Anda di halaman 1dari 16

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN KUALITASNYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis

Dengan Dosen Pengampu Winarto.S.Th., M.Si

Disusun oleh:

Arfin maulana 182121026

Azhar fauzan al warist 182121038

Muhammad sangidun 182121043

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadist secara bahasa berarti baru, berita, kabar. Sedangkan secara istilah
hadist berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan ketetapan), keadaan, ataupun sifat.
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan
definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin
ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah “Segala perkataan Nabi,
perbuatan, dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.

Pengertian hadis menurut ahli ushul adalah segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan
hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu
tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad
sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang
berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan
perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya,
tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat
kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.

Yang dimaksud keadaan adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dalam kitab
sejarah, seperti kelahiran, tempatnya dan hal yang bersangkutan dengannya baik
sebelum diangkatnya sebelum jadi rasul ataupun sesudahnya. Oleh karena itu ada
istilah hadist marfu’ yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, mauquf
yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan hadist maqtu yaitu hadist yang hanya
sampai kepada tabi’in saja.
Pada abad pertama hijriyah yakni masa Rasulullah SAW, masa khulafaur
rasyiddin dan sebagian besar masa bani umayyah hadist-hadist diriwayatkan dari
mulut ke mulut. Masing-masing perowi meriwayatkan hadist berdasarkan kekuatan

1
hafalannya. Lalu pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yakni tahun 99 H beliau
menjadikan hadist terkodifikasi.
Dalam perkembangan berikutnya hadist terbagi-bagi berdasarkan beberapa hal
diantaranya berdasarkan kualitas dan kuantitasnya. Dari segi kualitas hadist dapat di
klasifikasikan menjadi tiga, yaitu hadist sohih, hasan dan dho’if yang akan dijelaskan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadist sohih?
2. Bagaimana penjelasan mengenai hadist hasan?
3. Apa yang dimaksud hadist dho’if dan bagaimana penjelasannya?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadist Sohih

1. Definisi Hadist Sohih

Para ulama telah mendefinisikan hadist sohih yang telah diakui dan
disepakati kebenarannya oleh para ahli hadist. Yaitu “hadist sohih adalah hadist
yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil Dhabith dari
rowi lain yang adil dan Dhabith sampai akhir sanad, dan hadist itu tidak janggal
serta tidak mengandung cacat” 1.

Artinya: “telah meriwayatkan kepada kami Quthaibah bin Said, ia


berkata telah meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umaroh bin Qaqa dari Abu
Syuroh dari Abu Hurairah, ia berkata “datang seorang laki-laki kepada
Rasulullah SAW lalu berkata “ya Rasulullah siapakah yang berhak mendapat
perlakuan baik?” Rasulullah menjawab “ibumu” orang itu bertanya lagi
“kemudian siapa?” Rasululllah menjawab “ibumu” orang itu kembali bertanya
“kemudian siapa?” Rasulullah menjawab “ibumu” orang itu bertanya lagi
“kemudian siapa?” Rasulullah menjawab “bapakmu”. (H.R Bukhori-Muslim)

Pada hadist diatas sanad bersambung melalui pendengaran orang yang


adil dan Dhabith dari orang yang semisalnya, sedangkan Bukhori-Muslim adalah
dua orang imam hadist yang agung. Guru mereka Qutoibah bin Said adalah orang
yang siqat dan Dhabith serta berkedudukan tinggi demikian pula Jarir putra
Abdul Hamid seorang yang siqat, Umaroh bin Qaqa juga seorang yang siqat,
demikian pula Abu Zurah putra Amr bin Jarir bin Abdullah Al-Bajali.

Para rowi dalam sanad diatas tergolong orang yang siqat dan Dhabith
serta dijadikan berhujah oleh para ulama dan telah dikenal baik oleh dan padanya
tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadist tersebut sesuai

1
Muhammad Ahmad, Ulumul Hadist, (Bandung: Pustaka Setia 1998). Hlm. 101

3
dengan dalil-dalil yang lain tentang hal yang sama dengan demikian hadist diatas
termasuk hadist sohih2.

2. Syarat-syarat Hadist Sohih


Dari penjelasan diatas kita dapat memahami bahwasannya suatu hadist dapat
dikatakan sohih apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Diriwayatkan oleh para rowi yang adil
Kata adil bermakna lurus, tidak berat sebelah, tidak dholim dan tidak
menyimpang. makna perowi yang adil secara bahasa berarti perowi yang lurus
atau tidak menyimpang. Yang dimaksud adil adalah memiliki sifat-sifat yang
dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan baik aqidahnya, terpeliharanya dari dosa
besar dan kecil dan terpelihara akhlaknya disamping ia harus muslim, balig
dan berakal sehat serta tidak fasiq.
2. Kedhabithan perowinya sempurna
Kata dhabtith bermakna kokoh, yang kuat, yang cermat, yang terpelihara
dan yang hafal dengan sempurna. Makna ungkapan perowi yang dhabtith
berarti perowi yang cermat atau perowi yang kuat. Dikatakan perowi yang
sempurna kedhabtithanya ialah yang baik hafalannya, tidak pelupa, tidak
banyak ragu, dan tidak banyak tersalah, sehingga ia dapat mengingat dengan
sempurna hadist-hadist yang diterima dan diriwayatkannya.
Dari segi kuatnya ingatan perowi, para ulama membagi dhabtith kepada
dua bentuk yaitu : dhabtith as shadri dan dhabtith al khitabah. Dhabtith as
shadri artinya, terpelihara hadist yang dipeliharannya dalam hafalan yang
diriwayatkan sejak ia menerima kapan saja periwayatan itu diperlukan. Sedang
dhabtith al khitaba artinya, terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-
tulisan yang dimilikinya.
3. Antara sanad-sanadnya harus muttashil
Muttashil berarti bersambung atau berhubungan. Maka secara bahasa
sanad yang muttashil berarti sanad hadist yang berhubungan atau yang
bersambung. Yang dimaksud sanad muttashil ialah berdekatan atau beruntun,
bersambungan atau berangkai dengan kata lain antara pembawa hadist dengan
penerimanya terjadi prtemuan langsung dengan persambungan ini sehingga

2
Ibid. Hlm. 103

4
menjadi silsilah rangkaian yang menyambung sejak awal sampai kepada
sumber hadist itu sendiri yaitu Rasulullah saw.
4. Tidak ada cacat atau ‘Illad
Kata ‘Illad secara bahasa berarti penyakit, sebab, alasan, atau uzur atau
halangan. Maka ungkapan tidak ada ‘Illad berarti tidak ada penyakit tidak ada
sebab yang melemahkan atau tidak ada halangan. Secara terminologis ‘Illad
adalah suatu sebab yang tidak nampak atau samar-samar yang dapat
mencacatkan ke sohihan suatu hadist.
5. Tidak janggal atau Syadz
Kata Syad menurut bahasa berarti ganjil, yang terasing, yang menyalahi
aturan, yang tidak biasa, atau yang menyimpang. Yang dimaksud disini adalah
hadist yang bertentangan dengan hadist yang lain yang sudah diketahui
kualitas ke sohihannya.3
3. Klasifikasi Hadist Sohih
Adapun hadist sohih para ulama membagi kepada dua bagian yaitu Sohih li
zatihi dan Sohih li ghoirihi
a. Sohih li zatihi yaitu hadist sohih yang memiliki lima syarat atau kriteria
sebagaimana disebutkan pada persyaratan hadist sohih. Hadist sohih banyak di
himpun oleh para mudawwin hadist antara lain oleh Imam Malik, Al-bukhori,
Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-tumudzi, dan Ibnu Majah dalam kitab-kitab
sohih karyanya masing-masing.
b. Sohih li ghoirihi yaitu hadist sohih yang ke sohihannya dibantu oleh adanya
keterangan lain. Hadist kategori ini mulanya memiliki kelemahan pada aspek
ke dhabtithan perowinya. Diantara perowinya ada yang kurang sempurna,
sehingga dikategorikan hadist sohih li ghoirihi.4

4. Kehujjahan Hadist Sohih

Hadist sohih dapat dijadikan sumber hukum yang qath’i atau sumber
hukum yang pasti sebagaimana dalil yang bersumber dari al-quran. Antara lain
pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa semua hadist sohih memberikan

3
Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadist, (Jakarta:Daya Media Pratama, 1996). Hlm.165
4
Ibid. Hlm.166

5
faidah qath’i tanpa memandang baik hadist tersebut di riwayatkan oleh Imam
Bukhori atau Muslim asalkan memenuhi syarat ke sohihan maka sama
memberikan faidah. 5

B. Hadist Hasan
1. Definisi Hadist Hasan

Hadist hasan adalah “hadist yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh


rowi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalannya serta tidak rancu
dan tidak cacat”. Dengan membandingkan definisi hadist hasan dengan hadist
sohih maka kita akan menemukan titik keserupaan yang cukup besar diantara
kedua jenis hadist ini. Keduanya harus memenuhi seluruh kriteria kecuali yang
berkaitan dengan kekuatan daya hafal (dhabtih). Hadist sohih diriwayatkan oleh
rowi yang sempurna daya hafalnya yakni kuat hafalannya dan tinggi tingkat
akurasinya, sedangkan rowi hadist hasan adalah yang rendah tingkat daya
hafalnya.6 Menurut beberapa ulama ahli hadis memberikan definisi masing
masing mengenai definisi atau pengertian dari hadis hasan sendiri diantaranya:

a. Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat,
para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh
banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha
b. At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam
sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan
pula melalui jalan lain.
c. Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya
bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.
d. Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang
diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari
hadits shahih, tidak ada syadz dan illat.

5
Ibid.Hlm.167
6
Tengku Muhammad Habsyi Ash Shiddiqiey, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang:Pustaka
Rizki Putra, 2009). Hlm.299

6
Contoh hadist hasan adalah hadist yang diriwayatkan ahmad, iya berkata”
Yahya bin Said meriwayatkan hadist kepada kami dari Bahz bin Hakim, iya
mengatakan, meriwayatkan hadist kepada bapak ku dari kakek ku, aku bertanya :
Artinya :“ ya Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti ? Rasulullah
menjawab “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “lalu kepada siapa?” Rasulullah
menjawab, “ lalu kepada ibumu.” Aku bertanya, “lalu kepada siapa?” Rasullullah
menjawab, “ibumu kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan
selanjutnya.”.
Sanad hadist ini bersambung tidak ada kejanggalan dan tidak ada cacat
padanya karena baik dalam rangkaian sanadnya maupun matannya tidak terdapat
perbedaan diantara riwayat riwayat yang lain.Imam Ahmad dan gurunya,Yahya
Bin Said Al Qathan adalah dua orang imam yang agung . Bahaz Bin Hakim
adalah orang yang jujur dan dapat menjaga diri sehingga dinilai tsiqat oleh Ali Bin
Madini , Yahya Bin Main ,dan Al Nasai .akan tetapi sebagian ulama
mempermasalahkan sebagian riwayatnya dan oleh karena itu Syuk’bah Bin Al
Hajjat membincangkannya . hal ini tidak mencabut sifat ke dhabithtannya namun
megesankan ia rendah tingkat kedhabitannya .
Dari penjelasan diatas jelaslah banyak keserupaan antara hadist hasan dan
hadist shahih . akan tetapi para muhaditsin menganggap hadist hasan adalah suatu
jenis hadist tersendiri.7

2. Kehujjahan Hadist Hasan


Menurut seluruh fuqoha atau ahli fiqih , hadist hasan dapat diterima sebagian
hujjah atau sumber hukum dan diamalkan.demikian pula pendapat kebanyakan
muhadistsin atau ahli hadist dan ahli ushul.
Alasan mereka adalah karena telah diketahui kejujuran rowinya dan
keselamatan perpindahannya dalam sanad. Rendahnya tingkat ke dhabithan tidak
mengeluarkan rowi yang bersangkutan dari jajaran rowi yang mampu
menyampaikan hadist sebagaimana keadaan hadist itu ketika didengar. Hadist
yang kondisinya demikian cenderung dapat diterima oleh setiap orang dan
kemungkinan kebenarannya sangat besar sehingga ia bisa di percaya.8

7
Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).Hlm.169
8
Nuruddin, Ulumul Hadist, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2017). Hlm.266

7
C. Hadist Dhaif

1. Definisi Hadist Dhaif

Definisi yang baik untuk Hadist Dhaif adalah “hadist yang kehilangan salah
satu syarat sebagai hadist yang dapat diterima”. Syarat-syarat hadist yang dapat
di terima diantaranya antaral lain : rowi nya adil, rowi nya dhabith meskipun tidak
sempurna, sanad nya bersambung, tidak dapat kerancuan, tidak terdapat ‘Illad
yang merusak, pada saat dibutuhkan, hadist yang bersangkutan menguntungkan
(tidak mencelakakan). Hadist dhabith tidak memenuhi persyaratan tersebut..

2. Kehujahan Hadist Dhaif


Ketika Suatu hadist dhaif dimungkinkan benar-benar hafal terhadapnya dan
menyampaikannya dengan cara yang benar maka hal ini telah mengundang
perselisihan yang serius dikalangan ulama sehubungan dengan pengamalannya.
Pendapat pertama, hadist dhaif dapat diamalkan secara mutlak yang berkenaan
dengan masalah halal haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban,
dengan syarat tidak ada hadist lain yang menerangkan hal ini. Pendapat ini
disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.
Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadist yang tidak terlalu dhaif karena
hadist yang sangat dhaif itu ditinggalkan oleh para ulama. Seakan-akan arah
pendapat ini adalah apabila suatu hadist dhaif dimungkinkan benar dan tidak
bertentangan dengan teks dalil lain maka segi kebenaran periwayatan hadist ini
dapat diamalkan.
Pendapat yang kedua dipandang baik mengamalkan hadist dhaif dalam hal-hal
yang berkaitan dengan anjuran dan larangan demikian pendapat sebagian ulama-
ulama dari kalangan muhadisin, antara lain Imam Annawawi, Syeh Ali al Qori,
dan Ibnu Hajar al Haitami.
Al hafiz Ibnu Hajar memberikan syarat apabila akan mengamalkan hadist
dhaif yaitu ada tiga :
1) Telah disepakati untuk diamalkan yaitu hadist dhaif yang tidak terlalu dhaif
2) Hadist dhaif yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum
sehingga tidak semata-mata mengamalkan hadist tersebut akan tetapi memiliki
dalil pokok.

8
3) Ketika suatu hadist dhaif yang bersangkutan diamalkan tidak disertai
keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandara
kepada Nabi S.A.W sesuatu yang tidak beliau katakan.9

3. Klasifikasi Hadist Dhoif

Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif
karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada
rawi atau matan.
A. Hadits Dhaif Karena Gugurnya Rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi
hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu : 10
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya
di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada
tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah
dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan
hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan
Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima
langsung dari Rasulullah.11
Contoh hadits mursal : Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum
munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh;
mereka tidak sanggup menghadirinya”.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para
ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur
satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila

9
Nuruddin, Ulumul Hadist, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2017). Hlm .302
10
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta:Amzah). Hlm.163
11
. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta:Amzah, 2008). Hlm. 169

9
rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat
yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang
gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua
rawi yang gugur itu adalah tabi’in.12
contoh hadits munqathi’ Artinya :Rasulullah SAW. bila masuk ke
dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah;
Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits
yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam
sanadnya. Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba,
dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah
sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda
Artinya :Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.13
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung.
Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau
lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (tidak di
sebutkan).14

B. Hadits Dhaif Karena Cacat Pada Matan Atau Rawi


Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti
pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan
yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-
rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi.
Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz

12
Ibid, Hlm.174
13
Ibid. Hlm.175
14
Ibid. Hlm.176

10
hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari
maksud lafadz yang sebenarnya.15
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau
dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah
hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan
kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-
musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits
dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik
berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah
melakukan maksiat,lalai, atau banyak wahamnya. Contoh hadits matruk :
“Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati
dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim
dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad
bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin
mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad
tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta.
Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau
tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar
ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi

15
https://tafsirhadisiainib.wordpress.com/2009/11/12/jurnal-ilmu-al-quran-dan-hadiz/ Di akses Pada:
Rabu,27 Februari 2019 Pukul 22.30 Wib.

11
perawi yang kuat, contoh :Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya
masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )” Hadits di atas memiliki rawi-
rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits
yang lebih kuat.16
4.) Hadits Mu’allal

Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para
ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat
pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh : Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar,
selama mereka belum berpisah”.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.
Contoh : Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah
penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah;
dengan tempat tinggal di taman surga”. Kalimat akhir dari hadits tersebut
adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak
termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada
nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang
lain.
Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu
mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu
dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-
Tabrani)

16
http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-maudhui-tematik. Di Akses
Pada: Rabu, 27 Februari 2019 Puku 20.17 WIB

12
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang
diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah
hari-hari makan dan minum.”

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal
yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits
diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu
hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan
teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah..
Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri.
Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal mengambil
suatu hadits sebagai sumber ajaran Adanya rentang waktu yang panjang antara
Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang
panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan
terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya
digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan,
maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan
hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan
secara selektif.

Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak


mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam
sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-
syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata
rantai sanad tersebut

14
Daftar Pustaka

Ahmad, Muhammad Ulumul Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 1998

Habsyi, Ash Shiddiqiey, Tengku, Muhammad, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis
Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009

http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/10/tafsir-
maudhui-tematik.DiAksesPada: Rabu, 27 Februari 2019 Puku 20.17 WIB

https://tafsirhadisiainib.wordpress.com/2009/11/12/jurnal-ilmu-al-quran-dan-
hadiz/Diakses Pada: Rabu,27 Februari 2019 Pukul 22.30 WIB.

Majid, Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta:Amzah, 2008

Nuruddin, Ulumul Hadist, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2017

Ranu,Wijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996

15

Anda mungkin juga menyukai