
maka disandarkanlah hukum rukhshah tersebut pada sesuatu yang diduga
menimbulkan masyaqqah, yaitu bepergian (safar).
d) Assabru Wa Taqsim (‫)السبروالتلسيم‬/Takhrij Al-Manath (‫)تخسيج اِلىاط‬
Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan Taqsim berarti
menyeleksi atau memisah-misahkan. Assabru Wa Taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian, kemudian
memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai
„illat hukum. Assabru Wa Taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa
atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma‟ yang menerangkan „illatnya. Misalnya
Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhal, yaitu menukar benda-benda tertentu
yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda dalam sabda beliau:
ٌ
‫سىاء‬ ُ ‫الرهب بالرهب والفظت بالفظت‬
‫والبر بالبر والشعير بالشعير والتمس بالتمس واِللح باِللح مثال بمثل‬
)‫فبيعىا كيف شئتم إذا كان ًدا بيد (زواه مسلم‬ُ ‫ألاجىاس‬
ُ ‫ فئذا اختلف هره‬،‫بسىاء ًدا بيد‬
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi belanda
dengan padi belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama
jenisnya, sama ukurannya lagi kontan.Apabila berbeda jenisnya, maka juallah
menurut kehendakmu, bila hal itu dilakukan dengan kontan” (H.R. Muslim).
Dalam menetapkan hukum haramnya riba fadhal sesuai Hadits di atas, tidak
ada nash yang lain atau ijma‟ yang menerangkan „illatnya. Karena itu, perlu dicari
„illatnya dengan Assabru Wa Taqsim. Para Mujtahid mencari sifat-sifat dari enam
macam yang disebutkan dalam Hadits di atas, kemudian menetapkan sifat yang sama
dan patut dijadikan „illat. Gandum sifatnya adalah termasuk jenis yang dapat diukur
dengan takaran, dan juga termasuk jenis makanan, bahkan termasuk jenis makanan
pokok, dan juga termasuk jenis tanaman. Kemudian jika diterapkan sifat ini kepada
lima macam yang lain yang tertera dalam Hadits di atas, maka pada emas hanya
didapati sifat pertama, pada padi dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas,
sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasar penerapan itu maka
diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam benda yang tersebut pada
Hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang

14
dapat dipastikan dengan ukurannya, baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat
ini dapat ditetapkan sebagai „illat untuk menetapkan hukum bahwa haram dapat
mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan bila tidak sama
timbangannya, takaran, kualiatas dan tidak pula dilakukan kontan.
Takhrij Al-Manath adalah pencurahan pikiran seorang mujtahid untuk
mengeluarkan „illat hukum yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma‟. Dari definisi ini
dapat diketahui bahwa fokus seorang mujtahid adalah mengeluarkan „illat yang masih
tersembunyi dalam kandungan nash ataupun ijma‟. Hal ini berbeda dengan tanqiih,
karena dalam tanqiih, yang dilakukan oleh mujtahid adalah memperbaiki hukum yang
ditetapkan nash, dan dari hukum tersebut daimbilnya sifat-sifat yang patut dijadikan
„illat serta membuang sifat-sifat yang tidak patut dijadikan „illat. Takhrij Al-Manath
bisa ditempuh dengan beragam cara dari berbagai metode pencarian „illat, seperti
Assabru Wa Taqsim. Contohnya adalah penentuan sifat makanan (al-tha‟m), sifat bisa
ditimbang (al-kail), dan sifat makanan pokok (al-qut), sebagai „illat dari hukum
keharaman riba dengan menggunakan metode altaqsiim wa al-sabru. Takhriij al-
manaath juga merupakan jembatan awal dan dasar dalam berijtihad dengan metode
qiyas. Karena bermula dari situlah dikeluarkan sifat-sifat yang nantinya akan
dijadikan „illat.
e) Tanqih Al-Manath (‫)تىليح اِلىاط‬
Secara harfiah, Tanqih berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian,
sedangkan Manath mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau
persambungan („illat). Dalam terminologi ushul fiqh, terdapat dua versi dalam
mendefinisikannya:
 Pembersihan hukum dari sifat yang tidak patut untuk dijadikan „illat yang
terdapat dalam nash yang dzahir, dan hanya menetapkan satu sifat untuk diplot
sebagai „illat dari hukum tersebut.
 Sama seperti pengertian di atas, hanya saja kekhususan sifat yang telah diplot
sebagai „illat tersebut diarahkan pada sifat keumumannya.
f) Tahqiq Al-Manath (‫)تحليم اِلىاط‬
Tahqiiq Al-Manath adalah pencurahan daya pikiran guna mencari wujud „illat
pada suatu kejadian atau kasus yang belum ada kejelasan hukumnya, dari nash atau
ijma‟, untuk diqiyaskan pada kasus lain yang sudah ada kejelasannya dari nash atau
ijma. Artinya, status „illat telah disepakati oleh para ulama‟ dengan dalil nash ataupun
ijma‟, namun para ulama masih meneliti dengan seksama wujud „illat pada masalah-
masalah yang masih dalam perdebatan para ulama‟. Dari sini, ditemukan perbedaan
antara Takhrij Al-Manath dengan Tahqiq Al-Manath. Bila Takhrij Al-Manath adalah
penjelasan „illat dalam ashl, maka Tahqiq Al-Manath adalah penetapan „illat dalam
far‟i.
Kalau secara Umum Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah) ada tiga, yaitu:
a) Al-Syabah (‫)الشبه‬
Al-Subki dalam Jam‟ al-jawami‟ berpendapat, tidak ada batasan yang paling
tepat untuk mendefinisikan Al-Syabah. Namun definisi yang paling mendekati

15
kebenaran adalah definisi versi Abu Bakar al-Baqillani yang juga dijadikan sebagai
definisi oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu suatu sifat yang tidak mempunyai keserasian
sama sekali dengan hukum. Namun, oleh Syaari‟ sifat tersebut dijadikan sebagai „illat
pada sebagian hukum (kasus) yang lain.
Pendefinisian tersebut akan menjadi jelas dalam contoh yang dikomentarkan
Imam Al-Syafi‟i, “Bersuci (thaharah) dilakukan untuk mendirikan shalat”. Maka,
dengan berpegangan pada komentar ini, tidak boleh bersuci selain dengan air,
sebagaimana bersuci dari hadats karena adanya titik temu dari keduanya berupa
thahaaroh. Akan tetapi, setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ditemukan
keserasian antara hukum thahaaroh dan kekhususan memakai air. Hanya saja, pada
sebagian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, Syari‟ sendiri sudah menegaskan
bahwa keberadaan sifat tersebut diperhitungkan sebagai „illat. Berangkat dari sinilah
timbul suatu dugaan kuat bahwa sifat tersebut mempunyai keserasian dengan hukum
yang ada.
b) Al-Thardu (‫)الطسد‬
Banyak sekali perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama‟ dalam
pendefinisian dan status kehujjahan Al-Thardu. Namun yang dimaksud dengan Al-
Thardu disini adalah, bahwa „illat hukum tidaklah sesuai (munasib) dan berpengaruh
(al-muatstsir). Perlu juga ditegaskan, perbedaaan antara Al-thardu dengan Al-Dawran.
Al-Thardu merupakan kebersamaan antara hukum dan „illat dalam keberadaannya
saja. Artinya, jika salah satu dari keduanya ada, maka yang lain juga ada, namun jika
salah satu dari keduanya tidak ada, belum tentu yang lain juga tidak ada. Sedangkan
al-dawaraan adalah suatu bentuk kebersamaan antara hukum dan „illat, baik dalam
keberadaannya maupun tidak.
c) Al-Dawran (‫)الدوزان‬
Al-Dawran (perputaran) adalah tetapnya suatu hukum dengan sebab adanya
suatu sifat, dan tidak wujudnya hukum tersebut juga disebabkan tidak ditemukannya
sifat itu pada hukum, atau dalam arti lain, keberadaan hukum berbanding lurus dengan
keberadaan suatu sifat. Para ulama berbeda persepsi mengenai penunjukkan dawaraan
atas „illat dari sebuah hokum, apakah secara pasti ataukah hanya perkiraan saja, atau
justru tidak bisa menunjukkan pada „illat sama sekali? Dalam hal ini, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mempreferensikan (mentarjih) pendapat yang kedua, yaitu
menunjukkan „illat secara perkiraan saja (zhanniy).

E. Pembagian Qiyas Dan Tingkatannya


Menurut Ulama Ushul Fiqh, pembagian dan tingkatan Qiyas dapat dilihat dari
2 segi, yaitu:
a) Dilihat dari segi kekuatan „illat yang terdapat pada furu‟ dibandingkan dengan
yang terdapat pada ashal, maka Qiyas dapat dibagi kepada Tiga bentuk, yaitu:
1) Qiyas Aulawi (‫)كياس أولىي‬, yaitu Qiyas yang hukumnya pada furu‟ lebih
kuat daripada hukum ashal. Misalnya mengqiyaskan memukul kepada

16
ucapan “ah” yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra‟
(17) Ayat 23:

             

             
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 23).
Mengucapkan kata “ah” saja kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama,
apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar
daripada itu.Para ahli Ushul fiqh mengatakan bahwa „illat larangan itu adalah
menyakiti orang tua, karena sifat menyakiti melalui pukulan lebih kuat daripada
ucapan “ah”.
2) Qiyas Musawi (‫)كياس مساوي‬, yaitu hukum yang terdapat pada furu‟ sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashal, karena kualitas „illat pada
keduanya sama. Seperti pada firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ (4)
Ayat 10:

           

  


“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 10).
Ayat ini menjelaskan bahwa memakan harta anak yatim secara aniaya
hukumnya adalah haram, hal ini juga berlaku bagi orang-orang yang menjual harta
anak yatim, karena ada persamaan „illat dari kedua peristiwa ini, yaitu sama-sama
berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Maka hukum menjual harta anak
yatim sama dengan hukum memakan harta anak yatim, yaitu sama-sama haram.
3) Qiyas Adna (‫)كياس أدوى‬, yaitu „illat yang pada furu‟ lebih lemah
dibandingkan dengan „illat yang terdapat pada ashal. Misalnya
mengqiyaskan buah-buahan pada gandum dalam hal berlakunya riba
fadhal, karena keduanya mengandung „illat yang sama, yaitu sama-sama
termasuk jenis makanan. Dalam Hadits Rasulullah SAW dikatakan bahwa
benda yang sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka
perbedaan itu menjadi riba fadhal. Dalam Hadits tersebut di antaranya
disebutkan gandum. Oleh sebab itu, Imam Syafi‟I (W.204H) mengatakan
bahwa dalam jual beli buah-buahan pun bisa berlaku riba fadhal. Akan

17
tetapi, berlakunya hukum riba pada buah-buahan lebih lemah
dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum karena „illat riba fadhal
pada gandum lebih kuat.
b) Dilihat dari segi kejelasan „illat yang terdapat pada hukum, Qiyas dibagi kepada
Dua macam, yaitu:
1) Qiyas Jali (‫)كياس جلي‬, yaitu Qiyas yang „illatnya ditetapkan oleh nash
bersamaan dengan hukum ashal, atau nash tidak menetapkan „illatnya,
tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan
furu‟. Seperti mengqiyaskan memukul kepada mengatakan “ah”,
hukumnya adalah sama-sama haram karena keduanya adalah menyakiti
hati orang tua.
2) Qiyas Khafi (‫)كياس خفي‬, yaitu Qiyas yang „illatnya tidak disebutkan dalam
nash. Seperti mengqiyaskan wakaf kepada sewa-menyewa, bukan kepada
jual beli, karena kalau diqiyaskan kepada jual beli, yang terpenting dalam
jual beli hanya perpindahan milik tanpa mempertimbangkan harta wakaf
itu bermanfaat atau tidak. Tetapi kalau diqiyaskan kepada sewa-menyewa,
yang terpenting dalam sewa-menyewa itu adalaha manfaat. Jadi, secara
Qiyas Khafi lebih tepat diqiyaskan kepada sewa-menyewa, biar harta
wakaf bermanfaat sesuai tujuan wakif.

F. Hukum Ta’abbudi dan Ta’aqquli


Ta’abbudi berasal dari bahasa Arab, sebagai masdar dari fi‟il ta‟abbada-
yata‟abbadu-ta‟abbudan yang berarti penghambaan diri, ketundukan dan kerendahan
diri, kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah SWT. Secara terminologi,
Ta‟abbudi adalah ketentuan hukum di dalam nash (Al-Qur‟an dan Sunnah) yang harus
diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan Ta‟aqquli, adalah
ketentuan nash yang masih bisa diinterpretasi.
Menurut Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi (W.790H) dalam kitabnya “al-
Muwafaqảt fi Usul al-Syari‟ah”, beliau mengatakan: Ta‟abbudi adalah “hanya
mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syảri,” atau “sesuatu yang secara khusus
menjadi hak Allah.” Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur dalam bukunya
“Madkhal al-Fiqh al-Islảm”, beliau mengatakan: Ta‟abbudi adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari Al-Qur‟an
maupun Sunnah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.
Dengan demikian dalam masalah Ta‟abbudi, manusia hanya menerima
ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas yang bersifat Ta‟abbudi,
adalah gair ma‟qul al-ma‟na, atau mutlak, tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat
ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai
Ta‟abbudi (gairu ma‟qulah al-ma‟na), dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali
dengan apa yang telah disyariatkan.
Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah kaifiyat
(tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang dicontohkan oleh

18
Rasulullah SAW dalam shalat dan haji misalnya. Demikian juga manusia tidak bisa
merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima waktu, puasa
Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah disyariatkan.
Makna Ta‟abbudi di atas pada dasarnya selaras dengan Hadits Nabi SAW
bahwa:
‫مً عمل عمال ليس عليه أمسها فهى زد‬
“man „amila „amalan laysa „alaihi amrunả fahuwa raddun” („barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka dia
tertolak‟).
Demikian juga diisyaratkan dalam Q.S. Al-Bayyinah (98): 5:

             

   


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus” (Q,S, Al-Bayyinah (98): 5).
Sehingga muncul kaidah fiqh bahwa:
‫ألاصل في العبادة البطالن حتى ًلىم الدليل على ألامس‬
“Pada dasarnya suatu ibadah batal (tidak sah) dilakukan sehingga ada dalil yang
memerintahkannya”.
Dari beberapa nash yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam
bidang ibadah, manusia bersifat pasif dalam arti tidak bisa menetapkan sesuatu ibadah
hanya berdasarkan nalar rasionya. Suatu ibadah harus didasarkan kepada wahyu atau
nash baik Al-Qur‟an maupun Hadits Nabi SAW. Hal ini dapat dikaitkan dengan
berbagai ketentuan ibadah dalam syariat Islam, yang pada umumnya tidak bisa
diketahui rahasianya, seperti shalat Dzuhur, Ashar, dan „Isya masing-masing empat
rakaat, shalat Maghrib tiga rakaat dan shalat Shubuh hanya dua rakaat.Mengapa
jumlah rakaatnya berbeda-beda? Akal manusia belum, bahkan tidak akan mampu
mengetahui alasan rasional dari jumlah rakaat masing-masing shalat lima waktu
tersebut.
Memang secara rasio ada sebagian ibadah yang dapat diketahui rahasia dan
manfaatnya bagi manusia, seperti zakat, puasa. Jadi, dalam ibadah terkandung juga
nilai rasional walaupun dengan kadar yang lebih kecil dibanding dengan nilai rasional
pada Ta‟aqquli. Dalam ibadah, unsur Ta‟abbudi lebih dominan dari unsur Ta‟aqquli.
Jelasnya, dasar pelaksanaan ketentuan hukum dalam ibadah mahdah, lebih sebagai
tuntutan ibadah semata (li al-ta‟abbud) tanpa harus bertolak dari dimensi maknawi
(ta‟aqqulat)nya.
Sedangkan Ta’aqquli berasal dari fi‟il ta‟aqqala-yata‟aqqalu-ta‟aqqulan, yang
berarti sesuatu yang masuk akal (rasional). Jadi, Ta‟aqquli adalah bersifat ma‟qul al-
ma‟na, yaitu hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal
untuk memikirkan, baik sebab maupun illat ditetapkannya.Kemungkinan ini diberikan

19
agar manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah, baik
bagi bagi individu maupun publik.
Jadi, nash-nash yang bersifat Ta‟aqquli adalah ma‟qul al-ma‟na, atau relatif,
sehingga membutuhkan pemikiran dalam pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya
dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap
zaman dan tempat. Sehingga al-Islām shālihun likulli zaman wa makan.
Perbedaan konsep Ta‟abbudi dan Ta‟aqquli tersebut hanya terletak pada
kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun hikmah-hikmah hukum
yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum yang ma‟qul al-ma‟na
sendiri tidak terlepas dari kerangka ta‟abbudi dan ta‟aqquli dalam arti luas.
Makna Ta‟abbudi dan Ta‟aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa
manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang harus patuh kepada-Nya.Untuk itu
manusia harus melakukan perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada
Tuhan.Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk.Pertama,
ibadat yang fungsi utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman
kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut mahdah.
Kedua, muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan
tulang punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia
akan rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh
nalar manusia (al-ma‟qul al-ma‟na), maka yang pertama tadi bersifat ukhrawi dan
merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haq Allah).
Dapat dikatakan, bahwa Ta‟abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau
ketentuan nash (Al-Qur‟an dan Hadits) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai
wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan
rasional, sehingga bersifat mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa
mengalami perluasan seperti objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di
zaman klasik, sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.Karena itu
dalam ibadah tetap terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia
(dimensi ta‟aqqulat).
Sedangkan Ta‟aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam ketentuan nash
(Al-Qur‟an dan Hadits) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada
maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia selaras dengan
kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga bersifat relatif sesuai
perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian hukum-hukum yang bersifat
Ta‟aqquli tetap mengandung dimensi ibadah.Karena itu muamalah tidak terlepas dari
kerangka Ta‟abbudi.
Dapat dipahami, bahwa hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua,
yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio)
manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah nash yang bisa
dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding nash yang tidak bisa dinalar rasio.
Tegasnya, bahwa hukum Islam, ada yang masuk dalam wilayah Ta‟abbudi dan ada
sebagian lainnya masuk dalam wilayah Ta‟aqquli.
Objek Ta‟abbudi dan Ta‟qquli menjadi kajian ulama ushul fiqh. Dalam kaitan
ini ulama ushul fiqh telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan

20
dengan masalah ibadah mahdah (murni) dan hal-hal yang daruriyyah termasuk dalam
objek Ta‟abbudi. Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi
terhadap nash dan hukum-hukum yang bersifat Ta‟abbudi, seperti jumlah rakaat
shalat lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu
bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nash (Al-
Qur‟an, Hadits).
Demikian juga hukum-hukum daruriyyah yang merupakan kebutuhan primer
manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya
sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima aspek daruriyyah yang harus
dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Semua
ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta‟abbudi, tidak membutuhkan interpretasi akal
manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Dapat dikemukakan, bahwa objek Ta‟abbudi adalah ibadah mahdah,
sedangkan objek Ta‟aqquli adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah
yang dilakukan di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara
langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan sesama manusia. Ketika
seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah melakukan komunikasi
dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan harmonis melalui
pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).
Walaupun dalam ibadah mahdah tidak dapat diketahui illatnya secara pasti
namun dalam tataran tertentu minimal bisa ditelusuri makna filosofisnya, misalnya
ketentuan membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak 7 kali dan salah satu di
antaranya dengan tanah. Ijtihad dalam hal ini bukan untuk merubah ketentuan
hukumnya namun justru untuk lebih menguatkan keyakinan dalam mentaati ketentuan
hukum yang Ta‟abbudi itu.

21

Anda mungkin juga menyukai