PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat
manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa
sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau
zhanni ad-dalalah. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan
sebagai penyalur kreatifitas pribadi.
C. Tujuan Penulisan
1. Memperluas wawasan tentang apa itu ijtihad.
2. Memperluas wawasan tentang apa itu metodologi Islam.
3. Mengetahui apa saja sumber hukum ijtihad, syarat-syarat seorang mujtahid,
bentuk-bentuk ijtihad, model ijtihad, dan lain-lain.
D. Sistematika Penulisan
Bab III adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad secara harfiah (lugawi;etimologi) berasal dari kata Al Jahd yang berarti
usaha keras, tekun, atau sungguh-sungguh. Kata Al Jahd mempunyai implikasi pada
masalah-masalah yang didalamnya terdapat unsur memberatkan atau menyulitkanh, dan
tidak tepat jika digunakan pada masalah-masalah berimplikasi ringan dan mudah. Al
Jahd mengandung arti badzlu Al-was’i wa Al-Thaqati “mencurahkan kemampuan atau
upaya sungguh-sungguh” seperti yang terdapat pada surat an-Nuur (24) ayat 53:
Artinya: “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu
suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah
kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah
dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari segi bahasa, ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan
susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh.
Namun secara umum adalah:
في ال َّش ِر ْي َع ِة ِ َع َملِيَّةُ ا ْستِ ْنبَا ِط ْاألَحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ِم ْن اَ ِدلَّتِهَا التَّ ْف
ِ ةEِ َّص ْيلِي
Artinya: “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil
terperinci dalam syariat”
3
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil
syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan
banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
1. Yusuf Qardlawi
Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan
kata ijtihad hanya terhadap masalah-masalah penting yang memerlukan banyak
perhatian dan tenaga.
3. Menurut Hanafi
Ijtihad adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
4. Imam Al-Gazali
Ijtihad merupakan upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.
4
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja
(di antaramu)”.
5
3. Firman Allah dalam Surat an-Nisa : 105
Artinya : “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia
melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
pahala . Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i
dari Amr bin ‘Ash).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
6
a. Imam Ghozali mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua hal, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu,
seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di
dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
2. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa
menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi
pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak adil maka hasil
ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh
orang awam.
b. Imam As-Syatiby : seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa
memenuhi dua syarat di bawah ini:
1. Seorang mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan Rasulullah
SAW.
2. Seorang mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat
Islam serta dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.
Selain dari pendapat 3 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih juga
telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid sebelum
melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Bahasa Arab dengan baik.
7
2. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur’an.
3. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang As-Sunnah.
4. Mengetahui letak dan khilaf.
Pengetahuan tentang hal-hal yang telah di sepakati (ijma’) dan hal-hal yang
masih di perselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang dengan ijma’ para
ulama sebelumnya, baik
8
8. Mengetahui tentang Manusia dan Lingkungan Sekitarnya.
D. BENTUK IJTIHAD
1. Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah setiap ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau
beberapa orang tak ada keterangan bahwa semua mujtahid lainnya menyetujuinya dalam
suatu perkara.
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh rasul kepada Muaz ketika
mengutus beliau untuk menjadi qadhi di Yaman dan sesuai pula yang pernah dilakukan
Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asyary, kepada Syuraikh dimana beliau
(Umar) dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh yang artinya:
“Apa-apa yang belum jelas bagimu didalam as-sunah maka berijtihadlah padanya
dengan menggunakan daya pikiranmu.”
2. Ijtihad Jama’i
9
Ijihad jama’i adalah setiap ijtiihad yang dilakukan oleh para mujtahid untuk
menyatukan pendapat-pendapatnya dalam suatu masalah. Terdapat korelasi diantara
keduanya bahawa tidak mungkin akan terjadinya ijtihad jama’i apabila tidak dilakukan
terlebih dahulu ijtihad yang bersifat fardhi, karena ijtihad jama’i itu adalah suatu metode
ijtihad yang dilakukan untuk menyatukan semua pendapat yang dihasilkan dari ijtihad
fardhi tersebut, dan mencari titik temu dari semua perbedaan tersebut sebagaimana yang
diutarakan di atas. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadist Ali pada waktu beliau
menanyakan kepada rasul tentang urusan yang menimpa masyarakat tidak diketemukan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Ketika itu nabi bersabda yang artinya :
“Kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang berilmu dari
masing-masing orang mu’min dan jadikanlah hal ini masalah yang dimusyawarahkan
diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang
seorang.” (HR. Ibnu Abd barr)
Disamping itu Umar juga pernah berkata kepada Syuraikh yang artinya :
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu Bakar dan Umar
apabila keduanya menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya di dalam Al-
Qur’an dan sunah maka keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan
menanyakan pendapat-pendapat mereka. Apabila mereka telah menyepakati sesuatu
pendapat merekapun menyelesaikan hal itu dengan pendapat itu.
E. METODOLOGI ISLAM
2. Metode Kausasi
3. Metode Penyelarasan
11
dalam mengartikulasikan dan menafsirkan hokum Islam, atau syariat. Ijtihad merupakan
term teknis didalam hukum islam, didalam makana yang terbatas, digunakan untuk
metode penalaran dengan analogi.
Ahmad Hasan juga menegaskan bahwa ijtihad atau proses pemikiran serta
penafsiran ulang hokum secara independen pada priode awal digunakan dengan
pengertian yang lebih sempit dan khusus dibandingkan yang digunakan pada masa Asy-
Syafi’I dan sesudahnya . Ijtihad mengandung arti “ pertimbangan bijaksana yang adil
atau pendapat seorang ahli”.
b. Ijtihad Tekstualis-Skriptualis
Baru pada periode Asy-Syafi’i, terutama pada masa kodifikasi, pengertian baru
ijtihad telah mengalami modifikasi dan rumusan metodologi yang lebih sistematis
disertai prasyarat yang ketat . Perumusan ini pada akhirnya mempengaruhi cara pandang
dan penerapan ijtihad pada masa sesudahnya.
Model ijtihad yang digunakan oleh Asy-Syafi’i ini, terutama seperti yang ia
jelaskan dalam kitab Ar-Risalah, adalah dengan mengedepankan proses analogi deduktif
atau dengan cara qiyas, yaitu penetapan suatu hukum didasarkan pada kemiripan antara
kasus asal dan kasus cabang, kemudian diambil suatu inferensi. Dengan demikian, peran
teks sumber sebagai pembentuk makna hukum sangat penting dalam penentuan hokum
selanjutnya.
Ijtihad model ini dapat kita jumpai pada periode imam-imam mazhab, walau terjadi
konflik metodologis antarkubu.
Untuk mempertegas model ijtihad tekstualis-skriptualis ini, dapat dilihat lebih
seksama pada urutan sumber hokum mulai dari Imam Abu Hanifah hingga Imam Abu
Daud azh-Zhahiri ataupun cara berijtihad dari masing-masing tokoh tersebut.
Cara berijtihad Imam Malik, seperti yang dikutip Thaha Jabir Fayadl al- Ulwani,
dapat diringkas sebagai berikut:
Mengambil dari al-Qur’an
Menggunakan zhahir al-Qur’an, yaitu lafal yang umum
Menggunakan dalil al-Qur’an, yaitu mafhum al-muwafaqah
Menggunakan mahfum al-Qur’an, yaitu mahfum mukhalafah
12
Menggunakan tanbij al-Qur’an, yaitu memperhatikan ‘illah.
Perlunya pemikiran yang transformatif tersebut tercermin dari berbagai usaha yang
dilakukan oleh para pembaharu abad ke -18 dan seterusnya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang pada waktu itu sehubungan dengan hukum
Islam. Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban
hokum secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun
penjelasan dari Sunnah Nabi. Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir
telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi, namun
ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki
pemahaman baru agar relevan dengan persoalan yang tengah dihadapi. Ketiga, yakni
dalam al-Qur‟an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Contoh masalah: Untuk pertamakalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah
yang pertama timbul dalam Islam, yaitu tentang siapa pengganti Nabi Muhammad
sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Menurut ijtihad sahabat dalam
bentuk musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sebagai khalifah pertama
setelah melalui diskusi yang serius.
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
2. Hasil dari ijtihad haruslah benar, tidak boleh menyimpang. Karena jika menyimpang
maka akan merugikan kalangan orang banyak.
B. SARAN
14
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/360803456/Ijtihad-Sumber-Dan-Metodologi-Hukum-
Islam
https://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/100/90
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3810/3286
15