Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS TENTANG KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS

DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Pengantar Hukum Islam

Dosen Pengampu: Afif Muamar, M. H. I.

Disusun Oleh Kelompok 3 (HES B / Semester 1):

1. Achmad Zulfikar Rajaba Muchtar 2383120060


2. Abdurokhman 2383120066
3. Alya Salsabila 2383120075

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI

CIREBON

2023
ANALISIS TENTANG KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS

DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

Achmad Zulfikar Rajaba Muchtar, Abdurokhman, Alya Salsabila

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon

Email: rajabamuchtarachmadzulfikar@gmail.com, abdurokhman156@gmail.com,

alyasalsa280105@gmail.com

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan Ijma’ dan Qiyas
dalam Hukum Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan library research (penelitian kepustakaan). Adapun hasil dari
penelitian ini adalah pertama, ijma’ adalah kesepakatan para ulama untuk menentukan
sebuah sumber hukum Islam. Kedua, ijma’ merupakan sumber hukum Islam yang ketiga
setelah al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, syarat ijma’ yaitu pertama, yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad. Kedua, kesepakatan itu
muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya). Ketiga,
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Dari ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Keempat, syarat
qiyas yang paling utama yaitu hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah artinya hukum
yang tetap berlaku. Kelima, menurut Romli dalam bukunya Muqaranah Mazahib Fil Ushul
mengungkapkan bahwa ijma’ dapat berarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang
terhadap sesuatu perkara.

Kata Kunci: Ijma’, Qiyas, dan Hukum Islam

1
Latar Belakang

Ijma’ merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya
serta meyakininya. Sedangkan qiyas merupakan ukuran sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya.1

Sedari kecil, kita sebagai umat Islam sudah dikenalkan oleh orang tua kita dengan al-
Qur'an. Al-Qur'an sendiri sumber pertama hukum Islam yang memuat panduan kehidupan
manusia. Sumber hukum merupakan hal penting bagi kehidupan manusia dalam menetapkan
hukum yang akan menjadi pedoman serta pegangan hidup untuk manusia. Ijma’ dan qiyas
telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an dan al-Hadis.
Ijma’ dan qiyas juga berperan penting sebagai sumber hukum Islam karena banyak yang
harus ditafsirkan dalam Al-Quran dan banyak yang harus dipahami dalam Hadis.

Ketika memasuki abad ke-2 hijriyah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum
dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum tersebut telah melembaga dalam masyarakat
Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat: hukum. Kelahiran
mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri, tak pelak lagi menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan.2

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan suatu rumusan masalah
utama yaitu pertama, apa definisi dari ijma’? kedua, bagaimana penjabaran mengenai
kedudukan ijma’ dan qiyas? ketiga, apa saja persyaratan dan pembagian ijma’ dan qiyas?
keempat, apa saja dan bagaimana pendapat para ulama akan ijma' dan qiyas?

Literature Review

Dalam penelitian ini terdapat terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi
acuan penulis dalam menyusun penelitian ini. Terdapat beberapa sumber informasi dalam
penelitian ini yaitu pertama, Deden Hidayat dalam jurnalnya yang berjudul “Relevansi Ijma’
dan Qiyas dalam Struktur Hukum Islam dan Struktur Hukum Positif di Indonesia”. Dalam
jurnal tersebut dijelaskan bahwa ijma’ berasal dari kata jama’a, yang artinya mengumpulkan
atau bersepakat. Secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan ulama yang ada pada suatu
masa/periode/era setelah masa Rasulullah SAW, tentang peristiwa hukum yang belum ada
hukumnya di dalam dua sumber hukum Islam. Qiyas secara lughawi adalah mengukur,

1
Asrowi, “Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam”, Jurnal Aksioma Al-Munasaqoh, Vol. 1, No. 1 (2018):
30.
2
Asrowi, “Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam”, 31-32.

2
menyamakan atau membandingkan. Ijma’ dan qiyas adalah metode yang masih sangat
relevan dalam struktur hukum Islam dan juga mempunyai peran signifikan dalam positivisasi
dan internalisasi hukum Islam kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.3

Kedua, Muhd. Farabi Dinata dalam jurnalnya yang berjudul “Konsep Ijma’ dalam
Ushul Fikih di Era Modern”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa ijma’ sebagaimana
didefinisikan oleh sebagian besar ulama ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid
dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum
syara’ pada suatu kejadian. Dari definisi ini kemudian banyak lahir permasalahan Ijma’ ini
yaitu menyangkut pada perkembangan pemikiran tentang ljma', rukun-rukun, kedudukan,
kemungkinan terjadinya, macam-macam serta hukum mengingkarinya.4

Ketiga, Ali Wafa dalam jurnalnya yang berjudul “Kedudukan Qiyas sebagai Sumber
Dalil Hukum Syara’ dan Problematikanya”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa qiyas
merupakan salah satu metode istinbaṭ (menggali) hukum yang populer di kalangan mazhab
Syafii. Dalam urutannya, mazhab Syafii menempatkan qiyas berada di urutan keempat
setelah al-Quran, hadis, dan ijma’. Imam Syafi’i sebagai pelopor mujtahid yang
menggunakan qiyas sebagai satusatunya jalan untuk menggali hukum, mengatakan bahwa
yang dinamakan ijtihad adalah qiyas. Beliau mengatakan bahwa “ijtihad” dan “qiyas”
merupakan dua kata yang memiliki makna yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti
para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan sumbernya yaitu al-
Quran dan Hadis. Sebab, hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nas al-Quran atau hadis
secara eksplisit, kadang juga bersifat tersirat secara implisit.5

Keempat, Edy Muslimin dalam jurnalnya yang berjudul “Qiyas sebagai Sumber Hukum
Islam” dijelaskan bahwa pertama, qiyas termasuk dapat dijadikan hujjah atau dalil atas
hukum-hukum mengenai perbuatan manusia dan menduduki martabat atau posisi keempat
diantara hujjah-hujjah syariyah, dengan pengertian apabila tidak didapati dalam suatu
kejadian itu hukum menurut nash atau ijma’. Kedua, qiyas merupakan suatu cara penggunaan
ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-Qur'an dan sunnah tidak
menetapkan hukumnya secara jelas. Ketiga, tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang
menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak

3
Deden Hidayat, “Relevansi Ijma’ dan Qiyas dalam Struktur Hukum Islam dan Struktur Hukum Positif
di Indonesia”, ISTINBATH: Jurnal Hukum, Vol. 16, No. 1 (2021): 79.
4
Muhd. Farabi Dinata, “Konsep Ijma’ dalam Ushul Fiqih di Era Modern”, AL-ILMU: Jurnal
Keagamaan dan Ilmu Sosial, Vol. 6, No. 1 (2021): 38.
5
Ali Wafa, “Kedudukan Qiyas sebagai Sumber Dalil Hukum Syara’ dan Problematikanya”,
IQTISODINA: Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2 (2020): 60-61.

3
ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ di luar yang ditetapkan
oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai
dalil hukum syara’.6

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini yaitu metode deskriptif
dengan menerapkan pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
library research (penelitian kepustakaan) yang merupakan penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, ensklopedia, kamus, jurnal,
majalah, dokumen maupun laporan hasil penelitian terdahulu dan lain sebagainya yang ada
hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.7

Selain itu, library research akan digunakan sebagai langkah peneliti dalam menetapkan
topik penelitian, melakukan kajian terhadap teori yang berkaitan dengan topik yang diteliti
dengan cara mengumpulkan bahan yang akan diteliti dan dianalisis lebih lanjut sehingga
diperoleh hasil penelitian. Dimana, pemikiran terpenting dalam pembahasannya ialah
memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai sumber hukum Islam
khususnya ijma’ dan qiyas.

Konsep Dasar Hukum Islam

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua itu
secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-
Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata
telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai. Dalam bahasa Indonesia kata
‘hukum’ menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang
oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.8 Bila kata ‘hukum’
menurut definisi di atas dihubungkan kepada Islam atau syara’, maka hukum Islam akan
berarti yaitu seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tetang tingkah
laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.

6
Edy Muslimin, “Qiyas sebagai Sumber Hukum Islam”, Jurnal Mamba’ul ‘Ulum, Vol. 15, No.2
(2019): 249.
7
Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), 111.
8
Amir Syrifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2011), 6

4
Sumber Hukum Islam

Berdasarkan penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah ditetapkan bahwa dalil
syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia
itu ada empat yaitu al-Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas. Dan jumhur ulama telah sepakat
bahwa empat hal ini dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan
dalil-dalil tersebut adalah pertama al-Quran, kedua as-Sunah, ketiga ijma, dan keempat qiyas.
Yakni bila ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam al-Quran, dan bila
hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam al-Quran tidak ditemukan maka
harus dicari ke dalam sunah. Bila dalam sunah juga tidak ditemukan maka harus dilihat,
apakah para mujtahid telah sepakat tentang hukum dari kejadian tersebut, dan bila tidak
ditemukan juga, maka harus ber-ijtihad mengenai hukum atas kejadian itu dengan
mengkiaskan kepada hukum yang memiliki nash.9

Konsep Dasar Ijma’

Etimologi ijma’, berasal dari kata jama’ yang artinya mengumpulkan, atau bersepakat.
Kemudian dalam ma’na istilah, ulama mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan ulama yang
ada, berdasarkan masa dan eranya masing-masing, setelah masa Rasulullah SAW, berkenaan
dengan peristiwa hukum yang belum ada hukumnya di dalam dua sumber hukum utama
syari’at islam.

Secara umum ijma’ teklasifikasikan menjadi dua bentuk utama, yaitu ijma’ yang jelas
(sharih), dan ijma’ diam (sukuti). Yang dimaksud dengan ijma’ jelas (sharih) adalah, bentuk
ijma’ dari pada ulama dalam sebuah perkara hukum, dengan cara menunjukkan
kesepakatannya itu, dalam bentuk ucapan lisan, maupun bentuk perbuatan. Sedangkan yang
dimaksud dengan ijma’ sukuti adalah bentuk kesepakan ulama terhadap pendapat ulama
lainnya, ketika mendapati suatu isu/perkara hukum yang telah umum diketahui, dengan tanpa
menyatakan atau menunjukkan sikap setuju maupun tidak setuju. Berkenaan dengan ijma’
yang jelas, jumhur bersepakat bahwa ijma’ dengan klasifikasi ini, sangat-sangat kuat untuk
dijadikan landasan hukum. Sebaliknya, ulama berbeda pendapat dalam hal ijma’ yang tidak

9
Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam”, TAHKIM: Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam, Vol. 1, No. 1 (2018): 107.

5
semuanya menyatakan persetujuannya, sebagian dari mereka membolehkan, dan sebagian
yang lain tidak membolehkan ijma’ tersebut dijadikan landasan hukum.10

Pembahasan dan Diskusi

Kedudukan Ijma’ dan Qiyas

Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum,
hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115.11 Ayat tersebut memberikan peringatan atau
ancaman terhadap golongan yang menentang Rasullullah SAW dan mengikuti jalan bukan
orang mukmin. Menurut Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti
jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka. Di dalam surat an-Nisa’
ayat 59.12

Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli fiqih terbagi
menjadi tiga kelompok seperti berikut: Pertama, kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas
sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur’an, Hadis, pendapat
sahabat dan ijma’ ulama. Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak berlebihan. Kedua,
kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas secara penuh dan
tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk
mengungkap alasan-alasan guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.
Ketiga, kelompok yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha menggabungkan
dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, bahkan menerapkan qiyas
sebagai pembatas keumuman al-Qur’an dan hadits.13 Alasan ketiga kelompok ulama tentang
penggunaan qiyas dapat dibagi lagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima
dan menolak menggunakan qiyas, yang masing-masing mengemukakan dalil al-Qur’an,
sunnah, ijma’ ulama atau sahabat dan dalil akal.

Syarat dan Pembagian Ijma’ dan Qiyas


10
Rachmat Ihya, “Ijma sebagai Yurispudensi Hukum Islam dalam Pandangan Imam Hanafi dan Imam
Syafi’i”, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 6, No. 1 (2019): 15.
11
QS. An-Nisa (4) 115: Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang
telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat
kembali.
12
QS. An-Nisa (4) 59: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000), 339-340.

6
Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah pertama, yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad. Kedua, kesepakatan itu
muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya). Ketiga,
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Dari ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.14

Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada ketentuannya
dalam al-Qur’an dan Hadis harus memenuhi syarat-syarat, yaitu pertama, hendaklah hukum
asalnya tidak berubah-ubah artinya hukum yang tetap berlaku. Kedua, asal serta hukumnya
sudah ada ketentuannya menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan
hadits. Ketiga, hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya
hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas. Keempat, tidak boleh hukum furu’ (cabang)
terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya
(sebab). Kelima, hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
Keenam, hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang pada asal, artinya
tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal. Ketujuh, tiap-tiap ada illat ada hukum dan
tidak ada illat tidak ada hukum, artinya illat itu selalu ada. Kedelapan, tidak boleh illat itu
bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan
sunnah.15

Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan hukum
melalui ijma’, maka ijma’ itu ada dua macam yaitu ijma’ sharih (the real ijma’) dan ijma’
sukuti (the silent ijma’). Ijma’ sharih ialah, setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka
menerima semua yang disepakati. Menurut ulama jumhur ijma’ sharih ini yang dapat
dijadikan hujjah (dalil hukum). Sedangkan Imam Syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih
yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i mengatakan sebagai
berikut: jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan, “hukum ini telah disepakati”,
maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga megatakan seperti apa yang engkau
katakan”. Ijma’ sukuti ialah sebagian mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara
jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis, sedangkan mujtahid
yang lain tidak memberikan respon atau kementar terhadap pendapat tersebut, baik mengenai
kecocokan pendapat atau perbedaannya.

14
Muhd. Farabi Dinata, “Konsep Ijma’ dalam Ushul Fikih di Era Modern”, AL-ILMU: Jurnal
Keagamaan dan Ilmu Sosial, Vol. 6. No. 1 (2021): 43.
15
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 48.

7
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi, dalam hal ini dapat dibagi tiga yaitu sebagai
berikut:

1. Qiyas awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan
hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu’. Sebagai contoh meng-qiyas-kan
keharaman memukul orang tua kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang
tua dengan illat menyakiti.
2. Qiyas musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan
berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illat-nya sama. Umpamanya meng-
qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak pantas dalam
menetapkan hukum haramnya.
3. Qiyas adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
Umpamanya meng-qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba
bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis illat-nya bahwa ia adalah makanan.
Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba
pada gandum karena illat-nya lebih kuat.

Pendapat para Ulama tentang Ijma’

Menurut Romli dalam bukunya Muqaranah Mazahib Fil Ushul mengungkapkan bahwa
ijma’ dapat berarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap sesuatu perkara.16
Adapun menurut para ahli Ushul Fiqh, pengertian ijma’ dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Imam Al-Ghazali yang menyatakan dalam kitab al-Mustasfa bahwa ijma’ merupakan
suatu kesepakatan umat Rasulullah SAW atas satu perkara yang berhubungan dengan
urusan agama.
2. Imam al-Subki dalam kitabnya Matn Jami’al-Jawawi, mengungkapkan bahwa ijma’
ialah suatu kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap
persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’.

16
Romli, Muqaramah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 78.

8
Kesimpulan

Dari penjelasan diatas maka penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu
pertama, ijma’ adalah kesepakatan para ulama untuk menentukan sebuah sumber hukum
Islam. Kedua, ijma’ merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan
Hadis. Ketiga, syarat ijma’ yaitu pertama, yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang
yang memenuhi persyaratan ijtihad. Kedua, kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang
bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya). Ketiga, mujtahid yang terlibat adalah
yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Dari ketiga syarat
ini disepakati oleh seluruh ulama. Keempat, syarat Qiyas yang paling utama yaitu hendaklah
hukum asalnya tidak berubah-ubah artinya hukum yang tetap berlaku. Kelima, menurut
Romli dalam bukunya Muqaranah Mazahib Fil Ushul mengungkapkan bahwa ijma’ dapat
berarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap sesuatu perkara.

Daftar Pustaka

Asrowi, Asrowi. “Ijma’ dan Qiyas dalam Hukum Islam.” Jurnal Aksioma Al-Munasaqoh Vol.
1. No. 1 (2018).
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Dinata, Muhd. Farabi. “Konsep Ijma’ dalam Ushul Fiqih di Era Modern.” AL-ILMU: Jurnal
Keagamaan dan Ilmu Sosial, Vol. 6. No. 1 (2021).

Hidayat, Deden. “Relevansi Ijma’ dan Qiyas dalam Struktur Hukum Islam dan Struktur
Hukum Positif di Indonesia.” ISTINBATH: Jurnal Hukum, Vol. 16. No. 1 (2021).

Ihya, Rachmat. “Ijma’ sebagai Yurispudensi Hukum Islam dalam Pandangan Imam Hanafi
dan Imam Syafi’i.” Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 6. No. 1 (2019).
Muslimin, Edy. “Qiyas sebagai Sumber Hukum Islam.” Jurnal Mamba’ul ‘Ulum, Vol. 15,
No.2 (2019).
Nazir, Mohammad. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Romli, Romli. Muqaramah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam.” TAHKIM: Jurnal Peradaban
dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 1 (2018).
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2011.
Wafa, Ali. “Kedudukan Qiyas sebagai Sumber Dalil Hukum Syara’ dan Problematikanya.”
IQTISODINA: Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Islam, Vol. 3. No. 2 (2020).

9
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000.

10

Anda mungkin juga menyukai