Anda di halaman 1dari 6

C.

IJTIHAD SUMBER HUKUM AJARAN ISLAM YANG KE TIGA

1. Pengertian ijtihad

a. Menurut Bahasa (Etimologi)


Menurut Louis Makhluf, Ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il): jahada, yajhadu, bentuk
mashdarnya: jahdan yang berarti: pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit; atau bisa juga bermakna: bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan
segenap kemampuan.
Dari segi gramatika kata ijtihad masih serumpun dengan kata jihad. Baik kata ijtihad,
maupun kata jihad berarti “ber¬sungguh-sungguh”. Hanya saja bila kata jihad merupakan
mashdar dari fi’il madhi: jahada dan mengikuti wazan (timbangan): fa’ala dari bentuk fi’il
tsulatsi mazid biharfin (kata kerja tiga huruf, dengan satu huruf tambahan), maka kata ijtihad
adalah mashdar dari fi’il madhi:ijtahada yang ditambah hurup alif dan ta’, berfungsi untuk
menunjukkan perbuatan yang sung¬guh-sungguh. Oleh sebab itu menurut Ibnu Manzhur,
kata ijti¬had oleh para ulama hanya digunakan untuk mengerjakan hal hal yang memerlukan
energi yang banyak.

b. Menurut terminologi
Dari Segi Istilah (Terminologi), terdapat beberapa definisi ijtihad, di antaranya adalah:
a) Menurut al-‘Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara` yang
bersifat zhanny.
b) Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala ke¬mampuan seseorang faqlh untuk
menghasilkan hukum yang zhanny.
c) Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan me¬nalar dari seorang Faqih dalam
mencari hukum-hukum syar`i.
d) Menurut Abd. Wahhab Khallaf: mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum syara` dari da¬lil-dalil syara` secara terinci.
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan, walaupun
redaksinya berbeda, namun pada prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak.

2. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW,
yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil
i’tibar (pelajaran).
a. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an; antara lain:
a) َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ِ‫ِإ َّن فِي َذل‬
ٍ ‫ك آليَا‬
“Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang
memikirkan” (Q.S. al-Ra’ad:3, al-Rum:21, al-Zumar:42)
b) ‫ر‬ َ ٰ ‫ُوا ٰيَُٓأ ۟ولِى ٱَأْل ْب‬
ِ ‫ص‬
۟ ‫فَٱ ْعتَبر‬
ِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan” (Q.S. Al-Hasyr:2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal
serta mengambil i’tibar.
َ ‫اس بِ َما َأ َرا‬
c) ُ ‫ك هَّللا‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ِإنَّا َأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْيكَ ْال ِكت‬
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dnegan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili anatar manusia dengan apa yan telah allah wahyukan kepadamu” (Q.S. Al-
Nisa’: 105)
‫َأ‬
Kata ‫( بِ َما َراك‬apa yang diperintahkan Allah kepadamu) pada ayat tersebut mencakup
penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung
dari nash, yang dikenal dengan istilah qiyas. Jadi, ayat di atas secara terbuka mengakui prinsip
ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara dalam berijtihad.

b. Dari Hadist
Dasar hukum Ijtihad dalam hadist, antara lian :

a) Kisah Mu’az bin Jabal sewaktu akan diutus menjadi qadhi di negeri Yaman ditanya Rasululllah
SAW tentang cara memutuskan perkara :

“Dari mu’az bin jabal yang berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “bagaimana upaya kamu
dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?”Muaz menjawab, “Akan aku
pu¬tuskan berdasarkan Kitabullab (al-Qur’an).”Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila
kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam al-Quran?”Mu’az menjawab, “Akan aku sele¬saikan
berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam, Sunnah Rasu¬lullah.” Kemudian Rasulullah bertanya
lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dan al-Quran dan al-Sunnah untuk
menyelesatkannya?”Mu’az menjawab, “Aku akan ber¬ijtihad dengan menggunakan rasioku dan
tidak menga¬baikannya. “Kemudian Rasulullah menepuk dada Muaz, sam¬bil bersabda, segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terbadap apa yang
direstui oleh Rasulullah.”(H.R.. Abu Dawud).

b) Hadis kedua dari Amr bin “ash ra


“Dari Amr bin ‘Ash ra. Yang mendengar Rasulullah bersabda, “Apa¬bila seorang Hakim
memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, ke¬mudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya
mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia benjtihad, kemudian
ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala” (H.R.
Muslim dan Ahmad)
Dari dua Hadits di atas, nampak jelas, bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW. untuk
dijadikan sebagai salah satu sum¬ber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan
Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual,
walaupun kemungkinan ijti¬had yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Ha¬dits-
hadits di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu berijtihad untuk
melakukan ijtihad. Kalau ijti¬hadnya itu benar menurui pandangan Allah, akan diberi dua
pahala dan kalau keliru akan diberi satu pahala.

c. Ijma’
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat
atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang
dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan
perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya
secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.

Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menja wab persoalan dalam masyarakat yang bersifat
dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad
banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya
bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada
masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan
mazhab-mazhab fikih.

3. Ruang Lingkup Ijtihad


Ruang lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut:
a. Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurudnya, maupun dari
segi pengertiannya (dalalah) yaitu hadist ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad
dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari itu.
b. Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ihtihadnya
hanya dari segi dalalahnya saja.
c. Nash yang wujudnya zhanny, tetapi dalalahnya qathi, maka obyek ihtihadnya adalah
pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
d. Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap
metode dan cara.
e. Ijtihad dalam ruang gerak dan jangkauannya mengenai materi-materi hukum zhaniyat,
adalah sangat luas. Dalam prakteknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi.
Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih, yaitu menampung terjadinya perbedaan pendapat
di kalangan mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya variasi dalam
pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.

4. Metode/bentuk Ijtihad
Ada beberapa cara atau metode yang sudah dirumuskan oleh para mujtahid dalam melakukan
ijtihad. Metode ijtihad yang disepakati oleh para mujtahid ada dua
yaitu ijma' dan qiyas, sedang metode-metode lain yang tidak disepakati, yakni istihsan,
istishlah (masalah mursalah), istishhab, 'urf, madzhab shahabi, saddudz dzari'ah, dan syar'u
man qablana.

a. Ijma'
Secara etimologis, ijma' memiliki dua arti yaitu sepakat dan ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologis, ijma' didefinisikan
sebagai kesepakatan para mujtahid kaum muslimin pada suatu masa sepeninggal Nabi SAW,
dalam menentukan/menetapkan suatu masalah atau hukum.
b. Qiyas
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa definisi yang berbeda
tentang qiyas. Ahli ushul mendefinisika qiyas sebagai mempersamakan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nash-nya lantaran ada persamaan 'illat hukumnya dari dua peristiwa itu.
Fungsi qiyas adalah untuk menemukan sebab atau 'illat hukum yang diwahyukan untuk
dikembangkan ke dalam kasus yang serupa. Contohnya zakat fitarh di Indonesia mengunakan
beras, diqiyaskan dengan kurma, karena sama-sama makanan pokok.

c. Istihsan
Secara etimologis, istihsan memiliki beberapa arti, yaitu:
a) Memperhitungkan sesuatu lebih baik.
b) Adanya sesuatu itu lebih baik.
c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik.
d) Mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu
Sedang secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan istihsan sebagai meninggalkan
qias yang jelas (jali) untuk menjalankan qias yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum
umum (universal / kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian / istisna'), karena
adanya alasan yang menurut logika menguatkannya

d. Mashlahah Mursalah/istishlah
Secara etimologis, mashlahah mursalah (jamaknya: mashalih mursalah) berarti
kemaslahatan atau kepentingan yang tidak terbatas, tidak terikat, atau kepentingan yang
diputuskan secara bebas. Sedang secar terminologis, mashlahah mursalah, yang juga sering
disebut istishlah, adalah kemaslahatan yang tidak ditetapkan secara pasti oleh syari' (Allah dan
Rasul-Nya) untuk mewujudkannya dan tidak ada dalil syara' yang memerintahkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya. Adapun contoh penggunaan mashlahah mursal
adalah kebijaksanaan yang dilakukan Abu Bakar mengenai pengumpulan al-Quran dalam suatu
mushaf, adanya ijazah, surat nikah, dan lain-lain.

e. Istishhab
Secara etimologis, istishhab berarti i'tibar al-mushahabah (ungkapan penyertaan) atau
berarti istimrar al-shihhah (selau menemani atau selalu menyertai). Sedang secara terminologis,
istishhab didefinisikan ahli ushul sebagai menetapkan hukum atas sesuatu menurut keadaan
yang ada sebelumnya hingga ada dalil yang merubah keadaan tersebut, atau menjadikan
hukum yang ada di masa lalu tetap berlaku hingga sekarang sampai ada dalil yang merubahnya.

f. 'Urf
Secara etimologis, 'urf berarti sesuatu yang dikenal/kebiasaan. Sedang secara
terminologis 'urf berarti sesuatu yang dikenal dan tetap dibiasakan manusia, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau menunggalkan sesuatu. 'urf juga dinamai dengan 'adah (adat).
Keduanya tidak bisa dibedakan. Dari segi penilaiannya, 'urf ada dua macam, yaitu 'urf shahi,
yaitu kebiasaan yang benar dan tidak bertentangan dengan ketentuan agama, dan 'urf fasid,
yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan agama.
g. Madzhab Shahabi
Madzhab Shahabi terkadang dinamakan dengan qaul shahabi dan fatwa shahabi. Secara
sederhana madzhab shahabi berarti fatwa sahabat secara perorangan. Adanya batasan
perorangan ini mengindikasikan bahwa madzhab shahabi berbeda dengan ijma' shahabi yang
lahir dari kesepakatan dari para sahabat secar keseluruhan.

h. Saddu al-dzari'ah
Secara etimologis, kata al-dzari'ah berarti jalan yang membawa kepada sesuatu,
secara hissi atau ma'nawi, baik atau buruk. Sedang secara definitif, al-dzari'ah berarti apa yang
menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan. Sedang kata
saddu berarti "menutup".

5. Syarat-syarat mujtahid (orang yang melakukan ijtihad)


Tidak semua orang bisa melakukan ijtihad, karena mujtahid mempunyai beberapa
persyaratan, yaitu:
a. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai Al-Quran juga Ulmul Qur’an, memiliki
kematangan intelektual dan spiritual serta cerdas dalam perkara hukum.
b. Mempunyai ilmu yang cukup tentang hadis, utamanya mengenai hukum dan sumber hukum,
sejarah serta keterkaitan suatu hadis dengan nas-nas Quran.
c. Menguasai materi dari pokok yang hukumnya sudah disepakati oleh para ulama.
d. Memahami Bahasa Arab, dan ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab, karena Al-Quran dan
hadits, menggunakaan Bahasa Arab.
e. Memahami ilmu fiqh dan menguasai kaidah dalam Ushul Fiqh.
f. Wajib memiliki sifat adil, amanah, taqwa, saleh, disiplin dan mengenal manusia serta alam
yang ada di sekitarnya.

6. Fungsi dan Manfaat Ijtihad


Pada dasarnya Ijtihad memiliki fungsi untuk membantu manusia dalam menemukan
solusi hukum atas suatu masalah yang belum dijelaskan atau belum ada dalilnya di dalam Al-
quran dan hadits. Sedangkan tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan umat Islam
dalam beribadah kepada Allah pada waktu dan tempat tertentu.
Dalam hal ini, Ijtihad dianggap telah memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam, yaitu
sebagai sumberhukum ajaran Islam yang ketiga. Namun, Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh
orang-orang tertentu saja yang telah memenuhi syarat.
Adapun beberapa manfaat Ijtihad adalah sebagai berikut ini:
a. Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui hukumnya.
b. Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan keadaan, waktu, dan
perkembangan zaman.
c. Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang tidak berhubungan
dengan halal-haram.
d. Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada hukumnya dalam
Islam.

Anda mungkin juga menyukai