Anda di halaman 1dari 19

PERAN QIYAS DALAM PENENTUAN HUKUM MASALAH-

MASALAH KONTEMPORER

Oleh : Muhammad Nurzansyah


Kandidat Doktor SPS UIN Syahid Jakarta

Abstrak

Qiyas adalah mengkaitkan suatu kasus yang tidak memiliki nash untuk hukumnya
dengan kasus lain yang ada nash tentang hukumnya dikarenakan kesamaan keduanya dalam
‘illat hukum. Qiyas dalam Islam dibangun berdasarkan ayat al-Quran dan al-Sunnah. Qiyas
memiliki rukun, yaitu al-asl (pokok) yaitu sung memiliki dasar hukum, al-far’u (cabang)
yaitu kasus yang tidak memiliki dasar hukum, hukmu al-asl yaitu hukum yang ada di dalam
al-asl, dan al-‘illat (alasan ditetapkannya suatu hukum). Qiyãs umumnya tidak dapat
dilakukan untuk ibadah mahdah, Sebab kalau hal ini dilakukan maka – menurut sebagian
ulama akan menambah berbagai hukum yang tidak ada di dalam agama (bid’ah). Dengan kata
lain, Qiyas umumnya diterapkan dalam masalah-masalah ibadah ghair al-mahdah.
Mayoritas ulama mendukung penggunaan qiyãs sebab hukum Islam sulit untuk
menjawab berbagai masalah kekinian dan mengikuti perkembangan zaman yang selalu
berubah. Kelompok yang menolak penggunaannya adalah al-nadzdzam dan sebagian
kelompok syiah, dengan beberapa alasan yang dapat dipatahkan oleh kelompok yang
menggunakannya.
Qiyãs digunakan untuk menafsirkan berbagai kata dalam ayat-ayat al-Quran dan
hadith yang bersifat umum, atau menyamakan suatu kasus yang tidak memiliki landasan
hukum dengan kasus yang memiliki landasan hukum. Qiyãs merupakan instrumen penting
dalam memecahkan masalah-masalah kontemporer, khususnya berbagai kasus yang
berkaitan dengan hukum-hukum muamalat ( hubungaan antara manusia dengan manusia),
seperti masalah-masalah ekonomi, hukum, sosial kemasyarakatan, rekayasa genetik dlsb.
Kata kunci : Qiyãs, al-asl, al-far’u, hukmu al-asl, al-‘illat, ta’lil al-ahkam.
A. Pendahuluan

Al-Qur’an dan hadis nabi SAW merupakan sumber ajaran Islam. 1Dengan Al-Qur’ãn
Allah SWT memberikan petunjuk dan keterangan-keterangan tentang berbagai petunjuk
tersebut.Sedangkan al-Sunnah berfungsi (1) menetapkan dan menguatkan hukum yang
dibawa oleh al-Qur’ãn, (2) menjelaskan berbagai hal yang dibawa oleh al-Qur’ãn secara
global (mujmal), dan (3) menetapkan hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’ãn. 2Dalam
kenyataannya, sumber hukum Islam tidak hanya al-Qur’ãn dan al-Sunnah yang berupa nas,3
akan tetapi juga meliputi ijmã’ dan qiyãs yang bukan berupa nas. Keempat sumber hukum
inilah yang disepakati oleh ulama usũl.4 Keempat sumber hukum inilah kiranya yang
diisyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Nisã’ ayat 59:




“Haiorang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qurãn) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S.4:59).

Pada saat yang sama , sebagian ulama usũl mengkategorikan keempat sumber di
atas dengan penyebutan “al-adillah al-muttafaqah” (dalil-dalil yang disepakati)5 Oleh jumhur
ulama.
B. Permasalahan
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa permasalahan yang
dapatdirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian qiyãs, dasar hukum, rukun, dan ruang lingkup permasalahannya?
2. Siapa kelompok yang mendukung penggunaan qiyãs dan kelompok yang menolaknya?
3. Apa peran qiyãs dalam memecahkan masalah-masalah kontemporer?

C. Pembahasan
1
Rasulullah S.A.W. bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat
selamanya jika berpegang teguh kepada keduanya, kitab Allah dan sunnah rasulNYA.” (H.R.Muslim).
2
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 39-40.
3
Muhammad Abu̅ Zahrah, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 75.
4
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2009), cet. ke-3, 78.
5
Abdul wahhab Khallaf, Ilmu Usũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 22.

1
1. Pengertian qiya̅s, dasar hukum, rukun, dan ruang lingkup permasalahannya
Qiyãsadalah isim masdar yang menurut bahasa terambil dari akar kata qãsa-yaqĩsu,
yang berarti memperkirakan/membandingkan sesuatu dengan yang sepertinya. 6Qiyãs dapat
juga diartikan dengan mengukur, orang Arab biasa mengatakan qistu al-arda bi al-mitr
(aku mengukur tanah dengan mengunakan satuan meter).7Sedangkan menurut istilah qiyãs
berarti, “Menyertakan suatu perkara terhadap yang lainnya dalam hukum syara karena
terdapat kesamaan ‘illat di antara keduanya, (yaitu) terdapat kesamaan dalam perkara yang
mendorong adanya hukum yara bagi keduanya.”8 Muhammad Abu Zahrah mendifinisikan
qiyãs dengan, “Mengkaitkan suatu kasus yang tidak memiliki nash untuk hukumnya dengan
kasus lain yang ada nash tentang hukumnya dikarenakan kesamaan keduanya dalam
‘illathukum.”9 Definisi yang serupa juga dikemukakan oleh Rachmat Syafi’i yang
mengemukakan paling tidak ada dua pendapat tentang pengertian qiyãs secara istilah. Yang
pertama adalah pendapat shadr al-shari’at yang mengatakan bahwa qiyãs adalah pemindahan
hukum yang terdapat dalam asl kepada far’u atas dasar ‘illat yang tidak dapat diketahui
dengan logika bahasa.Yang kedua adalah pendapat al-Humama yang mengatakan bahwa
qiyãs adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘illat
hukum yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa saja.10
Operasional qiyãs dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang
memiliki dasar nas.Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa yang tidak cukup
dengan menggunakan pemahaman lafaz semata.Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti
ada tidaknya ‘illat pada kasus yang tidak ada nasnya tersebut. Jika ditemukan ‘illat , maka
faqĩh menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus tersebut berdasarkan ‘illat. Dengan
demikian yang dicari mujtahid di sini adalah ‘illat hukum yang terdapat pada nas(hukum
pokok.11
Adapun dasar hukum daripada qiyãs adalah surat al-Nisã ayat 59:




6
Ibra̅hi̅m Ani̅s, et.al.,Al-Mu’jam al-wasĩt (Makkah: Da̅r al-Ba̅z, t.th), cet. ke-VIII, Jilid II, h. 770.
7
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terjemah oleh Yasin as-Siba’I
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008),cet. ke-II, 107.
8
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, 107.
9
Muhammad Abu Zahrah, Usũl al-Fiqh ( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 218
10
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. ke-III, 86-87.
11
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. ke-III, 86-87.

2


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di “
antara kamu.kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
.Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Ayat ini menunjukkan bahwasanya mengembalikan kepada Allah dan rasulNYA tidak
lain adalah dengan cara mengetahui tanda-tanda yang ditunjukkan oleh keduanya (Qur’ãn
dan sunnah), hal itu dengan mengetahui ‘illat hukum keduanya (ta’lil al-ahkãm) dan itulah
yang dinamakan qiyãs.12 Sesungguhnya al-Qur’an memberikan isyarat untuk mencari ‘illat
hukum. Dalam hal ini al-Qur’ãn memberikan alasan (menerangkan sebab) dengan
fi’l(perbuatan) ketika menyebutkan hukumnya, menjelaskan maksud-maksudnya . Al-Qur’ãn
menyebutkan hikmah qisãs sebagaimana firman Allah SWT surat al-Baqarah 179:



“Dan bagi kalian ada kehidupan di dalam hukum qisãs.”

Juga ketika Allah SWT menerangkan sebab ketika memerintahkan rasulullah SAW
untuk menikahi dengan zainab r.a. dengan firmanNYA dalam surat al-Ahzab 37:


“…Agartidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-
anak angkat mereka jika anak-aanak angkat itu menyelesaikan keperluannya daripada
istrinya….” (al-Ahzãb:37).

Juga Allah SWT menerangkan sebab pengharaman khamar dan judi karena keduanya
mendorong kepada permusuhan,13 sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-
Mãidah 91:

12
Muhammad Abu Zahrah, Uṣũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 221.
13
Muhammad Abu Zahrah, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 222.

3



“ Sesungguhnya syaitan menginginkan untuk menjadikan di antara kalian
permusuhandan kebencian dalam khamar dan judi.”

Sunnah juga mememberikan isyarat tentang ta’lil hukum. Rasulullah SAW


menerangkan
sebab kewajiban izin ketika seseorang memasuki rumah orang lain (sesungguhnya ditetapkan
izin untuk penglihatan), yaitu bahwasanya kewajiban meminta izin agar orang yang di dalam
dapat melihat sesuatu yang tidak sah baginya untuk memandangnya. 14 Hal inilah yang
merupakan larangan dari firman Allah SWT surat al-Nũr ayat 27:



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu
lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”

Rasulullah SAW juga pernah menggunakan qiyãs dalam menetapkan hukum,


sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbãs dari rasulullah SAW bahwasanya seorang
perempuan dari Juhainah datang menemui rasulullah SAW dan berkata : “Sesungguhnya
ibuku pernah bernazar untuk berhaji, akan tetapi ibuku tidak berhaji sampai beliau
meninggal, apakah aku harus berhaji untukknya?” Rasulullah menjawab: “Ya, berhajilah
untuknya, bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau harus
menggantinya? Laksanakanlah sesungguhnya hutang kepada Allah lebih harus
diutamakan.”(H.R.Bukhãri).15Dalam hal ini Rasulullah SAW mengqiyãskan hutang kepada
Allah dengan hutang kepada manusia.
Dalam kesempatan lain Rasulullah menjawab pertanyaan Umar r.a.-yang telah
mencium isterinya- sedang ia dalam keadaan berpuasa : “Bagaimana pendapatmu jika engkau
berkumur-kumur dengan air” (H.R. Abu Dawud). yaitu hal tersebut tidak membatalkan

14
Muhammad Abu Zahrah, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 222.
15
Ibnu Hajar al-‘Asqalãni, Bulũgh al-Marãm (Beirut: Da̅r al-Fikr, 1989), 150.

4
puasa, demikian juga dengan mencium (isteri). Dalam hal ini Rasulullah mengqiyãskan
mencium (isteri) dengan kumur-kumur.16
Ijma shabat juga menggunakan qiyãs dalam hukum. Abu bakar r.a. pernah
memberikan bagin kakek sama dengan bagian ayah dikarenakan ada sifat kebapakan dalam
kakek. Ibnu ‘Abbãs juga mengqiãskan kakek dengan cucu. Juga Umar r.a. memerintahkan
Abu Musa al-Asy’ari dengan perkataan beliau : “Kenalilah perumpamaan dan persamaan,
kemudian qiyãskan segala persoalan dengannya.”17
Dan di antara para sahabat r.a. ada yang membaiat Abu Bakar r.a. dikarenakan nabi
SAW pernah menunjuknya untuk mengggantikan beliau sebagai imam shalat. Dengan
demikian mereka mengqiãskan imam negara dengan imam shalat, dan dikatakan,
“Rasulullah SAW memilih Abu Bakar sebagai imam bagi agama kita, maka mengapa kita
tidak memilihnya sebagai imam bagi urusan dunia kita?”18
Qiyas memiliki rukun, yang terdiri dari empat rukun. Pertama adalah al-asl yaitu
kasus yang memilki dasar hukum yang disebut juga maqis ‘alaih, al-mahmul ‘alaih, atau al-
musyabbah bihi.Kedua adalah al-far’u, yaitu kasus yang tidak memiliki dasar hukum atau
disebut juga dengan al-maqĩs, al-musyabbah.Ketiga adalah hukmu al-asl, yaitu hukum
syara yang dimiliki oleh asl. Keempatadalah ‘illat , yaitu sifat yang yang menjadi dasar
ketetapan hukum syara 19atau perkara yang memunculkan hukum.20‘Illat ini merupakan inti
bagi praktik qiyãs, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum dikembangkan.Menurut
bahasa ‘illat artinya penyakit, tetapi dapat juga berarti penyebab berubahnya sesuatu. 21Satria
Effendi mengutip pendapat Wahbah al-Zuhaily yang mengemukakan pengertian
qiyãsmenurut istilah dengan:
“ Suatu sifat kongkret dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan
menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukkan hukum.”22

Di bawah ini adalah ilustrasi dari pemecahan kasus hukum dengan menggunakan
qiyãs:23
16
Sayyid Muhammad Mũsã, Al-Ijtihãd Wa Madã Hãjãtinã Ilaih fi Hãdha al-‘Asr (Cairo: Da̅r al-Kutub
al-Hadĩṡah, 1972), 25.
17
Muhammad Abu Zahrah, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 223.
18
Muhammad Abu Zahrah, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 223-224.
19
Abdul wahhãb Khallãf, ‘Ilmu Usũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 60.
20
‘Atha bin Khalĩl, Ushul Fiqih kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terjemah oleh Yasin as-Siba’I
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008),cet. ke-II, 113.
21
Asjmuni Abdurrahman, Memahami Makna Tekstual, kontekstual dan Liberal (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2008), cet.ke-II, 27.
22
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2009), cet. ke-3, 135.
23
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 53.

5
NO Al-ASL AL-FAR’U HUKMU AL- AL-‘ILLAT
ASL
1 Minum khamr Naza Haram Al-iskãr
(memabukkan)
2 Ahli waris Penerima wasiat Si pembunuh tidak Ingin mendapatkan
membunuh si membunuh si mendapatkan sesuatu sebelum
pewaris pemberi wasiat warisan waktunya
3 Jual beli ketika Sewa menyewa , Makruh Melailkan seseorang
azan jum’at gadai, atau dari shalat jum’at
berkumandang berbagai
transaksi ketika
azan jum’at
berkumandang
4 Mengucakpan Memukul kedua Haram Menyakiti orang tua
kata “uf” orang tua,
kepada kedua mencaci maki
orang tua orang tua
5 Memakan harta Membakar harta Haram Melenyapkan harta
anak yatim anak yatim anak yatim

Asl memiliki beberapa syarat sebagaimana yang dikutip oleh Satria Effendi
24
mengenai pendapat A.Hanafi yang mengatakan : (a) hukum yang hendak dipindahkan
kepada cabang masih ada pada pokok (asl), kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapus
pada masa rasulullah SAW, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum(b) hukum yang
terdapat pada asl itu hendaknya hukum syara’ bukan hukum akalatau hukum yang
berhubungan dengan bahasa. (c) Hukum asl bukan merupakan hukum pengecualian seperti
sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
Hukum asl juga memiliki beberapa syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abu Zahrah25yaitu : (a) hukum asl hendaknya hukum syara’ yang berkaitan dengan
perbuatan, maka qiyãs fiqh tidak dapat dilakukan kecuali terhadap hukum-hukum yang
bersifat ‘amaliyah.

24
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2009), cet. ke-3, 133.
25
Muhammad Abu Zahrah, Uṣũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958), 333-335.

6
(b) hendaknya hukum tersebut dapat ditangkap oleh akal, yaitu akal dapat menemukan sebab
syaranya atau sebab tersebut ditunjukkan oleh syara sendiri seperti pengharaman khamar dan
judi, pengharaman memakan bangkai, pengharaman memakan harta orang lain. (c) hukum
yang dibawa oleh asl tidak/bukan merupakan kekhususan bagi nabi SAW, seperti
kebolehan menikahi lebih dari empat orang istri sekaligus.
26
‘Illat juga memiliki beberapa syarat yaitu: (a) ‘illat harus berupa sesuatu yang ada
kesesuaiannya dengan tujuan pembentukkan suatu hukum. Maksudnya adalah kuat dugaan
bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ‘illat itu bukan sesuatu yang lain. Dugaan
kuat ini mucul karena adanya penelitian tentang hubungan sesuatu yang dianggap ‘illat
dengan kemaslahatan manusia, seperti “iskar’ adalah relevan bagi pengharaman khamar,
karena dengan pengharaman khamar, berarti menolak kemudaratan bagi ummat manusia.
(b)’illat harus bersifat jelas.Maka sesuatu yang tersembunyi atau samar-samar tidak sah
dijadikan ‘illat karena tidak dapat dideteksi keberadaannya.Misalnya perasaan ridha,
merupakan sesuatu yang tersembunyi yang tidak dapat dijadikan ‘illatbagi sahnya suatu
perikatan atau transaksi. (3) ‘illat harus berupa sesuatu yang dapat dipastikan bentuk jarak,
atau kadar timbangannya jika berupa barang yang ditimbang sehingga tidak jauh berbeda
pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain. Misal lain adalah tindakan
pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan yaitu menghilangkan nyawa seseorang, dan
hakikat pembunuhan itu tidak beda antara satu dengan lainnya. Dengan demikian
pembunuhan tersebut dapat dijadikan ‘illat bagi terhalangnya seseorang untuk mendapat
warisan bilamana yang membunuh adalah anak dari yang terbunuh atau ahli waris dari yang
terbunuh.
Karena ‘illat merupakan inti bagi praktik qiyãs, maka ada para ulama ushul
mengemukakan beberapa cara untuk mengetahui ‘illat yaitu:27
(a) melalui dalil-dalil al-Qur’an atau hadis baik secara tegas maupun tidak tegas.
Contoh ‘illat yang disebutkan dengan tegas adalah ayat 7 surat al-Hashr:





26
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, 133.
27
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, 137-139.

7
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.”

Ayat di atas dengan tegas menyebutkan bahwa ‘illat (alasan) mengapa harta rampasan
tersebut harus dibagi-bagikan antara kelompok-kelompok tersebut adalah agar harta
kekayaaan jangan hanya sekedar di tangan orang-orang kaya saja.Terhadapnya diqiyãskan
setiap pembagian harta kekayaan harus merata, dan tidak boleh harta hanya menumpuk di
tangan orang-orang kaya saja.
Contoh ‘illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas, seperti firman Allah SWT
surat al-Baqarah ayat 222:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Redaksi ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi ‘illat bagi
haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidnya dan ‘illat halal mendekatinya
adalah keadaan suci. Kesimpulan tersebut tidak secara langsung ditunjukkan oleh ayat
tersebut, akan tetapi tersirat di dalamnya.
(b) mengetahui‘illat dengan ijmã’. Contohnya adalah kesepakatan para ulama ushul
fiqh bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi adanya pembimbing untuk mengatur
harta anak itu sampaai dewasa.Oleh karena itu diqiyaskan kepadanya hak perwalian anak
perempuan kecil dalam masalah pernikahan.
(c) ‘illat dapat diketahui melalui ijtihad dan hasilnya dikenal dengan‘illat
mustanbatah (‘illat yang dihasilkan melalui ijtihad). Di antara cara-cara ijtihãd tersebut
adalah“al-sibru wa al-taqsĩm.” Al-Sibru berarti“menyeleksi beberapa sifat, mana yang lebih
cocok untuk dijadikan ‘illat bagi suatu rumusan hukum” , sedangkan al-Taqsĩm berarti “

8
menarik dan mengumpulkan berbagai bentuk sifat yang dikandung oleh sutu rumusan hukum
syara.” Kemudian diseleksi dengan cara-cara tersebut. Contohnya adalah ijtihãd seorang
mujtahid dengan mencari mengapa khamar diharamkan, dengan mengumpulkan berbagai
sifat yang terdapat di dalamnya, seperti keadaan cair, keadaan terbuat dari anggur, keadaan
berwarna merah, dan keadaan memabukkan. Setelah beberapa sifat itu ditemukan, lalu
diadakan pengujian atau penyelesian sifat, mana di antaranya yang cocok sebagai ‘illat
keharaman khamar.Akhirnya disimpulkan bahwa yang layak untuk menjadi ‘illat hukumnya
adalah keberadaannya yang memabukkan, bukan keadaannya yang cair, berwarna merah, dan
bukan pula karena ia terbuat dari anggur.
Karena ‘illat merupakan inti dari praktik qiyãs maka ini rukun ini harus menjadi
perhatian serius bagi siapa saja yang ingin menggunakan qiyãs sebagai dalil. Adil al-Syuwaij
sebagaimana dikutip oleh Asjmuni Abdurrahman yang mengemukakan antara lain:28
(a) dalamta’lil al-ahkãm al-syariah, cara istinbãttidak asal-asalan dan mengikuti hawa
nafsu. (b) melakukakanta’lilal-ahkãm bukan sekedar teoritis, tetapi merupakan prinsip-
prinsip dalam pembinaan syariah (menghadapi perkembangan masa). (c) dasarta’lĩl al-ahkãm
adalah pengembangan pemikiran ijtihãd yakni usaha yang sungguh-sungguh memahami dalil
nash dengan metode yang diambil dari prinsip-prinsip bahasa dan syara’.

2. Kelompok yang Mendukung Penggunaan Qiyãs dan Kelompok yang Menolaknya


Beserta Berbagai Alasan Mereka.
Ada dua kelompok besar berkaitan dengan ijmã’ sebagai dalil hukum. Satu kelompok
menggunakan qiyãs sebagai dalil hukum dan kelompok lain menganggap qiyas bukan
sebagai dalil hukum. yang menolak qiyãs sebagai sumber hukum adalah mazhab
Nadhdhãmiyah, dhãhiriyah, dan sebagian kelompok syiah.29Ada 3 alasan yang dikemukakan
oleh kelompok yang menggunakan qiyãs sebagai dalil hukum yaitu:30(a) bahwasanya Allah
SWT tidaklah mensyariatkan hukum kecuali untuk kemaslahatan. Kemaslahatan hamba ini
merupakan tujuan dari pensyariatan berbagai hukum.(b) bahwasanya nas-nas al-Qur’ãn
dan al-sunnah terbatas sedangkan kasus dan masalah yang dihadapi oleh manusia tidak
terbatas.Maka tidaklah mungkin nas-nas yang terbatas tersebut merupakan sumber hukum
bagi berbagai kasus dan permasalahan yang tidak terbatas.Dengan demikian qiyãs adalah
sumber syara yang menyesuaikan dengan berbagai kejadian yang baru. (c) qiyãsmerupakan
28
Asjmuni Abdurrahman, Memahami Makna Tekstual, kontekstual dan Liberal (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2008), cet.ke-II, 40.
29
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Uṣũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 54.
30
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Uṣũl al-Fiqh, 59.

9
suatu dalil yang menguatkan fitrah dan logika yang sehat. Sesungguhnya dari kasus
pelarangan minum khamr dikarenakan ia merupakan racun yang dapat diqiyãskan kepada
minuman ini seluruh minuman yang mengandung racun.
Sedangkan kelompok yang tidak menyetujui penggunaan qiyãs sebagai sumber dan
dalil hukum, mengemukakan beberapa alasan:31 (a) bahwasanya qiyãs dibangun di atas dhan
(dugaan) dan bahwasanya ‘illat hukum dari nas adalah begini sedangkan yang dibangun di
atas dhan adalah juga dhan. Allah SWT mengisyaratkan di dalam al-Qur’ãn surat al-Isrã36:



“Janganlah kalian mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesuungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawab.”

(b) mereka juga mengatakan bahwa qiyãs dibangun di atas berbagai teori yang saling
bertentangan di dalam mencari ‘illat hukum (ta’lil al-ahkãm) dan ia merupakan pemicu
perbedaan hukum dan berbagai kritiknya. Sedangkan syariat mengandung perbedaan dan
pertentangan antara berbagai hukum-hukumnya. (c) mereka juga mengemukakan berbagai
pendapat sebagian sahabat r.a. yang mencela ra’yu (akal) dan berpendapat dengan akal
dalam masalah hukum, sebagaimana mereka mengutip Umar r.a. yang mengatakan , “hati-
hati dengan orang-orang yang menggunakan akal, sesungguhnya mereka adalah musuh para
ahli sunnah, mereka menghindari penghafalan hadis, maka mereka sesat dan menyesatkan
manusia.”32
Argumentasi kelompok yang menolak qiyãs sebagai sumber hukum dapat
dijawab.Untuk keberatan yang pertama, yang dilarang adalah mengikuti dhan (prasangka) di
dalam masalah akidah.Sedangkan dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia, maka sebagaian besar dalil-dalilnya adalah bersifat dhan.Hal ini tidak
dapat dijadikan hujjah sebab kebanyakan nas-nas petunjuk hukumnya bersifat dhanni
(dugaan kuat).33
Untuk keberatan yang kedua dapat dijawab, bahwa perbedaan di dalam qiyãsbukanlah
perbedaan dalam akidah atau dalam pokok-pokok agama. Akan tetapi perbedaan ini
merupakan perbedaan dalam cabang perbuatan yang tidak menyebabkan bahaya atau

31
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh, 59.
32
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh, 59.
33
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh, 59.

10
mudarat.Bahkan boleh jadi perbedaan ini merupakan rahmat bagi manusia dan untuk
kemaslahatan mereka.34
Untuk keberatan yang ketiga, dapat dijawab bahwasanya aṡar sahabat tersebut
bukanlah pengingkaran terhadap penggunaan qiyãs sebagai hujjah.Akan tetapi yang dilarang
adalah mengikuti hawa nafsu dan ra’yu yang tidak memiliki dasar dari nas.35
Muhammad Mũsa dalam disertasinya mengemukakan adanya perdebatan yang tajam
antara Ahl al-hadith dan kelompok Mutakallimin dengan Ahl al-Ra’yu dalam masalah
penggunaan qiyãs sebagai hujjah.Kelompok pertama tidak menggunkan qiyãs sebagai hujjah
dalam berfatwa dikarenakan mereka melihat tidak ada tempat bagi akal di dalam syariat. Di
antara kelompok yang menolak qiyãs ini adalah Imam ahl al-ẓãhir Dãwud bin ‘Ali” dan para
pengikutnya. Sedangkan kelompok yang kedua, menggunakan qiyãs dalam berhujjah dan
menganggapnya sebagai dalil syara jika mereka tidak mendapatkan hukum yng lebih kuat
darinya (qiyãs) dalam berhujjah. Di antara kelompok ini adalah para Imam madhhab yang
empat dan para pengikut mereka.36

3. Peran Qiyas Dalam Memecahkan Masalah-Masalah Kontemporer


Pada masa kini, kaum muslimin dihadapkan dengan berbagai persoalan kontemporer
yang memerlukan jawaban lugas, mengingat Islam “Sãlihun li kulli zamãn wa makãn”
(Islam sesuai dengan waktu dan tempat).Salahsatu masalah yang memerlukan jawaban
adalah status hukum zakat profesi.Yũsuf al-Qaradãwi menyatakan bahwa di antara hal yang
sangat penting untuk mendapatakan perhatian kaum muslimin adalah penghasilan dan
pendapatan yang didapatkan melalui keahlian. 37 Itulah yang disebut profesi yang berarti: “
Jenis pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus.”38
Terdapat beberapa kesimpulan dalam menentukan nisãb, kadar dan waktu
mengeluarkan zakat profesi. Hal ini bergantung dari qiyãs yang digunakan. Pertama, jika
diqiyãskan pada zakat perdagangan, maka nisãb, kadar dan waktu mengeluarkannya sama
dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nisãbnya senilai 85 gram emas,
kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkannya setahun sekali. Kedua, jika
diqiyãskan pada zakat pertanian, maka nisãbnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar
zakatnya 5 persen dan dikeluarkan setiapmendapatkan gaji atau penghasilan. Ketiga, jika
34
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh, 59.
35
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh, 60.
36
Sayyid Muhammad Mũsa, Al-Ijtihãd Wa Madã Hãjãtinã Ilaih fi Hãdhã al-‘Asr (cairo: Da̅r al-Kutub
al-Hadĩsthah, 1972), 52.
37
Yũsuf al-Qaradhãwi, Fiqh al-zakãt (Beirut: Muassasah al-Risãlah, 1991), 487.
38
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (China: Oxford University Press, 2011), Fourth Edition, 350.

11
diqiyãskan pada zakat rikãz, maka zakatnya sebesar 20 persen tanpa ada nisãb dan
dikeluarkan pada saat menerimanya.39
Hafidhuddin berpendapat bahwa zakat profesi dapat dianalogikan pada zakat
pertanian dan zakat emas dan perak sekaligus.Dari sudut nisãb dianalogikan pada zakat
pertanian, yaitu sebesar 5 ausaq atau setara dengan 653 kg padi/gandum dan dikeluarkan pada
saat menerimanya. Karena diqiyãskan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak
mengenal haul. Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerima, misalnya
setiap bulan, dan didasarkan pada ‘urf (tradisi) di sebuah negara.Penganalogian zakat profesi
pada zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan antara keduanya (al-Syabah).Jika hasil
panen pada setiap musim berdiri sendiri tidak terkait dengan hasil sebelumnya, demikian pula
gaji dan upah yang diterima oleh seseorang tidak terkait antara penerimaan bulan kesatu,
kedua dan seterusnya.40
Dari sudut kadar zakat, zakat profesi dianalogikan pada zakat uang, karena gaji atau
upah dan yang lainnya pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar
zakatnya adalah sebesar rub’ul ‘ushri atau 2,5 persen. Qiyãs syabah di sini adalah qiyãs yang
‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode syabah.Yaitu mempersamakan furu’ (cabang)
dengan asl (pokok) karena ada jãmi’ (alasan yang mempertemukannya) yang
menyerupainya.41
Contoh kedua yang dapat dipecahkan melalui qiyãsadalah mengqiyãskan tanda
tangan pada cap jempol dikarenakan kesamaan keduanya dalam ‘illat yaitu sama-sama
menunjukkan si pemilik.
Contoh ketiga dari qiyãs adalah mengqiyãskan berkumpulnya wakil-wakil ulama dari
setiap negara pada muktamar ‘Ãlam al-Islãmy pada ijmã’ yang dilakukan atau terjadi pada
masa sahabat Rasullah SAW.Hal ini dikarenakan adanya kesamaan antara keduanya.Ijmã’
pada masa sahabat terjadi dimana khalifah Abu Bakar r.a. ketika ingin memutuskan suatu
perkara yang belum pernah diputuskan pada masa rasulullah SAW mengumpulkan para
pemimpin (kabilah) dan orang-orang sahabat besar yang ada di Madinah. Begitu juga yang
dilakukan oleh Umar r.a.ketika ingin memutuskan suatu kasus pada masa
kekhalifahannya.Padahal sebagaimana diketahui, banyak sahabat yang ada di Makkah,
Syam, Yaman dan tempat-tempat lain yang tidak diajak untuk berunding dalam memecahkan

39
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet.ke-2, 96-
97.
40
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 97.
41
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 98.

12
suatu kasus.42 Dengan demikian sebenarnya ijmã’ yang terjadi pada masa sahabat r.a. adalah
kesepakatan orang banyak.
Contoh keempat yang dapat digunakan qiyãs di dalamnya adalah kasus pengqiyãsan
asuransi (takãful) dengan ‘ãqilah dalam kasus qisãs. Asuransi yang berarti menanggung
dapat diqiyãskan dengan ‘Ãqilah yang memiliki pengertian “para kerabat dari sisi ayah yang
43
bersama-sama menanggung pembayaran diyat dari pelaku pembunuhan.” Atau
menganalogikan akad asuransi dengan hukum-hukum yang telah diakui dalam Islam , seperti
wadĩ’ah (titipan), sistem pensiun, dan lain-lain.44
Contoh kelima adalah kesepakatan para ulama pada Muktamar Internasional Pertama
tentang zakat.Di mana mereka menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat
perdagangan.Hal ini dikarenakan aspek legal dan ekonomi dari kegiatan sebuah perusahaan
adalah kegiatan trading atau perdagangan. Dengan demikian, pola pembayaran dan
perhitungan zakat perusahaan adalah sama dengan zakat perdagangan. Demikian pula
nisãbnya adalah 85 gram emas, sama dengan nisãb zakat perdagangan dan sama dengan
nisãb zakat emas dan perak. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5 %. 45
Contoh keenam adalah kewajiban zakat atas saham. Zakat saham dapat dianalogikan
pada zakat perdagangan baik nisãbnya yaitu 85 gram emas, maupun kadar zakatnya yaitu
senilai 2.5 %. Yusuf al-Qaradãwi sebagaimana dikutip oleh Didin Hafidhuddin mengatakan
bahwa jika seorang memiliki saham senilai 1000 dinar, kemudian di akhir tahun
mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia harus mengeluarkan zakat
sebesar 2,5 % dari 1200 dinar yang dimilikinya tersebut atau sebesar 30 dinar. Muktamar
Internasional Pertama tentang zakat (Kuwait, 29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa jika
perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan kepada para pemegang
saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi untuk mengeluarkan zakatnya. Jika
belum mengeluarkan zakatnya, maka para pemegang saham (yang muslim) berkewajiban
untuk mengeluarkan zakatnya.46
Contoh ketujuh adalah menganalogikan obigasi syariah atau sukuk pada zakat
perdagangan. Dengan demikian nisãb zakatnya adalah 85 gram emas dan kadar zakat yang
harus dikeluarkan adalah 2,5 %. Karena obligasi syariah atau sukuk ini dianalogikan dengan
zakat perdagangan, maka ia memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana
42
Abdul wahhãb Khallãf, Ilmu Usũl al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII, 50.
43
Ibrãhĩm Anis, et.al.,Al-Mu’jam al-wasĩt (Makkah: Da̅r al-Ba̅z, t.th), cet. ke-VIII, Jilid II, 617.
44
Tahido yangggo, Huzaimah, Masail Fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer
(Bandung: Angkasa),cet.ke-1, 20.
45
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 102.
46
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 104-105.

13
syarat-syarat pada kewajiban zakat perdagangan yaitu: (1) niat berdagang; (2) harta
mencapai nisãb, (3) telah berlalu waktu setahun.47
Contoh kedelapan adalah mengqiyãskan pembunuhan yang menggunakan benda
tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan ‘illat yaitu
adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana
hal itu juga terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam.48
Contoh kesembilanadalah menyamakan hukuman terhadap koruptor dengan
hukuman orang yang memerangi Allah dan rasulNYA dan membuat kerusakan di muka
bumi. Di mana hukumannya adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Pemikiran
ini berdasarkan ayat al-Quran surat Ali Imranayat 161yang berbunyi :


“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang.Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang
mereka tidak dianiaya.”

Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kain merah rampasan perang Badar yang
hilang sebelum dibagi, konon ada yang mengatakan bahwa kain tersebut diambil oleh
rasulullah SAW. Padahal mengambil barang milik orang banyak itu adalah korupsi dalam
istilah kita sekarang. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Inggris “corruption” yang
berarti (1) tidak bermoral, (2) tidak jujur, khususnya karena mengambil sogokan. 49Huzaimah
mengutip kamus besar bahasa Indonesia ketika mendifinisikan korupsi dengan,
“Penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk
kepentingan pribadi dan orang lain.”50 Selanjutnya beliau memaparkan beberapa pengertian
korupsi secara istilah seperti pendapat JW Schoorl yang mengatakan bahwa korupsi adalah
“Penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan, keuntungan atau prestise
perorangan atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial
dengan cara yang bertentangan dengan Undang-Undang atau dengan norma akhlak yang

47
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, 34.
48
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, 142.
49
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 98.
50
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer(Bandung:
Angkasa),cet.ke-1, 46.

14
tinggi.”51 Robert Klitgard mengatakan bahwa “ Korupsi adalah tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau
uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 52Dengan melihat
beberapa definisi di atas, maka menurut penulis pengertian korupsi dapat dianalogika pada
kasus yang ada pada ayat tersebut.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhãri dan Muslim disebutkan bahwa Abũ Hurairah
meriwayatkan katanya,
Pada suatu hari rasulullah SAW berdiri di hadapan kami, lalu beliau menyebut
masalah khianat dengan menganggapnya sebagai masalah besar dan urusannya pun
sangat besar.kemudian beliau menjelaskannya, “Sungguh benar-benar aku tidak ingin
berjumpa seorang pun di antara kalian nanti di hari kiamat tampil (di hadapan
khalayak) yang di lehernya dikalungkan onta yang bersuara, lalu dia mengatakan: Ya
rasulullah, tolonglah aku. Maka kujawab: Aku sama sekali tidak berkuasa untuk
menolongmu, karena hal itu sudah pernah aku sampaikan kepadamu. Akupun sama
sekali tidak ingin berjumpa seorangpun di antara kalian kelak di hari kiamat tampil di
(hadapan khalayak) yang di lehernya dikalungkan kuda yang bersuara, lalu ia
mengatakan: Ya rasulullah tolonglah aku. Maka kujawab: Aku sama sekali tidak
kuasa untuk menolongmu, karena hal itu sudah pernah aku sampaikan kepadamu.
Akupun tidak ingin berjumpa dengan seorangpun di antara kalian kelak di hari kiamat
tampil (di hadapan khalayak) yang di lehernya dikalungkan kambing yang bersuara,
lalu dia mengatakan: Ya rasulullah tolonglah aku. Maka kujawab: Aku sama sekali
tidak kuasa untuk menolongmu, karena hal itu sudah pernah aku sampaikan
kepadamu. Aku juga tidak ingin berjumpa seorangpun di antara kalian kelak tampil di
( hadapan khalayak) yang di lehernya dikalungkan hewan hidup yang bersuara
keras(semacam ayam dan keledai) lalu ia mengatakan: Ya rasulullah, tolonglah aku.
Maka kujawab: Aku sama sekali tidak kuasa untuk menolongmu, karena hal itu sudah
pernah aku sampaikan kepadamu. Aku juga tidak ingin berjumpa dengan seorangpun
di antara kalian kelak di hari kiamat tampil (di hadapan khalayak) yang di lehernya
dikalungkan lempengan benda yang berkilau (semacam emas dan perak), lalu dia
mengatakan: Ya rasulullah, tolonglah aku. Maka kujawab: Aku sama sekali tidak

51
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, 47.
52
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer, 47.

15
berkuasa untuk menolongmu, karena hal itu sudah pernah aku sampaikan kepadamu.
Aku juga tidak ingin berjumpa seorangpun di antara kalian kelak di hari kiamat tampil
(di hadapan khalayak) yang di lehernya dikalungkan benda bisu (semacam uang
kertas), lalu dia mengatakan: Ya rasulullah, tolonglah aku. Maka kujawab: Aku sama
sekali tidak berkuasa menolongmu, karena hal itu sudah pernah aku sampaikan
kepadamu.”(H.R.Bukhãri dan Muslim).

Kalau dalam hadis di atas disebutkan berbagai macam barang yang dikorupsi, ada
yang dengan nama yang jelas semisal onta, kuda dan kambing. Tetapi ada yang tidak
menyebut nama, cukup dengan menyebut sifat barang atau benda, semisal hewan yang
bersuara keras, lempengan yang berkilau dan benda bisu. Ini artinya semua barang yang
dikorup itu kelak akan dipamerkan di hadapan khalayak, bahkan tanah yang dikorup pun
akan dikalungkan juga, dan ini merupakan suatu hal yang sangat dahsyat.
Apa yang disebutkan di atas adalah sanksi akhirat, sementara sanksi dunia tidak
disebutkan. Korupsi tidak dapat dikategorikan pencurian, karena sifat pengambilannya tidak
sama dengan pencurian. Oleh karena itu tidak dapat dikenakan sanksi potong tangan. Sanksi
yang paling rasional adalah yang terdapat dalam surat al-Mãidah ayat 33, dikarenakan
korupsi merupakan suatu perbuatan yang memerangi Allah dan rasulNYa serta berbuat
kerusakan di muka bumi. Ayat 33 surat al-Maidah tersebut berbunyi:




“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya).yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”Wallahu a’lam.

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan:
1. Qiyãs adalah menyamakan atau mengukur sesuatu. Dalam hal ini qiyãs adalah
menyamakan kasus yang tidak memiliki dasar hukum dengan kasus yang memiliki dasar
hukum karena kesamaan keduanya dalam ‘Illat.Praktik qiyãs berdasarkan al-Qur’ãn, al-

16
sunnah, ijmã’ sahabat.Rukun-rukun qiyãs adalah asl, far’u, hukmu al-asl dan ‘illat.‘Illat
menjadi fokus dalam kasus qiyãs, terutama dalam menemukan ‘illat hukum suatu
nas.Misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri disebabkan perbuatan mencuri
yang dilakukan Akan tetapi, hukuman potong tangan itu sendiri pada hakekatnya merupakan
kehendak Allah SWT, bukan semata-mata perbuatan mencuri itu sendiri.2. Ada dua
kelompok besar yang memiliki sikap yang berbeda dalam penggunaan qiyãs. Satu kelompok
menggunakan qiyãs dan lainnya sama sekali menolaknya dengan beberapa
argumen.Meskipun demikian argumen-argumen yang mendukung penolakan kelompok ini
terhadap penggunaan qiyãs sebagai hujjah dapat dipatahkan.
3. Qiyãs memiliki peran penting dalam penetapan hukum berbagai kasus kontemporer.
tanpaqiyãs maka teks atau nas al-Qur’ãn dan al-Sunnah akan berhenti tanpa penerapan
lebih lanjut. Seperti Contoh: pendapat air kencing manusia itu najis, karena ada nasnya,
sedangkan air kencing babi itu tidak najis karena tidak ada nasnya.Tentu pendapat ini
merupakan kekacauan dalam berpikir dalam mengambil kesimpulan hukum.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni, Memahami Makna Tekstual, kontekstual dan Liberal (Yogyakarta:


Suara Muhammadiyah, 2008), cet.ke-II, h. 40.

Anis, Ibrãhĩm, et.al.,Al-Mu’jam al-wasĩt (Makkah: Dar al-Baz, t.th), cet. ke-VIII, Jilid II.

‘Asqalãni, Ibnu Hajar, al-, Bulũgh al-Marãm (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002),
cet.ke-2.

Khalil, ‘Atha bin, Ushul Fiqih kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terjemah oleh Yasin as-
Siba’I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008),cet. ke-II, h. 113.

Khallãf, Abdul Wahhãb, ‘Ilmu Us̃ul al-Fiqh (Kuwait: Da̅r al-Kuwaitiyyah, 1968), cet. ke VIII.

Mũsã, Sayyid Muhammad, Al-Ijtihãd Wa Madã Hãjãtinã Ilaih fi Hãdhã al-‘Asr (Cairo: Da̅r al-
Kutub al-Hadi̅thah, 1972).

M.Zein, Satria effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2009), cet. ke-3.

Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (China: Oxford University Press, 2011), Fourth Edition.

Qaradãwi, Yũsuf, al-, Fiqh al-zakãt (Beirut: Muassasah al-Risa̅lah, 1991).

Syafe’I,Rachmat,Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka setia, 2007), cet. ke-III.

Tahido yangggo, Huzaimah, Masail Fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung:
Angkasa), cet.ke-1.

Zahrah, Muhammad Abu, Usũl al-Fiqh( Beirut: Da̅r al-Fikr al-‘Araby, 1958).

18

Anda mungkin juga menyukai