Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat pada periode modern telah


mengundang sejumlah masalah serius berkaitan dengan hukum Islam, tetapi metode
yang dikembangkan para pembaharu dalam menjawab permasalahn tersebut terlihat
belum memuaskan. Kebutuhan mendesak para pembaharu Islam sekarang ini jika
mereka ingin menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan berkembang secara
konsisten adalah merumuskan suatu metodologi sistematis yang mempunyai akar
Islam yang kokoh.

Salah satu konsep penting adalah kajian hukum Islam adalah maqasyid al-syari’ah
yaitu tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Karena begitu pentingnya
maqasyid al-syari’ah sebagai salah satu kriteria bagi mujtahid yang melakukan ijtihad.
Adapun inti dari konsep maqasyid al-syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian maqasyid al-syari’ah
b. Apa pengertian ijtihad?
c. Bagaimana hubungan maqasyid al-syari’ah dengan metode ijtihad lain?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari makalah ini antara lain:

a. Untuk mengetahui pengertian maqasyid al-syari’ah


b. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
c. Serta mengetahui bagaimana hubungan maqasyid al-syari’ah dengan metode
ijtihad lain

BAB II

PEMBAHASAN

1
A. Pengertian Maqasyid al-Syari’ah
Secara bahasa maqasyid as-syar’ah terdiri dari dua kata yaitu maqasyid
yang artinya kesengajaan atau tujuan dan syariah artinya jalan menuju sumber
air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. 1
Adapun tujuan maqasyid al-syari’ah adalah untuk kemaslahatan.
Kemaslahatan dapat terealisasikan dengan baik jika lima unsur pokok dapat
mewujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
Tujuan syari’ dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada
orang-orang mukallaf adalah upaya untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan
bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang daruriy, hajiy,
dan tahsiniy.
Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk
menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, tujuan dari tiga kategori
tersebut ialah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaus muslimin baik di
dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik Tuhan berbuat
demi kebaikan hamba-Nya.2
Kemaslahatan yang ingin diselesaikan adalah yang memiliki syarat
seperti berikut:
1. Masalah itu harus real atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan
khayalan.
2. Maslahat yang ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima
akal.
3. Harus sesuai dengan tujuan syariat secara umum, dan tidak
bertentangan dengan prinsip umum syariat.
4. Mendukung realisasi masyarakat daruriyat atau menghilangkan
kesulitan yang berat dalam beragama.

Adapun manfaat mempelajari maqasyid al-syariah ialah sebagai berikut:

1. Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’ baik yang umum


mupun khusus.
2. Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap zaman.
3. Membantu ulama berijtihad dalam bingkai tujuan syariat Islam.

1 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
2013) hlm. 105
2 Ibid hlm. 105

2
4. Mempersempit perselisihan dan ta’shub si antara pengikut mazhab
fiqh.

B. PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang bersti
kemampan, potensi, dan kapasitas. Dalam lisan al-arab disebutkan bahwa al-
juhd berarti kemampuan dan maksimalisasi seperti halnya Iqbal meyebut
sebagai prinsip gerak struktur Islam.3 Sedangkan ijtihad diartikan sebagai
mengeluarkan segala kemampuan dalam menanggapi sesuatu. Wazan ifti’al
menunjukkan artimubgalaghah (melebihkan) dari kata dasarnya. Dengan
wazan yang sama, iktasaba lebih berarti mubalaghah (berusaha keras)
daripada arti kasaba (berusaha). Dengan pengertian ini, ijtihad menurut bahasa
artinya mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk
sampai pada satu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung
konsekuensi kesulitan dan keberatan (masyaqqah).4

Secara etimologis, ijtihan menurut ibn al-hajib yaitu, upaya keras


seorang untuk sampai pada hipotesis terhadap hukum syariah (istifragh al-
wus’i li tahshil zhann bi hukm syar’i) . Berkaitan dengan definisi ijtihad di
atas Al-Syarafi menjelaskan:

1. Istifragh al-wus’I (upaya keras seorang ahl al-fiqh), maksudnya adalah


mengeluarkan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum dengan
merasa bahwa dirinya lemah untuk mendapatkan hukum yang lebih
jelas.
2. Kata li tahshil zhann (untuk sampai pada hipotesis), masudnya
menjelaskan bahwa hal yang diijtihadi adalah hal-hal yang sifatnya
hipotesis, bukan yang definitif yang tidak lagi perlu diijtihadi.
3. Kata bi hukm syar’I (terhadap hukum syariah) untuk membuang
cakupan yang bersifat sentimental dan logis, karena wilayah
pembahasan di sini adalah ijtihad terhadap yang ada kaitannya dengan
syariat saja

3 Muhammad Iqbal, Rekontruksi Pemikiran Islam: Studi tentang konstribusi Gagasan


Iqbal dalam Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4
4 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 2013) hlm. 89

3
a. Metode Ijtihad
1. Ijma’

Secara bahasa, ijma’ berarti al-‘azm (berketetapan hati untuk


melakukan sesuatu) dan al-tashim (berketetapan hati untuk mengambil
keputusan).

2. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti al-taqdir al-taswiyah (menduga dan
mempersamakan).
3. Saddud al- Zari’at
Di artikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan
teradapsuatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.
4. Istihsan
Diartikan sebagai upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip
umum dalam satu nash, disebabkan adanya nash lain yang
menghendaki demikian.
5. Al-Maslahat al-Mursalat
Merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya diatur
secara eksplisit dalam al qur’an dan al hadits. Hanya saja metode ini
lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.

C. Hubungan Maqasid al-Syariah dengan beberapa metode Ijtihad

Sebagai mana telah dijelaskan, pada dasarnya tujuan utama


disyariatkannya hukum islam adalah untuk memelihara kemaslahatan dan
sekaligus menghindari kemafsadatan, didunia maupun di akhirat. Pencarian
para ahli ushul fiqh terhadap al maslahah atau kemaslahatan itu diwujudkan
dalam bentuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh
mereka untuk menyebutkan metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya,
semua metode itu bermuara pada upaya penemuan kemaslahatan umat
manusia, dan menjadikan sebagai alat untuk menetapkan hukum yang
kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam al qur’an maupun al
hadits. Atas dasar asumsi ini maka dapat dikatakan, bahwa setiap metode
penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqh bermuara pada al-
muqasid al-syari’ah.

Metode istinbat hukum dengan menggunakan qiyas dan maslahat al


mursalah ataupun yang lainnya adalah metode yangdapat digunakan dalam

4
pengembangan hukum islam dengan menggunakan atau dikaitkan dengan
maqasid al-syariah sebagai dasar untuk memperolehkemaslahatan yang
dihendak dicapai dalam hukum yang ditetapkannya. Misalnya metode qiyas
baru bisa dilaksanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-syari’ah yaitu
dengan menentukan illat hukum dari sebuah permasalahan hukum. Contohnya
hukum dari meminum khomr adalah karena sifatnya yang memabukan dan
bisa merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat hukum khomr
adalah memabukan dan dapat merusak akal. Khamr adalah hanya salah satu
contoh dari sekian banyak hal yang memiliki banyak kesamaan sifat
dengannya. Terlebih dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini maka sangat banyak sifat-sifat dari zat-zat kimia yang memiliki
kesamaan sidat dan fungsi dengan khamr diatas.

Dari sini dapat dilihat betapa erat hubungan antara metodeqiyas


dengan maqasid al syari’ahi. Para ahli ushul fiqh mengelaborasi
keterkaitannya, menurut mereka illat baru bisa dijadikan sebagai dasar
penerapan hukum setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyariatkannya
hukum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum, tidak dapat
diabaikan pemahaman tentang maslahat dan mafsadat yang menjadi ini kajian
maqasid al syari’ah5.

Selain itu,untuk mengetahui kedudukan maslahah al mursalah dalam


pandangan para ulama, tampaknya memang harus dikaitkan dengan analisis
maqasid al syari’ah. Analisis ini dapat melahirkan dua dampak yaitu dampak
positif, yang pertama dapat menampakkan titik temu perbedaan pendapat
antara ulam yang menggunakan maslahah al mursalah. Kedua, analisis
keterkaitan ini dapat menunjukkan bahwa betapa pentingnya maqasid al
syari’ah dalam rangka penajaman analisis metode maslahah al mursalah
sebagai corak penalaran istilahi untuk memecahkan masalah-masalah hukum
islam.

Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu


perbedaan pendapat para ulama, amat penting dan menarik untuk
mengemukakan pendapat Imam Ghozali. Menurut Imam Ghozali, apabila
5 Fathurrahman Djamil, filsafat Hukum islam. (Jakarta; logos wacana Ilmu)
1997. Hal 135-136

5
yang dimaksud dengan maslahah adalah dalam rangka memelihara dan
mewujudkan tujuan syara’, maka tidak perlu diperselisihkan, bahkan harus
didikuti karna ia merupakan hujjah. Oleh karnanya Abu Zahrah misalnya
langsung mengatakan, maqasid al syari’ah dengan batasan maslahah al
mursalahnya6. Baginya suatu kemaslahatan harus sesuai dengan maksud-
maksud pembuat hukum secara umum. Keterkaitan maqasid al syari’ah secara
tegas dinyatakan oleh al Syatibi. Setiap kemaslahatan yang tidak ditunjukan
oleh nash secara khusus, akan tetapi ha itu sesuai dengan syara’7.

Dalam karya al-I’tisham, al-Syatibiy banyak mengemukakan contoh


maslahah al mursalah yang ia kaitkan secara erat dengan maqasid al Syari’ah.
Antara lain, tentang pentadwinan atau kodifikasi al quran dan kesaksian anak-
anak. Terkait dengan kodifikasi al quran, memang tida ada nash yang
memerintahkannya, akan tetapi juga tidak terdapat nash yang melarangnya.
Sikap dian al Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu itu tidak ada motif
yang menjadi pendorong keharusan pentadwitan al quran. Dengan demikian
pentadwitan al quran yang terjadi kemudian tidaklah bertentangan dengan al
Syari’.

Sedangkan dalam masalah kesaksian anak, atas dasar kemaslahatan


kesaksian mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu
perkara, walaupun tidak ada ketetapan dari al Syari’, hanya mengatakan
bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa, maka persaksian anak
menjadi bahan pertimbangan. Dari beberapa contoh diatas maka akan
tamopaklah pentingnya maqasid al syari’ah dan metode memahaminya untuk
memperkuat dan mempertajam analisis metode maslahah al mursalah sebagai
corak penalaran istishlahibagi setiap upaya pengembangan dan dinamika
hukum islam.

6 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Kairo; Dar al-Fikr al-Arabiy,1958)hal


221.
7 Al-Syatibiy, al Muafaqat. Hal 111

6
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pensyari’atan hukum islam oleh al syari’ah dalam hal ini


adalah Allah SWT. Tidak lain hanya untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia dan menjauhkan manusia dari
kemafsadatan manusia, yang dapat merugikan baik didunia
maupun diakhirat. Hanya saja pensyariatan hukum islam yang
tertuang dalam alquran dan al hadits. Ada kalanya penunjukan
terhadap maksud diturunkan atau disyari’atkannya
syar’iattersebut bersifat ekspilisit atau jelas dan ada kalanya
tidak jelas.

7
Selain itu perkembangan daSn kemajuan hidup manusia
membuat munculnya persoalan-persoalan hukum baru yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam al quran dan al hadits.
Oleh karna itu, dalam hal ini peranan para mujtahid sangat
dibutuhkan untuk memecahkan kasus-kasus hukum tersebut, dan
menemukan kemaslahatan dalam setiap ijtihad hukumnya.

Maka dalam rangka pengembangan hukum islam dalam


konteks ini, maqasid al syari’ah memiliki peranan yang sangat
penting untuk menjaga dan mewujudkan kemaslahatan umat
manusia baik didunia maupun diakhirat kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqh, Kairo; Dar al-Fikr al-


Arabiy,1958.

Djamil, Fathurrahman, filsafat Hukum islam. (Jakarta; logos wacana


Ilmu) 1997.

Iqbal, Muhammad, Rekontruksi Pemikiran Islam: Studi tentang konstribusi Gagasan


Iqbal dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

8
Syukri Albani Nasution, Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 2013.

Anda mungkin juga menyukai