Anda di halaman 1dari 14

MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

Muhammad Rifqi Hasan

Abstrak

Salah satu kajian utama bidang ushul fiqh adalah tentang maqashid al-syari‟ah, tujuan
diturunkannya hukum. Kajian ini terfokus pada kebutuhan pokok yang harus dimiliki oleh
manusia. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap, yang oleh Imam
al-Ghazali disebut sebagai dharury, hajy dan tahsiny. Maqashid as-syari‟ah adalah upaya
“terjemahan“ kehendak pembuat hukum (Allah) dan realitas kehidupan manusia. Dalam
memahami dinamika hukum Islam yang berkaitan dengan maqashid yang mengandung ke-
maslahatan duniawi dan ukhrawi, secara hakiki kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan dalam
hukum Islam. Oleh karena itu dengan pemahaman maqashid al-syari‟ah maka ijtihad dapat
dikembangkan terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan baru yang tidak disebutkan
dalam nash untuk menjawab terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.

Kata Kunci : Maqashid al-Syari‟ah

Pendahuluan
Penilaian dan pemahaman terhadap syariah tentu saja merupakan proses pemikiran
dan penalaran manusia, baik dalam bentuk pengenalan terhadap maksud aturan Alquran yang
di tunjuk secara jelas maupun dalam bentuk analogi (menganalogkan aturan baru dengan
aturan Alquran ). Kedua sifat dan dampak dari keseluruhan proses pemahaman terhadap
hukum Tu-han ini yang secara harfiah berarti usaha seseorang dengan mengarahkan daya
pikirannya dia-tur oleh teori hukum.
Agama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-
hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau
keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan
ummat yang terus berkembangmengikuti perubahan zaman.
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras
dan agama), rasional (akal dari hati nurani manusia sebagai partner dialog) dan necessary
(suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Oleh karenanya, dalam memahami ajaran Islam
pemahaman terhadap teks-teks fikih harus selalu memperhatikan tuntutan realitas social, agar
tercapai pemahaman yang applicable dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.1
Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah)
yang diperuntukkan untuk manusia. Berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara
fungsional dan dalam makna yang konteks yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan
manusia, baik secara individual maupun secara social (kolekti kemasyarakatan).
1

1
Mahsun, dkk., Metodologi Fiqh Sosial: Dari Qouli Menuju Manhaji, (Pati: Fiqh Social Institute STAI
Mathali’ul Falah, Januari 2015), hlm.77.
Dalam proses sejarah aturan-aturan syariah mengalami berbagai ragam interpretasi se-
hingga melahirkan berbagai konsep. Di antara konsep yang paling masyhur ialah konsep al-
Syatibi tentang maqashid al-syaria‟ah yang secara literar berarti tujuan penerapan hukum.
Se-jak terbitnya kitab al-Muwafaqat karya gemilang al-Syatibi, maqashid al-syariah menjadi
suatu konsep baku dalam ilmu ushul fiqh yang berorientasi kepada tujuan hukum syariah.
Kajian terhadap Maqashid al-Syariah itu sangat penting dalam upaya istibath hukum,
karena Maqashid al-Syariah bisa menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini
menjadi suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam
Nash.
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqasid syari’ah
merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama’
serta pakar hukum Islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu
pula perintah dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat
bahwa semuanya mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya
mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia. Pada pembahasan kali ini penulis akan
membahas tentang definisinya, hujjah, cara mengetahui dan tujuan mengetahui maqashid
syari’ah, macam -macamnya, dan contoh penerapannya.

Pengertian Maqashid Asy-Syari’ah


Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
1
manusia.

Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al-Syari’ah yang
berhubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata maqashid
adalah jamak dari kata maqshad yang berarti adalah maksud dan tujuan. Kata Syariah yang
sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah, maupun ditetapkan Nabi
sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan
apa yang ditetapkan Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan kepada kata
syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata syari’ah berarti pembuat hukum atau

1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), h. 233.

2
syar’i, bukan hukum itu sendiri. Dengan demikian, kata maqashid al-syari’ah berarti apa yang
dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan
hukum atau apa yang ingin di capai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.

Dari segi bahasa maqâshid al-syarî’ah berarti maksud atau tujuan disyariatkannya
hukum dalam Islam. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan
kajian yang menarik dalam bidang ushul fikih. Kajian itu juga identik dengan kajian filsafat
2
hukum Islam. Sebab pada kajian ini akan melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang
tujuan ditetapkannya suatu hukum.

Menurut Syatibi, “Sesungguhnya Syari‟at itu bertujuan untuk mewujudkan


kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat ’’.
Ibnu Qoyyum Al-Jauziyah, “ Syariah itu berdasarkan kepada hikmah hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang
berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat
3
mendatangkan maslahat ”.
Al Khadimi berpendapat, “ Maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid Syariah
adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara‟ dalam semua atau
sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syariat, atau rahasia dibalik
4
pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar‟i (Pemegang otoritas syariat, Allah dan rasul-nya).
Menurut Yusuf Qordhowi, Syariat adalah hukum yang ditetapkan Allah oleh hamba-
Nya tentang urusan Agama. Atau hukum agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh
Allah. Maqashid Syariah adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum
partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan
5
dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.
Ada juga yang memahami maqashid sebagai lima prinsip islam yang asas yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut lain, ada juga ulama klasik
6
yang menganggap maqashid itu sebagai logika pensyari;atan suatu hukum.

2
Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philoshoppy, (Delhi: Internasional Islamic Publishera, 1989), hal. 325.
3
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I‟lam al-Muwaqqi‟in (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), Jilid 3, h. 37.
4
Wahbah al Zuhaily, Ushul al Fiqh al Islami (Damaskus: Dar al Fikr, 1998), Juz II, h. 1045.
5
Yusuf Qordhowi, Fiqih Maqashid Syariah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 13
6
Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqashidi (qatar: 1998). H. 50

3
Para Ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslah dan sebab
sebab yang menjadi dasar syariattelah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi
dalam dua golongan sebagai berikut:
a. Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan
langsung antara manusia dan Khaliq, yang satu persatunya telah dijelaskan oleh Syara’.
b. Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali kepada maslahah-maslahah dunia.
Akal dapat mengetahui maksud Syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu
berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat
dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala mafsadat ialah haram. Namun ada
beberapa ulama, diantaranya Daud azh-Dzahiri tidak membedakan antara Ibadah dan
7
Muamalah.
Maqashid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam Ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
8
manusia.
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran
hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang
kasusnya tidak diatur, perlu diketahui dalam rangka mengetahui apakah terhadap suatu kasus
masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau, karena adanya perubahan struktur sosial,
hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang maqâshid al-
syarî’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.
Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan
pentingnya memahami maqashid al-syarî’ah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas
menyatakanbahwa seorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam,
sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-
9
laranganNya.
Oleh karena itu mengetahui tujuan umum syariat merupakan hal yang pokok dalam
kerangka melakukan ijtihad apalagi dalam upaya melakukan perubahan penerapan dan
pemahaman hukum Islam. Segala macam kasus hukum yang muncul baik yang secara ekplisit
diatur dalam al-Qur’an dan hadits maupun yang dihasilkan ijtihad harus bertitik tolak dari tujuan
tersebut. Dalam kasus hukum yang secara nyata dijelaskan dalam kedua sumber hukum

7
Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Usul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2001), h. 125
8
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), Cet. Ke-6, h. 233
9
Al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûl al-Fikih, (Kairo: Dar Anahar), Juz 1, hal. 295

4
fiqih yang utama, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika kemaslahatan itu
ternyata tidak dijelaskan secara ekplisit oleh kedua sumber utama fikih tersebut maka
peranan mujtahid, fuqaha untuk menggali dan menemukan kemaslahatan tersebut sangat
dibutuhkan. Penemuan maslahat yang digali oleh mujtahid tadi akan diterima selama tidak
bertentangan dengan maslahat yang dijelaskan dalam nash.
Perubahan kondisi sosial masyarakat akan menyebabkan terjadinya perubahan tentang
apa yang dipertimbangkan sebagai kemaslahatan dan keadilan yang ingin dicapai, dan
merupakan tujuan hukum Islam. Maka dengan sendirinya kenyataan terjadinya perubahan
dalam mempertimbangkan hal-hal yang terjadi berkaitan dengan kemajuan zaman dan
berubahnya kondisi kehidupan. Perubahan tersebut mencakup dua bidang yaitu ibadah dan
muamalah. Di samping ibadah, para ahli fikih sepakat bahwa tetap berlaku dan berubahnya
hukum semata-mata tergantung keputusan wahyu, sekalipun mengenaitahsîniyat ibadat ada
juga perubahan sesuai dengan perubahan kondisi. Sedangkan di bidang muamalat perubahan
hukumnya bisa berdasarkan wahyu dan atau adat.
Cara Memahami Dan Tujuan Mengetahui Maqashid Syari’ah

Maqashid adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri yang bermaksud dan tidak
dapat dilihat dari luar. Begitu pula maksud Allah, terutama yang berkenaan dengan penetapan
hukum adalah sesuatu yang tersembunyi. Oleh karena itu, hanya Allah yang mengetahui
maksud-Nya, yang mungkin dilakukan oleh manusia hanyalah “mengira” berdasarkan
petunjuk yang ada, yang hasilnya tentu tidak meyakinkan atau dzanni.

Dalam Pendahuluan di atas, telah dipaparkan bahwa sumber utama ajaran islam
adalah Al-Qur’an dan AsSunnah. Disamping pemahaman terhadap ayat – ayat Al-Qur’an,
perlu pula memahami terhadap Sunnah nabi sebagai sumber hokum islam kedua setelah Al-
Qur’an. Dalam dua sumber inilah Maqoshid al-Syari‟ah dilakukan.

Memahai maqoshid al Syariah adalah suatu tuntutan yang harus dilakukan dalam
rangka mengetahui masalah dari setiap hokum yang ditetapkan oleh Allah swt. Dikatakan
demikian karena pemahaman terhadap Maqoshid al Syari’ah memberikan kontribusi yang
besar dalam pengembangan hokum islam. Sementara itu, pengembangan hokum islam
merupakan codition sine quanon yangharus dilakukan agar hokum islam mampu merespon
segala perubahan dan perkembangan zaman. Pada gilirannya hokum islam senantiasa
adaptable dengan segala bentuk zaman keadaan dan tempat.

5
Dalam kaitan dalam upaya pemahaman maqoshid al Syari‟ah menurut al syatibi, para
ulama terbagi kepada tiga kelompok dengan corak pemahaman yang berbeda-beda:

Pertama, ulama yang berpendapat bahwa Maqoshid al Syari’ah adalah suatu yang
abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk dari tuhan dari bentuk zahir lafadz
yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian yang pada gilirannya bertentangan
dengan kehendak Bahasa. Petunjuk dalam zahir lafdz itu, baik disertai ungkapan bahwa taklif
tidak berkaitan kemaslahatan dengan hamba., atau sebaliknya, dengan mengatakan keharusan
urgensi kemaslahatan. Pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyas. Kelompok ulama’
ini disebut ulama al-zahiriyah. Contoh: Allah telah menegaskanhukum-hukumnya, berupa
wajib, haram, sunah dan sebagainya makruh. Selain dari hokum-hukum tersebut dengan
sendirinya mubah. Jika segenap hokum telah disebutkan dalam lahir nash, baik dalam bentuk
umum maupun khusus, maka dengan sendirinya taka da lagi hukm qiyas, sebab qiyas itu
digunakan oleh pemakainya dalam hal yang tidak memiliki nash.

Kedua, Ulama yang tidak menempuh zahir lafadz dalam mengetahui maqashid al-
Syari’ah. Kelompok ini terbagi Kelompok ulama berpendapat bahwa Maqashid al-Syari’ah
bukan dalam bentuk zahir dan bukan pula yang dipahami dari petunjuk zahir lafadz itu.
Maqashid al-Syari‟ah merupakan hal lain yang ada di balik tunjukan zahir lafadz yang
terdapat dalam semua aspek syari’ah, sehingga tak seorang berpegang dengan zahir lafaz
yang memungkinkan ia memperoleh pengertian Maqashid al-Syari‟ah. Kelompok ini disebut
ulama bathiniyah.

Kelompok yang berpendapat bahwa Maqashid al-Syari‟ah harus dikait-kaitkan


dengNan pengertian-pengertian lafadz. Artinya zahir lafaz tidak harus mengandung tunjukan
mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahir lafadz dengan nalar, maka yang diutamakan
dengan yang didahulukan adalah pegertian nalar, baik atas dasar keharusan menjaga
kemaslahatan atau tidak. Kelompok ini disebut kelompok al-mutammiqin fi al-qiyas. Contoh:
pembagan harta warisan 2:1 ini petunjuk Al-qur’an. Akan tetapi pembagian ini bias saja
berubahdengan melihat situasi kekinian. Misalnya, seorang ayah yang memiliki usaha
kemudian yang banyak terlibat membantu usaha ayah tersebut adalah seorang aak
perempuannya, sementara anak lelakinya tidak banyak membantu dalam pengembangan
usaha ayah tersebut. Maka anak perempuan bias mendapat dua bagian.

Ketiga, ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafadz dan
pertimbangan makna) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafaz dan tidak

6
pula merusak kandungan makna/illa agar syari’ah tetap berjalan sesuai harmoni tanpa
10
kontradisi-kontradisi. Kelompok ini disebut ulama Ar-rasikhin.

Contoh : Tuhan memperintahkan hamba-Nya untuk shalat dan zakat, maka perintah
Tuhan disini bersifat esensial dan universal, sehingga lafaz –lafaz yang mengandung perintah
tersebut dengan mudah memberikan pemahaman tentang maksud dan tujuan syariat yang
dikandungnya. Berbeda halnya larangan Tuhan melakukan shalat dalam keadaan mabuk
dalam QS. Al – Nisa/4: 43.

Larangan bershalat di sini tidak bersifat esensial, tetapi hanya bersifat kasuistik (juz’iy),
sehingga larangan bershalat itu bukanlah maksud syariat yang sesungguhnya. Menyangkut shalat,
syariat bermaksud memerintahkan manusia melakukannya dalam keadaan tidak mabuk, sejalan
dengan perintah umum dalam ayat – ayat lain. Maka di ayat yang melarang shalat tersebut Tuhan
mempunyai maksud lain, yakni haramnya mabuk, bukan haramnya shalat.

Dalam memahami maqasid al – syari‟ah ini, tampaknya al-syatibi termasuk dalam


kelompok ketiga ( ulama ar rasikhin) yang memadukan dua pendekatan (zahir lafaz dan
pertimbangan makna/illa) yang menurutnya sangat berkaitan. Pengejewantahan pemikiran ini
tampak dalam tiga cara yang dikemukakannya dalam upaya memahami maqasid al-syariah.

Macam-Macam Maqasid Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

a). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia
(Maqashid al- Dharuriyat).

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan
adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan
harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. Lantaran jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.

1) Agama

10
Al-syatibi, al-Muwafakat Fi Ushuli al syari’ah, juz II (Beirut: Dar al-Ma’rifah,tth), h.391-393.

7
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan
berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia
tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak
11
boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). Agama
Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung
jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah, akhlaknya, atau yang akan
mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil.

2) Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman


Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan). Sehingga dengan
demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam
terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut
juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang
seimbang dengan perbuatannya.

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu
hukum islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan
melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan
12
kemaslahatan hidupnya.

3) Memelihara Akal

11
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Amzah, t. th.), h. 1.
12
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005), H. 63.

8
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan
Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan
melengkapi bentuk itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang
minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang
yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan
menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada
seluruh hal yang ada di bumi ini. Termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah,
seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66 : “Dan sesungguhnya pada binatang
ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada
apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang
mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”

4) Memelihara Keturunan

Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan


zina. Menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan
itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap
sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anakanak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.
Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang
dapat membawa pada zina. QS, al-Isra’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini diatur lebih rinci dan pasti
dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan
13
kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

5) Memelihara harta benda

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah. Namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan

13
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), h. 64.

9
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan
14
mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai-menggadai dan lainnya.

b). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia
(Maqashid al-Hajiyat).

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu
yan dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah,
muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan
dan meringankan beban manusia.

Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,


kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan
hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan
ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti jual beli, syirkah (perseroan),
mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dan lainnya.

c). Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia
(Maqashid al-Tahsini).

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan


bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika
Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di
dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan
membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna. Ketika Islam menganjurkan derma
(infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal.

Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara
kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya,

14
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1992), h. 67.

10
atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan
15
tersebut.

Peran Maqashid Syari’ah Dalam Kehidupan.

Ilmu maqashid Asy Syari’ah adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki peranan
penting dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu tersebut, manusia akan kehilangan arah dalam
menentukan tujuan disyari’atkannya suatu hukum dalam kehidupan mereka. Tentunya akan
mengalami kesulitan. Diantara peran Maqashid Syari’ah dalam kehidupan adalah:

1. Al Maqashid Asy Syari’ah dapat membantu mengetahui hukum hukum yang


bersifat umum ( kuliyyah) maupun khusus( juz’iyyah)

2. Memahami nash nash syar’i secara benar dalam tataran praktek.

3. Membatasi makna lafadz yang dimaksud secara benar, karena nash yang berkaitan
dengan hukum sangatlah variatif baik lafadz maupun maknanya, maka Maqashid Syari’ah
berperan dalam membatasi makna tersebut.

4. Ketika tidak terdapat dalil dalam Al Qur’an maupun As Sunnah dalam perkara
perkara yang kontemporer, maka para mujtahid menggunakan maqashid syari’ah dalam
istinbath hukum setelah mengkombinasikan dengan ijtihad, istihsan, istihlah, dan sebagainya.

5. Al Maqashid Asy Syari’ah membantu mujtahid unntuk mentarjih sebuah hukum


yang terkait dengan perbuatan seorang hamba sehingga menghasilkan hukum yang sesuai
16
dengan kondisi masyarakat.

Penutup

Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan, dan
Syariah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jadi, Maqashid Syari’ah adalah
maksud Allah selaku pembuat syariah untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia di
dunia dan akherat. Yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan dlaruriyah, hajuyah, dan tahsiniyah
agar manusia bisa hidup dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah yang baik.

Kerangka Maqashid Syari’ah dibagi menjadi; (1) Dlaruriyah, adalah penegakan


kemaslahatan agama dan dunia. Selanjutnya, Dlaruriyah terbagi menjadi lima poin yang biasa

15
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 333.
16
Muhammad Mushtafa Az Zuhaili, Maqashid Syari’ah Al Islamiyah, Maktabah syamilah, h. 19.

11
dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu; (a) penjagaan terhadap agama (Hifz al-Din), (b)
penjagaan terhadap jiwa (Hifz al-Naf), (c) penjagaan terhadap akal (Hifz al-„Aql), (d)
penjagaan terhadap keturunan (Hifz al-Nasl), (e) Penjagaan terhadap harta benda (Hifz
alMal). (2) Hajiyah, adalah didefinisikan sebagai hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan
kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat menyebabkan bahaya dan ancama. (3)
Tahsiniyah, adalah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk
sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh akal sehat.

Daftar Pustaka

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005

al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟in, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996

al-Juwaini, Al-Burhân fî Ushûl al-Fikih, Kairo: Dar Anahar, Juz 1,

al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar, al-Ijtihad al-Maqashidi, qatar: 1998

al-Zuhaily, Wahbah Ushul al Fiqh al Islami, Damaskus: Dar al Fikr, 1998.

Az Zuhaili, Muhammad Mushtafa, Maqashid Syari‟ah Al Islamiyah, Maktabah syamilah,

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, Jakarta: Prenadamedia Group, 2005

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah, t.

Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Mas’ud, Kholid, Islamic Legal Philoshoppy, Delhi: Internasional Islamic Publishera, 1989

Mahsun, dkk., Metodologi Fiqh Sosial: Dari Qouli Menuju Manhaji, (Pati: Fiqh Social
Institute STAI Mathali’ul Falah, Januari 2015), hlm.77.

Qordhowi, Yusuf, Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006

Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1992

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008

Umam, Khairul dan Aminudin, Ahyar, Usul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2001

Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2009,

12
13

Anda mungkin juga menyukai