DISUSUN OLEH:
1. Isvania Wiandari (14)
2. Jozea Bhayangkara (16)
3. Ristiyana Miftahul Jannah (21)
4. Rizal Dwi Ramadani (22)
5. Salma Fitria Nur Aziza (23)
6. Salma Nurokhimah (24)
KELAS: XII IIK
MAN 1 BANTUL
TAHUN PELAJARAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Qiyas
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat Qiyas
3. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
افلم يس ''يروا فى االرض فينظ ''روا لي ''ف ك ''ان عاقب ''ة ال ''ذين من قبلهم دم ''ر اهلل
عليهم وللكافرين امثالهم
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di
muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan
atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat
seperti itu.
Berikut pengertian Qiyas menurut para ahli:
1. Al-Ghazali dalam al-Mustahfa “Menanggungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”.
2. Qadhi Abu Bakar“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya
atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang
sama antara keduanya”.
3. Ibnu Subki“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya
menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4. Abu Zahrah “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash
tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya
karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5. Ibnu Qudamah “Menanggungkan (menghubungkan) furu’
kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang
menyatukan) antara keduanya.”
6. Ibnu al-Hummam“Samanya suatu wadah (tempat
berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya.
Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi
kebiasaan.”
7. Abu Hasan al-Bashri“Menghasilkan (menetapkan) hukum
ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum
menurut para mujtahid”.
8. Al-Human“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus
dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang
tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
1. Al-ashlu (pokok)
Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang
hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi
ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-
ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat
menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Imam Al-Amidi dalam al-
Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang,
yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja
sebagai qiyâs dari minuman keras adalah keharamannya, karena suatu
bentuk dasar tidak dapat terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan
demiklian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan
tertentu dikiaskan kepadanya.
2. Al-far’u (cabang)
Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara’ yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul
(yang dibandingkan).
3. Al-‘illah ( sifat )
Illat adalah kesamaan antara asal dan jauh’ (cabang)., yaitu suatu sifat
yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat-sifat itu, suatu ashl memiliki
suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan
dengan hukum ashl.
ق' ''ال ل' ''ه لي' ''ف تقض' ''ى اذا.م لم' ''ا اراد ان يبعث' ''ه الى اليمن.ان رس' ''ول اهلل ص
م. اقضى بكتاب اهلل ف'إن لم أج'د فبس'نة رس'ول اهلل ص: قال,عرض له قضاء
الحم ''د هلل ال ''ذى وف ''ق رس ''ول اهلل لم ''ا يرض ''ى رس ''ول اهلل: على ص ''دره ق ''ال
م.ص
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz
menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi
putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan
Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka
saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw
menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh
Rasulullah Saw”.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima
pendapat mengenai hal ini.
1. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib
mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql
menunjukkan kehujjahan qiyas.
3. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
a. Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima'
b. Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul
orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.
4. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski
secara akal bisa.
5. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa
kehujjahan qiyasmustahil secara akal.
Syarat-syarat illat yang telah disepakati para ulama ushul itu ada empat
macam:
Illat itu berupa sifat yang jelas
Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah
hukum
Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya
dengan hukum psrkara lain yang sudah ditetapkan oleh nash. Karena adanya
persamaan dengan illat (alasan) hukum, yang tidak bisa diketahui dengan
semata-mata memahami lafad-lafadznya dan mengetahui dilalah dilalah
bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai prosese berfikir
dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga
sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum oleh
suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan dan kebenarannya.