Anda di halaman 1dari 12

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Ushul Fiqih Ekonomi dan Fajrul Ilmi, S.Pd., M.Sy.


Keuangan Kontemporer

QIYAS DAN APLIKASINYA DALAM EKONOMI SYARIAH

Disusun Oleh Kelompok 3

Ferdi Noval Ramadhana (210102040061)

Apriliana Imantasari (210102040286)

Noor Emelda Safitri (210102040210)

Muhammad Haris Abrari (210102040157)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

2024 M/1445 H
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting
dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Sunnah.
Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum
syari’at Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan
manusia.1 Seiring dengan perkembangan zaman, permasalahan tentang hukum-
hukum Islam yang belum pernah ada status hukumnya saling banyak
bermunculan. Ketika persoalan atau masalah-masalah itu muncul, para ulama
dan fuqaha mencoba memecahkan persoalan ini dengan menggunakan al-Quran
dan Hadist sebagai sumber utama dalam menjawab berbagai persoalan tersebut.
Dan ketika al-Quran dan Hadist tidak menjelaskan secara terperinci atas hukum
tersebut, maka para ulama‟ atau fuqaha mencoba untuk melakukan ijtihad
sendiri. Salah satu metode ijtihad yang digunakan oleh para ulama‟ dan fuqaha
adalah dengan menganalogikan secara deduktif terhadap masalah yang belum
ada kejelasan hukumnya dengan permasalahan yang sudah ada ketentuannya
dari al-Qu‟an dan Sunnah.
Analogi deduktif ini disebut dengan qiyas. Pada prinsipnya, qiyas
memberi pemahaman kepada para ulama bahwa dua kasus yang berbeda dapat
dipecahkan dengan mengacu pada aturan yang sama. Qiyas merupakan salah
satu metode istinbat (menggali) hukum yang populer di kalangan mazhab
Syafi’i Dalam urutannya, mazhab Syafi’i menempatkan qiyas berada di urutan
keempat setelah al-Qur‟an, Hadist, dan Ijmak. Imam Syafi’i sebagai pelopor
mujtahid yang menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jalan untuk menggali
hukum, mengatakan bahwa yang dinamakan ijtihad adalah qiyas. Beliau
mengatakan bahwa ijtihad dan qiyas merupakan dua kata yang memiliki makna
yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti para mujtahid telah

1
Farid Naya, “Membincang Qiyas sebagai metode penetapan hukum Islam,” Jurnal Syariah dan
ekonomi Islam 11 (2017): hlm. 170.

ii
mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan sumbernya, al-Qur’an dan
hadist. Sebab, hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-Qur’an atau
hadist secara eksplisit, kadang juga bersifat tersirat secara implisit. Hukum
Islam adakalanya dapat diketahui melalui redaksi nash, yakni hukum- hukum
yang secara tegas tersurat dalam al-Qur’an dan hadist, adakalanya harus digali
melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash, yang demikian itu
dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.
Persoalan-persolan yang bisa diselesaikan dengan menggunakan
sumber qiyas bukan hanya permasalahan tentang hal yang sifatnya ubudiyah
saja, akan tetapi qiyas juga bisa digunakan sebagai sumber dalam berbagai
permasalahan, termasuk diantaranya tentang masalah perekonomian. Seperti
yang sering kita ketahui, perkembangan tentang ekonomi menjadi angin segar
bagi manusia, akan tetapi perkebangan itu pula yang harus dikaji keabsahannya
secara hukum. Karena itulah tulisan ini akan membahas qiyas sebagai salah satu
metode penggalian hukum dalam aspek ekonomi Islam. 2

2
Ahmad Masyhadi, “Implementasi Qiyas Dalam Ekonomi Islam” 3 (2020): hlm. 67-68.

iii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa, bisa berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan
kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang
mengartikan Qiyas sebagai mengukur dan menyamakan. Pengertian Qiyas
menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya secara nash. Mereka juga membuat definisi lain :
Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.
Demikian juga Wahbah al-Zuhaili yang mengartikan Qiyas :
“Menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada
ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada
persamaan ‘illat antara keduanya”.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan Qiyas dengan :
“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan
hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik
hukum maupun sifat”.3

B. Unsur-unsur atau Rukun


Al-qiyas menurut Uhsul Fiqh, memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
1. Hukum dasar (hukum ashal), yaitu suatu ketetapan hukum yang jelas tertulis
dalam nash al-Qurán dan hadidts, seperti khamar haram, sesuai dengan
maksud al-Qurán surat al-Maidah/5: 90. Berdasarkan ayat ini para ulama
Ushul al-Fiqh sepakat bahwa haram hukumnya meminum khamar. Disebut
hukum ashal, karena tertuang secara tekstual dalam al-Qurán dan hadits.

3
Zainil Ghulam, “Aplikasi Qiyas Dalam Ekonomi Islam,” t.t., hlm. 212-213.

1
2. Hukum cabang(furu’), yaitu suatu ketetapan hukum (baru) karena
disamakan dengan hukum ashal. Disebut furu’ karena dia menempel pada
ashal, dia tidak ada jika ashal tidak ada, seperti narkotika/wisyki hukumnya
haram. Kata narkotika/wisyki tidak terdapat dalam nash al-Qurán dan
hadits, karena dia bukan produk Arab tempat turunnya al-Qurán, melainkan
produk Barat. Namun ia diharamkan karena dikiaskan kepada khamar yang
sama-sama memabukkan. Sesuatu dapat ditetapkan sebagai furu’ harus
memiliki tiga syarat, yaitu:
a. Furu’ belum tertuang dalam nash, jika ia terungkap dalam al-Qurán dan
hadits statusnya menaik menjadi asal.
b. ‘Illat al-qiyas harus dapat diterapkan pada furu’ dengan cara yang sama
seperti pada kasus asal. Misalnya ‘illat keharaman khamar ialah
memabukkan, jika ada kasus baru yang hanya menghilangkan ingatan
tidak bisa dijadikan sebagai furu’.
c. Penerapan ‘illat pada kasus baru tidak boleh mengakibatkan terjadinya
perubahan pada ketentuan nash, karena nash adalah yang menjadi acuan.
3. Kesamaan ‘illat, yaitu kesamaan sifat dan karakter di antara dua yang
disamakan (diqiyaskan), yaitu ashal dan fara’. Ashal yaitu khamar sama
sifat dan karakternya dengan furu’(narkotika, wisyki), yaitu keduanya
sama-sama memabukkan.
4. Ketentuan hukum (al-hukm), yaitu kasus ashal yang diperluas kepada kasus
baru.4

C. Dalil-dalil
Dalil Al-Qur’an
Dalil yang biasa dijadikan hujjah dalam penetapan qiyas (dan dalil
yang lain) adalah QS. An-Nisa : 59. dalam isi ayat ini kaum muslimin
diperintahkan taat kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah) dan Ulil
Amri. Kemudian jika terjadi perselisihan tentang suatu hukum yang tidak secara

4
Hasan Bakti Nasution, “Hubungan Ilmu Manthiq (Logika) dengan Ushul Fiqh (Telaah Konsep Al-
Qiyas)” 11, no. 1 (2020): hlm. 102-103.

2
langsung ada nashnya, maka diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan
Rasul. Artinya kembali kepada kaidah-kaidah Syari’ah, yang diantaranya
adalah Qiyas.
Dalam penutup ayat 2 surat al-Hasyr disebutkan: “Maka ambillah
(kejadian itu) sebagai pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Yang dimaksudkan adalah kiaskan dirimu dengan mereka yang kalau kamu
berbuat kerusakan seperti mereka kamu akan menerima balasan sebagaimana
yang mereka terima. Kata-kata fa’tabiru dalam ayat tersebut antara lain bisa
berupa qiyas.
Dalil As-Sunnah
Keijinan as-Sunnah untuk pemakaian ar ra’yu atau qiyas sebagai
metode menemukan hukum ini ditunjukkan oleh beberapa hadist dan praktek
Nabi. Ketika Rasul saw, mengutus Muad bin Jabal ke Yaman Beliau terlebih
dahulu bertanya: “Apa yang kau kerjakan sekiranya kau menghadapi perkara?”.
Muad menjawab, “Aku putuskan berdasarkan Kitab Allah”. “Jika tidak kau
temukan?”. Muad menjawab, “Aku putuskan dengan Sunnah Rasulullah saw”.
“Jika dalam sunah juga tidak kau temukan?”. Kata Nabi lagi. “Aku akan
berijtihad dengan pendapatku sendiri” Jawab Muad lagi. Kemudian Rasul
menepuk dada Muad seraya memuji Allah (Wahbah al-Zuhaily, Juz I:625).
Hadits ini menunjukkan ketetapan Nabi tentang kebolehan ijtihad dengan ra’yu.
Dalam riwayat lain, Nabi mengutus Muad dan Abu Musa sebagai qadli di
Yaman kemudian ditanya oleh Nabi, dengan apa memutuskan perkara. Mereka
berdua menjawab, jika tidak aku temukan sunnah, maka aku qiyaskan suatu
perkara dengan perkara yang lain mana yang lebih mendekati kebenaran. Maka
Rasul menjawab, “Kau benar” (Wahbah al-Zuhaily, Juz I:624). Ini
menunjukkan wajibnya beramal dengan qiyas.5

D. Implementasi Qiyas dalam Ekonomi Islam

5
Nur Khoirin YD, “Penalaran Ushul Fiqh Ibnu Hazm (Analisis Penolakan Illat dan Qiyas Sebagai Dalil
Hukum Islam),” Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 9, no. 1 (2018): hlm. 66-67.

3
Dinamika akad-akad dalam ekonomi islam khususnya dalam
keuangan kontemporer mengalami perkembangan dan inovasi. Oleh karenanya,
dibutuhkan kejelian dalam menelisik dan merumuskan epistimologinya. Dalam
konteks ini, para praktisi perbankan syariah berusha kreatif dalam menawarkan
produk-produk akad syariah. Salah satu dari sekian aplikasi konsep Qiyas dalam
dunia ekonomi islam antara lain.
1. Mengqiyaskan sewa-menyewa dengan jual beli. Menurut Sahroni, para
ulama menyamakan antara sewa-menyewa (ijarah) dengan jual beli.
Kesamaan antara keduanya adalah sama-sama jual. Yang berbeda adalah
objeknya, tetapi dari sisi akad adalah sama. Jual beli terletak pada objeknya
adalah barang sedangkan sewa menyewa objeknya adalah jasa/manfaat.
Dengan demikian, ketentuan yang mengatur jual beli juga berlaku pada
sewa menyewa.
2. Mengqiyaskan Ajir (orang yang menyewakan tenaganya) dengan al-wakil
bil urjah (orang yang diberikan wewenang dengan imbalan upah).
Keduanya sama-sama memperoleh upah sekalipun keduanya memiliki
karakteristik dasar yang berbeda dan keduanya sama-sama disebut akad
lazim. Dengan demikian, ketentuan bolehnya mengambil imbalan fee yang
berlaku pada ajir berlaku juga pada al-wakil bil urjah, yaitu bahwa orang
yang diberi wewenang boleh mengambil upah sebagai imbalan atas jasanya.
3. Mengqiyaskan khiyar naqd dengan khiyar syarth. Keduanya bisa
diqiyaskan karena memiliki ‘illat yang sama, yaitu syarat yang
membolehkan untuk membatalkan jual beli. Dalam buku-buku fiqih, yang
disebut dengan khiyar naqd adalah seorang penjual mensyaratkan kepada
pembeli untuk membayarnya dalam jangka waktu tertentu sesuai yang
disepakati. Kata penjual kepada pembeli, jika pembeli tidak bisa membayar
sesuai dengan yang disepakati, maka tidak terjadi jual beli. Sedangkan
khiyar syarth adalah seorang penjual memberikan persyaratan jangka waktu
pembayaran kepada pembeli jika bermaksud membelinya. Pada keduanya
ada kesamaan, yaitu sama-sama memberikan kesempatan untuk berfikir dan

4
memutuskan untuk membeli atau tidak. Oleh karena itu, ketentuan yang
berlaku pada khiyar naqd juga berlaku pada khiyar syarth.6

aplikasi konsep Qiyas dalam dunia perbankan syari’ah antara lain:

1. Qiyas Jaminan Fidusia Terhadap Bai’ al-Wafa


Mengutip pendapat Mohammada Mufid, bahwa bank syari’ah
dengan segala produk layanannya dalam menjalankan kegiatan usahanya
juga berpedoman pada ketentuan perbankan secara umum maupun
ketentuan lainnya seperti pengaturan tentang jaminan fidusia yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
Salah satu pembiayaan yang cukup berkembang pada perbankan syari’ah
adalah pembiayaan murabahah, karena pembebanannya dianggap
sederhana, mudah dan relatf cepat. Dengan demikian, bila dalam
pelaksanaan akad murabahah yang telah disepakati, debitur melakukan
wanprestasi maka kreditur penerima fidusia dapat melakukan eksekusi
sebagaimana diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia.30
Terkait hukumnya, transaksi murabahah di bank syari’ah dengan
menggunakan jaminan fidusia ini dapat diqiyaskan dalam hukum bai’ al-
wafa’. Bai’ al-wafa’ pada dasarnya adalah penjualan komoditas dengan
syarat bahwa penjual dibolehkan untuk mendapatkan komoditas kembali
saat membayar harganya. Oleh karena itu, dalam bai’ al-wafa’, penjual
dengan mengembalikan harga, dapat menuntut kembali komoditas yang
dijual, dan pembeli, dengan mengembalikan komoditas yang dijual, bisa
meminta harga yang harus diganti. Dari sini, dalam konteks operasional
metode qiyas, yang menjadi ashl adalah bai’ al-wafa’ dan furu’-nya adalah
sama-sama jaminan untuk mendapatkan kepercayaan mendapatkan
pinjaman Dengan begitu, hukum fidusia ini berdasarkan metode qiyas,
maka sama dengan hukum transaksi bai’ al-wafa’.
2. Qiyas Tawarruq Terhadap Bai’ al-Inah

6
Ahmad Masyhadi, hlm. 74-75.

5
Menurut Wahbah al-Zuhaili, bai’ al-Inah adalah pinjaman yang
direkayasa dengan praktik jual beli. Misalnya, Salwa menjual mobilnya
seharga Rp. 125.000.000.-, kepada Najwa secara tempo dengan jangka
waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba,
Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan harga Rp. 100.000.000.-
secara kontan. Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus
membayar Rp. 125.000.000.-, kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan
mendatang. Selisih Rp. 25.000.000.-, dengan adanya perbedaan waktu
merupakan tambahan ribawi yang diharamkan. Adapun hukum bai’ al-inah
identik dengan ba’i al-ajal.
Pada dasarnya, transaksi bai’ al-inah menggunakan rekayasa atau
Hilah akad-akad sah untuk melakukan riba, dengan tujuan mengeksploitasi
kelemahan orang lain. Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi
berpendapat bahwa perbuatan seperti yang dimaksud merupakan usaha
penipuan dan mempermainkan tujuan-tujuan atau spirit syari’at; dan tidak
diragukan lagi tentang keharamannya karena jalannya menuju keharaman,
dan perbuatan manusia diukur sesuai dengan niatnya.
Sementara transaksi tawarruq berarti seseorang membeli suatu
barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran
tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan
membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau dibayar secara
penuh sekaligus di masa depan. Tawarruq terjadi ketika barang itu telah
dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga, tetapi
bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli
semula. Wahbah al-Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarruq, yaitu
tujuannya bykan untuk memperoleh komoditas tetapi digunakan untuk
menutupi niat memperoleh likuiditas, tawarruq dan inah pada dasarnya
sama sebagai praktik riba.
3. Qiyas Bunga Bank Terhadap Praktik Riba
Memahami bunga bank dari aspek legal dan formal dan secara
induktif, berdasrkan pelarangan terhadap laranagan riba yang diambil dari

6
teks (nash), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam
pengharamannya. Paradigma ini, berpegang pada konsep bahwa setiap
utang-piutang yang disyaratkan adanya tambahan atau manfaat dari modal
adalah riba, meskipun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun
kecilnya, suku bunga bank tetap hukumnya haram. Karena berdasarkan teori
qiyas, dan dalam hal ini praktik riba sebagai ashl dan Bunga bank sebagai
far’u. Keduanya, disatukan dalam illat yang sama yaitu adanya tambahan
atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank hukumnya
haram sebagaimana diharamkannya riba.7

7
Zainil Ghulam, hlm. 280-230.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qiyas adalah cara menetapkan hukum atas suatu kasus atau peristiwa
yang belum disebut di dalam nash dengan cara menyamakannya dengan kasus
atau peristiwa yang penetapannya sudah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Adapun Rukun Qiyas menurut para ulama fiqh menetapkan ada empat macam:
(1) Ashl, secara bahasa merupakan lafaz musytarok yang bisa diartikan asas,
dasar, sumber, dan pangkal. (2) Far’u, disebut juga musyabbah atau yang
diserupakan, maqis atau diqiyaskan. Secara etimologis, far’u berarti cabang.
Sedangkan dalam kontek qiyas, far’u diartikan sebagai kasus yang ingin
diserupakan kepada ashl karena tidak ada nash yang secara jelas menyebutkan
hukumnya. (3) Hukmu al-ashl (hukum asal), yang dimaksud hukmu al-ashl
adalah hukum atas suatu peristiwa yag sudah ditetapkan didalam nash dan
dikehendaki untuk menentapka hukum itu kepada cabangnya. (4) Al-illah, yang
dimaksud al-illah dalam konteks qiyas adalah suatu sifat yang empirik atau
nyata kebenarannya yang terdapat pada peristiwa asal.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ghulam, Zainil. “Aplikasi Qiyas Dalam Ekonomi Islam,” t.t.


Masyhadi, Ahmad. “Implementasi Qiyas Dalam Ekonomi Islam” 3 (2020).
Nasution, Hasan Bakti. “Hubungan Ilmu Manthiq (Logika) dengan Ushul Fiqh
(Telaah Konsep Al-Qiyas)” 11, no. 1 (2020).
Naya, Farid. “Membincang Qiyas sebagai metode penetapan hukum Islam.” Jurnal
Syariah dan ekonomi Islam 11 (2017): 175–77.
YD, Nur Khoirin. “Penalaran Ushul Fiqh Ibnu Hazm (Analisis Penolakan Illat dan
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Islam).” Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam 9, no. 1 (2018): 57–82.

Anda mungkin juga menyukai