Anda di halaman 1dari 8

Menjelaskan Tentang Cara-cara

Penemuan Maqasid

Disusun oleh : M.Faizal Rizki R

Dosen Pembimbing : Bpk Fadhli S.Hi. MA.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2021-2022
PENDAHULUAN :

Bagaimana memahami maqashid syariah? Secara bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata
yakni, maqashid dan syariah1 . Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan
atau tujuan dan syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula
dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan, tentu dalam hal ini adalah kehidupan
manusia itu sendiri. Hukum diciptakan oleh Allah hanya untuk manusia di muka bumi ini, walaupun
hukum itu sendiri sudah Allah ciptakan di surga ketika Adam dan Hawa dilarang untuk mendekati
buah quldi. “wa laa taqrabaa hadhihi assyajarota fatukana minadhzzolimin. Di dalam isitilah sosiologi
hukum disebut kata “disiplin”. Disiplin adalah sebuah ajaran kenyataan. Jadi Adam dan Hawa sudah
diberikan tindakan disiplin untuk tidak mendekati buah quldi. Menurut asy-Syatibi, maqashid syariah
merupakan tujuan syariah yang lebih memperhatikan kepentingan umum2.Menurut istilah, Maqashid
Syariah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan persyariatan hukum. Jadi, Maqashid Syariah
adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Permasalahan pokok yang
ingin dibicarakan di dalam pembahasan ini adalah bagaimana penemuan-penemuan maqasid syari’ah.

Pembahasan :

1. Metode istiqrā’ ma‘nawī;


Al-istiqra‟ al-ma‟nawi adalah suatu metode penetapan hukum yang bukan hanya
dilakukan dengan satu dalil tertentu, tetapi dengan sejumlah dalil yang digabungkan antara
satu sama lain yang mengandung aspek dan tujuan yang berbeda, sehingga terbentuklah
suatu perkara hukum berdasarkan gabungan dalil-dalil tersebut3.Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa para pemikir hukum Islam tidak boleh menetapkan tujuan as-Syari’
hanya berdasarkan dalil tertentu dan dengan cara tertentu saja, tetapi untuk menemukannya
haruslah meneliti semua dalil yang relevan, baik sifatnya zhahir, mutlaq, muqayyad,
kulliyah, atau juz‟iyah dalam berbagai variasi dalam setiap bab hukum fiqih. Selain itu,
haruslah mempertimbangkan qara’in ahwal (indikasi-indikasi keadaan signifikan), baik
yang dinashkan (manquullah) maupun yang tidak dinashkan (ghairu manqulah). Dengan
cara ini, kesimpulan hukum akan didapatkan secara pasti atau yakin4.

Untuk mengisi masalah atau kekurangan metodologis ini, Asy-Syatibi mengeluarkan


sebuah metode alternatif yang berpola al-istiqra‟i dalam menetapkan hukum islam yang

1
Totok, Kamus Ushul Fiqih (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), h.97.
2
Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), h.22.
3
Abu Ishaaq Ibrahim ibn Musa Asy-syatibi, al-Muwafaqaat fi Usul asy-Syari’ah, jilid 2, (Beirut Daar- al-Kutub
al-‘Ilmiyah,tt) hal. 39
4
Ibid, hal 42.
bernama al-istiqra‟i al-ma‟nawi. Metode ini sendiri, sebenarnya dikembangkan dari metode
al-istiqra‟ yang dikemukan para ahli hukum Islam lain, seperti Al-Ghazali, namun paling
tidak, ada tiga perbedaan signifikan yang dapat diidentifikasikan sebagai suatu
kemajuan pengembangan metode tersebut, yang membedakan dari konsep ulama lain:
Pertama, penyebutan al-istiqra al-ma‟nawi hanya ditemukan dalam terma Asy-syatibi,
sementara sebelumnya hanya disebut al-istiqra‟ saja. Penyempurnaan kata tersebut
dimaksudnya sebagai upaya pemanfaatan nash-nash hukum, baik yang particular maupun
universal, dalam rangka mempertahankan kesatuan dasar-dasar syari‟ah, yang menjadi
obsesinya.
Kedua, konsep al-istiqra’ para ulama sebelumnya masih mengikuti konsep ilmu
mantiq5,sementara Asy-syatibi telah mengarahkan kepada pemanfaatan nash-nash hukum
secara integral, sekalipun pengaruh mantiq tetap ada dalam realitasnya.
Ketiga, aplikasi metode tersebut bagi ulama sebelumnya, secara umum, hanya terbatas kepada
penetapan hukum spesifik. Sementara Asy-syatibi telah mengaplikasikan dalam menetapkan
dan menguji kaidah-kaidah usul, kaidah-kaidah fiqih, dan hukum spesifik. Namum yang
paling penting dari hal ini adalah metode al-istiqra al-ma‟nawi ini dapat menyelesaikan
persoalan hukum dalam bentuk pembuktian dan perumusan kaidah usul, kaidah fiqih, yang
dalam konteks ini disebut Asy-syatibi dengan asliyah, dan penetapan hukum Islam spesifik.

POLA KERJA METODE AL-ISTIQRA’ AL-MA’NAWI


Pola kerja atau mekanisme yang ditempuh dalam metode al-istiqra al-ma‟nawi ini, tidak
diberikan uraian secara terperinci oleh Asy-syatibi. Melainkan hanya memberikan isyarat-
isyarat dalam berbagai konsepnya, terutama konsep pencarian tujuan-tujuan hukum.
Cara kerja atau mekanisme penetapan hukum islam dengan metode al-istiqra’ al-ma’nawi
yang akan di uraikan disini merupakan interpretasi terhadap ayat-ayat Asy-Syatibi dan
disesuaikan dengan cara kerja suatu metode yang berlaku umum dalam suatu penelitian
hukum, yang perinciannya adalah sebagai berikut :
\1.Pertama, menentukan masalah atau tema yang akan dijadikan sasaran penelitian yang akan
dicari jawabannya.

2. kedua, merumuskan masalah atau tema yang telah ditentukan atau dipilih, dalam proses
pencarian ketentuan suatu hukum, sekalipun dalam bentuk yang sederhana.

3.ketiga, mengumpulkan dan mengidentifikasi semua nash hukum yang relevan dengan
persoalan yang akan dicari jawabannya.

5
Ilmu matiq adalah sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir untuk memelihara jalan pikiran dari
setiap kekeliruan
4.keempat, memahami makna nash-nash hukum tersebut satu persatu dan kaitan antara satu
sama lain. Untuk ini, diperlukan pengetahuan memadai tentang bentuk-bentuk lafaz dan
aspek-aspek kebahasan lainnya. Namun, nash-nash tersebut tidak cukup dari aspek
kebahasaan, maka juga diperlukan mengaitkan dengan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, konteks tekstual (siyaq an-nash) itu sendiri. Kedua, konteks pembicaraan
(siyaq al-khitab). Ketiga, konteks kondisi signifikan (siyaq al-hal). Jadi, nash-nash
hukum tersebut harus dipahami secara detail satu per satu, secara komprehensif, baik
teks, konteks, atau latar belakang historis nash-nash itu muncul.

5.kelima, mempertimbangkan kondisi-kondisi dan indikasi-indikasi signifikan suatu


masyarakat, yang secara nyata dipahami dari konsep Asy-syatibi tentang qara‟in
ahwal terutama yang ma’qulah atau ghairu manqulah.

6.keenam, mencermati alasan („illah hukum) yang dikandung oleh nash-nash tersebut,
untuk diderivasi kepada konteks signifikan dalam merespons keberadaan alasan-
alasan huku tersebut dan menerapkannya dalam kasus-kasus empiris. Perlunya
mencermati „illah-„illah dalam nash-nash hukum terutama menyangkut amar dan
nahi, karena menurut Asy-syatibi, alasan mengapa sesuatu itu diperintahkan dan
mengapa sesuatu itu dilarang terkadang diketahui („illah ghairu ma‟luumah). Jika
‘illah itu diketahui, tuntutannya harus diikuti. Seperti nikah, alasannya („illahnya)
adalah untuk kemaslahatan keturunan, jual-beli untuk kemaslahatan pemanfaatan
benda yang ditransaksikan, sanksi hukum (hadd) untuk kemaslahatan survive atau
kelestarian hidup. “illah-‘illah diketahui melalui konsep masaalik al-„illah, seperti
yang banyak dikemukakan dalam literature ilmu usuul al fiqh. Apabila diketahui
“illahnya, diketahuilah bahwa tujuan asy-syar’I adalah apa yang dituntut oleh ‘illah-
‘illah, baik „illah untuk dilakukan maupun untuk ditinggalkan.

7.ketujuh, mereduksi nash-nash hukum menjadi suatu kesatuan yang utuh, melalui
proses abstraksi dengan mempertimbangkan nash-nash universal dan particular,
sehingga nash-nash yang sifatnya particular tersebut dapat masuk dalam kerangka
universal

8.kedelapan, cara kerja terakhir metode ini adalah menetapkan atau menyimpulkan
hukum yang dicari, baik sifatnya universal, berupa kaidah-kaidah usuliyah dan
kaidah-kaidah fiqh, maupun sifatnya partikular yang berupa spesifik.
Berdasarkan metode di atas, maka dapat diterapkan dengan mengikuti dua atau
salah satu dari dua kerangka konseptual, yaitu sifatnya min al-ala ila al-adna atau
identik dengan istilah up-down dan sifatnya min al-adna ila al-a‟la atau identik
dengan istilah bottom-up. Yang pertama dimulai dengan memahami nash-nash
kolektif, partikular, dan universal, untuk diambil suatu kesimpulan hukum. Kemudian
hukum tersebut diproyeksikan kepada kasus-kasus atau gejala sosial secara
mendalam, untuk ditarik suatu kesimpulan hukum tentatif. Kemudian, hukum tentatif
itu dikonfirmasikan dengan nashnash hukum. Bila ada unsur yang bertentangan, maka
nash-nash tersebut memberikan nilainilai yang sesuai dengan tujuan-tujuan umum
syar‟iah.

2. Penemuan Maqasid dari Masalah ilat-ilat dalam syariat


Imam alHaramian al-Juwaini adalah ulama pertama yang membahas teori maqâshid
asysyarî’ah. Bukti itu dapat ditemukan dalam karyanya yang berjudul al-Burham fi Ushul al-
Fiqh. Dalam bab qiyas, al-Juwaini menjelaskan illat (alasan-alasan) dan ushul (dasar) yang
merupakan emberio dari teori mashlahat. Barangkali karena itu al-Juwaini disebut salah satu
peletak dasar teori maqâshid asysyarî’ah.

Ada lima pembagian illal dan ushul dalam al-Burhan karya al-Juwaini yaitu :

Pertama, ashl atau dasar perkara primer (amr dharuri) yang menyangkut kepentingan
umum, misalnya men-qishash prilaku criminal, alasannya demi menjaga kehormatan darah
atau hak hidup masyarakat.

Kedua, dasar perkara dalam kepentingan umum yang tidak sampai ketingkat primer,
misalnya memperbaiki sistem sewa rumah, alasannya untuk mempermudah masyarakat yang
tidak mampu membayar secara kontan.
Ketiga, dasar perkara yang tidak ada hubungannya dengna primer ataupun kepentingan
umum, misalnya menghilangkan hadas kecil.

Keempat, dasar perkara yang bukan bersandar pada kebutuhan umum ataupun primer,
melainkan jika dilakukan akan menghasilkan hal yang disunahkan.

Kelima, dasar perkara yang tidak ditemukan baik itu pada unsur primer, kebutuhan
masyarakat, ataupun dorongan keadaan yang baik, seperti melakukan ibadah mahdhah.
Secara garis besar apa yang dilakukan al-Juwaini lewat pembagian lima illal dan ushul di
atas merupakan dasar pembagian tiga tingkat mashlahat sebagaiman yang dikenal melalui
sistematika dari Syathibi yaitu dharuiyat (hak primer), hajiyat (hak sekunder), dan tahsiniyat
(hak suplementer).

Metode penemuan Maqasid Syar’iah


Untuk mengetahui metode menemukan maqâshid asy-syâri’ah diperlukan upaya
untuk melakukan analisis terhadap lafaz-lafaz perintah dan larangan yang mencakup
sifat-sifat hukum yang terdapat pada lafaz-lafaz tersebut (‘illat al-awâmir wa an-
nawâhi), hakikat perintah perintah dan larangan secara lahiriah (al-awâmir wa an-
nawâhi asy-syar’îah baina at-ta’lîl wa adzdzhariyyah) disertai analisis terhadap tujuan
utama dan tujuna tambahan.
1. Analisis Terhadap Sifat-Sifat Hukum Yang Akan Dijadikan ‘illat al-Awâmir wa
an-Nawâhîy
Analisis ini dilakukukan untuk mengetahui alasan syari’i (Allah SWT dan
RasulNya) dalam menetapkan sesuatu. Menurut Asy-Syâthiby alasan (‘illat) ini
terkadang disebut secara jelas (tertulis) dalam nash dan terkadang tidak.
Alasan atau ‘illat yang tertulis misalnya adalah tentang anjuran menikah dan
disyariatkannya jual beli, sedangkan yang tidak tertulis jelas seperti tentang
pemahaman hadis “Jangalah hakim memutuskan perkara sedang ia dalam keadaan
marah”. Menurut asy-Syâthiby kondisi marah adalah sebab, sedangkan sifat lain yang
mungkin dijadikan ‘illat adalah ketidakstabilan pikiran hakim. Berdasarkan contoh
tersebut dapat dipahami bahwa asy-Syâthiby mengemukakan ‘illat yang tidak tertulis
jelas dalam nash.

2. Melakukan Analisis Terhadap Hakikat al-Awâmir wa anNawâhîy


Fokus cara ini adalah dengan melakukan penelaahan pada kata perintah dan
larangan yang terdapat dalam hukum. Ada pembatasan perintah dan larangan dengan
permasalahan yang lain adalah untuk menjaga dari perintah dan larangan yang
mengandung tujuan lain. Seperti firman Allah SWT Q.S al-Jumu’ah ayat 9.
Larangan jual beli bukan larangan berdiri sendiri, akan tetapi bertujuan untuk
menguatkan perintah melaksanakan shalat Jum’at. Jual beli sendiri hukum asalnya
suatu yang dibolehkan. Dari contoh tersebut diketahui bahwa tidak terdapat aspek
maqâshid asy-syâri’ah yang hakiki dari teks larangan jual beli tersebut.
3. Melakukan Analisis Terhadap Sukût asy-Syar’i Dalam Pensyariatan Suatu Hukum
Cara ini dilakukan untuk memahami hukum yang tidak disebutkan oleh Syari’i
dalam nash. Dalam hal ini ada dua kategori:
Pertama, as-sukût karena tidak ada faktor pendorong atau motif untuk
menghendaki lahirnya ketetapan hukum seperti pengumpulan alQuran dalam satu
mushaf yang dilakukan para sahabat setelah Nabi SAW wafat.
Kedua, as-sukût walaupun ada motif atau faktor pendorong ialah sikap diamnya
Syari’ terhadap suatu permasalahan hukum, walaupun pada dasarnya terdapat motf
atau faktor yang mengharuskan syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu
munculnya hukum tersebut. Hal ini menurut asySyâthiby keberlakuan suatu hukum
harus apa adanya tanpa penambahan dan pengurangan terhadap apa yang telah
ditetapkan, dan hal tersebut ialah maqâshid asy-syâri’ah.
4. Melauli Metode al-Istiqra’
Cara keempat ini merupakan metode penetapan kesimpulan qasd asy-syari’ yang
bukan hanya dilakukan dengan satu dalil tertentu saja, tetapi dengan menghimpun
sejumlah dalil lainya yang digabungkan satu sama lain. Kumpulan dalil-dalil itulah
yang menghasilkan sebuah kesimpulan makna umum (general) yang pada akhirnya
diterapkan untuk menyelesaikan secara.

Kesimpulan
1.Konsep al-istiqra‟ al-ma‟nawi suatu proses penerapkan hukum dengan
menggunakan penggabungan dalil-dalil dengan tidak menganggap suatu hukum
dengan satu dalil saja sudah cukup, dalil-dalil hukum yang dihimpun tersebut ada
yang sifatnya universal dan ada yang partikular, dan konsekuensinya ada hukum-
hukum universal dan hukum-hukum partikular, yang karena itu bentuk-bentuk lafaz
dari dalil tersebut ada yang yang umum, khusus, amar, nahi, zhahir, mutlaq,
muqayyad, dan lain-lain bentuk lafaz seperti yang telah diintroduksi oleh para ahli
hukum Islam dan sebagiannya telah direkonstruksi oleh Asy-syatibi.
Daftar Pustaka

1.Totok,2005, , Kamus Ushul Fiqih ,Jakarta: Dana Bakti Waka

2. Sahal Mahfudh, 1994,Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS)

3. Abu Ishaaq Ibrahim ibn Musa Asy-syatibi, al-Muwafaqaat fi Usul asy-Syari’ah,(Beirut


Daar- al-Kutubal-‘Ilmiyah,tt)

4. Maddatuang, Hizbuddin , PENGGUNAAN METODE AL-ISTIQRA’ AL-MA’NAWI


ASY-SYATIBI DALAM MENERAPKAN HUKUM

5. Aziz, Muhammad dan Sholikah , METODE PENETAPAN MAQOSHID AL SYARI'AH:


Studi Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi

Anda mungkin juga menyukai