1
BAB I
PENDAHULUAN
2
a. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
c. Asas monogami, jika seorang suami ingin berpoligami maka harus mendapatkan ijin dari
seorang istri dan dari pengadilan.
d. Batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.
e. Mempersukar terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
BAB II
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
Undang-Undang Perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan yaitu
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Tujuan Perkawinan
Tujuan Perkawinan dalam Islam:
a. Mengahalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan.
b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
c. Memperoleh keturunan yang sah.
BAB III
3
1. Perkawinan Sunah
Perkawinan hukumnya sunah apabila seorang dilihat dari segi jasmaniahnya
sudah memungkinkan untuk kawin, dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya
hidup, maka orang seperti itu di sunahkan untuk kawin. Kalau dia kawin akan mendapat
pahala sedangkan kalu tidak kawin dia berdosa dan tidak mendapatkan apa-apa.
2. Perkawinan Wajib
Perkawinan hukumnya menjadi Wajib apabila seorang dilihat dari segi biaya hidup sudah
mencukupi dan dari segi jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga
kalau tidak kawin dia kan terjerumus melakukan penyelewengan, maka orang tersebut
diwajibkan unruk kawin.
3. Perkawinan Makruh
Perkawinan hukumnya menjadi Makruh apabila seorang yang dipandang dari segi
jasmaniahnya sudah wajar untuk kawin, namun biaya perkawinan belum ada, sehingga
kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup istri dan anak-anaknya, maka bagi orang
tersebut makruh untuk melangsungkan perkawinan.
4. Perkawinan Haram
Haram, apabila seorang yang mengkawini seorang wanita hanya dengan maksud
menganiaya atau memperolok-olokannya, maka haramlah baginya untuk kawin.
Sehingga untuk melaksanakan perkawinan seorangf tidak boleh dipaksa walaupun itu
walinya sendiri, asalkan tindakannya tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan haknya itu. Jadi pelaksanaan perkawinan itu hanya dapat dilakukan apabila telah ada
persetujuaan dan kesukarelaan dari pihak-pihak yang mempunyai hak. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa perkawinan tanpa adanya kesukarelaan dari pihak-pihak yang mempunyai
hak dalam perkawinan itu, maka perkawinan itu menjadi tidak sah.
C. Peminangan (Khitbah)
Peminangan dalam ilmu Fiqih disebut “Khitbah” artinya permintaan. Menurut istilah
pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki keapda seorang wanita untuk
mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan
pihak lain yang dipercayai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Agama.
Sebelum sebelum melakukan pminangan dianjurkan agar seorang laki-laki menyidiki
terlebih dahulu mengenai keadaan wanita yang akan dipinangnya untuk menjamin
kelangsungan kehidupan rumah tangganya kelak. Hal yang perlu diselidiki ialah: budi pekerti
dari wanita yang akan dipinangnya, keadaan jasmaniahnya, apakah wanita tersebut masih
4
mempunyai hubungan muhrim atau tidak, apakah wanita yang akan dipinang itu sejodoh
dengan laki-laki tersebut, dan lain sebagainya.
1. Wanita yang boleh dipinang
Adapun wanita yang boleh dipinang ialah:
a. Tidak ada halangan menurut ketentuan syara’ misal: wanita tersebut tidak ada
hubungan muhrim dengan laki-laki yang hendak meminangnya, wanita yang
tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau wanita yang tidak
sedang menjalani iddah talak raj’i.
b. Wanita yang sedang tidak dipinang oleh laki-laki lain.
2. Wanita yang haram dipinang
a. Wanita yang sedang menjalani masa iddah talaq raj’i.
b. Wanita yang vharam dipinang secara terus terang tetapi boleh dipinang secara
sindiran:
1) Wanita yang sedang menjalani iddah talaq bain, yaitu talaq yang ketiga
kalinya.
2) Wanita yang sedang menjalani iddah kematian.
3. Melihat wanita yang dipinang
Melihat wanita yang dipinang itu dianjurkan oleh agama. Supaya laki-laki itu
dapat mengetahui keadaan wanita itu sebetulnya, tidak hanya mendengar dari orang
lain. Dengan melihat sendiri, maka ia dapat mempertimbangkan masak-masak
apakah wanita itu sudah cocok dengan hatinya. Sebagian besar fuqahan berpendapat
meminang seorang wanita hanya boleh melihat muka dan telapak tangan saja.
Menurut pendapat lain muka dan telapak tangan laki-laki boleh melihat bagian-
bagian lain yang menurut kebiasaan dapat terlihat diwaktu seseorang menemui tamu
secara sopan dirumahnya, misal: telapak kaki, rambut, leher dan lengan dari wanita
yang dipinang itu. Wanita yang sedang dipinang dan dilihat oleh seorang laki-laki
harus ditemani oleh mahramnya, sebab menurut Islam wanita dan laki-laki dilarang
duduk berduaan tanpa mahram pihak wanita.
4. Pertunangan
Apabila pinangan seorang laki-laki diterima oleh pihak wanita, maka antara laki-
laki dan wanita itu telah mengadakan janji untuik melaksanakan perkawinan dimasa
yang akan datang. Masa ikatan tersebut disebut masa “khitbah” atau masa
pertunangan. Dalam masa pertunangan ini laki-laki dan wanita belum boleh bergaul
seperti suami-istri, karena mereka belum terikat oleh tali perkawinan. Dalam masa
pertunangan ini biasanya ada pemberian barang-barang sebagai hadiah dari pihak
calon suami kepada calon istrinya.
Walaupun dalam tuntunan agama Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji
adalah suatu kewajiban, namun dalam masalah janji untuk kawin ini, terjadi hal-hal
yang dapat menjadi alasan yang sah menurut ajaran Islam untuk memutuskan
pertunangan. Misalnya, dalam masa pertunangan salah satu pihak menemukan cacat
fisik atau mental pada pihak lain, yang dirasa bisa menyebabkan tujuan perkawinan
tidak bisa tercapai, maka memutuskan pertunangan dalam hal seperti ini tidak
dianggap melanggar kewajiban memenuhi janji.
5
D. Rukun dan syarat Perkawinan
Macam-macam rukun perkawinan ialah:
1. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
Adapun syarat yang harus dipenuhi ialah:
a. Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna, suami-istri harus sudah
matang jiwa dan raga.
b. Berakal sehat.
c. Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan kesukarelaan kedua belah
pihak.
d. Wanita yang berhak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah satu
macam wanita yang haram untuk dikawini. Wanita yang haram dinikahi ialah
wanita yang beda agama, wanita yang mempunyai hubungan darah, hubungan
sepersusuan, hubungan semenda dan wanita yang disumpah lia’n.
2. Wali
Syarat menjadi wali ialah:
a. Orang mukallaf/baligh, orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
b. Muslim.
c. Berakal sehat.
d. Laki-laki.
e. Adil.
a. Wali Nasab
Anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai
hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan.
b. Wali Hakim
Dalam hal wali nasab tidak ada dan tidak ada yang mewakilinya maka yang
menjadi wali ialah wali hakim.
c. Wali Muhkam
Apabila wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai wali karena
sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi wali, maka wali yang
ditunjuk oleh mempelai perempuan yang tidak ada hubungan saudara, dan juga
bukan penguasa disebut wali Muhkam.
3. Dua orang Saksi
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi ialah:
a. Mukallaf atau dewasa.
b. Muslim
c. Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan pada
waktu akad nikah dilaksanakan.
d. Adil, yaitu orang yang taat agama.
e. Saksi yang hadir minimum dua orang. Saksi itu harus laki-laki tetapi bila tidak
ada maka boleh dihadiri satu orang saksi dan dua orang saksi wanita.
4. Akad Nikah
Akad Nikah ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri
untuk mengikat diri mereka dengan tali perkawinan dengan menggunakan kata ijab
dan qobul. Adapun syarat shigat akad nikah ialah:
6
a. Shigat harus di ucapkan secara lisan, jika dapat mengucapkan bisa menggunakan
tulisan atau menggunakan tanda-tanda isyarat tertentu.
b. Akad nikah harus dilakukan dalam satu majelis.
c. Antara ijab dan qobul tidak boleh diselingi kata-kata lain atau perbuatan-
perbuatan lain yang dapat dipandang mempunyai maksud mengalihkan akad
yang sedang dilangsungkan.
d. Ijab dan qobul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada
waktu yang akan datang, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
e. Masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau isyarat-isyarat
yang diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.
5. Mahar
Mahar ialah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami
kepada calon istrinya dalam shigat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan
dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami-istri. Adapun macam-macam
mahar dapar dibagi menjadi dua yaitu:
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang telah ditetapkan jumlahnya.
b. Mahar Mitsil
Mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga
pihak istri, karena pada waktu akad nikah jumlah mahar dan bentuknya
belum ditetapkan.
E. Walimah
Walimah atau pesta kawin adalah suatu yang dianjurkan dalam Islam. Hukum untuk
mengadakan walimah menurut pendapat jumhur ulama ialah sunnah muakkad, yaitu sunnah
yang diutamakan. Sedangkan hukum untuk menghadiri walimah ialah wajib. Jadi apabila
seseorang menerima undangan untuk menghadiri walimah ia harus datang kecuali kalau ada
halangan-halangan tertentu yang betul-betul menyebabkan orang itu tidak dapat mendatangi
undangan walimah tersebut.
Beberapa hal yang perlu diingat dan diperhatikan baik bagi yang menyelenggarakan
walimah maupun yang menghadiri walimah ialah:
a. Walimah harus diselenggarakan sesuai dengan kemampuan jangan berlebih-lebihan
dan jangan memboroskan hal-hal yang dipandang tidak perlu.
b. Menyelenggarakan walimah harus dengan ikhlas, jangan mengharap sumbangan
lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
c. Tamu-tamu harus disambut dengan rasa hormat dan diterima kasih. Jangan
membedakan antara yang membawa sumbangan atau tidak, ataupun antara kaya dan
yang miskin.
d. Menyelenggarakan hiburan diperbolehkan, asal tidak bertentangan dengan ajaran
Agama.
e. Para tamu jangan sampai menolak hidangan yang disuguhkan, kalau senang
dimakan, kalau tidak senang dibiarkan.
f. Sebaiknya menyelenggarakan walimah diadakan sekali saja.
7
2. Adanya ijin dari kedua orang tua atau wali, ijin ini hanya diperlukan bagi calon
mempelai yang belum berumur 21 tahun.
3. Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberi ijin adalah:
a. Wali yang memelihara calon mempelai.
b. Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka msih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Batas umur melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon
suami dan 16 tahun bagi calon istri.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
DALAM PERKAWINAN
8
b. Suami sebagai kepala rumah tangga.
c. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan baik.
9
BAB V
PUTUSNYA PERKAWINAN
A. Arti Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Perkataan talak dalam
istilah fiqih mempunyai dua arti yaitu arti umum dan khusus. Talak menurut arti umum ialah
segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh haki,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah
seorang dari suami atau istri. Sedangkan perceraian secara arti khusus ialah perceraianyang
dijatuhkan oleh pihak suami.
B. Sebab-sebab putusnya Hubungan Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:
1. Talak
Syarat sah seorang suami menjatuhkan talak ialah:
a. Berakal sehat.
b. Telah baligh.
c. Tidak karena paksaan.
Sighat talak bisa diucapkan secara langsung atau dengan perkataan yang jelas dan ada
yang diucapkan secara sindiran. Macam-macam talak ada empat yaitu:
a. Talak Raj’i
Talak dimana suami boleh merujuk istrinya pada masa iddah.
b. Talak Ba’in
Talak satu atau dua, talak ba’in ini dibagi menjadi dua yaitu:
1) Talak ba’in sugra
Talak satu atau dua yang disertai iwald dari pihak istri, suami tidak boleh
merujuk kembali istrinya dalam masa iddah. Kalau suami ingin merujuknya
kembali maka harus menggunakan akad perkawinan yang baru.
2) Talak ba’in kubra
Talak yang ketiga yang dijatuhkan oleh suami, seoarang suami tidak boleh
merujuknya kembali meskipun dalam masa iddah atau pun masa iddahnya
habis. Suami bisa merujuknya kembali jika istri telah kawin dengan laki-laki
lain dan telah dicampuri dan dicerai oleh suami barunya serta harus menunggu
masa iddahnya habis baru bisa dirujuk kembali.
c. Talak Sunni
Talak yang dijatuhkan pada waktu si istri belum dicampuri dan talak yang
dijatuhkan ketika si istri hamil.
10
d. Talak Bid’i
Talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadis, talak
ini hukumnya Haram.
2. Khuluk
Betuk perceraian atas persetujuan suami-istri dengan jatuhnya talak satu dari suami
kepada istri dengan tebusan dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khuluk.
3. Syiqaq
Perselisihan suami-istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, satu dari pihak suami
dan yang satu dari pihak istri.
4. Fasakh
Perkawinan diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim
Pengadilan Agama. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu
pihak menemui cela pada pihak lain atau tertipu atas hal-hal yang belum diketahui
sebelum berlangsungnya perkawinan.
5. Taklik talak
Suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah
disebutkan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
6. Ila’
Suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan
selama itu istri tidak ditalak ataupun diceraikan.
7. Zhihar
Seroang suami yang menyamakan atau bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama
dengan punggung ibunya.
8. Li’an
Laknat yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat
tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan
sumpah li’an ini dapat mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami-istri untuk
selamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian seorang suami atau istri.
C. Akibat perceraian
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika ada perselisihan maka Pengadilan
memberi keputusan.
2. Baiaya pemelihraan dan pendidikan anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali
dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan
kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
D. Iddah
Iddah ialah masa menunggu atau masa tenggang waktu setelah jatuh talak, dalam waktu
mana si suami boleh merujuknya kembali. Iddah dibagi menjadi dua yaitu:
1. Iddah kematian
11
Istri yang ditinggal mati oleh suaminya harus menjalani masa iddahnya yaitu 4
bulan 10 hari, jika ia dlam keadaan hamil maka masa iddahnya sampai melahirkan
kandungan.
2. Iddah Talak
a. Untuk istri yang dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan
kandungannya.
b. Untuk istri yang masih mengalami haid, maka iddahnya tiga kali suci.
c. Untuk istri yang tidak pernah mengalami atau tidak dapat haid lagi, maka iddahnya
tiga bulan.
d. Bagi istri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian di talak, maka istri tersebut
tidak mempunyai masa iddah.
e. Perceraian dengan jalan fasakh berlaku juga ketentuan iddah talak.
E. Rujuk
Rujuk berarti kembali, maksudnya kembali hidup sebgai suami-istri antara laki-laki dan
wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah
tanpa pernikahan ba’in. Syarat rujuk ialah:
1. Bekas istri yang ditalak sudah pernah dicampuri.
2. Harus dilakukan dalam masa iddah.
3. Harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
4. Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwlad dari pihak istri.
5. Persetujuan istri yang akan dirujuk.
F. Hadlanah
Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka
yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan itu ialah ibu, atau nenek seterusnya keatas.
Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu termasuk biaya pendidikannya
menjadi tanggungjawab ayahnya.
Walaupun kewajiban memelihara dan membiayai pendidikan anaknya aladah
tanggungjawab suami, tetapi dalam hal suami tidak mampu, maka tanggungjawab ini diambil
alih oleh si ibu atau dilaksanakan bersama-sama antara ibu dan bapak sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
12