Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat
manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa
sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.

Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang


bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan
dilengkapi oleh Sunnah secarakomprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian
ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.

Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau
zhanni ad-dalalah. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan
sebagai penyalur kreatifitas pribadi.

Dalam ranah historis, ijtihad menjadi sebuah perangkat metodologis yang


indentik dengan proses pengambilan keputusan hukum. Sedangkan ijtihad dalam
pendidikan harus tetap bersumber dari Al-qur’an dan sunnah yang diolah oleh akal yang
sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan
situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus di kaitkan dengan ajaran
Islam dan kebutuhan hidup.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari ijtihad?
2. Apakah sumber hukum dari ijtihad?
3. Bagaimana syarat-syarat seorang mujtahid?
1
4. Apa sajakah bentuk-bentuk dari ijtihad?
5. Apa sajakah metodologi Islam?
6. Apa sajakah model ijtihad dalam khazanah Islam?
7. Apa sajakah ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat nabi?

C. Tujuan Penulisan
1. Memperluas wawasan tentang apa itu ijtihad.
2. Memperluas wawasan tentang apa itu metodologi Islam.
3. Mengetahui apa saja sumber hukum ijtihad, syarat-syarat seorang mujtahid,
bentuk-bentuk ijtihad, model ijtihad, dan lain-lain.

D. Sistematika Penulisan

Bab I adalah pendahuluan yang berisi: Latar Belakang, Rumusan


Masalah,Tujuan Penulisan,dan Sistematika Penulisan.

Bab II adalah pembahasan yang mengemukakan tentang kumpulan wawasan


tentang ijtihad yang terdiri dari lima sub bab, yaitu: pertama pengertian ijtihad, kedua
sumber hukum ijtihad, ketiga syarat-syarat mujtahid, keempat metodologi ijtihad, dan
kelima model-model ijtihad dalam khazanah Islam

Bab III adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad secara harfiah (lugawi;etimologi) berasal dari kata Al Jahd yang berarti
usaha keras, tekun, atau sungguh-sungguh. Kata Al Jahd mempunyai implikasi pada
masalah-masalah yang didalamnya terdapat unsur memberatkan atau menyulitkanh, dan
tidak tepat jika digunakan pada masalah-masalah berimplikasi ringan dan mudah. Al
Jahd mengandung arti badzlu Al-was’i wa Al-Thaqati “mencurahkan kemampuan atau
upaya sungguh-sungguh” seperti yang terdapat pada surat an-Nuur (24) ayat 53:

Artinya: “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu
suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah
kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah
dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari segi bahasa, ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan
susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh.
Namun secara umum adalah:

‫في ال َّش ِر ْي َع ِة‬ ِ ‫َع َملِيَّةُ ا ْستِ ْنبَا ِط ْاألَحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ِم ْن اَ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
ِ ‫ة‬Eِ َّ‫ص ْيلِي‬
Artinya:  “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil
terperinci dalam syariat”

3
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil
syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan
banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.

Sedangkan pemgertian ijtihad menurut para ahli yaitu :

1. Yusuf Qardlawi
Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan
kata ijtihad hanya terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak
perhatian dan tenaga.

2. Menurut Mayoritas Ulama Ushul


Ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid
untuk memperoleh pengertian tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara’, ini
menunjukkan bahwa fungsi ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara’ amaliy
yang statusnya zhanny. Dengan demikian ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan
akhlak.

3. Menurut Hanafi 
Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.

4. Imam Al-Gazali
Ijtihad merupakan upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.

B. SUMBER HUKUM IJTIHAD


1. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59

4
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.

2. Firman Allah dalam Surat an-Nisa : 83

Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja
(di antaramu)”.

5
3. Firman Allah dalam Surat an-Nisa : 105

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

4. Sabda Nabi Muhammad SAW

َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَنَهُ َس ِم َع َرسُوْ ُل هللا‬


: ‫وْ ُل‬EEُ‫لّ َم يَق‬E ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ ِ ‫َوع َْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
ِ ‫اص َر‬
‫ان َوإِ َذا َح َك َم فَاجْ تَ َح َد ثُ َّم أَ ْخطَأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر‬
ِ ‫اب فَلَهُ أَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ َ‫الحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم أ‬
َ ‫ إِ َذا َح َك َم‬.

Artinya : “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia
melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
pahala . Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i
dari Amr bin ‘Ash).

C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID

Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat di


pertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di
bawah ini ada 3 ulama-ulama terkemuka yang berargument mengenai pensyaratan
terhadap sesorang mujtahid diantaranya adalah sebagai berikut:

6
a. Imam Ghozali mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua hal, diantaranya
adalah sebagai berikut:

1. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu,
seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di
dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
2. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa
menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi
pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak adil maka hasil
ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh
orang awam.

b. Imam As-Syatiby : seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa
memenuhi dua syarat di bawah ini:

1.  Bisa memahami tujuan syariat secara sempurna,


2.  Bisa menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid.

c.  Sayf al-Din al-Amidi seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat di


antaranya adalah sebagai berikut:

1. Seorang mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan Rasulullah
SAW.
2. Seorang mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat
Islam serta dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.

Selain dari pendapat 3 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih juga
telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid sebelum
melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   Mengetahui Bahasa Arab dengan baik.

7
2.   Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur’an.
3.   Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang As-Sunnah.
4.   Mengetahui letak dan khilaf.
Pengetahuan tentang hal-hal yang telah di sepakati (ijma’) dan hal-hal yang
masih di perselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang dengan ijma’ para
ulama sebelumnya, baik

5.  Mengetahui Tujuan dari Syariat Islam.


Pengetahuan tentang tujuan syari’at Islam sangatlah diperlukan bagi seoarang
mujtahid, hal ini disebabkan karena semua keputusan hukum harus selaras dengan
tujuan syari’at Islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam
semesta, khususnya untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu hukum yang di
tetapkan seoarang mutahid harus mampu memelihara tiga tingkatan kemaslahatan
manusia yaitu primer, skunder, dan tersier. Seperti menghilangkan kesulitan dan
mencegah kesempitan, serta memilih kemudahan dan meninggalkan kesukaran. Jika
kesukaran (masyaqah) terpaksa diberlakukan dalam tuntutan syari’at Islam, maka pada
hakikatnya hal itu untuk menolak datangnya masyaqah yang lebih besar.

6.  Memiliki Pemahaman dan Penalaran yang Benar.


Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus di
miliki oleh seorang mujtahid agar produk ijtihadnya bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah di kalangan masyarakat.

7.  Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqhi.


Penguasaan secara mendalam tantang ushul fiqih merupakan kewajiban setiap
mujtahid. Hal ini disebabkan karena kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan
mengenai metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja yang ingin beristimbat
hukum.

8
8.  Mengetahui tentang Manusia dan Lingkungan Sekitarnya.

Seorang mujtahid diharuskan untuk mengetahui kehidupan manusia dan


lingkungan sekitarnya, hal ini disebabkan karena seseorang tidak mungkin memutuskan
suatu hukum tanpa dipengaruhi oleh obyek hukum baik individu maupun masyarakat.
9.  Niat dan I’tiqad yang benar.
Seorang mujtahid harus niat ikhlas dengan mencari ridha Allah SWT. Hal ini
disebabkan karena seorang mujtahid yang mempunyai niat tidak ikhlas sekalipun daya
pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokkan jalan pikirannya sangat besar
sehingga berakibat kesalahan produk ijtihadnya.

D. BENTUK IJTIHAD
1. Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah setiap ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau
beberapa orang tak ada keterangan bahwa semua mujtahid lainnya menyetujuinya dalam
suatu perkara.
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh rasul kepada Muaz ketika
mengutus beliau untuk menjadi qadhi di Yaman dan sesuai pula yang pernah dilakukan
Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asyary, kepada Syuraikh dimana beliau
(Umar) dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh yang artinya:
“Apa-apa yang belum jelas bagimu didalam as-sunah maka berijtihadlah padanya
dengan menggunakan daya pikiranmu.”

Dan kata Umar kepada Abu Musa Al-Asyary yang artinya:

“Kenalilah penyerupaan-penyerupaandan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala


urusan sesudah itu.”

2. Ijtihad Jama’i

9
Ijihad jama’i adalah setiap ijtiihad yang dilakukan oleh para mujtahid untuk
menyatukan pendapat-pendapatnya dalam suatu masalah. Terdapat korelasi diantara
keduanya bahawa tidak mungkin  akan terjadinya ijtihad jama’i apabila tidak dilakukan
terlebih dahulu ijtihad yang bersifat fardhi, karena ijtihad jama’i itu adalah suatu metode
ijtihad yang dilakukan untuk menyatukan semua pendapat yang dihasilkan dari ijtihad
fardhi tersebut, dan mencari titik temu dari semua perbedaan tersebut sebagaimana yang
diutarakan di atas. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadist Ali pada waktu beliau
menanyakan kepada rasul tentang urusan yang menimpa masyarakat tidak diketemukan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Ketika itu nabi bersabda yang artinya :
“Kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang berilmu dari
masing-masing orang mu’min dan jadikanlah hal ini masalah yang dimusyawarahkan
diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang
seorang.” (HR. Ibnu Abd barr)

Disamping itu Umar juga pernah berkata kepada Syuraikh yang artinya :

“Dan bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang sholeh.”

Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu Bakar dan Umar
apabila keduanya menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya di dalam Al-
Qur’an dan sunah maka keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan
menanyakan pendapat-pendapat mereka. Apabila mereka telah menyepakati sesuatu
pendapat merekapun menyelesaikan hal itu dengan pendapat itu.

E. METODOLOGI ISLAM

1. Metode Interpretasi Linguistik

Metode interpretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum yang


beroperasi dengan melakukan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis.
Dengan demikian, metode linguistik digunakan terkait dengan kasus-kasus yang sudah
ada teks hukumnya, namun teks hukum tersebut masih kabur (tidak jelas), karena di
10
dalamnya terdapat ayat-ayat hukum yang mutashābih. Pola kajian yang digunakan
dalam metode intepretasi linguistik menghasilkan empat taksonomi pernyataan hukum
dari teks-teks hukum, yaitu: Pertama, dari segi tingkat kejelasannya. Kedua, dari segi
pola-pola penunjukkan kepada hukum yang dimaksudkan. Ketiga dari segi luasan
maupun sempitnya cakupan pernyataan hukum. Keempat, dari segi bentuk-bentuk
formula taklif dalam pernyataan.

2. Metode Kausasi

Metode kausasi merupakan metode penemuan hukum yang penting karena


berupaya mengkonstruksi hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada teks hukumnya.
Metode kausasi berupaya untuk menyelidiki pondasi yang menjadi dasar tegaknya
hukum Islam. Dalam hal ini, metode kausasi ini kemudian dikategorikan menjadi dua
model, yaitu yang mendasari adanya hukum pada illat, dan yang mendasari adanya
hukum pada maqasid al-syari’ah.

3. Metode Penyelarasan

Metode penyelarasan yakni metode yang berupaya menyelaraskan berbagai dalil


hukum yang mungkin secara zahir bertentangan satu sama lain. Untuk itu, dalam
metode penyelarasan kemudian dikembangkan teori nasakh dantarjīḥ.Secara sederhana,
nasakhmerupakan penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syari’ah oleh
ketentuan yang lain.

F. MODEL-MODEL IJTIHAD DALAM KHAZANAH ISLAM


Model ijtihad yang pernah ada bisa dieksplorasi dan digunakan sebagai suatu
proses berkelanjutan dalam upaya menetapkan suatu keputusan hukum islam, baik pada
masa awal sejarah islam maupun hingga sekarang
a. Ijtihad Rasionalis-Individualis
Ijtihad, atau usaha intelektual yang bersifat individual, merupakan kekuatan penting

11
dalam mengartikulasikan dan menafsirkan hokum Islam, atau syariat. Ijtihad merupakan
term teknis didalam hukum islam, didalam makana yang terbatas, digunakan untuk
metode penalaran dengan analogi.
Ahmad Hasan juga menegaskan bahwa ijtihad atau proses pemikiran serta
penafsiran ulang hokum secara independen pada priode awal digunakan dengan
pengertian yang lebih sempit dan khusus dibandingkan yang digunakan pada masa Asy-
Syafi’I dan sesudahnya . Ijtihad mengandung arti “ pertimbangan bijaksana yang adil
atau pendapat seorang ahli”.
b. Ijtihad Tekstualis-Skriptualis
Baru pada periode Asy-Syafi’i, terutama pada masa kodifikasi, pengertian baru
ijtihad telah mengalami modifikasi dan rumusan metodologi yang lebih sistematis
disertai prasyarat yang ketat . Perumusan ini pada akhirnya mempengaruhi cara pandang
dan penerapan ijtihad pada masa sesudahnya.
Model ijtihad yang digunakan oleh Asy-Syafi’i ini, terutama seperti yang ia
jelaskan dalam kitab Ar-Risalah, adalah dengan mengedepankan proses analogi deduktif
atau dengan cara qiyas, yaitu penetapan suatu hukum didasarkan pada kemiripan antara
kasus asal dan kasus cabang, kemudian diambil suatu inferensi. Dengan demikian, peran
teks sumber sebagai pembentuk makna hukum sangat penting dalam penentuan hokum
selanjutnya.
Ijtihad model ini dapat kita jumpai pada periode imam-imam mazhab, walau terjadi
konflik metodologis antarkubu.
Untuk mempertegas model ijtihad tekstualis-skriptualis ini, dapat dilihat lebih
seksama pada urutan sumber hokum mulai dari Imam Abu Hanifah hingga Imam Abu
Daud azh-Zhahiri ataupun cara berijtihad dari masing-masing tokoh tersebut.
Cara berijtihad Imam Malik, seperti yang dikutip Thaha Jabir Fayadl al- Ulwani,
dapat diringkas sebagai berikut:
 Mengambil dari al-Qur’an
 Menggunakan zhahir al-Qur’an, yaitu lafal yang umum
 Menggunakan dalil al-Qur’an, yaitu mafhum al-muwafaqah
 Menggunakan mahfum al-Qur’an, yaitu mahfum mukhalafah

12
 Menggunakan tanbij al-Qur’an, yaitu memperhatikan ‘illah.

c. Ijtihad Transformatif – Humanitis

Setelah abad ke-18, orientasi baru pemikiran ijtihad mengalami pergeseran


paradigma yang cukup signifinikan. Hal ini ditandai dengan tuntutan modernitas yang
melanda masyarakat Islam. Sebagai respons terhadap modernitas itu, para pemikir Islam
modern merumuskan gagasan pembaharuan pemikiran islam dan cara pandang baru
terhadap dunia. Munculnya respons ini tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa
modernitas, yang dalam banyak hal mulai menggeser tradisi kehidupan sebelumnya.

Perlunya pemikiran yang transformatif tersebut tercermin dari berbagai usaha yang
dilakukan oleh para pembaharu abad ke -18 dan seterusnya.

G. IJTIHAD YANG DILAKUKAN OLEH PARA SAHABAT NABI

Ada tiga hal pokok yang berkembang pada waktu itu sehubungan dengan hukum
Islam. Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban
hokum secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun
penjelasan dari Sunnah Nabi. Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir
telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi, namun
ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki
pemahaman baru agar relevan dengan persoalan yang tengah dihadapi. Ketiga, yakni
dalam al-Qur‟an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Contoh masalah: Untuk pertamakalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah
yang pertama timbul dalam Islam, yaitu tentang siapa pengganti Nabi Muhammad
sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Menurut ijtihad sahabat dalam
bentuk musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sebagai khalifah pertama
setelah melalui diskusi yang serius.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari materi diatas, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Ijtihad merupakan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa


dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

2. Hasil dari ijtihad haruslah benar, tidak boleh menyimpang. Karena jika menyimpang
maka akan merugikan kalangan orang banyak.

B. SARAN

Setelah mempelajari tentang materi Ijtihad Sumber Dan Metodologi Hukum


Islam ini, ada baiknya para mahasiswa lebih memperdalam lagi pengetahuan dalam
ilmu agama Islam. Dengan begitu, jika suatu saat didalam lingkungan masyarakat
menemukan permasalahan yang perlu di ijtihadkan atau setidaknya ditemukan jalan
keluarnya, yang perlu di pikirkan secara matang tentang kebenarannya akan lebih
mudah menganalisisnya karna sudah mempunyai bekal yang banyak dalam ilmu agama.
Karena jika suatu hal di ijtihadkan, maka hasil dari ijtihadnya tersebut, hasil dari
pemikiran matangnya akan suatu permasalahan, tidak boleh salah atau menyimpang dari
ajaran Islam. Disamping itu, jika hal yang di ijtihadkan benar, sesuai dengan ajaran
Islam maka kita juga akan mendapatkan kebaikan dari Allah Swt.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/360803456/Ijtihad-Sumber-Dan-Metodologi-Hukum-
Islam

https://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/100/90

https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3810/3286

15

Anda mungkin juga menyukai