Anda di halaman 1dari 43

Maqshud Al-Syari'ah

dan Pendekatan
Sistem dalam Hukum
Islam
Prespektif Jasser Auda

Dosen Pengampu : Dr. M. Arfan Mu’ammmar, M.Pd.I


Oleh : Yuda Adiatma Nugraha
NIM :20232550065
Salah satu problematika dalam aplikasi hukum yang tetap hangat diperdebatkan, baik
yang klasik maupun yang kontemporer, adalah tentang tujuan hukum itu sendiri
(purpose of law). Dalam hal ini ada 2 pendapat

1. Cause and Effect Matter – certain


2. Hukum bersifat luwes dengan panorama sosial yang ada
Posisi Teks Hukum VS Posisi Tujuan
Hukum
Di sisi lain muncul persoalan kontemporer yang tidak bisa diatasi dengan makna
harfiyah teks. Implikasi tersebut pada runtuhnya kemuliaan Islam sebagai agama
yang sesuai dengan segala tempat dan masa. Satu satunya Solusi yang tepat adalah

1. Menangkap prinsip – prinsip dasar


2. Makna universal
3. Dan tujuan yang terkandung dalam syariah

Prinsip inilah yang dinamakan Maqashid Base Ijtihad


Operasinalisasi Maqashid Based Ijtihad ada 3 hal pokok

1. Mufti atau penentu hukumnya adalah orang yang benar – benar


memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid
2. Mengetahui dengan baik konteks probelematikan hukum yang terjadi
3. Berpegang teguh pada dalil – dalil yang mu’tabar
Dalam Prosesnya tiga dasar tersebut dilakukan dalam 3
tahap besar yaitu

1. Tasyawwur
2. Takyif
3. Tathbiq
Jasser Auda termasuk sarjana yang memberikan fokus
terhadap maqashid al-Syari’ah yang menawarkan
pendekatan multidisiplin

1. Hukum islam
2. Filsafat
3. Teori system
Mengenal Jasser Auda
Nama : Jasser Auda Aktifitas:
Kelahiran: Mesir 1966 Associate Professor QFIS
Website : www.jasserauda.net Anggota pendiri Persatuan Ualam Muslim yang berbasis di Dublin
Karya Anggota dewan akademik IIAS
Anggota GCSC
‫مقاصد الشريعة كفلسفة للتشريع اإلسالمي‬
‫مقاصد الشريعة – دليل المبتدئين‬ Anggota dewan Eksekutif AMSS
DLL Anggota forum FAIR
Konsultan islamonline.net

Social Media
-X :https://twitter.com/Jasserauda
- Youtube : https://www.youtube.com/jasserauda
Aksis Teror para

1 Teroris yang menjadi


isu Internasional

Kegelisaha 2 HDI umat Islam


Rendah

n Akademik Fakta hukum Islam

3
tidak ditemukan
seperti yang
diharapkan
Maqashid al-Syari’ah
Definisi dan Problematikanya
Sebelum As-Syathibi belum ditemukan definisi yang konret dan komprehensif.
Definisi mereka cenderung mengikuti makna Bahasa dengan menyebutkan padanan-
padanan maknanya
Al-Bannani memaknainya dengan Hikmah Hukum
Al-Asnawi mengartikannya dengan tujuan hukum
As-Samarqandi menyamakanna dengan makna makna hukum,
Sementara Al-Ghazali, Al-Amidi, dan Ibnu al Hajib mendeffinisikan dengan
menggapai manfaat dan menolak mafsadat.
Abu Ishaq al-Syathibi menyatakan bahwa beban beban syariat
kembali pada penjagaan tujuan - tujuannya pada makhluk.
maqashin ini tidak lebih dari tiga macam

- Dharuriyyat
- Hajiyyat
- dan Tahsiniyyat
Lebih lanjut Ibnu Asyur mendefinisikannya sebagai berikut

"makna makna dan hikma -hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syari'
dalam setiap bentuk penemuan hukumnya. hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-
jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan
umum, dan makna syariat yang terkandung dalam hukum serta masuk pula
didalamnya makna - makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi
dijaga dalam banyak bentuk hukum"

terlepas dari perbedaan kata para ulama sepakat maqashid as-syari'ah adalah
tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syariat. bisa
jadi berupa maksud umum keseluruhan aspek syariat dan khusus pada satu bab dari
bab bab yang ada seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga, dan lainnya atau
terperinci seperti kewajiban salat, diharamkannya zina, dan sebagainnya
Maqashid al-Syari’ah
Posisinya dalam Hukum Islam
Dalam hal iini seharusnya menduduki posisi penting sebagai ukuran atau indikator
benar tidaknya suatu ketentuan hukum

dalam perkembangannya, posisi maqashid syariah pada masa awal tidak begitu jelas
dan terkesan dikesampingkan, karena kajian islam dikaitkan dengan ushul fiqih dan
qawaid al fiqih dan orientasi tekstual

masa Ibnu Asyur mengalami perkembangan berikutnya yakni adanya keterkaitan


antara teori ushul fiqih dan maqashid al-syari'ah merupakan suatu kepercayaan, Ibnu
Asyur melihat perlunya maqashid syariah menjadi disiplin ilmu mandiri.
Jasser Auda menggunakan pendekatan system, hubungan Maqashid As-Syari’ah
dan hal-hal lain dalam sistem hukum islam dinyatakan dalam lima pola

1. Maqashid al-Syari’ah berkaitan dengan cognitive nature hukum islam


2. Maqashid al-ammah merepresentasikan karakter holistic dan prinsip – prinsip
universal
3. Maqashid as-syari’ah memainkan peranan yang penting dalam proses ijtihad,
dalam beragam bentuknya
4. Maqashid as-syari’ah dinyatakan dalam sejummlah cara yang hierarkis yang
sesuai dengan hierarki system hukum islam
5. Maqashid as-syari’ah menyediakan beberapa dimensi yang membantu
menyelesaikan dan memahami kontradiksi dan perbedaan yang ada antara teks
dan teori fundamental hukum islam
Pendekatan Teori
Sistem Pada Teori
Hukum Islam
Menuju Validasi Semua Pengetahuan
Pewahyuan Ijtihad : Menggugat
Transidentalisasi Ijtihad
Jasser Auda mengkritisi kebanyakan ahli hukum dalam menggambarkan hukum fiqh
yang dihasilkan dari mepahaman, persepsi, dan pengamatan mereka sebagai aturan
tuhan yang mesti ditaati. Padahal fiqh merupakan persepsi dan interpretasi sesorang
yang bersifat subjektif
Dalam hal ini Jasser Auda mengemukakan dua contoh hasil ijtihat yang sering kali
dimasukan dalam kategori pengetahuan wahyu meskipun hasil hukum dan validasi
metodde ijtihadnya masih diperselisihkan; Pertama adalah Ijma, kedua adalah
metode qiyas
Memisahkan Wahyu
dari Pikiran Manusia
Dalam literature hukum islam peran kelompok para fuqaha, sebagai al-misawwibah
(para validator) adalah mengatur sedemikian rupa penggunaan ‘asumsi-asumsi’
(zhunun) Sebagian mujtahid dalam merefleksikan teks. Peran ini sebenarnya
membuat Batasan yang jelas antara ide manusia dan teks itu sendiri

Dalam rangka memberikan penjelasan yang sitematis tentang tepisahnya wahyu dari
fiqh atau pemahaman seseorang, Jasser Auda membuat dua gambar diagram atas hal
tersebut
Pendekatan Teori
Sistem Pada Teori
Hukum Islam
Menuju Arah Holistik
Ketidakpastian Dalil Tunggal (Ahad)
Jasser Auda menjelaskan sebab dalil ahad bersifat zhanni
1. Ada kemungkinan hukum yang dihasilkan dari sebuah teks/ nash sudah dibatasi oleh suatu keadaan
tertentu sementara kita tidak mengetahuinya
2. Ada kemungkinan ungkapan dari teks tungga memiliki makna majaz
3. Referensi kebahasaan kita dari ahli Bahasa yang mungkin salah
4. Grammer Bahasa arab disampaikan kepada kita melalui syair-syair arab kuno melalui Riwayat ahad
5. Kemungkinan satu kata atau lebih dari sebuah teks memiliki makna atau tafsir
6. Ada kemungkinan satu kata atau lebih dari sebuah tek telah lama dirubah yang selanjutnya
maknanya terus berubah dan tidak seperti aslinya lagi
7. Ada kemungkinan terdapat makna tersebunyi dari nash yang kita tidak paham
8. Kemungkinan nash sudah di Mansukh tanpa sepengetahuan kita
9. Bolehh jadi hukum yang kita pertimbangkan dari nash Tunggal berlawanan dengan lokiga
kebenaran dan akal sehat
Jasser Auda menambahkan Sembilan kesimpulan sebab di atas sebagai berikut

1. Terdapat nash Tunggal dalam memiliki arti tertentu


2. Kemungkinan terjadi kesalahan susuan dalam menyampaikan teks hadits ahad
3. Kemungkinan terjadi perbedaan intreptasi terhadap beberapa nash Tunggal yang
memengaruhi cara kita membayangkan makna dan implikasinya
Prinsip – Prinsip Holistik
Tradisional dan Modern
Menurut Jasser Auda, ternyata penggunaan prinsip holistic tidak hanya terjadi dalam
pengembangan metodologi hukum Islam, namun juga dipergunakan dalam
pengembangan metode tafsir. Salah satunya adalah Hasan Turabi dalam tafsirnya
yang berjudul Tafsir Tawhidi.
Prinsip Holistik Dalam Ilmu Kalam

Menurut Jasser Auda, pada era kontemporer saat ini prinsip holistic dengan
menggunakan system filosofis dapat diperankan sebagai sarana pembaharuan. Hal itu
tidak terbatas pada sisi hukum islam saja, tetapi juga pada ilm al-kalam.
Pendekatan Teori
Sistem Pada Teori
Hukum Islam
Menuju Keterbukaan dan Pembaruan
Menurut Jasser Auda suatu system harus terbuka dan dapat meneria pembaruan
supaya bisa tetap “hidup”. Dalam membaharui pendekatan system hukum islam ada
dua hal yang perlu diperhatikan

1. Mengubah pola pandang atau tradisi pemikiran ulama fiqh


2. Membuka diri pada filsafat yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran
pembaruan system hukum Islam.
Mengubah Keputusan
dengan Budaya Pemikiran
Pembaruan dengan Membuka Diri
Terhadap Filsafat
Jasser Auda mengkritik terjadinya penolakan para ‘Ulama terhadap filsafat Yunani
dan metode berpikir lain.
Menurut Jasser Auda, Al-Ghazali termasuk yang demikian karena ia mengkritik
keras Filsafat Yunani dan orang-orang islam yang mengikutinya. Namun padad
kesempatan lain, Al-Ghazali menerima logika Aristoteles.
Pemikiran Al-Ghazali yang demikian dianggap sebagai penyebab mandegnya
perkembangan teori dan pemikiran metodologi hukum Islam dari Luar.
Pendekatan Teori
Sistem Pada Teori
Hukum Islam
Menuju ke Arah Multidimensi
Pembahasan pendekatan multidimensi dalam hukum islam ini
mengarah pada dua konsep yang fundamental yaitu :

1. Tentang Kepastian (Al-Qath’i)


2. Konstradiksi dalil (At-Ta’arud)
Spektrum Kepastian

Qath’i Zhanni
Spektrum Kepastian
Qath’i ad-Dilalah

Qath’i Qath’i al-Thubut

Qath’i al-Mantiqi
Mendamaikan Kembali teks
kontradiktif
Dalam wacana ushul fiqh klasik dikenal beberapa cara dalam rangka menyelesaikan
permasalahan ta’arud al-adillah
1. Dengan cara didamaikan (conciliation)
2. Menghapus hukum nash
3. Mengeliminasi
4. Menangguhkan
5. Menggugurkan
6. Memilih
Membenarkan permasalah Ta’arud ini, justru merendahkan Allah dan menuduh
bahwa firman Allah tidak sempurna. Hal tersebut karenakan sesuatu yang
kontradiktif hanya yang datang dan bersumber dari manusia
Dengan demikian menurut Jasser, pendekatan multidimensional yang
dikombinasikan dengan pendekatan maqashid akan dapat memberikan Solusi bagi
pertentangan dua dalil yang dilematis
Pendekatan Teori
Sistem Pada Teori
Hukum Islam
Menuju ke Pelibatan Maqashid
Implikasi Maqashid

Menurut Jasser, pendekatan maqashid mampu memberikan konstribusi dalam


pengembangan ushul fiqh karena teori maqashid cocok dengan kriteria metodologi
dasar yang bersifat rasional, kegunaan, dan moralitas. Dalam wacana hukum Islam,
dilalah al-Maqashid merupakan ekspresi baru yang diapresiasi oleh ulama modern
Selanjutnya subsistem dalil kebahasaan dalam ushul fiqh akan dapat mencapai
Tingkat maqashid dengan melakukan beberapa hal
1. Implikasi dari maqashid harus ditambahkan ke dalam implikasi kebahasaan dari
nash. Namun tetap tergantung pada situasi dan kepentingan maqashid itu sendiri
2. Maqashid harus dibangun dari spesifikasi dan penafsiran.
3. Maqashid dijadikan ekspresi dalam menemukan Keputusan yang valid dalam hal
implikasi yang bertentangan dengan melewati proses perdebatan yang logis
4. Ekspresi nash yang akan menjadi landasan maqashid tertinggi dalam hukum harus
selalu diekspresikan oleh nash yang umum dan lengkap
5. hubungan antara term berkualitas dan tidak berkualitas dalam penanganan kasus
yang berbeda, yang terdapat pada sebuah materi pandang yang berbeda, harus
didefinisikan atas dasar maqashid yang ingin dicapai, dari pada sekadar
mempertimbangkan aspek kebahasaan dan aturan logika.
Pemikiran Ushul Fiqh Berbasis
Maqashid
Dalam konteks hubungan maqashid al-syari’ah dengan ushul fiqh, Jasser Auda
memberikan 15 ciri – ciri ushul fiqih yang menjadikan maqashid as-syari’ah sebagai
dasar pertimbangan
1. Otoritas Yuridis diberikan pada dilalah al-Maqashid
2. Prioritas dalalah al-Maqashid dibandingkan implikasi yang lain, harus tunduk
pada situasi saat itu dan pada pentingnya tujuan itu sendiri
3. Tujuan dari sautu ungkapan haruus menentukan validitas dari implikasi
terbaliknya
4. Ungkapan kriptual tentang tujuan agung hukum yang biasanya bersifat umum dan
pasti, tidak boleh dikhususkan dan dikualifikasi oleh dalil-dalil individual
5. Nilai nilai moral harus memiliki status sebagai ‘illat untuk aturan hukum yang
terkait sebagai tambahan pada illat literal yang biasanya didapatkan dari metode
tradisional
6. “koherensi sitematik” metupakan perluasan yang diperlukan dari “koherensi isi”
7. Pendekatan maqshid bisa mengisi gap konteks yang hilang dari narasi hadits
8. Al-maqashid dalam konteks tujuan nabi, harus juga digunakan dalam proses
kontekstualisasi narasi hadits, berdasarkan pada tujuan kenabian yang
diungkapkan oleh ibnu ‘Asyur, yaitu legeslasi, perbuatan aturan, pengadilan,
kepemimpinan, petunjuk, konsiliasi, saran, konseling, dan non instruksi
9. Analisi yang hati hati atas kepastian ‘illat menunjukkan bahwa ‘illat biasanya bisa
berubah dan tidak bersifat tetap sebagaimana diklaim oleh ushul fiqih tradisional
10. Kontroversi tentang legetimasi independent mashalih di hubungkan atau
diidentifikasikan dengan maqashid al-syari’ah
11. Istihsan merupakan bentuk tujuan hukum yang ditambahkan pada alasan yuridis
12. “mempertimbangkan cara” harusnya tidak terbatas pada sisi negative pendekatan
“consequantalist”
13. Perluasan pemahaman Al-Qarafi tentang menutup jalan negative yang juga
meliputi membuka jalan positif diperluas lagi dengan pertimbangan yang terus
menerus tentang hasil akhir yang baik dan yang jelek
14. Analisis ibnu asyur tentang efek budaya arab dalam narasi teks mengembangkan
tujuan universalitas dalam hukum islam
15. Prinsip presumption of continuity dihadirkan sebagai implementasi dari tujuan
agung hukum islam, seperti keadilan, kemudahan, dan kebebasan memilih
Penutup
Maqashid hendaknya dijadikan sebagai tujuan pokok dari semua dasar metodologi
linguistic dan rasional dalam ijtihad, terlepas dari berbagai varian metode dan
pendekatannya. Kerena, merealisasikan maqashid yang dijadikan sebagai system,
pendekatannya akan dapat menggapai keterbukaan, pembaruan, realistis, dan
fleksibel dalam system hukum islam.
Namun demikian perlu disadari bahwa sangat mungkin Ketika metode-metode
tersebut dia atas diterapkan akan terlahir pandangan hukum yang berbeda – beda.
Dalam konteks ini, penentuan hukum akhirnya didasarkan pada takhyir atau tarjih
dengan prinsip utama merealisasikan kemaslahatan

Anda mungkin juga menyukai