Anda di halaman 1dari 21

Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber

Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI II: URF, SADDUDZARA’I,


MADZHAB SHAHABAT, SYAR’U MAN QABLANA
SOURCES OF ISLAMIC LAW THAT ARE NOT AGREED UPON II: URF,
SADDUDZARA’I, MADZHAB SHAHABAT, SYAR’U MAN QABLANA

Alra Maylda Amalia


UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur
alranifa02@gmail.com
Eni Muslikhatin Nur Aida
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur
muslikhatine@gmail.com
Muhammad Fatih Arroichan
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur
arroichan353@gmail.com

Abstrak
Pada makalah kali ini bertujuan untuk mengetahui secara keseluruhan mengenai
sumber-sumber hukum Islam yang mukhtalaf, yaitu ‘Urf, Sadd al Dzari’ah, Madzhab
Sahabi, dan Syar’u man Qablana. Pendekatan peneliti dalam penelitian ini adalah
menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan. Dalam hal ini, penulis berusaha mengumpulkan bahan dengan
menggunakan berbagai data bibliografi dari berbagai sumber, termasuk buku, catatan,
dan artikel penelitian sebelumnya. Sumber hukum Islam yang mukhtalaf adalah
sumber-sumber hukum yang menjadi subjek perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara
para ulama dan mazhab hukum Islam. Para ulama berbeda pendapat dalam interpretasi
dan penggunaan sumber-sumber ini dalam menentukan hukum Islam. Perbedaan
pendapat terkait dengan sumber-sumber hukum ini mencerminkan keragaman dalam
interpretasi dan pendekatan hukum Islam di antara mazhab-mazhab dan ulama. Para
ulama melakukan ijtihad (pemikiran hukum) untuk mencari solusi yang paling sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi perbedaan pendapat tetap menjadi ciri khas
dalam tradisi hukum Islam.

Kata Kunci: Sumber-sumber hukum Islam, 'Urf, Sadd al Dzari'ah, Madzhab Syafi'i,
Syar'u man Qablana
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Abstract
This paper aims to find out as a whole about the mukhtalaf sources of Islamic law, namely
'Urf, Sadd al Dzari'ah, Madzhab Sahabi, and Syar'u man Qablana. The researcher's
approach in this research is to use a qualitative research methodology using library research
methods. In this case, the author tries to collect material by using various bibliographic data
from various sources, including books, notes and previous research articles. Mukhtalaf
sources of Islamic law are sources of law that are the subject of differences of opinion
(ikhtilaf) among scholars and schools of Islamic law. Scholars differ in their interpretation
and use of these sources in determining Islamic law. These differences of opinion regarding
legal sources reflect the diversity in interpretations and approaches to Islamic law among
schools of thought and ulama. Ulama carry out ijtihad (legal reasoning) to find solutions that
best comply with the principles of Islamic law, but differences of opinion remain a
characteristic feature of the Islamic legal tradition.

Keywords: Sources of Islamic law, 'Urf, Sadd al Dzari'ah, Madzhab Sahabi, Syar'u man
Qablana
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Pendahuluan
Sumber hukum Islam adalah fondasi yang kokoh dalam pembentukan dan
pelaksanaan sistem hukum dalam kehidupan umat Muslim. Sumber-sumber ini menentukan
norma-norma dan aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan, dari ibadah hingga
muamalah (urusan dunia). Dalam konteks sumber hukum Islam, kita seringkali menemui
empat konsep yang memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam, yaitu "urf,"
"sadd al-dzariah," "madzhab sahabi," dan "syar'u man qablana." Keempat konsep ini
memberikan dimensi yang mukhtalaf (beragam) dalam pemahaman dan aplikasi hukum
Islam. Dalam jurnal ini, kami akan menjelajahi masing-masing konsep tersebut secara
mendalam, menggali perbedaan dan persamaan dalam interpretasi serta implikasinya dalam
konteks hukum Islam.
Pertama-tama, urf atau kebiasaan adalah salah satu sumber hukum Islam yang
mukhtalaf. Urf mengacu pada praktik-praktik dan norma-norma yang menjadi kebiasaan
dalam masyarakat Muslim. Ini mencakup adat istiadat, etika, dan norma-norma perilaku yang
berlaku dalam suatu komunitas. Urf digunakan sebagai sumber hukum ketika tidak ada
ketentuan yang jelas dalam Al-Quran atau Hadist yang mengatur suatu masalah tertentu.
Prinsip urf memungkinkan hukum Islam untuk berkembang dan bersesuaian dengan konteks
sosial dan budaya masyarakat Muslim.1
Namun, konsep urf ini juga menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ulama
tentang mana yang dianggap sebagai urf yang sah dan mana yang tidak. Selain itu, urf dapat
berubah seiring waktu, sehingga mungkin ada perbedaan dalam bagaimana masyarakat
menginterpretasikan dan menerapkan kebiasaan mereka dalam hukum Islam. Dalam jurnal
ini, kami akan mengkaji peran urf dalam mengisi celah hukum dan memberikan pandangan
tentang bagaimana urf bisa berkontribusi pada pemahaman hukum Islam yang mukhtalaf.
Konsep kedua yang mukhtalaf adalah sadd al-dzariah, yang secara harfiah berarti
"menghentikan sarana." Sadd al-dzariah adalah prinsip dalam hukum Islam yang
mengizinkan penghentian segala bentuk sarana yang dapat digunakan untuk melakukan
perbuatan yang dilarang dalam Islam. Dalam konteks ini, sarana dapat berupa segala sesuatu
yang memudahkan atau memfasilitasi pelanggaran hukum Islam. Prinsip ini digunakan untuk
menjaga agar masyarakat Muslim menjalankan prinsip-prinsip moral dan etika yang
diinginkan oleh agama.

1
Muhammad Adib, “Kategorisasi Dalil-Dalil Yang Tidak Disepakati (Adillah Mukhtalaf Fiha) Dalam
Kajian Usul Fikih (Sebuah Tinjauan Kritis)” 3, no. 3 (April 2023): 72–73.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang bagaimana dan kapan
sadd al-dzariah harus diterapkan. Beberapa ulama menganggapnya sebagai alat penting
dalam menjaga ketertiban moral dan sosial, sementara yang lain mungkin melihatnya sebagai
potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Dalam jurnal ini, kami akan menggali konsep sadd
al-dzariah, mengidentifikasi kontroversi yang muncul seputar penggunaannya, dan mengkaji
peran serta implikasi prinsip ini dalam konteks hukum Islam yang mukhtalaf.2
Yang ketiga ialah Madzhab sahabi, yang menjadi salah satu pendekatan dalam
pengembangan hukum Islam yang mukhtalaf. Madzhab sahabi merujuk pada pendekatan
hukum yang berfokus pada pemahaman dan praktik para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Para sahabat adalah orang-orang yang hidup bersama Nabi dan mendapatkan langsung
ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dianggap sebagai
otoritatif dalam banyak hal.
Dalam pengembangan hukum Islam, beberapa ulama menekankan pentingnya
mengikuti pemahaman para sahabat sebagai acuan utama dalam memahami dan
menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana
melaksanakan madzhab sahabi dan dalam hal apa mereka dianggap sebagai sumber hukum
yang sah. Dalam jurnal ini, kami akan mengeksplorasi konsep madzhab sahabi, melihat
bagaimana ia diterapkan dalam berbagai aliran pemikiran Islam, dan mencari pemahaman
yang lebih dalam tentang peran serta relevansinya dalam sumber hukum Islam yang
mukhtalaf.
Syar'u man qablana adalah konsep yang merujuk pada hukum-hukum yang berlaku
sebelum zaman kita. Ini mencakup ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang diberlakukan dalam
masyarakat-masyarakat sebelum masa hidup Nabi Muhammad SAW dan penyebaran Islam.
Konsep ini memberikan pandangan tentang sejarah perkembangan hukum dalam masyarakat
Muslim dan bagaimana ajaran-ajaran Islam berinteraksi dengan tradisi-tradisi hukum yang
ada sebelumnya.
Dalam penelitian ini, kami akan menjelajahi konsep syar'u man qablana, melihat
peran serta implikasinya dalam pengembangan hukum Islam, serta bagaimana konsep ini
memengaruhi pemikiran dan praktik hukum dalam berbagai mazhab dan aliran pemikiran
Islam. Dengan memahami lebih baik sumber-sumber hukum Islam yang mukhtalaf ini, kita
dapat menggali keragaman pandangan dan interpretasi yang ada, dan melihat bagaimana
sumber-sumber ini terus memengaruhi evolusi hukum Islam dalam berbagai konteks zaman.3
2
Siska Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam” 1, no. 1 (March 2018): 103–5.
3
Ahmad Syaripudin, “Metodologi Studi Islam Dalam Menyikapi Kontradiksi Hadist (Mukhtalaf Al-
Hadist)” 4, no. 1 (2018): 32–34.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
metode analisis deskriptif terhadap kajian pustaka terkait. Termasuk dalam kategori penelitian
kepustakaan, dimana data diambil dari literatur sebagai sumber analisis terkait Sumber
hukum yang tidak disepakati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan, oleh karena itu penulis mengumpulkan data-data yang disajikan dalam literatur
sebagai sumber analisis pemahaman sumber hukum Islam yang mukhtalaf. Penulis
melakukan pengumpulan data kepustakaan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik
analisis isi tulisan berupa kata atau kalimat. Penulis melakukan analisis isi dokumen dengan
mengutip kata atau frasa yang relevan, menggunakan sumber primer berupa buku, dan
berkonsultasi dengan artikel yang relevan dengan topik. Sumber hukum yang tidak
disepakati antara lain ‘urf, sadd al dzari’ah, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Hasil dan Pembahasan


1. ‘Urf
Urf adalah konsep yang memiliki makna penting dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, terutama dalam konteks sosial, budaya, dan hukum. Konsep ini
merujuk pada praktik-praktik atau norma-norma yang telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Urf mencerminkan nilai-nilai,
norma-norma, dan tradisi yang membentuk tatanan sosial suatu komunitas.
Dalam banyak masyarakat, 'urf memiliki peran yang signifikan dalam
membentuk perilaku individu dan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat
terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti dalam upacara adat, tata
cara pernikahan, dan penyelesaian konflik. Urf juga berperan dalam menentukan
norma-norma sosial yang diikuti oleh anggota masyarakat.
Namun, penting untuk diingat bahwa 'urf bukanlah sesuatu yang tetap dan
universal. Ia dapat berbeda antarbudaya dan bahkan di dalam satu masyarakat pun
bisa berubah seiring waktu. Oleh karena itu, pemahaman tentang 'urf sangat penting
dalam konteks hukum, terutama dalam menentukan keadilan dan penegakan hukum
yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan budaya. Dengan demikian, 'urf memiliki
peran yang krusial dalam menjaga harmoni dalam masyarakat dan menghormati
keberagaman budaya yang ada.
A. Pengertian “Urf
Secara epistemologi atau sudut pandang bahasa, kata ‘urf berasal dari kata
‘arafa ya’rifu yang biasa diartikan dengan al’uruuf atau sesuatu yang dikenal
(diketahui) dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi. Selanjutnya
pengertian ‘urf dari sudut pandang terminologi atau istilah yang juga diselaraskan
dari pengertian yang dikemukakan para ulama ushul yaitu hal-hal berupa
perkataan maupun perbuatan yang oleh masyarakat telah biasa untuk dilakukan
secara terus menerus yang kemudian menjdadi suatu adat, tradisi, dan budaya.4
B. Pembagian ‘Urf
a. Berdasarkan Objeknya
Berdasarkan objeknya, urf dibagi menjadi dua jenis. Yakni urf lafdzi dan
urf ‘amaly. Urf lafdzi bermakna segala bentuk kebiasaan masyarakat mengenai
penggunaan lafal atau kata tertentu yg ditujukan untuk maksud tertentu.

4
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012),
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/27451/.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Sebagai sebuah contoh adalah kata “daging” yang menurut urf di masyarakat
Indonesia dikhususkan maknanya untuk daging sapi meski makna hakikinya
mencakup seluruh jenis daging. Yang kemudian dalam keseharian seperti
praktek jual beli yang dipakai ialah makna “daging” yang berdasarkan “urf
masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urd amaly adalah bentuk aktivitas
yang menjadi kebiasaan masyarakat berupa perbuatan. Sebagai contohnya
yaitu proses jual beli yang berlangsung di swalayan atau supermarker tanpa
adanya proses ijab dan qabul antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti ini
dianggap sah, sebab telah menjadi ‘urf atau kebiasaan yang diterima oleh
masyarakat luas.
b. Berdasarkan Cakupannya
Berdasarkan cakupannya, urf dibagi menjadi dua kategori. Yakni ‘urf ‘am
dan juga ‘urf khas. Yang dimaksud dengan ‘urf ‘am adalah ‘urf atau kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat yang cakupannya luas atau menyeluruh.
Salah satu contoh dari ‘urf ‘am ini yaitu kebiasan jual beli mobil yang
umumnya sudah disertai dengan peralatan perbaikannya (dongkrak, kunci-
kunci, dsb).
Kemudian pengertian dari ‘urf khas adalah aktivitas yang menjadi sebuah
kebiasaan dalam masyarakat namun cakupannya hanya pada daerah tertentu.
Sebagai contoh adalah prosesi pernikahan yang berbeda-beda yang
disesuaikan dengan adat istiadat daerah masing-masing.
c. Berdasarkan Keabsahannya
Berdasarkan keabsahannya menurut hukum syara’, urf dibagi menjadi dua
kategori. Yaitu urf shahih yang bermakna segala kebiasaan masyarakat yang
baik dan tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan yang
kedua adalah urf fasid yang bermakna kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan hukum Islam.5
C. Kedudukan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan 'urf (norma-norma sosial atau kebiasaan) sebagai sumber hukum
Islam memiliki perbedaan pendapat (mukhtalaf) di antara ulama hukum Islam.
Beberapa ulama dan mazhab menganggap 'urf memiliki peran yang signifikan
dalam menentukan hukum Islam, sementara yang lain membatasi penggunaannya
5
Moh Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, 1st ed. (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2019).
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

atau merasa 'urf tidak seharusnya dianggap sebagai sumber hukum utama. Berikut
adalah beberapa pandangan yang mukhtalaf tentang kedudukan 'urf:

a. Mazhab Maliki dan Hanafi


1) Mazhab Maliki dan Hanafi cenderung lebih terbuka terhadap penggunaan
'urf sebagai sumber hukum.
2) Dalam mazhab Maliki, 'urf dianggap sebagai salah satu dari empat sumber
hukum utama, bersama dengan Al-Quran, Hadis, dan ijma' (konsensus
umat).
3) Dalam mazhab Hanafi, 'urf dapat digunakan sebagai sumber hukum jika
tidak ada dalil (bukti) yang langsung berhubungan dengan suatu masalah.
Namun, penggunaan 'urf harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mazhab Syafi’i
1) Mazhab Shafi'i juga mengakui peran 'urf sebagai sumber hukum, tetapi
mengharuskan agar 'urf tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil
(bukti-bukti) yang ada dalam Al-Quran atau Hadis.
2) Imam Shafi'i menegaskan bahwa 'urf dapat digunakan sebagai alasan
tambahan dalam penentuan hukum, terutama ketika tidak ada dalil yang
jelas.
c. Mazhab Hanbali
1) Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang lebih ketat terhadap
penggunaan 'urf sebagai sumber hukum.
2) Menurut mazhab Hanbali, 'urf hanya dapat digunakan jika tidak ada dalil
yang jelas dari Al-Quran atau Hadis yang relevan dengan masalah tersebut.
Dengan demikian, ada variasi dalam pendekatan terhadap 'urf sebagai sumber
hukum Islam. Kedudukan 'urf sebagai sumber hukum cenderung lebih luas dalam
mazhab Maliki dan Hanafi, sedangkan mazhab Hanbali memiliki pandangan yang
lebih ketat. Namun, penting untuk diingat bahwa ketika mengambil keputusan
hukum dalam konteks 'urf, para ulama selalu berusaha untuk memastikan bahwa
hukum yang dihasilkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam
6
yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.

2. Sadd al-Zarai’ah

6
Ramli, Ushul Fiqh, 1st ed. (Yogyakarta: Nuta Media, 2021).
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Sadd al-Dzariah adalah konsep penting dalam hukum Islam yang membahas
tentang mencegah atau menghalangi sarana atau alat yang dapat digunakan untuk
melakukan perbuatan yang diharamkan dalam agama. Konsep ini berakar dalam
upaya untuk memastikan pemeluk agama Islam menghindari perbuatan dosa dan
melanggar hukum agama. Sadd al-Dzariah menggambarkan prinsip pencegahan dan
pengendalian dalam Islam, yang bertujuan untuk menjaga kepatuhan terhadap ajaran-
ajaran agama serta memelihara moralitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan ini, kita akan menjelajahi lebih dalam konsep Sadd al-Dzariah
dan bagaimana hal itu berperan dalam konteks hukum Islam dan etika.
A. Pengertian Sadd al Dzari’ah
Secara bahasa atau epistemologi Sadd Dzari’ah ialah istilah yang terdiri dari
kata ‫ سد‬dan ‫الذريعة‬, sadd yang berarti menutup dan dzari’ah yang berarti jalan atau
wasilah untuk menuju suatu tujuan (baik itu sesuatu yang sifatnya positif maupun
negatif). Kemudian secara istilahi atau terminologi, sadd al dzari’ah bermakna
menutup jalan atau mencegah terjadinya hal-hal yang menimbulkan kerusakan
baik dalam bentuk fasilitas, keadaan perilaku yang dapat membuat kemudaratan
bagi orang lain, sehingga kemudharatan dapat diubah dalam bentuk yang
7
dilarang. Imam Al-Syaitibi mendefinisikan Sadd al Dzari’ah sebagai sebuah
kegiatan yang asal mulanya mengandung kemashlahatan namun digunakan untuk
menuju suatu kemafsadatan.
Sadd al Dzari’ah dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk metode
preventif, sebagai bentuk upaya pencegahan sebelum suatu kemudhorotan terjadi.
Sadd al Dzari’ah dijadikan sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam dengan
dasar tinjauan daripada sebab dan akibat dari suatu perbuatan. Perbuatan yang
menjadi bagian atau turut serta dalam proses akan mendapatkan ketetapan hukum
yang sama dengan perbuatan yang menjadi akibat daripada niat orang yang
berbuat. Contohnya adalah ketika ada seorang yang memiliki niatan mulia untuk
menyantuni anak-anak gelandangan di pinggir jalan, namun orang tersebut
sejatinya telah mengetahui dari informasi-informasi masyarakat tentang uang
santunan yang malah sering disalahgunakan anak-anak gelandangan tersebut
untuk membeli narkoba ataupun miras, maka santunan yang memiliki hukum asal

7
Abdul Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010).
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

halal dan bahkan dianjurkan malah berhukum haram karena akibat daripada
santunan tersebut yang haram.

B. Kedudukan Sadd al Dzari’ah


Sadd al-Dzariah adalah konsep dalam hukum Islam yang berkaitan dengan
mencegah atau menghalangi sarana atau alat yang dapat digunakan untuk
melakukan perbuatan yang diharamkan dalam agama. Kedudukan Sadd al-
Dzariah sebagai hujjah (bukti atau argumen) dalam hukum Islam adalah ikhtilaf
atau beragam di antara para ulama dan mazhab. Berikut beberapa pandangan
terkait dengan kedudukan Sadd al-Dzariah:
a. Mazhab Maliki dan Hanbali

Dalam mazhab Maliki dan Hambali, Sadd al-Dzariah memiliki peran


yang lebih signifikan sebagai hujjah. Mereka mengakui bahwa mencegah atau
menghalangi sarana yang dapat digunakan untuk perbuatan haram adalah
suatu kewajiban moral dalam Islam. Oleh karena itu, tindakan untuk
mencegah sarana tersebut dapat diambil sebagai bukti yang kuat dalam
menilai perilaku seseorang. Dalil Alquran yang dijadikan dasar kalangan
Malikiyyah dan Hanabilah dalam menjadikan sadd al dzari’ah sebagai sumber
hukum yaitu Q.S Al-An’am ayat 108:

‫ٰذ‬
‫َو اَل َتُسُّبوا اَّلِذ ْيَن َيْدُع ْو َن ِم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َفَيُسُّبوا َهّٰللا َعْد ًو ۢا ِبَغْيِر ِع ْلٍۗم َك ِلَك َز َّيَّنا ِلُك ِّل ُاَّم ٍة َع َم َلُهْۖم ُثَّم ِاٰل ى َر ِّبِهْم‬
‫َّم ْر ِج ُعُهْم َفُيَنِّبُئُهْم ِبَم ا َك اُنْو ا َيْع َم ُلْو َن‬
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Pada ayat tersebut terdapat penjelasan mengenai larangan bagi kaum
Muslimin untuk memaki atau mengolok sesembahan orang orang musyrik,
karena dikhawatirkan kaum musyrikin tersebut akan membalas dengan

memaki pula terhadap Allah. Larangan memaki di sini menunjukkan adanya


Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

sadd al-żarī’ah (menutup jalan), agar mereka tidak memaki atau menghina
8
Allah.

b. Mazhab Syafi’i dan Hanafi

Mazhab Shafi'i juga mengakui pentingnya Sadd al-Dzariah, tetapi


mereka lebih memperhatikan dalil-dalil (bukti-bukti) dari Al-Quran dan Hadis
dalam menentukan hukum. Meskipun mereka mempertimbangkan mencegah
sarana sebagai tindakan yang dianjurkan, mereka mungkin membutuhkan
bukti yang lebih kuat dari sumber-sumber utama hukum Islam.

Imam Syafii dan Hanafi hanya menerima sadd al-żarī’ah dalam masalah
tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah yang
lain; misalnya, Imam Syafi’i, membolehkan seseorang karena adanya uzur,
seperti sakit dan musafir meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya
dengan shalat zuhur. Namun, orang itu hendaklah melaksanakan shalat zuhur
secara diam-diam dan tersembunyi, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan
Shalat Jumat, seperti halnya dengan orang yang tidak berpuasa, apabila ada
uzur, maka hendaklah ia tidak makan dan minum di tempat yang umum untuk
menghindari fitnah terhadapnya. Pendapat-pendapat Imam Syafi’i dirumuskan
atas dasar prinsip sadd al-żarī’ah

Meskipun ada perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab, penting


untuk diingat bahwa tujuan utama dari Sadd al-Dzariah adalah menjaga
kepatuhan terhadap ajaran-ajaran agama dan mencegah perbuatan dosa. Dalam
praktiknya, para ulama sering mempertimbangkan konteks dan bukti-bukti
yang ada ketika mengambil keputusan hukum terkait dengan konsep ini. Hal
ini mencerminkan keragaman dalam pandangan hukum Islam yang mencoba
mencapai keseimbangan antara melindungi nilai-nilai agama dan memahami
situasi sosial yang kompleks.

3. Madzhab Shahabi
A. Pengertian Madzhab Shahabi
Madzhab sahabi ialah pendapat para sahabat yang telah beriman kepada nabi
sebelum hudabiyah, turut berperang bersama nabi atau terkenal karena fatwanya.
setelah Rasulullah Meninggal banyak kejadian yang baru muncul di kalangan
8
Darmawati, Ushul Fiqh, 1st ed. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019).
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

sahabat sehingga muncullah madzhab sahabi, Kehujjahan adalah kekuatan yang


mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika
meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi
Muhammad Saw.9

Madzhab sahabi menurut pendapat jumhul ulama adalah orang yang


bertemu dengan rasulullah SAW, serta iman kepadanya dan selalu bersama beliau
dalam waktu cukup lama dan beliau ketika meninggal tetap keadaan beriman.
menurut Para ulama ushul fiqh mereka sepakat menyatakan bahwa pendapat
sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun
ketetapan hukum. Dan Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat
yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad,
dapat diterima sebagai hujjah.

Madzhab shahabi menurut Syafi’iyah adalah pendapat orang tertentu di


kalangan sahabat dan tidak dipandang sebagai hujjah. Beliau memperkanankan
untuk mengistimbatkan pendapat lain. Alasannya, pendapat mereka adalah
pendapat ijtihad secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum.

B. Kehujjahan Madzhab Shahabi

Para ulama’ sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan


dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’
ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-
sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada
pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti), yang
dalam istilah lain disebut dengan mazhab ash-shahabi.

Dan ada juga Sebaliknnya, para ulama’ sepakat bahwa qaul ash-shahabi
yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat
lainya. Sebab fakta sejarah menunjukkan bahwa di kalangan sahabat sendiri
terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu.

9
Syafi’i Karim, Ushul-Fiqih Madzhab Shahabi (Bandung, 2001),
https://www.scribd.com/document/348977713/Ushul-Fiqh-Mazhab-Shahabi.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu


perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah
bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya.10

Madzhab Sahabat secara mutlak tidak menjadi hujjah/dasar hukum atas


madzhab shahabi. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah,
Imam Syafi’i dalam madzhabnya (Syafi’iyah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha
dari golongan Hanafiyah. Alasannya sebagai berikut:

1. Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain
halnya dengan seorang mujtahid yang yang bisa berbuat kesalahan. Mengenai
keutamaan sahabat dengan ilmu dan takwanya, tidaklah mewajibkan untuk
mengikutinya.
2. Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
3. Bahwa ada sebagian yang menyalahi madzhab/qaul sahabat.

Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul
Wahhab Khallaf dalam kitabnya, begini: “Tidak menetapkan hukum atau
memberikan fatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-
Hadits, atau sebagaimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal tidak
berbeda pendapat (ijma’), atau dengan mengqyiaskan kepada sebagian dasar ini".11

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama di antaranya: menurut


jumhur ulama dari kalangan ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’I yang
lama (qaul al-qadim) dan Ahmad bin Hanbal yang terkuat, qaul ash-shahabi
merupakan hujjah.

Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas.


Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:

Firman Allah SWT pada surah Ali Imran (3) ayat 110, yang berbunyi:

‫ُك ْنُتْم َخ ْيَر ُأَّم ٍة ُأْخ ِر َج ْت ِللَّناِس َتْأُم ُروَن ِباْلَم ْعُر وِف َو َتْنَهْو َن َع ِن اْلُم ْنَك ِر َو ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّللۗ َو َلْو آَم َن َأْه ُل اْلِكَتاِب‬
‫َلَك اَن َخ ْيًر ا َلُهْم ۚ ِم ْنُهُم اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َو َأْك َثُر ُهُم اْلَفاِس ُقوَن‬

10
Abdul Dahlan, Ushul Fiqih (Jakarta, 2010), https://id.scribd.com/document/445313005/Ushul-Fiqih-
Dr-H-Abd-Rahman-Dahlan-M?language_settings_changed=Bahasa+Indonesia.
11
Abdul Khalaf, “Resume Buku Ilmu Ushul Fiqih,” n.d.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka;
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasih.”

Menurut mereka, qaul sahabat merupakan salah satu dalil naqli di antara
dalil dalil yang lain. Dan ayat ini ditunjukan kepada para sahabat.

C. Penerapan Madzhab Shahabi Terhadap Kehidupan Masyarakat


Karena adanya perbedaan pendapat ulama’ mengenai hujjiyah qaul as-
shahabi sebagai salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula dalam
menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang menjelaskan.
Berikut ini adalah beberapa contoh yang ada, yang erat kaitannya denag
kehidupan sehari-hari.12
1. Hukum sujud Tilawah apakah wajib atau sunnah?
Menurut Imam malik, As-Syafi’i dan Ahmad hukum sujud tilawah adalah
sunnah dan tidak mencapai wajib. Di sini Imam Syafi’i berdalil bahwa sujud
dilakukan untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan secara
global oleh Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara terperinci.
Maka hal ini menujukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat lima
waktu, sedangkan selainnya tidaklah wajib.
2. Hukum potong tangan bagi seorang pembantu
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang
mencuri harta tuannya tidak dipotong

4. Syar’u Man Qablana


A. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qabalana merupakan hukum yang berlaku sebelum masa
kenabian Nabi Muhammad adalah aturan yang dibawa oleh para Rasul
sebelumnya dan menjadi panduan untuk komunitas mereka, seperti hukum yang
diberikankepada Nabi Ibrahim, syariat Nabi Musa, syariat Nabi Daud, syariat
Nabi Isa dan sebagainya. Semua hukum tersebut merupakan bagian dari aturan
12
Ana Muna, Pengertian Madzhab Sahabi Dan Penerapannya Dalam Ushul Fiqih (Semarang, 2018),
https://www.scribd.com/document/394560261/PENGERTIAN-MADZHAB-SHAHABI-DAN-
PENERAPANNYA-DALAM-USHUL-FIQIH-pdf.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

yang ditetapkan oleh Allah SWT, dan mereka juga berlaku bagi umat Nabi
Muhammad, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 13:

‫َش َر َع َلُك ْم ِّم َن الِّدْيِن َم ا َو ّص ى ِبِه ُنْو ًح ا َّو اَّلِذْي َاْو َح ْيَنآ ِاَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبِه ِاْبَر ِهْيَم َو ُم ْو َس ى َو ِع ْيَس ى َاْن َاِقْيُم وا‬
‫الِّدْيَن َو اَل َتَتَفَّر ُقْو ا ِفْيِه َك ُبَر َع َلى اْلُم ْش ِر ِكْيَن َم ا تْدُع ْو ُهْم ِاَلْيِه هّللا َيْج َتِبْي ِاَلْيِه َم ْن َّيَشآُء َو َيْه دْي ِاَلْيِه َم ْن ُّيِنْيُب‬

Artinya: diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah
kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang
Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
bagi orang yang kembali (kepada-Nya)”.13
Dalam ayat tersebut, Allah menyebut Nabi Nuh sebagai Nabi yang pertama
kali disebut. Urutan ini memiliki makna penting yang perlu diperhatikan. Pesan
yang terkandung dalam ayat ini adalah bahwa Nabi Nuh adalah Rasul pertama
yang menerima syariat dari Allah. Menurut Ibn Katsir, setelah Nabi Adam, Rasul
pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad saw.
sementara itu, Ibn Al-Arabi dalam tafsirnya mengutip ucapan Rasulullah:

‫ انت أول رسول بعثه هّللا الى‬:‫ فيأتون نوحا فيقولون‬.‫ فانه أول رسول بعثه هّللا الى األرض‬,‫ولكن ائتوا نوحا‬
‫األرض‬.

Menurutnya, hadist ini diyakini sebagai shahih dan tidak ada keraguan.
Demikian pula, tidak diragukan bahwa Nabi Adam adalah Nabi pertama. Nabi
Adam AS memiliki sedikit pengikut, yaitu anak-anaknya sendiri, sehingga ia tidak
memiliki banyak kawajiban. Allah hanya memberikan aturan kepada beliau dalam
beberapa aspek urusan utama yang berkaitan dengan menjaga ketertiban dalam
kehidupan. Seiring berjalannya waktu, kewajiban-kewajiban dari Allah SWT
diperkenalkan pada masa Nabi Nuh AS, seperti larangan pernikahan dengan ibu,
anak, dan saudara-saudara. Pada zaman Nabi Nuh AS, juga diajarkan adab dalam
dunia, dan ajaran ini kemudian diteruskan oleh para Nabi dan Rasul yang datang
setelahnya, hingga akhirnya mencapai Nabi Muhammad Saw, yang menjadi Rasul
terakhir yang diutus oleha Allah untuk menyampaikan syariat.

13
Lutfi Lestari, “Dalil Hukum Yang Mukhtalaf, Dan Penerapan Pada Fatwa DSN-MUI Terkait
Keuangan” 8, no. 1 (June 2022): 15.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Ayat tersebut seolah-olah menyatakan “Ya Muhammad, Kami telah


mewariskan prinsip-prinsip agama yang sama kepadamu dan kepada Nabi Nuh”.
Artinya, prinsip-prinsip ini adalah prinsip-prinsip yang selaras dengan syariat
agama, seperti tauhid, shalat, zakat, puasa, haji, mendekatkan diri kepada Allah
melalui perbuatan-perbuatan saleh, kejujuran, pemenuhan janji, menjaga amanah,
menjalin hubungan kekerabatan, mengharamkan kufur, pembunuhan, zina, dan
menjaga kehormatan. Semuanya prinsip ini merupakan bagian dari agama yang
sama dan tidak ada yang bertentangan dengan ajaran lisan para Nabi.14
B. Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang apakah hukum-
hukum yang berlaku sebelum kita menjadi pedoman dalam menetapkan hukum
bagi umat Nabi Muahmmad. Al-Ghazali menyertakan kaidah Syar’u Man Qablana
ini ke dalam empat prinsip yang tidak memiliki persetujuan dari para ulama
Ushul. Padangan mereka dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Mayoritas ulama dari madzhab Hanafi dan Hanbali, sebagian ulama dari
mazhab Syafi’I dan Maliki, serta sejumlah ulama dari madzhab kalam seperti
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syariah yang
berlaku sebelum kita, seperti yang disebutkan dalam tiga bentuk tersebut di
atas, tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) kecuali jika ada
penjelasan yang menyatakan bahwa hukum tersebut berlaku juga untuk umat
Nabi Muhammad. Alasan di balik pandangan ini adalah bahwa syariat
sebelum kita berlaku secara umum, sementara syariat yang dibawa oleh Nabi
Muhammad sebagai Rasul terakhir berlaku secara umum dan menasakh
syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, beberapa ulama Maliki, sebagian sahabat
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam satu riwayat tertentu berpendapat
bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi,
meskipun tidak secara khusus ditujukan kepada umat Nabi Muhammad, tetap
berlaku bagi umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang
nasakhnya. Dari pandangan ini, muncul sebuah prinsip hukum.

‫شرع من قبلنا شرع لنا‬

14
Imam Yazid, “Analisis Teori Syar’u Man Qablana,” n.d., 371–72.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Alasan yang mereka sampaikan adalah beberapa indikasi yang dapat


ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya adalah:

a. Surat Asy-Syura: 13

‫َش َر َع َلُك ْم ِّم َن الِّديِن الَو َّص ِبِه ُنوًح ا َو اَّلِذ ى َأْو َح ْينآ ِإَلْيَك َو َم ا َو َّصْينا ِبِه ِإْبَرِهَم َو ُم َس ى َو ِع يَس ى َأْن‬
‫َأِقُم وْا الِّديَن َو اَل َتَتَفَّر ُقوْا ِفيِه‬

Artinya: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang
telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya.”
b. Surat An-Nahl: 123

‫ُثَّم َأْو َح ْيَنآ ِإَلْيَك َأِن آَّتِبْع ِم َّلَة ِإْبَرِهيَم َح ِنًفا َو َم ا َك اَن ِم َن اْلُم ْش ِر ِك يَن‬

Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama


Nabi Ibrahim yang lurus.”

Dalam konteks ini, ulama Hanafiyah menganggap bahwa hukum qishas


harus diterapkan secara adil, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah:
45, bahkan jika ayat tersebut awalnya ditujukan kepada orang Yahudi. Menurut
pandangan ini, ketika seorang muslim membunuh seorang kafir dzimmi, maka
qishas harus diterapkan dengan prinsip kesetaraan, sama seperti ketika seorang
kafir dzimmi membunuh seorang muslim.

Di sisi lain, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum syariah yang


berlaku untuk umat Yahudi tidak harus diterapkan secara serupa pada umat Islam.
mereka menginterpretasikan ayat tersebut sebagai bukti bahwa tidak perlu ada
keseimbangan dalam pelaksanaan qishas antara muslim dan non-muslim, seperti
yang diterapkan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, menurut pandangan ini,
jika seorang muslim membunuh seorang kafir dzimmi, qishas tidak akan
diterapkan. Namun, jika seorang kafir dzimmi membunuh seorang muslim, maka
hukum qishas akan diberlakukan.

3. Pandangan ulama yang bersikap tawaqquf adalah pandangan yang tidak


memutuskan secara pasti apakah Nabi menjalankan syariat yang
diperkenalkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak. Mereka tidak
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

mengambil sikap tegas terkait apakah syariat lama masih berlaku atau tidak.
Pendapat ini dianggap sebagai pendapat terpilih oleh Al-Amidi, Qadhi Abdul
Jabar, serta ulama lain yang memiliki pandangan serupa.15

C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana


Syariat sebelum kita dalam pengertian sebelumnya, dapat dibagi dalam tiga
kelompok:
1. Syariat sebelumnya yang terdapat dalam Al-Qur’an atau yang dijelaskan oleh
Nabi dan diterapkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad, yang juga
dijelaskan dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi, telah dinyatakan sebagai telah di
naskah (dihapus kandungan hukumnya) dan tidak lagi berlaku bagi umat Nabi
Muhammad. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am: 146
‫َو َع َلى اَّلِذ يَن َهاُدوْا َح َّر ْم َنا ُك َّل ِذ ى ُظُفٍر َو ِم َن اْلَبَقِر َو اْلَغَنِم َح َّر ْم َنا َع َلْيِهْم ِ ُش ُح وَم ُهَم آ‬
Artinya: “Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang
punya kuku; dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka
lemaknya.”
Ayat ini menjelaskan larangan yang Allah berlakukan terhadap orang
Yahudi di masa lalu. Selanjutnya, dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa
larangan tersebut tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad, seperti yang
disebutkan dalam surat Al-An’am: 145
‫ُقل آَّل َأِج ُد ِفى َم آ ُأِح َى ِإَلَّي ُم َح َّر ًم ا َع َلى َطاِعٍم َيْطَعُم ُه ِإآَّل َأن َيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا َّم ْس ُفوًح ا َأْو َلْح َم ِخ ْنِزٍر‬

Artinya: “Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan


kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai,
darah yang mengalir dan daging babi.”

Hadist Nabi

‫احلت لى الغنام ولم تحل الحد من قبلى‬

Hadits Nabi ini menjelaskan bahwa harta rampasan perang yang disebut
“ghanimah” tidak diizinkan bagi umat sebelumnya, tetapi kemudian
dinyatakan sebagai halal bagi umat Nabi Muhammad. Ulama telah sepakat

15
Imam Yazid, “Analisis Teori Syar’u Man Qablana,” n.d., 376–78.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang telah
dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.

2. Hukum- hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi, yang
diperintahkan untuk umat sebelumnya, telah dinyatakan juga berlaku bagi
umat Nabi Muhammad, dan diumumkan bahwa hukum-hukum tersebut akan
berlaku untuk generasi berikutnya. Seperti yang dinyatakan dalam firman
Allah surat Al-Baqarah: 183
‫َيَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا كثِتَب َع َلْيُك ُم الَّصَياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَعَّلُك ْم َتَّتُقوَن‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kamu diwajibkan berpuasa
sebagaimana kewajibkan yang telah diberlakukan kepada umat sebelum kamu,
semoga dengan berpuasa ini kamu dapat mencapai ketakwaan.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa diperintahkan bagi generasi
sebelumnya dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad. Sebagai contoh
dalam hadist Nabi, disebutkan tentang ibadah berkurbanyang diperintahkan
Nabi Ibrahim, dan juga diterapkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini
ditegaskan dalam sabda Nabi:
‫ضحوا فانها سنة ابيكم ابراهيم‬
Artinya: “Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu,
Ibrahim.”
Peraturan-peraturan dalam format ini berlaku bagi pengikut Nabi
Muhammad. Ini adalah kesepakatan dari seluurh cemdekiawan agama. hukum
yang diberlakukan untuk komunitas Nabi Muhammad bukan karena ia adalah
hukum yang berlaku sebelum kita dan harus berlaku untuk kita, melainkan
karena kewajiban tersebut telah ditetapkan dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi dijelaskan
sebagai berlaku untuk generasi sebelum Nabi Muhammad, tetapi tidak ada
pernyataan yang tegas yang mengatakan bahwa hukum-hukum tersebut juga
berlaku untuk kita, dan tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah
dinasakh.

Dari tiga bentuk syariat yang ada sebelum zaman kita, yang pertama sudah
jelas dinyatakan tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga,
bentuk kedua telah disepakati sebagai bagian dari hukum Islam. Namun, yang
ketiga adalah sebenarnya disebut sebagai “syariat sebelum kita” yang menjadi
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

perhatian ulama Ushul ketika membahas dalil-dalil syariah atau metode ijtihad.
Pembahasan tentang “syariat sebelum kita” ini muncul karena di satu sisi, syariat
ini disebut dalam Al-Qur’an dan oleh karena itu dianggap mengikat untuk umat
Nabi Muhammad. Namun di sisi lain, Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa
hukum tersebut berlaku untuk kitab suci terdahulu yang mengatur hukum bagi
umat sebelum Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45

‫َو َكَتْبَنا َع َلْيِهْم ِفيَهآ َأَّن االَّنْفِس َو اْلَعْيِن ِبْلَعْيِن‬

Artinya: “Kami telah menetapkan dalam Kitab Taurat untuk mereka bahwa
pembalasan harus sesuai, yaitu jiwa dengan jiwa dan mata dengan mata”16

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad. “Kategorisasi Dalil-Dalil Yang Tidak Disepakati (Adillah Mukhtalaf Fiha)
Dalam Kajian Usul Fikih (Sebuah Tinjauan Kritis)” 3, no. 3 (April 2023): 72–73.
Bahrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. 1st ed. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja,
2019.
Dahlan, Abdul. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
———. Ushul Fiqih. Jakarta, 2010. https://id.scribd.com/document/445313005/Ushul-Fiqih-
Dr-H-Abd-Rahman-Dahlan-M?language_settings_changed=Bahasa+Indonesia.
Darmawati. Ushul Fiqh. 1st ed. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Karim, Syafi’i. Ushul-Fiqih Madzhab Shahabi. Bandung, 2001.
https://www.scribd.com/document/348977713/Ushul-Fiqh-Mazhab-Shahabi.
Khalaf, Abdul. “Resume Buku Ilmu Ushul Fiqih,” n.d.
Lestari, Lutfi. “Dalil Hukum Yang Mukhtalaf, Dan Penerapan Pada Fatwa DSN-MUI Terkait
Keuangan” 8, no. 1 (June 2022): 15.
Muna, Ana. Pengertian Madzhab Sahabi Dan Penerapannya Dalam Ushul Fiqih. Semarang,
2018. https://www.scribd.com/document/394560261/PENGERTIAN-MADZHAB-
SHAHABI-DAN-PENERAPANNYA-DALAM-USHUL-FIQIH-pdf.
Ramli. Ushul Fiqh. 1st ed. Yogyakarta: Nuta Media, 2021.
Sodiqin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012. https://digilib.uin-
suka.ac.id/id/eprint/27451/.
Sulistiani, Siska. “Perbandingan Sumber Hukum Islam” 1, no. 1 (March 2018): 103–5.

16
Imam Yazid, “Tafsir Ayat Ahkam Tentang Syar’u Man Qablana Dan Kehujjahannya Sebagai Dalil
Hukum,” n.d.
Alra Maylda Amalia, Eni Muslikhatin Nur Aida, & Muhammad Fatih Arroichan : Sumber
Hukum Islam Yang Tidak Disepakati II

Syaripudin, Ahmad. “Metodologi Studi Islam Dalam Menyikapi Kontradiksi Hadist


(Mukhtalaf Al-Hadist)” 4, no. 1 (2018): 32–34.
Yazid, Imam. “Analisis Teori Syar’u Man Qablana,” n.d., 371–72.
———. “Analisis Teori Syar’u Man Qablana,” n.d., 376–78.
———. “Tafsir Ayat Ahkam Tentang Syar’u Man Qablana Dan Kehujjahannya Sebagai Dalil
Hukum,” n.d.

Anda mungkin juga menyukai