Firman Allah:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5)
2. Hubungan manusia dengan manusia
Agama Islam memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan,
kenegaraan, perekonomian dan lain-lain. Konsep dasar tersebut memberikan gamabaran
tentang ajaran yang berkenaan dengan: hubungan manusia dengan manusia atau disebut
pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Seluruh konsep kemasyaraktan yang ada bertumpu
pada satu nilai, yaitu saling menolong antara sesama manusia.
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2)
Manusia diciptakan Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka hidup berkelompok
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Mereka saling membutuhkan dan saling mengisi
sehingga manusia juga disebut makhluk sosial, manusia selalu berhubungan satu sama lain.
Demikian pula keragaman daerah asal.
Tidak pada tempatnya andai kata diantara mereka saling membanggakan diri. Sebab
kelebihan suatu kaum bukan terletak pada kekuatannya, kedudukan sosialnya, warna kulit,
kecantikan/ketempanan atau jenis kelamin. Tapi Allah menilai manusia dari takwanya.
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi
dengan hak?” (QS. Ibrahim; 19)
Manusia dikaruniai akal (sebagai salah satu kelebihannya), ia juga sebagai khalifah di muka
bumi, namun demikian manusia tetap harus terikat dan tunduk pada hukum Allah. Alam
diciptakan oleh Allah dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia.
3. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain,
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu
yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al
Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan.
Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam
hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. Berhubung qiyas merupakan
aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur.
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal
yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma
ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan
qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha
mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna
menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka
menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal
karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i
dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang
kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka
berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al
Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk
‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum
dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang
diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki
pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali
kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang
dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits
Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya
oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena
qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para
shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa
seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara
ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’
kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika
(pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud
dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini
disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian
(dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia
merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik
Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia
lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’
yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
2. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi
b. Furu’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-
maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum
asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
C. Maslahah Mursalah
Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara
eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya.
Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’
yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan
kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan.
Karena tidak ditemukan variabel yang menola ataupun mengakuinya maka para
ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat
hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali
menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-
mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam
Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam
pembentukan hukum
(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga
maslahah tidak
bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia
dan agama.
Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan
menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu
harus
didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusi
a dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-
maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana
yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, s
eperti dalih
mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak is
terinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan.
Sesungguhnya
pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandu
ng terdapat
maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat,
hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan
undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu
dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali
memberi contoh
tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: oran
g kafir telah
membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kau
m muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam
yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan
memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi
orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah
bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi
memlihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau m
emusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
syari`. Maslahah tersebut harus dari
jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.
Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut
tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut
maslahah.
5. Tugas
Manusia mempunyai tugasnya yaitu Beribadah, seperti Sholat,
puasa, haji, dan sebagainya. Sedangkan ibadah adalah melaksanakan
semua aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah
SWT maupun bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh
keridoan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist.
Dan tentunya dari makna ibadah dalam arti luas ini akan terpancarkan
pribadi seorang muslim sejati dimana seorang muslim yang mengerjakan
kelima rukun Islam maka akan bisa memberikan warna yang baik dalam
bermuamalah dengan sesama manusia dan banyak memberikan manfaat
selama bermuamalah itu.
Disamping itu, segala aktifitas yang kita lakukan baik itu aktifitas
ibadah maupun aktifitas keseharian kita dimanapun berada di rumah, di
kampus di jalan dan dimanapun haruslah hanya dengan niat yang baik dan
lillahi ta’ala, tanpa ada motivasi lain selain ALLAH, sebagai misal beribadah
dan bersedekah hanya ingin dipuji oleh orang dengan sebutan “alim dan
dermawan”; ingin mendapatkan pujian dari orang lain; ingin mendapatkan
kemudahan dan fasilitas dari atasan selama bekerja dan studi dengan
menghalalkan segala cara dan lain sebagainya. Sekali lagi jika segala
aktifitas bedasarkan niatnya karena Allah, dan dilakukan dengan peraturan
yang Allah turunkan maka hal ini disebut sebagai ibadah yang
sesungguhnya. Di dalam Adz Dzariyat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Kita beribadah kepada Allah bukan berarti Allah butuh kepada kita,
Allah sama sekali tidak membutuhkan kita. Bagi Allah walaupun semua
orang di dunia ini menyembah-Nya, melakukan sujud pada-Nya, taat pada-
Nya, tidaklah hal tersebut semakin menyebabkan meningkatnya kekuasaan
Allah. Demikian juga sebaliknya jika semua orang menentang Allah, maka
hal ini tak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan Allah. Jadi sebenarnya
yang membutuhkan Allah ini adalah kita, yang tergantung kepada Allah ini
adalah kita, yang seharusnya mengemis minta belas kasihan Allah ini adalah
kita. Yang seharusnya menjadi hamba yang baik ini adalah kita. Allah
memerintahkan supaya kita beribadah ini sebenarnya adalah untuk
kepentingan kita sendiri, sebagai tanda terimakasih kepada-Nya, atas nikmat
yang diberikan-Nya, agar kita menjadi orang yang bertaqwa, Allah SWT
berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [2 : 21]
Kewajiban dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Kewajiban terbatas
Tanggungjawab
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. Sehingga bertanggungjawab adalah kewajiban menanggung,
memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawaban
dan menanggung akibatnya.
Macam-macam Tanggungjawab :
1. Tanggungjawab terhadap diri sendiri
“If it is to be, it is up to me” maksud dari pepatah lama tersebut adalah hanya
diri kita yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap kehidupan atau nasib
diri kita sendiri. Ada beberapa ketentuan untuk dapat melaksanakan
tanggungjwab kehidupan ini dengan baik. Ketentuan pertama adalah
mengenali dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri sendiri. Selain
itu, memahami tujuan hidup supaya
langkah untuk dikerjakan lebih terfokus. Yang terpenting dari semua itu
adalah berpikir dan bersikap positif walau apapun yang terjadi. Kesuksesan
dimasa depan tidak terkait erat dengan latar belakang maupun latar depan.
Keadaan dalam merespon keadaan menentukan tingkat keberhasilan. Suatu
keadaan yang sama, tetapi bila direspon secara berbeda maka akan
memberikan hasil yang berbeda pula. Sebagai contoh adalah kehidupan
mengenai sepasang saudara kembar di Amerika Serikat. Kejadian ini
berlangsung sekitar tahun 1950-an. Keluarga pasangan saudara kembar ini
berantakan. Sang kakak merespon keadaan itu secara positif, dan bertekad
untuk sukses dalam kehidupan. Berkat usaha keras dalam belajar dan
tekadnya yang besar, maka ia berhasil menjadi senator ternama di Amerika
Serikat. Sedangkan saudara kembarnya sendiri melihat kekacauan dalam
keluarganya itu secara negatif. Sehingga ia kehilangan kendali dan selalu
berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Akibatnya, ia harus mendekam di
penjara seumur hidup karena melakukan tindakan kejahatan yang sangat
fatal. Tidak ada orang lain yang harus dipersalahkan. Kesalahannya sendiri
merupkan penyebab dari nasib buruknya itu. Dalam kisah tersebut terdapat
perbedaan rasa tanggungjawab hidup yang besar. Faktor pembeda yang
pertama adalah kepahaman terhadap potensi dalam diri masing-masing
individu. Sang kakak merasa memiliki potensi yang cukup untuk ia
kembangkan lebih lanjut. Oleh sebab itu, ia merasa bertanggung jawab untuk
dapat meraih kehidupannya yang lebih baik. Sedangkan sang adik sama
sekali tidak melihat potensi yang ada di dalam dirinya. Sehingga sang adik
tidak merasa mampu mengemban tanggungjawab kehidupam ini dengan
baik. Selain itu, sang kakak sudah menetapkan tujuan yang pasti, sehingga
setiap langkahnya terarah. Sedangkan sang adik tidak memiliki tujuan hidup
yang pasti. Sehingga, ia merasa tidak perlu bertanggungjawab terhadap
kehidupan ini. Sementara sang kakak selalu menyikapi keadaan secara
positif. Dilain pihak, sang adik tidak melihat sisi positif dari bencana yang
menimpa keluarga mereka. Perbedaan tingkat rasa tanggungjawab hidup
diantara mereka berdua telah menyebabkan perbedaan nasib yang sangat
besar pula.
Dari contoh di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa hanya diri kita
sendirilah yang bertanggungjawab menentukan
kehidupan seperti apa yang kita harapkan. Sedangkan orang lain tidak
bertanggungjawab terhadap nasib ataupun esuksesan kita. Peran dari orang
lain hanya bersifat sebagai instrumen yang melengkapai usaha diri kita
sendiri.
2. Tanggungjawab terhadap Keluarga
Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling
memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada
anaknya, anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling
membantu dalam keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam
keadaan sakit. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk perkawinan
atau tidak. Di lihat dari segi tanggungjawab, orang tua adalah orang yang
paling bertanggungjawab terhadap pendidikan anak. Anak dilahirkan dan
dibesarkan oleh orang tua, orang yang pertama kali dijumpai anak adalah
orang tuanya, jadi secara tidak langsung ayah dan ibu adalah guru pertama
bagi anak, disadari atau tidak oleh orang tua itu sendiri.
6.
7.
8. Perbedaan Masyarakat Madani dengan Civil Society
Istilah mas yarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain yang seringkali
digunakan orang dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, padanan kata civil society.
Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga
atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab,atau masyrakat berbudaya.
Istilah civil society yang identik dengan masyarakat berbudaya (civilized society).
Lawannya, adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar
mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat
yang saling menghargai nilai-nilai sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik),
sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes,
bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap” keadaan alami” (state of nature) yang tanpa
hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo
homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif
dengan masyarakat alami ( natural society).
Mendekati pengertian masyarakat madani, terjemahan lain yang juga sering digunakan
adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya ini yang paling populer dan banyak
digandrungi di Indonesia. Tak pelak bahwa kata “madani” merujuk pada Madinah, sebuah kota
yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut
Nurcholish Madjid, kata “madinah” berasal dari bahasa Arab “madaniyah”, yang berarti peradaban.
Karena itu, masyarakat madani berasosiasi ”masyarakat peradaban”.
Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia
politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya
yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi Barat
non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks
istilah itu muncul. Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau
‘kota”, ehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu,
istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau
sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat
madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-
sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan
sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab
dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. Penggunaan istilah
masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian.
Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya,
meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan."
Maksudnya sebagai berikut : sama-sama dari kelompok yang beriman, maka Allah SWT
akan masih meninggikan derat bagi mereka, ialah mereka yang berilmu pengetahuan.
Orang berilmu pengetahuan berarti menguasai ilmu dan memilki kemampuan untuk
mendapatkan dan menjelaskannya. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan
antara lain adanya sarana tertentu, yakni yang disebut “berpikir”. Jelasnya berpikir pada
dasarnya merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, apabila di dalam Al-Qur’an sering-sering disebut dengan kata-kata
“berpikir” atau “berpikirlah” dan sebagainya. Dalam arti langsung maupun dalam arti
sindiran dapat kita artikan juga sebagai perintah untuk mencari atau menguasai ilmu
pengetahuan.
Dalam Al-qur’an dan Hadist sangat banyak ayat-ayat yang menerangkan hubungan
tentang ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya yang kita sebut
Iptek. Hubungan tersebut dapat berbentuk semacam perintah yang mewajibkan,
menyurum mempelajari, pernyataan-pernyataan, bahkan ada yang berbentuk sindiran.
Kesemuanya itu tidak lain adalah menggambarkan betapa eratnya hubungan antara
Islam dan Iptek sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Tegasnya hubungan antara Islam dan Iptek adalah sangat erat dan menyatu.
Dalam pandangan Islam, Iptek juga di gambarkan sebagai cara mengubah suatu
sumber daya menjadi sumberdaya lain yang lebih tinggi nilainya, hal ini ter-cover
dalam surat Ar-Ra’d syat 11, yaitu :
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya Al-Qur’an telah mendorong
manusia untuk berteknologi supaya kehidupan mereka meningkat. Upaya ini harus
merupakan rasa syukur atas keberhasilannya dalam merubah nasibnya. Dengan
perkataan lain, rasa syukur atas keberhasilannya dimanifestasikan dengan
mengembangkan terus keberhasilan itu, sehingga dari waktu kewaktu keberhasilan itu
akan selalu maningkat terus.
Pada masa Nabi sudah ada penemuan-penemuan yang bisa dinamakan dengan Iptek,
sepertihalnya Iptek dalam dunia pertanian. Para sahabat Nabi pernah melalukan
pembuahan buatan (penyilangan atau perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi
menyarankan agar tidak usah melakukannya. Kemudian ternyata buahnya banyak yang
rusak dan setelah itu dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi berpesan “ Abirruu antum
a’lamu biumuuri dunyaakum” (lakukanlah pembuahan buatan! Kalian lebih
mengetahui tentang urusan dunia kalian).
Di dalam Al-Qur’an disebutkan juga secara garis besar, tentang teknologi. Yaitu tentang
kejadian alam semesta dan berbagai proses kealaman lainnya, tentang penciptaan
mahluk hidup, termasuk manusia yang didorong hasrat ingin tahunya, dipacu akalnya
untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya, meskipun Al-Qur’an bukan buku
kosmologi, atau biologi, atau sains pada umumnya, namun Al-Qur’an jauh sekali dalam
membicarakan teknologi.
Dari beragam uraian di atas bahwasanya kita dapat melihat sendiri bagaimana
pandangan Islam terhadap Iptek. Dalam pedoman utamanya (Al-Qur’an), banyak
disebutkan sesuatu hal yang berkaitan dengan Iptek, hal ini menunjukkan bahwa Islam
sangat erat sekali dengan Iptek. Jadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini
merupakan wujud dari implikasi Al-Qur’an yang sebenarnya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah keilmuan yang tinggi yang dimiliki oleh
seseorang dan mampu menjadi alat untuk menyelesaikan masalah.
Pandangan Islam terhadap Iptek adalah Iptek merupakan suatu hal yang tidak bisa
ditinggalkan oleh seseorang, karena sangat pentingnya Iptek, maka hal tersebut sering
disebut dalam Al-Qur’an. dalam arti Islam sangat menganjurkan pengembangan Iptek.
10.
11. Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam
Jika melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim
kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan
digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta
bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan. Bahkan
ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk
bertahan lebih lamaHunke dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di
masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa
diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis
menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan
mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya
tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga
paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta
tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk
menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu
dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk
peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan
umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi
perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa
muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim
sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat
dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas
nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia
kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi
penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah
telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri
Islam.
B. Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu
Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif,
karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu.
Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang
inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai
penafsiran inspiratifnya.
1. Peran masjid
Dalam arti khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk
menjalankan ibadah, terutama salat jema’ah. Pengertian ini juga menggerucut
menjadi, masjid yang digunakan untuk salat jum’at disebut masjid jami’. Karna salat
jum’at diikuti oleh orang banyak maka masjid jami’ biasanya besar. Sedangkan
masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa
juga di kantor, dan biasnya tidak terlalau besar atau bahkan kecil sesuai dengan
keperluan, disebut musholla, artinya tempat solat. Dibeberapa daerah, musholla
diberi nama langgar atau surau. Jika menengok sejarah Nabi, ada tujuh langkah
strategisbyang dilakukan oleh Rasul dalam membangun masyarakat madani
dimadinah.
1. Mendirikan masjid
2. Mengikat persaudaraan antar komunitas muslim
3. Mengikat perjanjian dengan nonmuslim
4. Membangun sitem politik(syura)
5. Meletakkan system dasar ekonomi
6. Membangun keteladanan pada elit masyarakat
7. Menjadikan ajaran Islam sebagai system nilai dalam masyarakat
Peran masjid yang paling utama adalah untuk menmemotivasi dan membangkitkan
kekuatan ruhanyah dan imam, sebaliknya, jika kita merenungkan tentang peran
tempat-tempat peribadatan agama lain, kita lihat bahwa tempat-tempat tersebut
merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang tercela. Karna masjid sangat
berbeda, suasana yang berlaku dalam masjid karna mendorong untuk diamalkannya
ibadah dan shalat,islam benar-benar membasmi perbuatan yang hina, seperti sebelum
islam datang orang-orang arab biasanya bertwaf di ka’bah dalam keadaan telanjang
bulat sebagai suatu ibadah, dan hal ini dilakukan secara bersama-sama oleh laki-laki
dan perempuan.
Di dalam islam juga kita bisa beribadah dimana pun tempat asalkan tempat itu bersih
dan suci, islam juga mengajar kan kita kita untuk bertutur yang sopan, dan
menghindari perkataanyang keji.[1] Islam memerintahkan para pemeluknya untuk
shalat lima kali sehari semalam di mesjid, sehingga aktifitas keduniaan mereka di
sesuaikan dengan shalat lima waktu di mesjid.[2]
Dalam bidang social peran masjid tentu begitu penting, dengan adanya masjid
didekat kita maka akan lebih memudahkan kita untuk melaksanakan shalat lima
waktu, dan kita akan tau waktu shalat lebih cepat karna adanya orang yang azan, dan
yang lebih penting dengan masjid dekat dengan lingkungan kita itu membuat kita
rajin untuk shalat jema’ah, karna pahala shalat jema’ah 27 derjat lebih mulia dari
pada shalat sendiri. Dalam buku Suprianto Abdullah peran mesjid dalam bidang
social yakni semua urusan kemasyarakatan, baik yang menyangkut urusan pribadi
maupun bersama akan dibicarakan di dalam mesjid, dan segala keputusan akan
diselesaikan semua nya didalam mesjid.dengan keterangan diatas peran mesjid dapat
membuktikan bahwa dalam islam urusan ruhani maupun dunia dan kebendaan saling
terkait, dan adalah sebagai pusatnya.
Sesungguhnnya politik yang diterapkan dalam islam adalah politik untuk menyeru
manusia agar mereka dapat berserah diri secara mutlak kepada allah, dan menolak
secara mutlak hal-hal yang bertentangan dengan kehendak allah dan agar saling
menjaga hubungan yang selaras dengan sesama manusia.[4]
1. Fungsi mesjid
Fungsi mesjid bagi kehidupan manusia itu sangat lah penting sebagaimana di uraikan
di bawah ini:
1. Sebagai sentra peribadatan umat islam, terutama dalam shalat lima waktu
2. Sebagai sekolah, tempat para ulama besar berkumpul dalam mengajarkan ilmu
tentang syari’at-syari’at islam. Masjid nabawi di madinah telah menyebarkan
fungsinya sehingga lahir peranan mesjid yang beraneka ragam, sejarah mencatat
tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah di emban oleh mesjid nabawi yaitu
sebagai berikut:[6]
3. Tempat ibadah.
4. Tempat konsultasi dan komunikasi.
5. Tempat pendidikan.
6. Tempat santunan social.
7. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
8. Tempat pengobatan para korban perang.
9. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
10. Aula dan tempat menerima tamu.
11. Tempat menawan tahanan.
12. Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Fungsi dan peranan mesjid besar seperti pada masa keemasan islam tentunya sulit
untuk diwujudkan pada masa kini. Karena pada saat ini mesjid tidak begitu berarti
dan tidak terlalu di pandang oleh umat sekarang ini, mesjid multi fungsi yang pernah
tercipta pada masa Rasullullah sekarang mulai pudar.[7]
Fungsi masjid pada masa Rasullullah Masjid pada masa Rasullah SAW bukan
hanya sekedar tempat penyaluran emosi religious semata ia telah dijadikan pusat
aktifitas umat. Hal-hal yang dapat direkam sejarah tentang fungsi masjid di
antaranya:
Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasullullah, masjid adalah pusat
pengembangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar
arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal, prinsip-prinsip keberagaman, tentang
system masyarakat baru, juga ayat-ayat alqur’an yang baru turun. Didalam masjid
pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang
dikumandangkan lima kali sekali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat
dalam membangun kebersamaan.[8]
Pada masa sekarang masjid semakin perlu untuk difungsikan, diperluaskan jangkaun
aktifitas dan pelayanan nya serta ditangani dengan organisasi dan manajemen yang
baik, tegasnya, perlu tindakan-tindakan mengaktualkan fungsi dan peran masjid
dengan member warna dan nafas modern. Pengertian masjid sebagai tempat ibadah
dan pusat kebudayaan islam telah memberi warna tersendiri bagi umat Islam modern.
Tidaklah mengherankan bila suatu saat, Insya Allah, kita jumpai masjid yang
dikelola dengan baik, terawatt kebersihannya, kesehatan dan keindahannya.
Terorganisir dengan manjemen yang baik serta memiliki tempat pelayanan social
seperti: poliklinik, TPA, Sekolah, madrasah diniyah, majelis ta’lim, dan lain
sebagainya.[9]
NB:
Secara istilah fiqhiyah, zakat ialah sebuah ungkapan untuk seukuran yang telah
ditentukan dari sebagian harta yang wajib dikeluarkan dan diberikan kepada
golongan-golongan tertentu, ketika telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Harta ini disebut zakat karena sisa harta yang telah dikeluarkan
dapat berkembang lantaran barakah doa orang-orang yang menerimanya. Juga
karena harta yang dikeluarkan adalah kotoran yang akan membersihkan harta
seluruhnya dari syubhat dan mensucikannya dari hak-hak orang lain di
dalamnya.
Selain nama zakat, berlaku pula nama shadaqah. Shadaqah mempunyai dua
makna. Pertama ialah harta yang dikeluarkan dalam upaya mendapatkan ridho
Allah. Makna ini mencakup shadaqah wajib dan shadaqah sunnah (tathawwu’).
Kedua adalah sinonim dari zakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
At-Taubah ayat 60:
Makna As-Shadaqat dalam ayat tersebut adalah shadaqah yang wajib (zakat),
bukan shadaqah tathawwu’.
Selanjutnya makna shadaqah disesuaikan dengan konteks pembicaraan dan
pembahasannya. Jika konteknya adalah zakat, maka shadaqah berarti zakat
dan begitu pula sebaliknya.
Perintah semacam ini, diulang hingga pada 32 tempat dalam al-Quran. Hal ini
menunjukkan bahwa kedudukan zakat sangat penting dalam syariat Islam.
Dalil-dalil zakat dalam hadits juga sangat banyak, diantaranya adalah sabda
Rasulullah SAW:
، شهادة أن ال إله إال هللا وأن محمدا ً رسول هللا:بني اإلسالم على خمس
وصوم رمضان )رواه البخاري، والحج، وإيتاء الزكاة،وإقام الصالة
)ومسلم وغيرهما
Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara: Bersaksi tiada Tuhan selan Allah
dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
menunaikan haji dan puasa ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Disamping ayat al-Quran dan hadits, kewajiban zakat juga disokong dengan
konsensum ulama (ijma’). Ulama Islam dalam setiap masa hingga saat ini
sepakat akan kewajiban zakat ini. Para sahabatpun sepakat bahwa orang-
orang yang tidak mau mengeluarkan zakat boleh diperangi.
Zakat Fitrah
Apa yang dimaksud dengan zakat fitrah ? adalah zakat yang wajib
dikeluarkan oleh setiap orang islam. Laki laki dan perempuan, besar
dan kecil, merdeka atau hamba sahaya. Tujuanya untuk
membersihkan jiwa / diri seseorang yang sudah melaksanakan
puasa. Zakat fitrah berupa makanan pokok yang mengenyangkan
yaitu sebanyak 3,2 liter atau 2,5 kg.
Hukum Zakat fitrah
Hukum dari zakat fitrah hukumnya adalah wajib ain yang artinya
wajib bagi muslim laki laki, perempuan, tua maupun muda.
Zakat Mal
Pengertian zakat mal , menurut bahasa adalah berasal dari kata
tazkiyah yang artinya adalah menyucikan harta benda. Sedangkan
menurut istilah kadar harata benda tertentu yang wajib dikeluarkan
oleh umat islam yang memenuhi syarat kepada orang yang berhak
menerimanya.
4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan untuk masuk agama islam
dan orang yang baru mask agama islam yang imanya masih kurang
atau lemah.