1. Pengertian ijtihad
b. Menurut terminologi
Dari Segi Istilah (Terminologi), terdapat beberapa definisi ijtihad, di antaranya adalah:
a) Menurut al-‘Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara` yang
bersifat zhanny.
b) Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala ke¬mampuan seseorang faqlh untuk
menghasilkan hukum yang zhanny.
c) Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan me¬nalar dari seorang Faqih dalam
mencari hukum-hukum syar`i.
d) Menurut Abd. Wahhab Khallaf: mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum syara` dari da¬lil-dalil syara` secara terinci.
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan, walaupun
redaksinya berbeda, namun pada prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak.
2. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW,
yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil
i’tibar (pelajaran).
a. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an; antara lain:
a) َت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون َ ِِإ َّن فِي َذل
ٍ ك آليَا
“Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang
memikirkan” (Q.S. al-Ra’ad:3, al-Rum:21, al-Zumar:42)
b) ر َ ٰ ُوا ٰيَُٓأ ۟ولِى ٱَأْل ْب
ِ ص
۟ فَٱ ْعتَبر
ِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan” (Q.S. Al-Hasyr:2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal
serta mengambil i’tibar.
َ اس بِ َما َأ َرا
c) ُ ك هَّللا ِّ َاب بِ ْال َح
ِ َّق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن َ ِإنَّا َأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْيكَ ْال ِكت
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dnegan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili anatar manusia dengan apa yan telah allah wahyukan kepadamu” (Q.S. Al-
Nisa’: 105)
َأ
Kata ( بِ َما َراكapa yang diperintahkan Allah kepadamu) pada ayat tersebut mencakup
penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung
dari nash, yang dikenal dengan istilah qiyas. Jadi, ayat di atas secara terbuka mengakui prinsip
ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara dalam berijtihad.
b. Dari Hadist
Dasar hukum Ijtihad dalam hadist, antara lian :
a) Kisah Mu’az bin Jabal sewaktu akan diutus menjadi qadhi di negeri Yaman ditanya Rasululllah
SAW tentang cara memutuskan perkara :
“Dari mu’az bin jabal yang berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “bagaimana upaya kamu
dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?”Muaz menjawab, “Akan aku
pu¬tuskan berdasarkan Kitabullab (al-Qur’an).”Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila
kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam al-Quran?”Mu’az menjawab, “Akan aku sele¬saikan
berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam, Sunnah Rasu¬lullah.” Kemudian Rasulullah bertanya
lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dan al-Quran dan al-Sunnah untuk
menyelesatkannya?”Mu’az menjawab, “Aku akan ber¬ijtihad dengan menggunakan rasioku dan
tidak menga¬baikannya. “Kemudian Rasulullah menepuk dada Muaz, sam¬bil bersabda, segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terbadap apa yang
direstui oleh Rasulullah.”(H.R.. Abu Dawud).
c. Ijma’
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat
atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang
dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan
perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya
secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menja wab persoalan dalam masyarakat yang bersifat
dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad
banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya
bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada
masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan
mazhab-mazhab fikih.
4. Metode/bentuk Ijtihad
Ada beberapa cara atau metode yang sudah dirumuskan oleh para mujtahid dalam melakukan
ijtihad. Metode ijtihad yang disepakati oleh para mujtahid ada dua
yaitu ijma' dan qiyas, sedang metode-metode lain yang tidak disepakati, yakni istihsan,
istishlah (masalah mursalah), istishhab, 'urf, madzhab shahabi, saddudz dzari'ah, dan syar'u
man qablana.
a. Ijma'
Secara etimologis, ijma' memiliki dua arti yaitu sepakat dan ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologis, ijma' didefinisikan
sebagai kesepakatan para mujtahid kaum muslimin pada suatu masa sepeninggal Nabi SAW,
dalam menentukan/menetapkan suatu masalah atau hukum.
b. Qiyas
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa definisi yang berbeda
tentang qiyas. Ahli ushul mendefinisika qiyas sebagai mempersamakan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nash-nya lantaran ada persamaan 'illat hukumnya dari dua peristiwa itu.
Fungsi qiyas adalah untuk menemukan sebab atau 'illat hukum yang diwahyukan untuk
dikembangkan ke dalam kasus yang serupa. Contohnya zakat fitarh di Indonesia mengunakan
beras, diqiyaskan dengan kurma, karena sama-sama makanan pokok.
c. Istihsan
Secara etimologis, istihsan memiliki beberapa arti, yaitu:
a) Memperhitungkan sesuatu lebih baik.
b) Adanya sesuatu itu lebih baik.
c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik.
d) Mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu
Sedang secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan istihsan sebagai meninggalkan
qias yang jelas (jali) untuk menjalankan qias yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum
umum (universal / kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian / istisna'), karena
adanya alasan yang menurut logika menguatkannya
d. Mashlahah Mursalah/istishlah
Secara etimologis, mashlahah mursalah (jamaknya: mashalih mursalah) berarti
kemaslahatan atau kepentingan yang tidak terbatas, tidak terikat, atau kepentingan yang
diputuskan secara bebas. Sedang secar terminologis, mashlahah mursalah, yang juga sering
disebut istishlah, adalah kemaslahatan yang tidak ditetapkan secara pasti oleh syari' (Allah dan
Rasul-Nya) untuk mewujudkannya dan tidak ada dalil syara' yang memerintahkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya. Adapun contoh penggunaan mashlahah mursal
adalah kebijaksanaan yang dilakukan Abu Bakar mengenai pengumpulan al-Quran dalam suatu
mushaf, adanya ijazah, surat nikah, dan lain-lain.
e. Istishhab
Secara etimologis, istishhab berarti i'tibar al-mushahabah (ungkapan penyertaan) atau
berarti istimrar al-shihhah (selau menemani atau selalu menyertai). Sedang secara terminologis,
istishhab didefinisikan ahli ushul sebagai menetapkan hukum atas sesuatu menurut keadaan
yang ada sebelumnya hingga ada dalil yang merubah keadaan tersebut, atau menjadikan
hukum yang ada di masa lalu tetap berlaku hingga sekarang sampai ada dalil yang merubahnya.
f. 'Urf
Secara etimologis, 'urf berarti sesuatu yang dikenal/kebiasaan. Sedang secara
terminologis 'urf berarti sesuatu yang dikenal dan tetap dibiasakan manusia, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau menunggalkan sesuatu. 'urf juga dinamai dengan 'adah (adat).
Keduanya tidak bisa dibedakan. Dari segi penilaiannya, 'urf ada dua macam, yaitu 'urf shahi,
yaitu kebiasaan yang benar dan tidak bertentangan dengan ketentuan agama, dan 'urf fasid,
yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan agama.
g. Madzhab Shahabi
Madzhab Shahabi terkadang dinamakan dengan qaul shahabi dan fatwa shahabi. Secara
sederhana madzhab shahabi berarti fatwa sahabat secara perorangan. Adanya batasan
perorangan ini mengindikasikan bahwa madzhab shahabi berbeda dengan ijma' shahabi yang
lahir dari kesepakatan dari para sahabat secar keseluruhan.
h. Saddu al-dzari'ah
Secara etimologis, kata al-dzari'ah berarti jalan yang membawa kepada sesuatu,
secara hissi atau ma'nawi, baik atau buruk. Sedang secara definitif, al-dzari'ah berarti apa yang
menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan. Sedang kata
saddu berarti "menutup".