Anda di halaman 1dari 13

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by e-Journal Institut Agama Islam Negeri Ambon

MEMBINCANG QIYAS SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM

Farid Naya
Jurusan Hukum Keluarga Fak. Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon
Email: farid_naya@gmail.com

ABSTRACT
Qiyas is among the methods for implementing Islamic law. In principle qiyas equate something
with something else, meaning equate a pre-existing legal provisions to something that is already
in its legal set to something already established legal, because there illat similarities between
the two. Qiyas has an important role in this regard Islamic law as the first, Islamic law has been
described and set laws in the Qur'an and Hadith are very limited in number and his explanations.
Secondly, a new issue arises that there is no legal firmness in the Qur'an and the hadith the
prophet is very diverse and complex and constantly in need of certainty. Thus, through the
method of qiyas this is all legal issues have not firmness and legal certainty can be resolved
properly and correctly.
Keywords: qiyas, islamic law

ABSTRAK
Qiyas adalah salah satu metode untuk menerapkan hukum Islam. Prinsip dalam qiyas adalah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Maknanya, menyamakan ketentuan hukum
antara sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya, dengan sesuatu yang lain yang belum diatur
hukumnya, karena ada kesamaan illat antara keduanya. Qiyas memiliki peran penting dalam
hukum Islam. Hal ini disebabkan oleh: yang pertama, hukum Islam telah dijelaskan dan hukum
ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis sangat terbatas jumlahnya dan penjelasannya. Kedua,
muncul masalah baru sangat beragam dan kompleks serta selalu membutuhkan kepastian
karena belum ada ketegasan hukum dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi. Dengan demikian, melalui
metode qiyas ini semua masalah hukum yang belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum
dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Kata kunci: qiyas, hukum Islam

PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami
syari’at Islam dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Sunnah. Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at Islam, cara memahami suatu dalil dan
penerapannya dalam kehidupan manusia.
Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasullullah, para ulama ushul fiqh
mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui
pendekatan maqashid al-Syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum). Pendekatan
pertama atau pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasan adalah untuk mengetahui dalil-dalil

170
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

yang ‘am, khas, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar,
mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy, dan sebagainya. Selain itu, melalui
kaidah-kaidah kebahasaan ini dapat pula diketahui cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan secara zhahir, sehingga seluruh dalil yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dapat dipahami serta diamalkan. Dengan demikian, pendekatan yang pertama ini, terkait
langsung dengan nash.1
Sedangkan penekanan pendekatan kedua, maqashid al-syari’ah terletak pada upaya
menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan
maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Teori yang dapat digunakan untuk
menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus, terutama kasus-kasus yang tidak
ada nash (ayat dan atau hadis)nya secara khusus dapat diketahui melalui metode ijma’, qiyas,
istihsan, istislah, istishab, zari’ah, urf, dan lain sebagainya.
Seiring dengan berkembangnya dunia yang semakin maju dan disertai dengan era
globalisasi yang kian meningkat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik dalam bidang kedokteran,
hukum, ekonomi, sosial dan lain sebagainya, diakui atau tidak telah membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan hukum dan sekaligus menimbulkan berbagai persoalan
hukum. Masyarakat Islam, sebagai suatu bagian yang tak dapat melepaskan diri dari persoalan-
persoalan baru yang berkembang dalam masyarakat, terutama menyangkut kedudukan
2
hukumnya.
Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas dinyatakan dalam
al-Qur’an maupun hadis dengan sendirinya tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan
umat Islam. Akan tetapi, persoalan-persoalan baru yang belum jelas kedudukan hukumnya
dalam kedua sumber hukum tersebut dan para ulama salaf pun, misalnya, berbeda pendapat
atau pun mereka sendiri belum menetapkan hukumnya terhadap persoalan tersebut, maka
kondisi ini tentunya menuntut para ulama, pada masa kini untuk memberikan solusi dan
jawaban yang cepat dan tepat terhadap berbagai persoalan baru tersebut.
Selain itu pula, nash al-Qur’an dan as-Sunnah jumlahnya terbatas, sementara peristiwa
dan perkembangan manusia berikut kebutuhan hidupnya yang cukup kompleks terus terjadi
(�
� ‫ث�نا� ولکن الوقائع � ت�نا‬
� ‫)ان النصو ص‬, sehingga penggunaan metode-metode ijma, qiyas,
istihsan dan lain sebagainya menjadi sangat penting dalam menyingkap dan menjelaskan
kepastian hukum dari berbagai kasus yang tidak ada nashnya secara khusus.

1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Cet. 2; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. xi.
2
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I.,(Semarang: Dina Utama Semarang, 1996), h. 3.

171
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji metode-metode penggalian


hukum tersebut, dan agar pembahasan dalam makalah ini tidak melebar dan meluas, maka
pembahasan ini hanya lebih difokuskan pada qiyas dan hal-hal yang terkait dengannya. Jelasnya
permasalahan berkaitan dengan (1) Apa sebenarnya yang dimaksud dengan al-Qiyas? (2) Apa
yang menjadi dasar kehujjahannya al-Qiyas?, dan (3) Bagaimana rukun-rukun dari al-Qiyas dan
bagaimana corak macamnya?

PENGERTIAN AL-QIYAS
Secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari
kata ‫قیاس‬-‫یق�س‬ -‫قاسا‬, yang berarti mengukur, membandingkan, menganalogikan,menyamakan.3
Atau dengan kata lain, ‫��ء اخر‬ � � �‫تقد‬
� ‫ال�ء‬ � � yang artinya adalah “mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain.” Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan ��� �� ‫ قست الثو ب‬berarti saya
4

mengukur baju dengan meter.


Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang diberikan para ulama atau
para ahli ushul dalam berbagai redaksi yan berbeda, namun pada dasarnya memiliki substansi
makna yang sama, yaitu sebagai berikut:

1. Sadr al-Syari’ah, seorang tokoh ushul fiqh Hanafiyah mendefinisikan qiyas dengan:
ْ
� ‫ا�صل ا� الفرع‬
‫لع� متحدة �تدرك ��ردا�لغة‬ ‫تعدیة ا�� من‬
‘Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak
dapat dicapai dengan pendekatan bahasa.’5
2. Al-Ghazali memberikan definisi qiyas adalah:
‫ب��ما من ح� او صفة‬ � ‫غ� معلوم ع� معلوم �� اثبات ا�� �ما او نفیه‬
� ‫ع�ما ��مرجامع‬ � ‫�ل‬

'Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang sudah diketahui dalam
rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hokum maupun sifat.’6
3. Menurut Al-Amidi, qiyas adalah:
ْ ْ
� �� ‫وا�صل‬ � � ‫عبارة عن ا�ستواء‬
‫الع� ا�س�نبطة من ح� ا�صل‬ � ‫ب� الفرع‬
‘Suatu ‘Ibarat dari mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada
asal yang diistinbatkan dari hukum asal.’7

3
Nasrun Haroen, op.cit., h. 62.
4
Zakky al-Din Sya’ban, Ushul al- Fiqh al-Islami,(Mesir: Dar al-Ta’lif, 1964), h. 107.
5
Nasrun Haroen, op. cit., h. 62.
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158.
7
Ibid.,h. 160.

172
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

4. Abu Zahrah memberikan definisi qiyas adalah:


� ‫غ� منصوص ع� ح�ه � ْ�مر اخر منصوص ع� ح�ه‬
� �� ‫�ش�ا�ا‬ ْ
��‫ع� ا‬ � � ‫ا�اق امر‬
‘Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara
lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.’8
5. Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas adalah:
� ‫ال� � � ْ�مر منصوص ع� ح�ه‬
� �� ‫�ش�ا�ا‬ � ‫غ� منصوص ع� ح�ه‬ ْ
��‫ع� ا‬ � � � ‫مر‬‫ا‬ ‫ا�اق‬
‘Menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada
ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara kedua.’9
6. Abdul Wahab Khallaf berpendapat, qiyas adalah:
�� �
�‫الواقعت‬ ‫ا�اق واقعة � نص ع� ح�ها بواقعة ورد نص ���ها �� ا�� الذي ورد به النص ل�ساوي‬
��‫ع� هذاا‬� ��

‘Menghubungkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Karena adanya kesamaan dalam ‘illat
hukumnya.’10
7. Menurut Zakiyuddin Sya’ban, Qiyas adalah:
� ‫و��اع � ْ�مر ورد ح�ه �� احد�ا‬
� �� ‫�ش�ا �ما‬ ْ ْ
��‫ع� ا‬ � � � ‫ا�اق امر � ��د ح�ه � �� الکتاب او السنة ا‬
‘Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an,
atau as-Sunnah, atau ijma’ dengan perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam
salah satu (sumber hukum Islam) tersebut karena ada persamaan illat hukum diantara
keduanya.’11
Berdasarkan uraian tentang beberapa definisi qiyas menurut para ulama ushul fiqh klasik
maupun kontemporer di atas, dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah
suatu upaya seorang mujtahid dalam menghubungkan sebuah peristiwa yang tidak ada nash
tentang hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada nash hukumnya, karena terdapat
persamaan illat hukum diantara keduanya.
Mengacu pada definisi dari qiyas tersebut pula maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya hakikat qiyas itu terletak pada tiga aspek,yaitu:
a. Ada dua kasus/peristiwa yang mempunyai illat yang sama.
b. Satu diantara dua kasus tersebut sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash,
sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.

8
Ibid.
9
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2005), h. 130.
10
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 162.
11
Zakki al-Din Sya’ban, op.cit., h. 107

173
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

c. Berdasarkan penelitian terhadap illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum
pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang
hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.12
Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas bahwa proses penetapan hukum melalui
metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (iśbat al-hukm wa insyauh), melainkan
hanya menyingkap, dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-idzhar li al-hukm) yang ada pada
suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui
pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila
illat-nya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus
yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut. Misalnya, seorang
mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wiski. Dari hasil pembahasan dan
penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti
zat yang ada pada khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat al-Ma’idah (5):
90-91

          

    

          

          
‘Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).’13
Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu
sama hukumnya dengan hukum khamar. Karena illat keduanya sama, yakni memabukkan.
Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya dalam
al-Qur’an atau hadis, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para
ulama ushul, bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum

12
Amir Syarifuddin, op.cit., h. 163-164.
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 163.

174
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

sejak semula, tetapi lebih pada menyingkap, dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang
dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nash, disebabkan adanya
kesamaan illat antara keduanya.14 Hal itu berarti, bahwa tanpa metode qiyas, banyak kasus yang
tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an dan hadis tak dapat disingkap.

DASAR KEABSAHAN QIYAS SEBAGAI LANDASAN HUKUM


Keabsahan qiyas sebagai landasan hukum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil hukum Islam yang bersifat praktis.
Sedangkan menurut mazhab Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian Syi’ah berpendapat
sebaliknya, yakni qiyas tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.15
Adapun argumentasi dari kelompok jumhur di atas adalah sebagai berikut:

1. Surat an-Nisa’ (4): 59

             

              

 
‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.’16
Ayat ini menujukkan, bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang
hukum suatu masalah, maka solusinya adalah dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan
Sunnah Rasulullah saw. Cara mengembalikannya antara lain dengan qiyas.

2. Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah saw., dengan sahabat Muadz bin Jabal ketika
Muadz itu dikirim menjadi hakim di Yaman. Dalam dialog itu, Muadz ditanya oleh
Rasulullah saw, bahwa dengan apa engkau akan memutuskan perkara yang dihadapkan
kepadamu? Kemudian Muadz menjawabanya dengan mengatakan bahwa ia akan
memutuskan hukum dengan berdasarkan kitab Allah (al-Quran) dan jika tidak didapatkan

14
Nasrun Harun, op.cit., h. 64.
15
Zakki al-Din Sya’ban, op.cit., h. 111.
16
Departemen Agama RI, op.cit., h. 114.

175
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

dalam kitab Allah, ia putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw. Dan


seterusnyadengan hasil ijtihadnya sendiri jika hukum suatu masalah tidak ditemukan
dalam dua sumber hokum tersebut. Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw.,
mengatakan: Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufiq atas diri utusan
Rasulullah.(HR. Tirmidzi).17
Hadis di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah
terhadap qiyas, karena praktik qiyas adalah satu macam dari ijtihad yang mendapatkan
pengakuan dari Rasulullah saw dalam dialog tersebut.

3. Alasan lain yang dikemukakan oleh jumhur adalah ijma’para sahabat. Dalam praktiknya,
para sahabat menggunakan qiyas, seperti apa yang dilakukan sahabat Abu Bakar terkait
dengan persoalan kalalah yang menurutnya, adalah orang yang tidak mempunyai ayah
dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu bakar berdasarkan pendapat akalnya,
dan qiyas termasuk kedalam pendapat akal. Bahkan dalam kisah yang amat popular juga
adalah bahwa Umar bin al-Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, ketika ia
ditunjuk sebagai menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratanya yang panjang itu, Umar
menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumya
dalam nash, agar Abu Musa menggunakan qiyas.
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap
sikap Umar ibn al-Khattab di atas, tidak satu orang sahabat pun yang membantahnya.

4. Secara Logika, menurut jumhur Ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung
kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyariatkan. Apabila
seorang mujtahid menjumpai kemaslahatan yang menjadi illat dalam suatu hukum yang
ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya,
maka ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash
tersebut. Dasarnya adalah kesamaan illat antara keduanya.
Sedangkan argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok penolak qiyas18 adalah sebagai
berikut:

1. Firman Allah SWT.dalam surat al-Hujurat (49): 1:

                 

17
Satria Effendi, M. Zein, op.cit., h. 132.
18
Nasrun Haroen, op.cit., h. 66-67.

176
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.’19
Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak
ada dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga menurut mereka,
mempedomani qiyas, merupakan sikap beramal dengan sesuatu yang di luar al-Quran dan
Sunnah Rasulullah, dan karenanya dilarang.

2. Sedangkan dasar dari Hadis yang digunakan menurut mereka adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Daraquthni yang artinya: ‘Sesungguhnya Allah SWT menentukan
berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan beberapa batasan, jangan
kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu melanggar larangan itu. Dia
juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka
janganlah kamu bahas hal itu.’ (H.R. al-Daraquthni).
Hadis ini menurut mereka, menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, adakalanya
haram, dan adakalanya didiamkan saja, yang hukumnya berkisar antara dimaafkan dan
mubah (boleh). Apabila diqiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’kepada wajib, misalnya,
maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan dan
dibolehkan.

3. Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun
sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat tersebut. Hal ini, menurut
mereka, menunjukan bahwa para sahabat secara diam-diam sepakat (ijama’ sukuti) untuk
mencela qiyas. Umar ibn al-Khattab sendiri pernah berkata:”Hindarilah orang-orang yang
mengemukakan pendapatnya tanpa alas an, Karena mereka itu termasuk musuh Sunnah
dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim
ibn Muhammad, yang menurut para ahli hadis, periwayatannya munqathi’(terputus para
penuturnya).

RUKUN QIYAS
Qiyas baru dianggap sah, bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama ushul fiqh
sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat, yaitu:

1. Ashal ( ‫ا�صل‬/ dasar; pokok)


Adapun yang dimaksud dengan ashal adalah sesuatu yang telah ditentukan ketentuan
hukumnya berdasarkan nash, baik nash tersebut berupa al-Quran maupun Sunnah. Dalam istilah

19
Departemen Agama R, op.cit., h. 743.

177
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

lain, ashal ini disbut juga dengan maqis alaih (yang diqiyaskan atasnya) atau juga musyabbah
bih (yang diserupakan dengannya).20 Mengenai rukun yang pertama ini, para ulama menetapkan
pula beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Al-Ashl tidak mansukh. Artinya, hukum syara’ yang akan menjadi sumber pengqiyasan
itu masih tetap berlaku pada masa hidup Rasulullah SAW.apabila telah dihapuskan
ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashal.
b. Hukum Syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan
ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hokum syara’, bukan hukum yang lain,
seperti hokum akal atau hokum yang berhubungan dengan bahasa.
c. Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka
tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya, ketetapan sunnah bahwa puasa karena
lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashal qiyas untuk menetapkan tidak
batalnya puasa orang yang berbuka puasa karena terpaksa.21
2. Al-Far’u (Cabang)
Adapun yang dimaksud dengan al-far’u adalah masalah yang hendak diqiyaskan yang
tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Rukun ini, disebut juga dengan maqis,
atau mahal al-syabah.22 Terhadap rukun ini, para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai
berikut:
a. Sebelum diqiyaskan, tidak pernah ada nash lain yang menentukan hukumnya.jika lebih
dahulu telah ada nash yang menentukan hukumnya, tentu tidak perlu dan tidak boleh
dilakukan qiyas terhadapnya.
b. Adanya kesamaan antara illat yang terdapat dalam al-Ashal dan yang terdapat dalam
al-Far’u.
c. Tidak terdapat dalil qath’I yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
d. Hukum yang terdapat dalam al-ashal bersifat sama dengan hukum yang terdapat
dalam al-far’u.
3. Hukum Ashal
Adapun yang dimaksud dengan hukum ashal adalah hukum syara’yang terdapat pada
ashal yang hendak ditetapkan pada far’u dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar

20
A. Djazuli & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 137.
21
Ibid.
22
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 88.

178
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

yng ditegaskan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Terhadap rukun yang ketiga ini, para ulama
memberikan syarat-syaratnya, yaitu:
a. Hukum ashal hendaklah hukum yang berupa hokum syara’yang berhubungan dengan
amal perbuatan, karena yang menjadi kajianushul fiqh adalah hokum yang
menyangkut amal perbuatan.
b. Hukum ashal dapat ditelusuri illat (motivasi) hukumya. Misalnya hokum haramnya
khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena
memabukkandan bisa juga merusak akal pikiran, bukan hokum-hukum yang tidak bisa
diketahui illat hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na.), seperti masalah rakaat dalam
sholat.
c. Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW. Misalnya
kebolehan beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.23
4. Illat
Secara bahasa illat, adalah sesuatu yang bisa mengubah keadaan. Sedangkan menurut
istilah dan yang dikehendaki dalam pembahasan ini adalah suatu sifat yang menjadi motiv
dalam menentukan hukum dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa.24
Adapun persyaratan dari illat ini adalah sebgai berikut:
a. Illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan suatu
hukum
b. Illat itu harus bersifat jelas dan nyata (dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan
sifat serta keadaan yang lain).
c. Illat itu harus mundhabitah atau sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasannya.
d. Illat itu harus mutaaddiyah. Makasudnya suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada
peristiwa yang ada nashnya, tapi juga harus ada pada peristiwa-peristiwa lain yang
hendak ditetapkan hukumnya.25

MACAM-MACAM QIYAS
Menurut Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara illat yang terdapat pada ashal
(pokok/tempat mengqiyaskan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:

23
Satria Effendi, M. Zein, op.cit., h. 134-136.
24
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 174.
25
Abd. Rahman Dahlan, op.cit., h. 164-165.

179
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

1. Qiyas Awla, yaitu qiyas yang illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama dari pada
illat yang ada pada ashal. Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang
tua kepada hukum mengatakan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’: 23

    


‘... Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".26

2. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang dimana illat antara yang ada di cabang sama bobotnya
dengan illat yang ada pada ashal. Misalnya, illat hukum membakar harta anak yatim,
yang dalam hal ini sebagai illat cabang sama bobotnya dengan illat yang haramnya
tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam surat an-Nisa’: 10.

           

  


‘Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).’27
3. Qiyas al-Adna, yaitu qiyas dimana illatnya yang terdapat pada cabang lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat dalam ashal. Misalnya sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat
memabukkan yang ada pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam surat al-
Ma’idah (5): 90.

          

    


‘Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.’28
Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat
diberlakukan qiyas. Selain itu, jika qiyas ditinjau dari segi jelas atau tidak jelasnya illat sebagai
landasan hukum, maka menurut wahbah, terbagi menjadi dua, yaitu:

26
Departemen Agama R.I., Op. Cit., h. 387.
27
Ibid., h. 101.
28
Ibid., h. 163.

180
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

1. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber tersebut, tetapi
berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada illatnya. Misalnya mengqiyaskan
memukul orang tua kepada larangan mengatakan “ah” .
2. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan di dalam nash secara nyata,
sehingga untuk menemukan illat hukumnya memerlukan ijtihad. Contohnya,
mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan
dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan illat yaitu adanya kesengajaan dan
permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada
pembunuhan dengan benda tajam.29

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:

1. Qiyas, secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari
kata ‫قياس‬-‫ يقيس‬-‫ﻗﺎﺳﺎ‬, yang berarti mengukur, membandingkan, menganalogikan,menyamakan.
Atau dengan kata lain, ‫ تقدير الشيء ﺑﺸﻲء اخر‬yang artinya adalah “mengukur sesuatu dengan
sesuatu yang lain”. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan ‫ ﻗﺴﺖ الثو ب ﺑﺎﻟﻤﺘﺮ‬berarti saya
mengukur baju dengan meter. Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang
diberikan para ulama atau para ahli ushul dalam berbagai redaksi yan berbeda, namun pada
dasarnya memiliki substansi makna yang sama, yaitu suatu upaya seorang mujtahid dalam
menghubungkan sebuah peristiwa yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan peristiwa
yang sudah ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan illat hukum diantara keduanya.

2. Adapun yang menjadi dasar hukum digunakannya qiyas sebagai dalil hukum oleh jumhur
ulama ushul fiqh adalah berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan aqal. Di sisi lain ada
juga kelompok yang menolak menggunakan qiyas sebagai dalil hukum dengan berlandaskan
pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan lainnya, namun argumentasi kelompok kedua ini masih
dianggap lemah oleh para ulama.

3. Rukun-rukun qiyas ada empat,yaitu al-Ashal, al-Far’u, hukum Ashal dan Illat

4. Qiyas ditinjau dari segi illat yang ada pada ashal dan far’u terbagi menjadi tiga, yaitu qiyas
awla, musawi dan qiyas adna. Sedangkan dari segi jelas dan tidak jelasnya illat, qiyas terbagi
menjadi dua, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi

29
Satria Efendi, M. Zein, Op.Cit., h. 140-142.

181
Tahkim
Vol. XI No. 1, Juni 2015

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.


Djazuli, A. & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006.
Effendi, Satria, M. Zein.. Ushul Fiqh, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, Cet. 2; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang: Dina Utama
Semarang, 1996.
Sya’ban, Zakky al-Din. Ushul al- Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1964.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1; Jakarta: Kencana, 2008.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih, Cet. III, Bandung: Pustaka Setia, 2007

182

Anda mungkin juga menyukai