Anda di halaman 1dari 11

TUGAS USHUL FIQIH

MAKALAH QIYAS SEBAGAI SUMBER


HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH:
1. Isvania Wiandari (14)
2. Jozea Bhayangkara (16)
3. Ristiyana Miftahul Jannah (21)
4. Rizal Dwi Ramadani (22)
5. Salma Fitria Nur Aziza (23)
6. Salma Nurokhimah (24)
KELAS: XII IIK

MAN 1 BANTUL
TAHUN PELAJARAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan
rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan
menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara
tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah). Dengan demikian,
sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari
sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder
(al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana).
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan
dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist
merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga
dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para
mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara.
Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh
penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-
hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum
syara`.
           Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran
maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan
baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan
zaman. Oleh karena itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit
tentang qiyas.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa defenisi Qiyas?
2. Bagaimana Kehujjahan Qiyas?
3. Apa saja unsur dan Rukun Qiyas?

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Qiyas
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat Qiyas
3. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Defenisi Qiyas


Qiyas secara bahasa adalah
‫تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما‬
Menurut bahasa, qiyas berarti mengukur, atau menyamakan sesuatu
dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan :
“manyamakan atau mengukur sesuatu kejadian yang tidak ada nash Al-
Qur’an dan Hadist) tentang hukumnya dengan kejadian yang disebutkan
dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu didalam illat
hokum tersebut.” Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa hal :
1. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yng tidak ada
hukumnya atau belum jelas hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupu As-
Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut “far'un”.
2. Suatu peristiwa dapat disebut far’un apabila : adanya kemudian, tidak
ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya. Kejadian
yang telah ada ketentuan hukumnya baik didalam A-Qur’an maupun As-
Sunnah disebut ashal atau disebut disebut juga “maqiis ‘alaih” yaitu
sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau “masyabbah bih” yaitu
yang akan diserupakan dengannya.

Qiyas secara istilah adalah


‫رد الفرع الى االصل بعلة تجمعها فى الحكم‬
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid
telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran
dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-
quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat)
yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti,
maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan ‘illat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah
secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila
pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi
hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. Al-Qur’an
menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat
dan perbuatan yaitu firman Allah :

‫افلم يس ''يروا فى االرض فينظ ''روا لي ''ف ك ''ان عاقب ''ة ال ''ذين من قبلهم دم ''ر اهلل‬
‫عليهم وللكافرين امثالهم‬
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di
muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan
atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat
seperti itu.
Berikut pengertian Qiyas menurut para ahli:
1. Al-Ghazali dalam al-Mustahfa “Menanggungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”.
2. Qadhi Abu Bakar“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya
atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang
sama antara keduanya”.
3. Ibnu Subki“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya
menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4. Abu Zahrah “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash
tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya
karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.     Ibnu Qudamah “Menanggungkan (menghubungkan) furu’
kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang
menyatukan) antara keduanya.”
6.     Ibnu al-Hummam“Samanya suatu wadah (tempat
berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya.
Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi
kebiasaan.”
7.    Abu Hasan al-Bashri“Menghasilkan (menetapkan) hukum
ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum
menurut para mujtahid”.
8.    Al-Human“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus
dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang
tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”

2.2. RUKUN-RUKUN QIYAS

1. Al-ashlu (pokok)
Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang
hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi
ukuran atau tempat yang menyerupakan. Para fuqaha mendefinisikan al-
ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat
menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Imam Al-Amidi dalam al-
Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang,
yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja
sebagai qiyâs dari minuman keras adalah keharamannya, karena suatu
bentuk dasar tidak dapat terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan
demiklian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan
tertentu dikiaskan kepadanya.
2. Al-far’u (cabang)
Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara’ yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul
(yang dibandingkan).
3. Al-‘illah ( sifat )
Illat adalah kesamaan antara asal dan jauh’ (cabang)., yaitu suatu sifat
yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat-sifat itu, suatu ashl memiliki
suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang disamakan
dengan hukum ashl.

2.3. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN QIYAS


Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan
paling kuat karena argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis
disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-
qur’annya adalah sebagai berikut:
‫ياايها الذين امن''وا اطيع''وا اهلل واطيع''وا الرس''ول واول االم''ر منكم ف''إن تن''ازعتم‬
‫فى سيء فردواه الى اهلل والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم االخر‬.
(59 : ‫)النساء‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah)
jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat
ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan
adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya
yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan
mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman
karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman
sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah
sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut
kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan
dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist
Rasulullah SAW:

‫ ق' ''ال ل' ''ه لي' ''ف تقض' ''ى اذا‬.‫م لم' ''ا اراد ان يبعث' ''ه الى اليمن‬.‫ان رس' ''ول اهلل ص‬
‫م‬.‫ اقضى بكتاب اهلل ف'إن لم أج'د فبس'نة رس'ول اهلل ص‬: ‫ قال‬,‫عرض له قضاء‬
‫ الحم ''د هلل ال ''ذى وف ''ق رس ''ول اهلل لم ''ا يرض ''ى رس ''ول اهلل‬: ‫على ص ''دره ق ''ال‬
‫م‬.‫ص‬
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz
menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi
putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan
Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka
saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw
menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh
Rasulullah Saw”.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima
pendapat mengenai hal ini.
1. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib
mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql
menunjukkan kehujjahan qiyas.
3. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
a. Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima'
b. Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul
orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.
4. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski
secara akal bisa.
5. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa
kehujjahan qiyasmustahil secara akal.

2.4. MACAM-MACAM QIYAS


A. Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat hukum yang diberikan pada ashl
lebih kuat diberikan pada furu'”
seperti yang terdapat pada QS. Al isro’ ayat 23:

‫سانًا ۚ ِإ َّما َي ْبلُغَ َّن ِع ْن َد َك‬ ‫ِإ ِإ ِ ِ ِإ‬


َ ‫ك َأاَّل َت ْعبُ ُدوا اَّل يَّاهُ َوبال َْوال َديْ ِن ْح‬
َ ُّ‫ض ٰى َرب‬
َ َ‫َوق‬
ٍّ ‫َأح ُد ُه َما َْأو كِاَل ُه َما فَاَل َت ُق ْل لَ ُه َما‬
‫ُأف َواَل َت ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما‬ ِ
َ ‫الْكَب َر‬
ً ‫" َق ْواًل َك ِر‬
‫يما‬
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia."
yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati orang tua.
B. Qiyas al-Musawi: ” Suatu qiyas yang illatnya yang mewajibkan hukum,
atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya bersamaan
dalam keputusan menerima hukum tersebut”.
Contoh: menjual harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta
anak yatim.
C. Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima
hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima
hukum itu”.
Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba
fadhl.

Ditinjau dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum:


A. Qiyas al-Jaliy: Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum ashal atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi
dipastikan tidak menimbulkan pengaruh terhadap perbedaan antara
nash dengan furu’. Sebagai contohnya mengqiyaskan budak
perempuan dengan budak laki-laki.
B. Qiyas al–Khafiy: Qiyas yang illatnya tidak dijumpai di dalam nash.
Contohnya pembunuhan menggunakan barang yang berat
diqiyaskan dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.

Dilihat dari segi persamaan cabang kepada pokoknya:


A. Qiyas Ma’na: merupakan Qiyas yang cabangnya hanya
disandarkan pada 1 pokok saja. Hal ini disebabkan oleh makna dan
tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum
pokoknya, sehingga korelasi antara keduanya sangat jelas dan
tegas. Sebagai contohnya memukul orang tua diqiyaskan pada
perkataan ah kepada orangtua.
B. Qiyas Sibhi: merupakan Qiyas yang fara’nya dapat diqiyaskan
kepada dua ashal atau lebih, namun yang diambil adalah ashal
yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum
merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang
merdeka, karena kedua merupakan manusia. Namun dapat pula
diqiyaskan kepada harta benda, karena budak juga merupakan hak
milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda
dikarenakan persamaannya lebih banyak dibanding dengan
pengkiyasan kepada orang merdeka. Di mana harta budak dapat
diwariskan, diperjual-belikan, diberikan kepada orang lain,
diwakafkan dan sebagainya.

Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum;


 Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi Pertama,
qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan
dengan nash yang syarih atau ijma. Kedua,qiyas yang ain sifat
(sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu
berpengaruh terhadap ain hukum.
 Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam
hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk
munasib mulaim.

Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan


dalam ashal dan dalam furu.
o Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan
melalui metode munasabah dan ikhalah.
o Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya
ditetapkan melalui metode syabah.
o Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya
ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
o Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya
ditetapkan melalui thard.

2.5. SYARAT-SYARAT QIYAS


Syarat yang harus dipenuhi oleh rukun Qiyas ialah:
A. Ashal (pokok):
 Adanya ashal harus lebih dahulu dari cabang (far’un);
 Ashal sudah mempunyai hokum yang ditetapkan dengan
nash.
B. Far’un (Cabang):
 Adanya cabang tidak boleh dahulu dari dapa ashal. Seperti
wudlu tidak sah diqiyaskan dengan tayamum karena
perintah qudlu lebih dahulu dari tayamum;
 Cabang tidak mempunyai ketentuan hukum sendiri. Bila
nash datang untuk cabang, maka diqiyaskan menjadi batal;
 Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat
yang terdapat pada ashal;
 Hukum yang ditetapkan atas cabang harus sama dengan
hukum ashal.
C. ’Illat (Titik persamaan/alasan):
 Illat harus tetap berlaku. Manakala ada illat tentu ada hukum,
dan tidak ada hukum bila illat tidak ada;
 Illat harus berpengaruh terhadap hukum. Artinya hukum harus
terwujud ketika terdapat illat. Misalnya
 Illat memabukkan menjadikan haramnya minuman keras;
 Illat harus terang dan tertentu. Misalnya bepergian menjadi illat
bolehnya meng-qoshor shalat;
 Illat tidak berlawanan dengan nash. Bila terjadi illat
menghasilkan hukum yang berlawanan dengan nash, maka nash
yang didahulukan.

Syarat-syarat illat yang telah disepakati para ulama ushul itu ada empat
macam:
 Illat itu berupa sifat yang jelas
 Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
 Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah
hukum
 Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.

2.6. TEMPAT BERLAKUNYA QIYAS

Sebagian ulama diantara Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas


berlaku pada semua hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud,
kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan hukum-hukum
rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya
sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak
membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum
lainnya. Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak
berlaku pada masalah hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab
ia termasuk batas yang telah ditetapkan Allah yang tidak bisa diketahui
illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina. Disamping itu
ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak
jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia menunjukan
pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i.

Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali


dengan dalil yang qat’i. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk
pidananya, yang disebut dengan “Ta’zir” maka qiyas dalam soal ini dapat
berlaku. Demikian menurut kesepakatan para ulama Fiqh. Qiyas juga
tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat,
Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah, sebab ia
merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak
berlaku pada pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah
dengan cara mengqiyaskan pada ibadah yang sudah ada ketetapannya.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya
dengan hukum psrkara lain yang sudah ditetapkan oleh nash. Karena adanya
persamaan dengan illat (alasan) hukum, yang tidak bisa diketahui dengan
semata-mata memahami lafad-lafadznya dan mengetahui dilalah dilalah
bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai prosese berfikir
dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga
sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum oleh
suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan dan kebenarannya.

Anda mungkin juga menyukai